Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT HUKUM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH.; Dr. Aby Maulana, S.H.
M.H.; dan Nanda Sahputra Umara, SH. MH.

Disusun Oleh:
Muhammad Hisyam R (2019200082)

KELAS A
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah “Makalah Mazhab-Mazhab Filsafat Hukum” mata kuliah Filsafat
Hukum ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah kita tentukan.
Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat secara maksimal bagi
kegiatan pembelajaran mata kuliah Filsafat Hukum. Bersama ini kami juga
menyampaikan terima kasih kepada Bapak, Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH,;
Dr. Aby Maulana, S.H. M.H; dan Nanda Sahputra Umara, SH., MH. sebagai
dosen mata kuliah Filsafat Hukum. Semoga segala yang telah kita kerjakan
merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan
tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang
lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar
bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Garut, 10 Juli 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mazhab Hukum Alam ........................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Hukum Kodrat Alam ................................................ 4
2.1.2 Asas-Asas Mazhab Hukum Alam .................................................5
2.1.3 Teori Hukum Kodrat Alam ..........................................................6
2.1.4 Tahapan Perkembangan Hukum Kodrat Alam .........................7
2.1.5 Ciri-Ciri Mazhab Hukum Alam ...................................................9
2.2 Mazhab Positivisme Hukum..................................................................10
2.2.1 Pengertian Mazhab Positivisme Hukum ...................................10
2.2.2 Dasar Mazhab Positivisme Hukum ...........................................10
2.2.3 Pandangan Mazhab Positivisme Hukum ..................................11
2.2.4 Ciri-Ciri Mazhab Positivisme Hukum ......................................12
2.3 Mazhab Sejarah .....................................................................................13
2.3.1 Pengertian Mazhab Sejarah .......................................................13
2.3.2 Munculnya Mazhab Sejarah ......................................................14
2.4 Mazhab Utilitarian ................................................................................16
2.4.1 Pengertian Mazhab Utilitarian ..................................................16
2.4.2 Perbedaan Pemikiran Antara Jeremy Bentham Dan Rodolf
Von Jhering Dalam Melihat Utilitarianisme ............................17
2.5 Mazhab Sociological Jurisprudence .....................................................19
2.5.1 Pengertian Mazhab Sociological Jurisprudence .......................19
2.5.2 Tujuan Mazhab Sociological Jurisprudence .............................20
2.6 Mazhab Realisme Hukum ....................................................................21
2.6.1 Pengertian Mazhab Realisme Hukum ......................................21
2.6.2 Ciri-Ciri Mazhab Realisme Hukum .......................................... 21
2.7 Mazhab Hukum Bebas .......................................................................... 22

iii
2.7.1 Pengertian Mazhab Hukum Bebas ........................................... 22
2.7.2 Tujuan Mazhab Hukum Bebas ................................................. 22
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 24
3.2 Saran ....................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.2 Latar Belakang


Perkembangan hubungan manusia baik yang simpel maupun kompleks
menimbulkan konsep ataupun prinsip yang mendasari hubungan tersebut dapat
berjalan dengan baik dan teratur. Prinsip-prinsip tersebut mengatur hak dan
kewajiban dari anggota kelompok. Kemudian prinsip berkembang antar kelompok
dan juga berlaku untuk kelompok yang lainnya sehingga membuat sebuah sistem
hukum yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.
Sistem hukum berevolusi mengikuti perkembangan hubungan manusia
dan juga mengalami ekspansi yang disebabkan oleh proses kolonialisasi ataupun
proses adopsi. Sistem hukum pada umumnya berisikan prinsip baik yang khusus
maupun yang bersifat universal sehingga dalam berbagai hal sistem hukum satu
dengan lainnya saling berinteraksi dikarenakan kesamaan prinsip dasarnya.
Prinsip dasar ini pada umumnya berasal dari nilai-nilai kemanusiaan yang
menjelma menjadi norma dan kemudian diadopsi menjadi hukum. Interpretasi dan
penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh bagaimana sistem hukum suatu negara
dan tentunya juga budaya hukum maupun infrastruktur hukum sebagai bagian dari
sistem penegakan hukum.1
Dalam perkembangannya definisi hukum menjadi sangat kompleks tidak
hanya merupakan norma yang mengandung sanksi namun juga peraturan
perundang-undangan dan juga keputusan pengadilan yang secara formal berlaku
dalam masyarakat. Namun tidak hanya hal tersebut, hukum juga didefinisikan
sebagai norma yang tidak secara formal dibuat oleh Negara akan tetapi juga
norma yang berlaku dalam masyarakat (Ius Constitutum) dan juga norma yang
dicita-citakan (Ius Constituendum). Kedua definisi hukum ini dapat dipergunakan
sebagai pemahaman awal.
Secara historis zaman terus berkembang melalui hierarkis perkembangan
yang terus diiringi dengan perubahan sosial, dimana dua hal ini akan selalu
beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas menjadi hal yang

1
Prof. Daryono, S.H., M.A., Ph.D.. Sejarah dan Perkembangan Sistem Hukum, Modul 1, Hal. 1.

1
problematik ketika ia hidup di dalam komunitas sosial. Kemerdekaan ini akan
berbenturan dengan kemerdekaan individu lainnya bahkan dengan makhluk yang
lain. Maka muncullah tata aturan, norma, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan
universal yang ditaati. Di sinilah hukum muncul dalam peradaban manusia untuk
menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian ketika hukum itu diberi
jawaban atau tanggapan berbeda-beda oleh para akademisi kemudian diikuti oleh
masyarakatnya, maka dari sinilah akan muncul aliran-aliran dalam hukum itu
sendiri.
Adanya mazhab hukum adalah ditentukan oleh masa dan waktu yang
sehingga oleh para ahli hukum membuat penafsiran hukum berdasarkan waktu
dan tempat. Sehingga pada saat ini para ahli hukum selalu mengkaji hukum itu
berdasarkan dengan adanya atau timbulnya berbagai aliran dalam filsafat hukum
menunjukan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu
hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan
dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-
masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli
hukum. Dalam kajian filsafat hukum, dikenal beberapa mazhab tentang hukum
diantaranya:
a) Mazhab hukum alam;
b) Mazhab hukum positif;
c) Madzhab sejarah;
d) Mazhab Utilitarian
e) Mazhab sosiological jurisprudence;
f) Mazhab Realisme hukum;
g) Mazhab hukum bebas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Kodrat Alam


2.1.1 Pengertian Mazhab Hukum Alam
Hukum alam merupakan teorisasi hukum yang lahir didorong oleh
pandangan bahwa keseimbangan dan keteraturan alam merupakan salah satu
tertib hukum. Dibeberapa literature Natural Law juga diterjemahkan sebagai
Hukum Kodrati. Namun ada juga pendapat yang menyatakan Hukum Alam
berbeda dengan Hukum Kodrati. Hukum Kodrati merupakan subset dari
Hukum Alam yang memfokuskan pada perbuatan manusia berkaitan dengan
kodratnya sebagai subjek dari hukum alam (law of the nature).
Tertib hukum didasarkan pada keteraturan alam yang saling
berhubungan. Hukum alam menyakini bahwa Hukum harus didasarkan pada
sumber-sumber moral yang berasal dari alam (universe) yang
dimanifestasikan oleh hukum penalaran atau penalaran manusia. Hukum alam
menentang pendapat bahwa hukum merupakan produk dari penguasa. Hukum
alam sering dijadikan referensi dalam menentukan hubungan antara sesuatu
dinyatakan sebagai “baik” dengan hal yang menjadi suatu kenyataan alamiah
yang terjadi dalam masyarakat (empirical).
Sebagai contoh “perkawinan” antara laki-laki dan perempuan yang
berfungsi salah satunya untuk melangsungkan keturunan merupakan sesuatu
yang baik secara alamiah diterima sebagai sesuatu yang baik. Dikarenakan
hanya dengan perkawinan, keberlangsungan manusia dapat terjadi dan
peradaban manusia berkembang. Hukum perkawinan yang dituangkan dalam
hukum positif memiliki hakikat sebagai “hal yang baik” sesuai dengan kodrat
manusia untuk melangsungkan kehidupannya.
Demikian halnya dengan pelembagaan hukum yang lainnya yang
berasal dari hakikat manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Setiap
manusia secara hakikat memiliki hak hidup sehingga manusia lainnya harus
memiliki kewajiban untuk menjaga hak hidup orang lain. Hak hidup sebagai

3
hak kodrati yang berasal dari alam dan moralitas sehingga perbuatan yang
mengurangi hak hidup seseorang sebagai perbuatan yang dilarang.
Prinsip-prinsip kodrati manusia dan alam untuk menjamin
keberlangsungan hidup manusia melahirkan asas-asas hukum alam yang
hingga saat ini menjadi bagian “legal corpus” baik di hukum internasional
maupun hukum nasional di berbagai negara.
2.1.2 Asas-Asas Mazhab Hukum Alam
Hukum alam berisikan asas-asas yang dapat didefinisikan dalam
konteks perkembangannya, (Sharah Hausan. 2003) meliputi:
1. Alam (nature). Didalam konteks dengan Alam atau nature, hukum
alam memberikan pedoman dan prinsip serta asas bagaimana makhluk
hidup (living organism) dapat hidup secara berdampingan dengan alam
(nonliving organism). Prinsip dan asas hukum alam ini diturunkan
secara turun menurun dan diperbaharui oleh generasi selanjutnya.
2. Etika dan Moral (ethical and moral considerations). Etika dan moral
menjadi bagian penting yang membangunn hukum alam. Seiring
dengan perkembangan peradaban dan kemanusian nilai-nilai etika dan
moral juga berkembang yang banyak mempengaruhi perkembangan
hukum alam.
3. Nilai-nilai atau Prinsip Agama (religious percept). Nilai dan prinsip
hukum agama mempengaruhi hukum alam diawali pada kurang lebih
abad 2000 BC pada saat lahirnya polytheisme. Pada masa Kerajaan
Romawi telah melahirkan legal corpus yang sangat fenomenal hingga
sekarang, legal corpus Justinian yang berasal dari the Twelve Tables
yang dipengaruhi oleh ajaran agama Kristiani. Berbagai nilai-nilai
agama juga menjadi bagian dari hukum alam melalui hukum kebiasaan
(customary law).
4. Kontrak sosial (social contract). Pada awal lahirnya “negara” terdapat
kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa. Kontrak sosial yang
sangat popular tersebut pada masa kerajaan Romawi oleh Plato disebut
sebagai Apology dan Crito.

4
5. 5. Akal/Nalar Manusia (human reason). Akal/Nalar manusia
merupakan sumber dari sebuah ilmu pengetahuan sehingga menjadi
bagian dari perkembangan hukum alam. Masa ini juga disebut sebagai
“Masa Pencerahan” (enlightenment). Akal dan nalar manusia sebagai
sumber ilmu pengetahuan tumbuh dikarenakan melemahnya pengaruh
ajaran agama (religious) dalam kehidupan manusia. Kemanusiaan
sangat tergantung dari lingkungan sosialnya dan bagaimana mereka
berinteraksi.
2.1.3 Teori Hukum Kodrat Alam
Hukum alam memberikan kontribusi dalam Penalaran dan Interpretasi
yang sampai saat ini juga dipergunakan sebagai salah satu teori yang
mengilhami para ahli hukum. Teori Hukum Alam menyumbangkan pemikiran
dalam hukum penalaran dan interpreatsi meliputi (law in perspectives):2
1. Teori Hukum yang mempertentangkan antara “apa yang nyata” (what
is) dan apa yang seharusnya (what should be) atau dalam teori hukum
selanjutnya di manifestasikan pada prinsip “Ius Constitutum” prinsip
hukum yang berlaku dan Ius Constituendum yang merupakan prinsip
hukum yang di cita citakan. Konsep ini memberikan kontribusi dalam
melakukan abstraksi dan sebaliknya melakukan inferensi logis antara
ide dan gagasan ke dalam hukum positif. Demikian sebaliknya antara
hukum positif dengan fakta.
2. Hubungan alam dengan kemanusiaan sebagai keterkaitan. Konsep ini
mempengaruhi Hukum penalaran. Dalam pandangan berdasarkan pada
nilai-nilai keagamaan, aspek kemanusian memiliki tujuan dan akhir
yang sudah pasti melalui penalaran natural dan kebutuhan manusia.
Dalam pandangan religius tujuan akhir manusia (predetermined end)
sudah ada sehingga manusia memiliki tujuan yang sama menuju akhir
kehidupan.
3. Keyakinan bahwa proposisi atau pandangan dari Hukum Alam dapat
dibuktikan melalui alam itu sendiri secara empiris (selfevident).
Hukum Alam memberikan konsepsi penalaran yang dapat dibuktikan
2
Michael Head & Scott Mann. 2005. Law in Perspective: Ethics Society and Critical Thingking.
Sydney: New Perss.

5
secara alamiah sebagai contoh dari Nilai-nilai Ketuhanan, Nilai-nilai
umum yang dianut oleh masyarakat, atau melalui nilai-nilai politik dan
ekonomi yang diperjuangkan oleh manusia. Nilai-nilai politik dan
ekonomi yang diperjuangkan oleh manusia sebagai contoh adalah
Deklarasi Hak Asasi Manusia, Pengakuan terhadap Masyarakat Adat.
4. Pandangan bahwa Hukum Alam memiliki variabel yang dapat
berpengaruh seperti variabel waktu, tempat dan situasi dan kondisi.
Seiring dengan perkembangan akal dan pemikiran manusia, Hukum
Alam juga mengakomodasi keterbatasan akal dan nalar manusia dalam
memahami dan memaknai alam.
Keempat konsep tersebut yang mendasari hukum interpretasi dan
penalaran dari para ahli hukum penganut teori hukum alam.
2.1.4 Tahapan Perkembangan Hukum Kodrat Alam
Tahapan perkembangan Hukum Alam secara umum dapat dikategorian
dalam 4 (empat) tahap:3
a. Kekaisaran Yunani dan Romawi
Para tokoh yang sangat fenomenal pada masa kekaisaran Yunani dan
Romawi adalah Plato dan muridnya Aristoteles. Plato sebenarnya juga
mendapatkan banyak pengaruh dari gurunya Socrates. Plato
mengemukakan gagasannya bahwa tujuan utama dari suatu masyarakat
berdasarkan pada akal dan nalar manusia pada masa tersebut. Sehingga
hukum tidak hanya meyakinkan tujuan tersebut namun juga mengajak dan
mendidik masyarakat. Menurut Plato dalam kaitannya Kewajiban untuk
melakukan sesuatu dalam kontrak sosial terdapat 2 aspek yaitu Apology
dan Crito.
a. Apology. Plato berpendapat Negara dalam kondisi apapun tidak
dapat melakukan pemaksaan atau meminta seseorang untuk
melakukan kejahatan. Demikian halnya dengan Negara tidak dapat
menghukum masyarakat yang mempercayai nilai-nilai universal
yang berasal dari nilai-nilai religius.

3
Shidarta, 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, hal. 87.

6
b. Crito. Plato berpendapat bahwa setiap Individu memiliki kewajiban
untuk mentaati hukum. Hukumlah yang menentukan seseorang
salah atau benar. Sehingga tidak dimungkinkan seseorang
menyatakan salah kepada orang lain. Orang yang merasa
mendapatkan ketidakadilan harus menyerahkannya kepada Negara.
2. Masa Tradisi Judaeo-Kristiani
Hukum yang tidak adil yang dibuat oleh pemerintahdianggap sebagai
hukum yang tidak memiliki moralitas. Menurut sumbernya hukum dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Hukum positif (lex temporalis), hukum yang dibuat oleh penguasa
b. Hukum eternal (lex aeterna), hukum ini berasal dari prinsip
ketuhanan (“the will of God”)
Hukum Alam menurut tradisi ini diekspresikan pada karakteristik manusia
dengan keinginan keinginannya, termasuk penggunaan akal untuk
mewujudkan keinginan manusia. Hukum Alam memiliki 2 prinsip utama:
a. Prinsip primer: meliputi keinginan untuk mewujudkan
keberlangsungan hidup (self preservation), keturunan, pendidikan,
mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, kehidupan sosial
dan politiknya.
b. Prinsip sekunder: meliputi struktur sosial yang didasarkan pada
hubungan hierarki dari yang teratas sampai terendah. Hukum Alam
bekerja melalui suatu keteraturan sosial maupun alam yang sudah
terbentuk dan diterima secara akal sehat.
3. Masa Kejayaan Akal (The Age of Reason)
Pengaruh terbesar terhadap hukum pada masa ini adalah diterimanya
kekuasaan dari negara sebagai salah satu sumber dari hukum sehingga
kontrak sosial menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Thomas
Hobbes menyatakan kontrak sosial menjadi salah satu prasarat dari
keteraturan dan kepatuhan manusia. Thomas Hobbes menyatakan 2 prinsip
mendasar:
a. Manusia harus mewujudkan kedamaian namun dapat melakukan
pembelaan diri apabila tidak dimungkinkan terjadinya kedamaian.

7
b. Manusia harus mendapatkan kebebasan seperti layaknya manusia
lainnya.
4. Pascaperang Dunia ke II
Pascaperang dunia ke II yang ditandai oleh kemenangan Sekutu, juga
berpengaruh terhadap keberadaan ajaran hukum alam. Pada abad ke 20 ini
merupakan masa jayanya positivisme hukum, terjadi pertentangan antara
positivisme dan naturalisme hukum. Munculnya kembali ajaran
naturalisme hukum didasari oleh kemenangan Amerika dan Inggris dalam
Perang Dunia ke II. Pada akhir perang dunia tersebut ajaran Hukum Alam
banyak dipengaruhi oleh doktrin hukum alam Jerman. Pada doktrin ini
sosial kontrak didasarkan pada tiga hal dibawah ini:
a. Pactum Unionis, merupakan perjanjian atau kontrak dasar untuk
bersama sama membentuk masyarakat dalam rangka untuk keluar
dari “natural state”.
b. Pactum Ordinationis, merupakan sebuah perjanjian atau kontrak
bersama masyarakat yang diberikan kepada pemerintah;
c. Pactum Subordinationis, sebuah perjanjian untuk mematuhi hukum
dan perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah yang terpilih.
2.1.5 Ciri-Ciri Mazhab Hukum Alam
Ciri-ciri mazhab hukum alam, terdiri dari:
1. Menentukan bahwa hukum memiliki sesuatu yang ada terlebih dahulu
dan bersifat a priori, yaitu rasionalitas tertinggi atau justifikasi moral
untuk ada dan dibutuhkannya hukum positif;
2. Hukum alam merupakan kreteria tertinggi untuk menentukan
kebenaran atau validitas hukum positif;
3. Ciri utamanya adalah universal dan kosmopolitan;
4. Bersifat otonom yang validitasnya bersumber pada nilainya sendiri;
5. Hukum alam menjadi kekuasaan tertinggi atau rasional tertinggi dan
sekaligus pembatasan tertinggi bagi kekuasaan hukum, sosial, dan
politik;
6. Diperoleh dari berpikir deduktif inferential, dari prinsip‐prinsip self
evidens atau presuposisi yang dianggap benar secara universal;

8
7. Hukum alam telah banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran
dan praktik berhukum. Sebaliknya belum ada kesatuan pendapat
mengenai definisinya;
8. Hukum alam terdiri dari nilai hukum dan moral yang bersifat umum;
9. Hukum alam pada utamanya mencari pengertian absolut dari hukum
dan keadilan. Mencari sesuatu “hukum” di atas hukum;
10. Cara berpikir hukum alam adalah transendental. Dunia yang ada (is)
tidak signifikan jika dibandingkan dunia yang berada di baliknya.
Karena itu dalam berpikir cenderung menghindari pengalaman historis
dan empiris;
11. Hukum alam hanya akan membawa manfaat jika dihadirkan dalam
hukum positif.

2.2 Mazhab Positivisme Hukum


2.2.1 Pengertian Mazhab Positivisme Hukum
Positivisme hukum diawali dengan pemikiran dari David Hume yang
menyatakan hukum merupakan produk dari penguasa. Positivism dapat
diartian hukum secara umum lato sensu diterapkan (posited), buatan manusia
(man-made), dan berisikan cita-cita (artificial). Hal ini juga seperti
dikemukakan oleh John Austin hukum sebagai buatan dari kekuatan politik
(political formation).
2.2.2 Dasar Positivisme Hukum
Positivisme hukum didasarkan pada pendapat sebagai berikut:
1. Hukum dibuat oleh manusia tidak ditemukan.
2. Hukum merupakan hasil dari keinginan penguasa
3. Hukum hanya berisiskan peraturan
4. Hakim harus tunduk pada hukum tanpa kecuali (keputusan pengadilan
harus didasarkan pada peraturan)
5. Tidak terdapat hubungan antara hukum dan moralitas atau antara hukum
yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
6. Studi tentang Hukum harus dipisahkan dari studi tentang sejarah hukum,
sosiologi hukum maupun psikologi.

9
7. Sistem hukum dipandang sebagai sistem logika yang tertutup (closed
logical system).4
2.2.3 Pandangan Positivisme Hukum
Pandangan legal posivistme ini sebagian besar diilhami oleh berbagai
ahli seperti Jerremy Bentham (1748-1832), John Austin (1790-1859), ajaran
Begriffsjurisprudenz, Hans Kelsen dan HLA Hart melalui Analytical legal
theory. Pandangan legal positivism juga sering disebut sebagai pendekatan
legal dogmatis (formal-dogmatic analysis of law). Legal positivisme diawali
pada masa kerajaan Romawi yang melahirkan ajaran konstitusionalisme
kuno. Pada ajaran ini perkembangan hukum dipengaruhi oleh perkembangan
ajaran demokrasi yang meletakkan kontrak sosial sebagai hukum dasar
(leges fundamentales).5
A. Konstitusionlisme Kuno (Ancient Constitutionalism)
Positivisme hukum banyak dipengaruhi oleh ajaran
“constitutionalism agreement” yang berkembang paska perang dunia kedua.
Teori konstitusi sebenarnya sudah berkembang sejak masa kerajaan Romawi
seperti halnya yang berkembang di English Common Law. Teori konstitusi
ini lebih disebut sebagai Teori Konstitusi Kuno (Ancient Constitutionalism).
Terdapat dua konsep kompetensi (competence) yang mendasari konstitusi
sebagai dasar hukum dari suatu negara yaitu berikut ini.
1. Iurisdictio. Konsep ini merupakan dasar hukum untuk mengatur
kontrak dan perjanjian antar individu dan yang terkait dengan hak
individu. Konsep ini dalam perkembangannya melahirkan Hukum
Privat/Perdata.
2. Gubernaculum. Konsep ini sebagai dasar untuk mengatur pelaksanaan
aktivitas politik, pemerintah maupun administrasi. Konsep ini dalam
perkembangannya melahirkan apa yang disebut sebagai Hukum
Publik.6
Dalam perkembangan Hukum Konstitusi dipengaruhi oleh ajaran
hukum alam Jerman yang juga disebut sebagai hukum dasar atau leges

4
Jerzy Stelmach dan Bartosz Brozek 2006. Methods of legal reasoning, the Netherlands: Springer.
5
H.L.A. Hart 1966. The Concept of Law, Oxford: Clarendon Press.
6
H.L.A. Hart 1966, Op.Cit.

10
fundamentales. Kemudian teori kontrak sosial menjadi awal dari Hukum
Konstitusi Modern yang mendasarkan pada tiga doktin kontrak sosial:
Pactum Unionis, Pactum Ordinationis dan Pactum Subordinationis.
B. Konstitusionalisme Modern (Modern Constitutionalism)
Konstitusionalisme modern banyak dipengaruhi oleh berkembangnya
Demokrasi melalui suatu kontrak sosial. Modern konstitusionlism tidak
hanya memfokuskan pada bagaimana pemerintah melaksanakan tugas
tugasnya namun juga mengatur siapa yang akan diberikan kekuasaan untuk
mengatur. Pada konstitusi modern seiring dengan berkembangnya
demokrasi sebagai popular sovereignty. Konstituionalisme modern
merupakan konvergensi antara konsepsi hukum dasar (fundamental law)
tidak lagi sebagai hukum kebiasaan namun sebagai hukum yang dibuat oleh
legislator dengan konsepsi konstitusi sebagai bentuk struktur dari kekuasaan
negara. Pembuat konstitusi bukan seseorang namun “people” yang juga
harus tunduk pada konstitusi yang dibuatnya. Sehingga berlaku maxim
Quod omnes tangit, ab omnibus approbetur yang berarti bahwa hukum yang
berlaku untuk semua orang harus disetujui oleh semua orang. Konstitusi
bukan merupakan produk dari pemerintah namun rakyat yang membuat
konstitusi dan berlaku bagi semua. Melalui konstitusilah rakyat membuat
“pemerintah” sehingga pemerintah melaksanakan kekuasaannya harus
berdasarkan pada konstitusi. Konstitusi berisikan kehendak bersama
(general will).
Ajaran Positivisme Hukum menekankan pada 2 premis utama:
pertama bahwa hukum merupakan sistem sosial yang berdiri sendiri
(autonomous social spere) sehingga hukum hanya dipersepsikan sebagai
hukum negara (state law). Premis kedua, hukum tidak hanya dibuat oleh
manusia (man made) namun juga berupa fakta (fact). Hal ini berbeda
dengan ajaran Hukum Naturalime yang lebih menekankan hukum berupa
ideas, belief dan values. Berdasarkan pada fakta fakta inilah hukum dibuat
sehingga hukum memiliki validitas.
2.2.4 Ciri-Ciri Positivisme Hukum

11
Cara berfikir manusia dan masyarakat mencapai puncaknya pada
tahap positif, setelah melalui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif
diberi arti secara eksplisit dengan muatan filsafati yaitu bahwa yang benar
dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi manfaat.7 Dengan
perkataan lain setiap pernyataan dinilai positif apabila pernyataan tersebut
konkrit (tidak abstrak), memberi kepastian (eksak), memiliki ketepatan
(akurat), dan mendatangkan manfaat. Ilmu pengetahuan dianggap benar bila
didapat melalui metode yang lazim dipergunakan oleh ilmu alam yaitu
metode observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana yang lazim
dipergunakan oleh fisika.
Positivisme menolak segala sesuatu yang tidak faktual untuk
dijadikan objek kajian (gegenstand) ilmu pengetahuan. Fakta-fakta itu
haruslah didapat dengan menggunakan metode keilmuan, khususnya metode
ilmu alam (fisika). Fakta atau data haruslah dapat diukur secara
kuantitatif,yaitu dapat diukur,ditakar,dan ditimbang. Semua ilmu haruslah
bersifat positivistik, termasuk ilmu sosial seperti sosiologi (fisika sosial).

2.3 Mazhab Sejarah


2.3.1Pengertian Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) atau Mazhab Sejarah dan
Kebudayaan (Ciltuur Historich School) adalah salah satu aliran hukum yang
muncul faktor reaksi terhadap tiga hal: Rasionalisme abad ke-18 yang hanya
bergantung pada pemikiran deduktif.
Ada beberapa tokoh mazhab sejarah dalam hal ini, antara lain yaitu:
1. Frederic Carl Von Savigny
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1770-1861. Carl Von Savigny
menganalogikan timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa
dengan segala ciri dan kekhususannya. Oleh karena hukum merupakan
salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa,
adat, moral, dan tatanegara. Sehingga hukum merupakan sesuatu yang
bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat. Menurutnya hukum
7
Koento Wibisono. Hubungan Filsafat , Ilmu Pengetahuan, dan Budaya. Makalah pada Internship
Dosen-Dosen Filksafat Pancasila se Indonesia, 8 September 1996, Yogyakarta. Hlm. 6.

12
timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi
karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu. Jiwa
bangsa merupakan sumber hokum. Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat, ia mengingatkan untuk membangun
hukum studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak dilakukan. Hukum
berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari
pembentuk undang-undang. Oleh karena pada permulaan, waktu
kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah
spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah
kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada
suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan
kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
2. Puchta
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1798-1846. Puchta merupakan
murid dari Carl Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum terikat
pada Jiwa bangsa yang bersangkutan dan dapat berbentuk adat istiadat,
undang-undang dan karya ilmiah para ahli hukum.
3. Henry Summer Maine (1822-1888).
Mazhab sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun 1822-
1888. Sumbangan Henry Summer Maien bagi studi hukum dalam
masyarakat, terutama tampak dalam penerapan metode empiris,
sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum. Maine
mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip.
Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum
misalnya melalui Perundang-undangan.
2.3.2 Munculnya Mazhab Sejarah
Lahirnya mazhab sejarah merupakan suatu reaksi yang langsung
terhadap suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya
yang berbunyi : Uber Die Notwendig-keit Eines Allgemeinen Burgerlichen
Rechts fur Deutschland (Keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata
bagi negeri Jerman). Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki akan agar
di Jerman diperlukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis.

13
Sebagaimana diketahui bahwa ketika Prancis meninggalkan Jerman muncul
masalah hukum apa yang hendak diperlukan di negeri ini. Mazhab sejarah
merupakan suatu reaksi yang tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan
aliran positif tentang hukum intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak
dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.8
Aliran ini adalah yang paling terkenal, terutama di negara-negara
penganut sistem common law. Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah, yaitu;
Friedrich Karl von savigny (1770-1861), Puchta (1798-1846), dan Henry
Summer Maine (1822-1888). Von Savigny menyatakan bahwa hukum timbul
bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena
perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu (volkgeist). Adapun
Puchta nyaris sama pandangannya dengan Savigny. Ia berpendapat bahwa
hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan. Sedangkan
Maine menyatakan ia melakukan penelitian untuk memperkuat pemikiran
Von Savigny, yang membuktikan adanya pola evolusi pada pembagi
masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.
Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya
bahwa dunia terdiri dari bermacammacam bangsa yang mempunyai volgeist
(jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan.
Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula
pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari jiwa rakyat itu
itentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Hukum, menurut pendapat Savigny, berkembang dari suatu masyarakat yang
sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu
kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum
rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya. Inti
dari pemikiran mazhab sejarah yang dapat diketahui melalui buku Savigny
yang termashur Von Beruf Unserer Zeit fur Gezetsgebug und
rechtswissenschaft (tentang tugas zaman kita bagi pembentuk undang-
undang dan ilmu hukum), pada prinsipnya merupakan madzhab yang ingin

8
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, hlm 59. Lihat juga Otje Salman, Filsafat Hukum: Perkembangan
dan Dinamika Masalah, (Bandung : Refika Aditama, 2010), hlm 70.

14
melihat keterkaitan antara hukum dan masyarakat. Dalam arti bahwa, aliran
ini menolak hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah.9
2.4 Mazhab Utilitarian
2.4.1 Pengertian Mazhab Utilitarian
Utilitarianisme juga sering disebut Utilisme. Utilitarianisme
adalah aliran hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama
hukum. Kemanfaatan yang dimaksud dalam aliran ini adalah kebahagiaan
(happiness). Utilitarianisme memandang baik buruk atau adil tidaknya suatu
hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada
manusia atau tidak. Kebahagiaan tersebut diupayakan agar dapat dinikmati
oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness
for the greatest number of people).
Aliran Utilitarianisme sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
Positivisme Hukum karena paham ini akan berujung pada kesimpulan bahwa
tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat.
Hukum adalah cerminan dari perintah penguasa, bukan dari rasio semata.
Ada beberapa tokoh mazhab ultitarian dalam hal ini, antara lain yaitu:
a. Jeremy Bentham
Ajaran Jeremy Bentham didasarkan pada aliran hedonistic utilitarianism.
Bentham berpendapat bahwa hukum bertugas untuk memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Pemidanaan harus bersifat spesifik
untuk setiap kejahatan. Seberapa kerasnya suatu pidana tidak boleh
melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan menurut Bentham hanya
bisa diterima apabila pemidanaan tersebut mampu mencegah terjadinya
kejahatan yang lebih besar.
b. Rudolf Van Jhering
Ajaran Rudolf von Jhering merupakan gabungan antara teori yang
dikemukakan Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Positivisme Hukum
yang diajarkan oleh John Austin. Teori yang diajarkan oleh Jhering ini
merupakan ajaran yang bersifat sosial.

9
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, hlm 60.

15
Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu
kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk,
adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan
kebahagian kepada manusia atau tidak.10 Utilitarianisme meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan
sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau
tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan
mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau
tidak.11 Penganut aliran Utilitarianis mempunyai prinsip bahwa manusia akan
melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-
besarnya dan mengurangi penderitaan.
2.4.2 Perbedaan Pemikiran Antara Jeremy Bentham Dan Rodolf Von
Jhering Dalam Melihat Utilitarianisme
Prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham adalah sebagai berikut :
1) Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan
kepada individu-individu baru orang banyak. Prinsip utiliti Bentham
“the greatest heppines of the greatest number” (kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang).
2) Prinsip itu harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas
kesenangan selalu sama.
3) Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka
perundang-undangan harus mencapai empat tujuan :
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup.
b. To Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan
berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equity (untuk mencapai persamaan).
Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, yang menyatakan
bahwa baik buruknya suatu perbuatan akan diukur apakah perbuatan itu

10
Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta , 2010, Hal. 59.
11
Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta,2011,
Hal.179.

16
mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Bentham mencoba menerapkannya di
bidang hukum yaitu perundang-undangan di mana baik buruknya ditentukan
pula oleh ukuran tersebut. Sehingga undang-undang yang banyak
memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai
sebagai undang-undang yang baik. Oleh karena itu diharapkan agar
pembentuk undang-undang harus membentuk hukum yang adil bagi segenap
warga masyarakat secara individual. Lebih lanjut Bentham berpendapat
bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk
mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran
Bentham dikenal dengan sifat individualis di mana pandangannya beranjak
pada perhatiannya yang besar pada kepentingan individu. Menurutnya hukum
pertama-tama memberikan kebahagian kepada individu-individu tidak
langsung kemasyarakat. Namun demikian Bentham tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat. Untuk itu, Bentham mengatakan agar kepentingan
idividu yang satu dengan kepentingan individu yang lain tidak bertabrakan
maka harus dibatasi sehingga individu yang satu tidak menjadi mangsa bagi
individu yang lainnya (homo homini lupus). Selain itu, Bentham menyatakan
bahwa agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati dengan individu yang
lainnya sehingga terciptanya kebahagiaan individu maka dengan sendirinya
maka kebahagiaan masyarakat akan terwujud.
Sedangkan Teori hukum Jhering berbasis ide manfaat. Tesis Bentham tentang
manusia pemburu kebahagiaan muncul dalam pemikiran Jhering yang
menurutnya entah negara, masyarakat maupun individu memiliki tujuan yang
sama yakni memburu manfaat. Dalam memburu manfaat itu, seorang individu
menempatkan cinta diri sebagai batu penjuru. Tidak seorang pun ketika
berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa pada saat yang bersamaan ingin
melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Lebih lanjut menurut Jhering, posisi saya
dalam dunia bersandar pada tiga proposisi : Pertama, saya di sini untuk saya
sendiri, Kedua, dunia ada untuk saya, dan Ketiga, saya disini untuk dunia
tanpa merugikan saya. Kemudian selanjutnya Jhering mengintrodusir teori
kesesuaian tujuan sebagai jawaban atas kepentingan individu dalam
kehidupan sosial. Kesesuaian tujuan atau lebih tepat penyesuaian tujuan ini

17
merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang
sama yakni kemanfaatan. Sehingga hukum berfungsi selain menjamin
kebebasan individu untuk meraih tujuan dirinya yakni mengejar kemanfaatan
dan menghindari kerugian, hukum juga bertugas mengorganisir tujuan dan
kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain.
Jhering juga mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan
mengembangkannya dengan prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan
oleh Bentham dan dikembangkan oleh Mill, juga hal tersebut memberi
sumbangan penting untuk menjelaskan ciri khas hukum sebagai suatu bentuk
kemauan. Jhering mulai mengembangkan filsafat hukumnya dengan
melakukan studi yang mendalam tentang jiwa hukum Romawi yang
membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum mengabdi tujuan-
tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah pengakuan tujuan
sebagai prinsip umum dunia yang meliputi baik ciptaan-ciptaan yang tidak
bernyawa maupun yang bernyawa. Bagi Jhering tujuan hukum adalah
melindungi kepentingan-kepentingan yakni kesenangan dan menghindari
penderitaan, namun kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-
kepentingan orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk
tujuan yang sama maka terbentuklah masyarakat, negara yang merupakan
hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama itu.
Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan masyarakat yang
menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah pahala dan manfaat
yang biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang bersifat
moralistis adalah kewajiban dan cinta. Hukum bertugas menata secara
imbang dan serasi antara kepentingan-kepentingan tersebut.

2.5 Mazhab Sociological Jurisprudence


2.5.1 Pengertian Mazhab Sociological Jurisprudence
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran
sociological jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada
“kenyataan hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam

18
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi
tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological
Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis
sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum
(positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap
pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi
hukum.
Peran strategis hakim dalam perspektif sociological jurisprudence
adalah menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social
control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus
mendesain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas
yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang
terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai
sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai
penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus
memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai
perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan
segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
Teori hukum menurut Roscoe Pound adalah “law is a tool of social
engineering” yakni hukum adalah alat rekayasa masyarakat. Sama seperti apa
yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan
azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di
dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam
kenyataan. Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap
hukum.
2.5.2 Tujuan Mazhab Sociological Jurisprudence
Suatu hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi
jurisprudence Pound, lebih mengutamakan tujuan praktis dengan :
a. Menelaah akibat sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktirin
hukum, karena itu, lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi
abstraknya.

19
b. Mempelajari cara membuat peraturan yang efektif dan menitik
beratkan pada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan
bukannya pada sanksi.
c. Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang
ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara
mengahasilkannya.
d. Membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan
mendesak supaya ajaran hukum harus dianggap sebagai bentuk yang
tidak dapat berubah.
e. Meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar
usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.

2.6 Mazhab Realisme Hukum


2.6.1 Pengertian Mazhab Realisme Hukum
Aliran ini sering diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism yang
berkembang di Amerika Serikat. Realisme Hukum memandang bahwa hukum
adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Hukum
dibentuk dari kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi,
kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku dan emosi-emosi yang
umum.12
2.6.2 Ciri-Ciri Mazhab Realisme Hukum
Ada beberapa ciri dari Aliran Realisme Hukum, antara lain:
1. Tidak ada mazhab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan
kerja tentang hukum.
2. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih
cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang
ada dan yang seharusnya ada.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-
konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum

12
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal. 21.

20
menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan
orang-orang.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan
mengingatkan akibatnya.

2.1 Mazhab Hukum Bebas


2.7.1 Pengertian Mazhab Hukum Bebas
Aliran ini adalah anti tesis dari aliran Legisme, sama sekali menentang
apa yang menjadi paradigma hukum bagi para pengusungnya. Menolak
mentah-mentah atas ketundukan hakim terhadap undang-undang, yang
menempatkan hakim hanya sekedar pembunyi (corong) dari diktum-diktum
yang ada dalam undang-undang, dan memecahkan masalah hu-kum dengan
cara deduktif. Lahirnya aliran ini karena aliran legisme dirasa tidak dapat
memenuhi kebutuhan dan ketida-kmampuannya memecahkan persoalan-
persoalan baru dalam hukum. Aliran ini lahir di Jerman pada abad 19-20
dengan tokoh utama Kantorowics.
Aliran ini berpandangan bahwa terbentuknya hukum bukan di meja-
meja lembaga legislatif, tetapi hukum itu terbentuk di dalam lingkungan
peradilan. Tentu saja bila hukum terbentuk dalam ruang peradilan maka peran
hakim sangat dominan, hakim berperan sebagai pembentuk hukum
(judge  made law). Disini hakim bebas memecahkan masalah dengan merujuk
pada peraturan perundangan yang ada atau tidak. Disini kebebasan berfikir
hukum hakim benar-benar di jamin, hal primer yang wajib diketahui hakim
hanya segala hal yang terkait dengan jurisprudensi (putusan/pemikiran hukum
dari hakim lainnya yang pernah dilakukan). Undang-undang men-jadi bahan
hukum sekunder. Undang-undang dan kebiasaan bukan sumber hukum, tetapi
hanya sebagai sarana pembantu hakim dalam upaya untuk menemukan
hukum pada kasus yang konkrit.
Sebab titik tumpunya pada hakim, maka kapasitas keilmuan,
professionalitas dan integritas hakim menjadi jaminan yang menuntun
keyakinan hakim dalam memecahkan problem hukum yang dihadapinya.
Pandangan hakim lebih tertuju pada kasus yang terjadi dan

21
mempertimbangkan kegunaan akan putusannya dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.
2.7.2 Tujuan Mazhab Hukum Bebas
Tujuan dari aliran freierechtslehre menurut R. Soeroso adalah:
1. Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara memberi
kebebasan kepada hakim tanpa terikat pada undang-undang, tetapi
menghayati tata kehidupan sehari-hari.
2. Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat
3. kekurangan-kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi.
4. Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasar-kan
kepada rechts ide (cita keadilan).
Itu dua kutub ekstrim teori terbentuknya hukum, yang satu mengekang
pemikiran hakim hanya tertuju pada undang-undang dan yang satu
membebaskan seluasnya pemikiran hakim. Tesis dan antitesis dua aliran
pemikiran penemuan hukum itu masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan.13

13
https://123dok.com/article/aliran-freirechtslehre-hukum-bebas-teori-terbentuknya-hukum.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang
benar, atau dapat juga kita katakan filsafat hukum adalah merupakan pembahasan
secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan
jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, yang
objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut
hakikat. Terdapat tujuh macam mazhab dalam filsafat hukum, meliputi; mazhab
hukum alam; mazhab hukum positif; madzhab sejarah; mazhab utilitarian; mazhab
sosiological jurisprudence; mazhab realisme hukum; dan mazhab hukum bebas.
Dari sekian mazhab yang telah dijelaskan dapat dikatakan bahwa masing-
masing mazhab memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun
terlepas dari semua itu setiap mazhab mengedepankan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat yaitu, ketertiban sosial. Tidak semata-mata sebuah
idealisme tetapi juga ide-ide tentang hukum dan moral yang saling berkaitan.14

3.2 Saran
Berpikir filsafat hukum tentunya mempunyai kerangka berfikir dan sudut
pandang., kita sebaai manusi tidak bisa memaksa bahwa diri kita yang paling benar
dengan pemikiran kita sendiri. Semuanya tergantung pada laur berfikir dan sudut
pandang dari masing-masing. Dengan demikian mazhab-mazhab filsafat hukum yang
telah disampaikan di atas semoga dapat menambah pemahaman kita mengenai cara
bagaimana berfikir filsafat yang akan kita pilih.

14
John Kelsay dan Summer B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, terj. Ahmad Suaedy dan
Elga Serapung, cet ke-2, (Yogyakarta: Institute Dian/ Interfidei, 2007), hlm 125.

23
DAFTAR PUSTAKA

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

H.L.A. Hart 1966. The Concept of Law, Oxford: Clarendon Press.

Jerzy Stelmach dan Bartosz Brozek 2006. Methods of legal reasoning, the
Netherlands: Springer.

John Kelsay dan Summer B. Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia, terj. Ahmad
Suaedy dan Elga Serapung, cet ke-2, (Yogyakarta: Institute Dian/ Interfidei,
2007).

Koento Wibisono. Hubungan Filsafat , Ilmu Pengetahuan, dan Budaya. Makalah


pada Internship Dosen-Dosen Filksafat Pancasila se Indonesia, 8 September 1996,
Yogyakarta

Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta , 2010.

Michael Head & Scott Mann. 2005. Law in Perspective: Ethics Society and
Critical Thingking. Sydney: New Perss.

Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press,


Jakarta,2011.

Prof. Daryono, S.H., M.A., Ph.D.. Sejarah dan Perkembangan Sistem Hukum,
Modul 1.

Shidarta, 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogyakarta: Genta


Publishing.

Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, hlm 59. Lihat juga Otje Salman, Filsafat Hukum:
Perkembangan dan Dinamika Masalah, (Bandung : Refika Aditama, 2010),

https://123dok.com/article/aliran-freirechtslehre-hukum-bebas-teori-terbentuknya-
hukum.

24
25

Anda mungkin juga menyukai