Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

PENGATURAN PARTAI POLITIK

DISUSUN OLEH KELOMPOK 11:

Dinda Gustiani Putri (2130203018)

Fanni Febriani (2130203025)

Gaesha Purnama Irawan (2130203032)

DOSEN PENGAMPU :

Saadatul Maghfira,MH

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

2022
KATA PENGANTAR

Assalammualikum Wr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia dari-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah guna meneyelesaikan tugas Hukum Tata Negara
dengan judul “Pengaturan Partai Politik”

Dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu mempelajari dan memahami
materi-materi yang akan disusun dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini disusun agar
pembaca dapat memahami dan menambah wawasan “Pengaturan Partai Politik”

Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi para pembaca dan menambah
pengetahuan. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penuis, penulis yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Batusangkar, 30 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................................3

A. Definisi Partai Politik......................................................................................................3

B. Sejarah Partai Politik.......................................................................................................4

C. Fungsi Partai Politik........................................................................................................6

D. Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia.......................................................................11

BAB III.....................................................................................................................................18

PENUTUPAN..........................................................................................................................18

A. Kesimpulan...................................................................................................................18

B. Saran..............................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partai politik (parpol) adalah suatu organisasi nasional yang dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia yang mempunyai kesamaan kehendak dan cita- cita untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
(UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Sebagai suatu organisasi tentunya partai
politik memiliki tujuan, fungsi, hak, kewajiban, serta kegiatan politik yang meliputi
operasional sekretariatan, pendidikan politik dan kaderisasi, konsolidasi organisasi, unjuk
publik, perjalanan dinas pengurus, dan kegiatan kampanye 1, dimana semua kegiatan tersebut
memerlukan uang atau dana yang cukup besar agar fungsi partai politik dapat berjalan.

Menurut definisi secara umum, partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk
mewujudkan ideologi politik tertentu. Adapun partai politik berkembang bersamaan dengan
berkembangnya proses pemilihan. Partai-partai tersebut muncul sebagai komite pemilihan
yang mendapatkan dukungan bagi seorang kandidat dari warga negara yang terkemuka dan
mengumpulkan dana yang diperlukan untuk kampanya pemilihan.2

Dalam sistem politik demokratis, kebutuhan partai politik terhadap uang menjadi tak
terhindarkan, karena basis legitimasi kekuasaan adalah dukungan rakyat yang dicerminkan
oleh hasil pemilu. Uang mempengaruhi kompetisi politik bahkan merupakan sumber daya
utama bagi politisi yang ingin memenangkan kekuasaan atau untuk bertahan sebagai
penguasa.3

Berdasarkan sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan


didirikannya Organisasi Boedi Oetomo (BO), pada Tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin
Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu Boedi Oetomo belum bertujuan ke politik
murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai

1
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik: Metode Penetapan Besaran,
Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan, Jakarta : Yayasan Perludem, 2012.
2
Afan Gaffar Partai Politik dan Kelompok Kelompok Penekan, PT. Bina Aksara, Yogyakarta, 1984, hal.3
3
Ibrahim Zuhdhi Fahmy Badoh, Politik dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
(MIPI), 2009, hlm 314.

1
perintis organisasi modern. Dengan kata lain, Boedi Oetomo merupakan cikal bakal dari
organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari partai politik?
2. Bagaimana sejarah partai politik?
3. Apa fungsi partai politik?
4. Bagaimana Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami definisi partai politik.
2. Mengetahui dan memahami sejarah partai politik
3. Mengetahui dan memahami fungsi partai politik.
4. Mengetahui dan memahami Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Partai Politik
Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan
karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologi
tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan. 4
Dengan demikian,partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintah yang
resmi dan mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas.Partai
politik juga memiliki kedudukan yang pertama salah satu wadah atau sarana partisipasi politik
rakyat,kedua perantara antara kekuatan–kekuatan sosial dengan pemerintah.

Menurut Max Weber, partai politik sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk
membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk
mendapat keuntungan dari dukungan tersebut5. Sedangkan menurut Ranney (1990),
mendefinisikan partai politik berdasarkan karakteristik-karakteristik dasar yang dimiliki oleh
partai politik.Pertama, berwujud kelompok-kelompok masyarakat yang beridentitas, kedua,
terdiri dari beberapa orang yang terorganisir, yang dengan sengaja bertindak bersama-sama
untuk mencapai tujuan, ketiga, masyarakat mengakui partai politik memiliki legitimasi
berupa hak-hak untuk mengorganisasikan dan mengembangkan diri mereka, keempat,
beberapa tujuannya yaitu mengembangkan aktivitas-aktivitas, partai bekerja melalui
mekanisme pemerintahan yang mencerminkan pilihan rakyat dan yang kelima, aktivitas ini
partai politik adalah menyeleksi kandidat untuk jabatan publik.6

Peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi
kepemimpinan nasional dan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi
kepemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu membuktikan keberhasilan partai politik
sebagai pilar demokrasi. Dengan semakin matangnya partai politik ini diharapkan mampu
membawa system perpolitikan nasional untuk mulai sejalan dengan penataan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup penataan partai politik. Partai politik

4
Ibid. Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia. Hal.14
5
Ahmad Harianto Silaban, Sistem kepartaian Dan Sistem Pemilu Yang Ideal Di Indonesia
6
Ibid, hal 67

3
memiliki peran yang sangat penting bagi bangsa inikarena partai politik merupakan tempat
penghasil para pemimpin-pemimpin bangsa.

Dari pendapat para ahli diatas, partai politik menjadi alat atau sarana untuk mendapatkan
kekuasaan di parlemen maupun di pemerintahan dengan cara menarik simpati dari rakyat
untuk memilih partai tersebut guna memenangkan pemilu. Dengan banyaknya simpati dan
dukungan rakyat maka semakin besar pula kesempatan partai politik atau parlemen mampu
menguasai parlemen atau pemerintahan.Oleh karena itu, partai politik harus punya komitmen
dan tetap menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan benar sesuai dengan garis Haluan
partai, karena partai partai yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik maka partai
tersebut akan ditinggalkan oleh pendukung dan konstituennya.

B. Sejarah Partai Politik


1) Ketika penjajahan Belanda

Ketika ini dikata untuk periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu itu
Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai keadaan kesadaran nasional. Pada ketika itu
semua organisasi adun yang berhaluan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah,
ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai
Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.

Kehadiran partai politik pada ketika awal merupakan menifestasi kesadaran nasional
untuk mencapai kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan Rakyat ,
gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939 benar
beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni
Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto
dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.

Di luar dewan rakyat benar usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 diproduksi KRI (Komite
Rakyat Indoneisa) yang terdiri atas GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan
gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil A― laa
Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk tahun
1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi buruh.

Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah benar beberapa fraksi dalam volksraad yaitu
Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische Nationale

4
Groep. Sedangkan di luar volksraad benar usaha untuk mengadakan gabungan dari Partai-
Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang dikata Komite
Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I benar Gabungan Politik Indonesia (GAPI),
Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Fraksi-fraksi
tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama kali terbentuk di
Indonesia.

2) Ketika pendudukan Jepang

Pada ketika ini, semua keaktifan partai politik dilarang, hanya kelompok Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai
Masyumi), yang lebih banyak bangkit di aspek sosial.

3) Ketika pasca proklamasi kemerdekaan

Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, membuka kesempatan yang akbar


untuk membangun partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.

Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik akbar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Ketika tahun 1950 mencapai 1959 ini sering dikata untuk ketika kejayaan partai politik, sebab
partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara
menempuh sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berlangsung adun.
Partai politik tidak dapat menerapkan fungsinya dengan adun, sehingga kabinet jatuh bangkit
dan tidak dapat menerapkan program kerjanya. Untuk hasilnya pembangunan tidak dapat
berjaan dengan adun pula. Ketika demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959,
yang mewakili ketika masa demokrasi terpimpin.

Pada ketika demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi,
sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada ketika ini diketahui
dengan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI.
Pada ketika Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan lebih
kuat, terutama menempuh G 30 S/PKI penghabisan September 1965).

Setelah itu Indonesia memasuki ketika Orde Baru dan partai-partai dapat bangkit lebih
leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada ketika ini adalah
munculnya organisasi daya politik bar yaitu Kelompok Karya (Golkar). Pada pemilihan
umum thun 1971, Golkar muncul untuk pemenang partai disertai oleh 3 partai politik akbar

5
yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.

6
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai menempuh fusi partai politik. Empat
partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi
Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia,
Parati Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya benar 3
organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlanjut hinga pada pemilu 1997.

Setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya


rezim Suharto, maka pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia. Dan
terus berlanjut sampai pemilu 2014 nanti.

Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk


berlebihan Partai Politik. Memasuki ketika Orde Baru (1965 - 1998), Partai Politik di
Indonesia hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Kelompok Karya,
dan Partai Demokrasi Indonesia. Di ketika Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem
multi partai.

Pada 2012, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) melakukan revisi atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

C. Fungsi Partai Politik


Sistem politik memiliki memiliki beberapa fungsi yang di laksanakan oleh partai politik
itu sendiri. Terdapat 7 fungsi yang menjadi pengendali dari sistem politik tersebut ketika
menjalankan sebuah tugas atau wewenangnya. Salah satu utama dari fungsi partai politik
ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan seperti fungsi rekrutmen dan fungsi-fungsi
lain yang akan dijabarkan.

a) Sosisalisasi Politik

Fungsi pertama yaitu fungsi sosialisasi politik. Yang dimaksud dengan sosialisasi politik
ialah proses pembentukan sikap dari diri politik masyarakat itu sendiri. Melalui proses
sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap
kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup
mereka baik secara sengaja dan tidak. Contoh dari yang tidak disengaja yaitu melalui
pendidikan. Contoh dari yang tidak disengaja itu melalui pengalaman sehari-hari baik dari
keluarga atau pun dari warga masyarakat sekitarnya..

7
Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi dua, yakni pendidikan
politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses pembelajaran
yang diajarkan antara pemberi dan penerima pesan. Dalam proses ini, para anggota
masyarakat mempelajari dan lebih mengetahui tentang nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-
simbol politik negaranya yang ada. Mulai dari pihak dalam sistem politik seperti sekolah,
pemerintah, dan partai politik. Cara yang dilakukan dalam proses ini seperti melalui kegiatan
kursus, latihan kepemimpinan, diskusi dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan.

Sedangkan indoktrinasi politik diartikan sebagai proses sepihak ketika penguasa


memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap
pihak yang berkuasa sebagai sesuatu hal yang ideal dan baik. Cara yang dilakukan yaitu
dengan melalui kegiatan berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan psikologis, dan
latihan yang penuh disiplin.

b) Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan umum atau seleksi dan pengangkatan
seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system
politikpada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Dalam artian, fungsi ini adalah
fungsi untuk memilih seseorang yang benar-benar mengetahui atau ahli dalam menjalankan
peranan dan system politik di sebuah lembaga atau pemerintahan.

Partai politik merupakan partai tunggal dari sistem politik totaliter dimana partai ini
memiliki porsi besar. Porsi besar yang dimaksud yaitu partai politik memiliki suatu tugas atau
tanggung jawab yang dimiliki kepada seluruh partai yang ada di partai politik. Partai politik
ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang
membentuk pemrtintahan dalam system politik demokrasi.

Tujuan kedua dari fungsi rekrutmen adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Selain itu,fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan system politik sebab
tanpa elite yang mampu melaksanakan peranannya,kelangsungan hidup sistem politik akan
terancam.

c) Partisipasi Politik

Partisipasi Politik ialah kegiatan warga Negara biasa dalam memengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin
pemerintahan. Kegiatan yang di maksud, antara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak,

8
melaksanakan keputusan, mengajukan kritik kepada suatu kebijakan umum yang sudah
dibuat oleh pemerintah. Partai politik juga memiliki fungsi untuk membuka kesempatan,
mendorong dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat lain untuk menggunakan
partai politik sebagai kegiatan mereka untuk memengaruhi suatu proses politik.

Jadi, partai politik dapat disebut sebagai wadah dalam partisipasi politik. Fungsi ini
memiliki porsi yang lebih tinggi dari sistem politik totaliter dalam partai politik, karena fungsi
ini lebih mengharapkan ketaatan dari warga daripada aktivitas warganya.

d) Pemadu Kepentingan

Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda dengan orang lain
bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak yang diinginkan seseorang dan
kehendak yang tidak diinginkan oleh orang lain, seperti mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi
bermutu, antara kehendak untuk mencapai dan mempertahankan pendidikan tinggi yang
bermutu tinggi, tetapi dengan jumlah penerimaan mahasiswa yang lebih sedikit dengan
kehendak masyarakat untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi, antara kehendak
menciptakan dan memelihara kestabilan politik dengan kehendak berbagai kelompok, seperti
mahasiswa, intelektual, pers, dan kelompok agama untuk berkumpul dan menyatakan
pendapat secara bebas.

Fungsi pemadu kepentingan ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik sebelum
fungsi rekrutmen yang mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini sangat menonjol
dalam system politik demokrasi. Karena dalam sistem politik totaliter, kepentingan dianggap
seragam jadi partai politik dalam sistem ini kurang melaksanakan fungsi pemadu
kepentingan. Alternatif kebijakan umum yang diperjuangkan oleh partai tunggal dalam sistem
politik totaliter lebih banyak merupakan tafsiran atas ideologi doktriner. Dalam sistem politik
demokrasi, ideologi digunakan sebagai cara memandang permasalahan dan perumusan
penyelesaian masalah dengan menggunakan konsep atau teori.

e) Komunikasi Politik

Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari


pemerintahan kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Disini partai
politik memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai komunikator politik. Funsi ini tidak
hanya menyampaikan segala keputusan pemerintah tetapi juga menjalankannya.

9
Dalam melaksanakan fungsi ini, partai politik tidak begitu saja menyampaikan segala
informasi yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada
pemerintah. Tetapi partai politik memiliki cara sendiri agar masyarakat ataupun pemerintah
dapat memahami informasi dengan mudah. Partai politik menggunakan konsep dasar dari
ilmu komunuikasi dimana penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami
dan memanfaatkan informasi tersebut.

Dengan kebijakan pemerintah ini segala aspirasi atau pendapat, keluhan dan tuntutan
masyarakat sudah dapat diterjemahkan dari bahasa teknis ke bahasa yang dapat dimengerti
oleh pemerintah sekarang ini. Jadi, proses komunikasi politik antara pemerintah dan
masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik.

f) Pengendalian Konflik

Dalam arti luas konflik yang dimaksud dari fungsi ini, mulai dari perbedaan pendapat
sampai pada pertikaian fisik antar-individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam Negara
demokrasi, setiap warga Negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar.
Akan tetapi, suatu sistem politik hanya akan mentolerir atau menerima konflik yang tidak
mengancurkan dirinya sehingga permasalahannya tidak menjadi semakin menambah konflik
yang terjadi, melainkan mengendalikan konflik melalui lembaga demokrasi untuk
mendapatkan penyelesaian dalam bentuk keputusan politik.

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan
konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan
memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik yang
kemudian permasalahan ini dibawa ke dalam cara musyawarah badan perwakilan rakyat
untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan secara politik. Untuk mencapai
penyelesaian berupa keputusan politik itu, diperlukan kesediaan berkompromi antara para
wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik. Apabila partai-partai politik keberatan
untuk mengadakan kompromi, atau bahkan tidak mengikuti cara musyawarah yang
ditetapkan berarti partai politik bukan mengendalikan konflik, melainkan menciptakan
konflik dalam masyarakat tersebut.

g) Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan, dan


penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan
10
dilaksanakan oleh

11
pemerintah. Kebijakan pelaksanaan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam
melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan yang pertama dilakukan yaitu adanya tolak
ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat objektif.

Tolak ukur dalam fungsi kontrol politik ini berupa nilai-nilai dan norma politik yang
dianggap ideal dan baik. Kemudian dijabarkan ke dalam berbagai kebijakan atau peraturan
perundang-undangan. Selain itu, tujuan kontrol politik adalah meluruskan kebijakan atau
pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan
dan pelaksanaannya sejalan dengan tolak ukur tersebut. 7 Fungsi kontrol ini merupakan salah
satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi umtuk memperbaiki dan
memperbaharui dirinya secara terus-menerus.

Jika fungsi kontrol politik tersebut dilaksanakan maka partai politik harus menggunakan
tolak ukur. Sebab tolak ukur merupakan kesepakatan bersama yang menjadi landasan atau
pegangan bersama.

Berdasarkan fakta, tidak semua fungsi partai politik dilaksanakan dalam porsi besar dan
tingkat keberhasilan yang sama. Tetapi semua fungsi dijalankan sesuai kepada sistem politik
itu sendiri yang menjadi faktor yang melingkupi partai politik tersebut, tetapi juga ditentukan
oleh faktor lain. Di antaranya yaitu berupa dukungan atau semangat yang diberikan anggota
masyarakat terhadap partai politiknya.

Menurut pasal 11 ayat 1 dalam Undang-Undang Partai Politik.

Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara:
2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat;
3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan
dan menetapkan kebijakan negara;
4) Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

7
Ramlan surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Pt. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010) h. 153-154.

12
5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

D. Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia


Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa
yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa
Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi
partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah
partai politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik” artinya paling
sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk
bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari
pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai
politik.

Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak Indonesia mencapai
kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 merupakan tonggak
dilaksanakannya sistem multi partai di Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk
mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu
tersebut diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa
partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI
(22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo
(2,66%), PSI
(1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%)[1].

Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap sebagai
penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun 1950an - 1960an. Oleh karena
itu agenda yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan
penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, thaun 1971, terdapat
10 partai politik, termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan
kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai politik, yaitu
melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan partai-partai politik. Hasil dari
restrukturisasi partai politik tersebut adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan
PDI). PPP merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU,
Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis dan
13
agama non-

14
Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah partai politik bentukan
pemerintah Orde Baru.

Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia pada saat itu,
Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem multi partai, banyak pengamat
politik berpendapat bahwa sistem kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem
partai tunggal. Ada juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai
dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada pada saat itu.
Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua parpol sehingga dapat
dikategorikan sebagai sistem multi partai. Namun jika dianalisis lebih mendalam ternyata
kompetisi diantara ketiga partai politik di dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan
“privelege” dari pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.

Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi disemua sektor kehidupan


berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik. Salah satu reformasi dibidang politik
adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik yang dianggap
mampu merepresentasikan politik mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai politik
warisan Orde Baru dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di dalam masyarakat. Dari ratusan
parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilu 1999. Pemilu 1999
menghasilkan beberapa partai politik yang mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat
Indonesia adalah PDI.Perjuangan, P.Golkar, PKB, PPP, dan PAN.

Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah parpol pemilu 1999, yaitu 24
parpol. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta di dalam pemilu 2004 karena pada
pemilu tersebut telah diberlakukan ambang batas (threshold). Ambang batas tersebut di
Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam UU No 3/1999 tentang Pemilu
diatur bahwa partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai
politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang
tidak mencapai ambang batas tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung
dengan partai lain atau membentuk partai politik baru.

Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang mendapatkan suara signifikan
dan mencapai Electoral Threshold (ET). Meskipun persentasi ET dinaikan dari 2% menjadi
3% jumlah kursi DPR, Pemilu 2004 menghasilkan lebih banyak partai politik yang
mendapatkan suara signifikan dan lolos ET untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan

15
tujuh partai yang mencapai ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar,
PDI. Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat, PKS, dan PAN.

Sistem Presidensialisme di Indonesia

Sistem presidensial paling tidak memiliki 2 (dua) ciri utama (Mainwarring, 1990).
Ciri pertama adalah kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara terpisah dengan pemilihan
anggota parlemen. Dengan demikian hasil pemilu legislatif tidak menentukan kekuasaan
pemerintah (eksekutif) secara langsung. Ciri yang kedua adalah kepala pemerintah dipilih
untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (misalnya 5 tahun). Selian kedua ciri
utama yang dikemukakan oleh Mainwaring tersebut, Heywood memberikan beberapa ciri
lain dari sebuah sistem presidensial. Ciri-ciri tersebut antara lain kepala negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang presiden, kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden
sedangkan kabinet yang terdiri dari menteri-menteri adalah pembantu dan bertanggungjawab
kepada presiden, dan di dalam sistem presidensial terdapat pemisahan personel yang ada di
parlemen dan di pemerintah.

Selain ciri-ciri utama yang telah disebutkan oleh dua ilmuwan politik tersebut masih
ada ciri lain yang tidak kalah penting, yaitu hubungan antara lembaga keprisidenan dan
lembaga parlemen. di dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden tidak memiliki
kewenangan untuk membubarkan parlemen, sebaliknya parlemen tidak memiliki kewenangan
untuk membubarkan/memberhentikan presiden. Di beberapa negara yang menganut sistem
presidensial parlemen memiliki hak impeachment. Namun demikian hak impeachment
parlemen ini disertai dengan persyaratan yang sangat berat.

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial.
Berbeda dengan sistem kepartaian yang tidak diatur secara tegas oleh konstitusi, UUD 1945
secara tegas dan rinci mengatur sistem pemerintahan yang mengacu pada sistem presidensial.
Pengaturan tersebut terdapat di dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan
Bab IV tentang Kementrian Negara.

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih melalui pemilu yang terpisah dengan
pemilu legislatif. Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 presiden dan wakil presiden
dipilih melalui pemilihan oleh anggota MPR. Pada rejim Orde Baru pemilihan presiden
seolah- olah tidak memberikan kesan yang berarti bagi republik karena setiap sidang umum
untuk memilih presiden dapat dipastikan anggota MPR secara aklamasi memilih kembali
Presiden Suharto. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang terjadi di Gedung DPR/MPR

16
pada tahun

17
1999 kembali menjadi sorotan publik masyarakat Indonesia dan internasional. Pertama kalinya
anggota MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui pemungutan suara.

Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh anggota MPR
sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan tuntutan untuk pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung pada saat itu semakin kuat. Akhirnya pada tahun 2001 terjadi
amandemen ketiga terhadap UUD 1945, salah satu materi yang diamandemen adalah presiden
dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, pada
tahun 2004 rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara secara langsung.

Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk mendapatkan pemimpin


pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih dan didukung
secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu presiden dan wakil presiden 2004
menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat. Namun persoalan lain yang
muncul adalah pemerintah terpilih tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang sedang dihadapi oleh bangsa. Ketidakmampuan pemerintah mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan publik disebabkan karena pemilu presiden secara langsung tidak
menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat dan stabil.

Presidensialisme – Multi Partai dan Efektivitas Pemerintah

Banyak pernyataan yang disampaikan oleh akademisi, anggota parlemen, dan


pengamat politik bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yodoyono dinilai kurang atau tidak efektif dalam mengimplementasikan program-program
yang dihasilkan di tengah-tengah masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak
efektifnya pemerintahan SBY disebabkan karena hubungan antara lembaga kepresidenan dan
lembaga parlemen tidak baik. Tidak sedikit program-program pemerintah yang harus
mendapatkan persetujuan dari parlemen mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak
oleh DPR. Dengan demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat berjalan
dengan sebagaimana mestinya.

Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak
dialami negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Mainwaring
(2008) berpendapat bahwa hanya empat negara penganut sistem presidensial yang berhasil
dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah

18
Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara
yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan efektifitas
pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria, Belgia, Kanada,
Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan sebagainya.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kombinasi antara sistem presidensial dan


sistem multi partai yang dipraktekkan di Indonesia tidak mendorong terjadinya pemerintahan
yang efektif dan stabil? tidak ingin menyatakan bahwa sistem pemerintahan memiliki korelasi
langsung terhadap efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau kedua sistem
pemerintahan mampu menciptakan pemerintahan yang efektif. Meskipun tidak ada hubungan
yang langsung antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan tetapi ada
beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang mempengaruhi efektivitas pemerintah.
Dari segi menjaga stabilitas politik dan pemerintahan, Indonesia memiliki pengalaman yang
berharga dan mampu menjawab bahwa sistem presidensial ternyata mampu menghasilkan
stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem
parlemen. Pelaksanaan demokrasi parlemen pada tahun 1950an ternyata dinilai gagal di
dalam menciptakan stabilitas pemerintah dan politik yang akhirnya dinilai gagal
menyejahterakan rakyat Indonesia.

Salah satu alasan Amerika dengan sistem presidensial mampu menghasilkan


pemerintah yang efektif karena ditopang oleh sistem dwi-partai. Sedangkan Indonesia
mempraktekan sistem presidensial dan sistem multi partai.

Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang
berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan
sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Menurut Mainawrring
(2008) terdapat beberapa alasan/kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan
sistem multi partai.

Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah


maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan
mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia, Presiden SBY berasal dari partai politik
yang memiliki suara dan kursi yang kecil, P.Demokrat mendapatkan suara 7,45%. Padahal di
dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam
proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program – program
pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi
kebijakan
19
publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen
maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan
semakin berkurang.

Kedua, personal presiden – termasuk kepribadian dan kapasitas– merupakan salah


satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi
saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu
presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan
yang sedang dihadapi. Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani
permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/dukungan dari parlemen maka
presiden juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dan lobby yang baik
dengan parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya pemerintahan SBY saat ini oleh
beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan SBY di dalam mengelola dukungan dari
koalisi partai politik yang mendukung pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden
melakukan komunikasi dan lobby politik dengan parlemen.

Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi
partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi.
Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen
merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di
dalam sistem presidensial – khususnya di Indonesia – tidak bersifat mengikat dan permanen.
Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja
menarik dukungannya. Contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tiba-tiba
menarik dukungannya ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk
mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik
yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika
kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung
melakukan oposisi.

Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden
tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing
partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu
melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung
pemerintah. Hal yang menarik adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP,
PKB, yang

20
memiliki wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang akan
dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya.

Di dalam sistem parlementer koalisi partai politik lebih bersifat permanen dan
disiplin. Koalisi partai politik dibangun atas dasar parlemen. Anggota parlemen dari koalisi
partai politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintah akan
dikeluarkan dari parlemen. Selain ancaman dikeluarkan dari keanggotan parlemen oleh partai
politiknya, jika anggota tidak mendukung program-program pemerintah agar berhasil
perolehan kursi partai mereka akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya
pemerintah terbentuk juga mempengaruhi citra partai politik pendukungnya.

Jika koalisi parpol dalam sistem parlementer dibangun setelah pemilu, koalisi parpol
dalam sistem presidensial dibangun sebelum pemilu presiden dilaksanakan. Akibatnya
beberapa partai politik mendukung di dalam pencalonan akan tetapi tidak mendukung ketika
calon tersebut terpilih. Hal ini disebabkan, misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di
kabinet. Kalaupun terdapat perwakilan partai di kabinet, partai politik tersebut tidak
bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan pemerintah.

Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif
maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang
tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Beberapa anggota DPR terkesan ingin mencari
popularitas di hadapan publik dengan melakukan berbagai kritikan-kritikan terhadap semua
kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah program dan kebijakan tersebut baik atau tidak
bagi masyarakat. Perilaku inilah yang menyebabkan pengambilan keputusan di parlemen sulit
untuk dicapai secara efektif. Sebaliknya beberapa menteri di kabinet lebih menunjukkan
loyalitas kepada ketua partainya dibandingkan dengan kepada presiden. Atau bahkan para
pembantu presiden tersebut lebih disibukkan dengan kegiatan konsulidasi internal partai
politik dibandingkan dengan membantu presiden mengimplementasikan program-program
pemerintah. Tidak bisa dipungkiri kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict of interest
karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak mengundurkan diri dari
jabatan di partai politik.8

8
Kemenkumham Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan

21
BAB III

PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan
karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologi
tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.

Sistem politik memiliki memiliki beberapa fungsi yang di laksanakan oleh partai politik
itu sendiri. Terdapat 7 fungsi yang menjadi pengendali dari sistem politik tersebut ketika
menjalankan sebuah tugas atau wewenangnya. Salah satu utama dari fungsi partai politik
ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan seperti fungsi rekrutmen dan fungsi-fungsi
lain yang akan dijabarkan.

Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa
yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa
Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem
multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden
adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik” artinya
paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk
bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari
pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai
politik.

B. Saran
Dalam makalah ini masih ada kekurangan atau kelalaian dari pemakalah. Oleh karena itu
pemakalah masih membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Demikianlah makalah ini pemakalah buat agar bisa untuk semua
orang yang membacanya, aamiin ya rabb.

22
DAFTAR PUSTAKA

Badoh, I. Z. (2009). Politik dan Pemerintahan Indonesia. Masyarakat Ilmu Pemerintahan


Indonesia (MIPI).

Didik Supriyanto dan Lia Wulandari (2012). Bantuan Keuangan Partai Politik: Metode
Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan.

Gaffar, A. (1984). Partai Politik dan Kelompok Kelompok Penekan. Yogyakarta: PT. Bina
Aksara.

Ibid. (n.d.). Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia.

Kemenkumham. (n.d.). Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan.

Silaban, A. H. (n.d.). Sistem kepartaian Dan Sistem Pemilu Yang Ideal Di Indonesia.

surbakti, R. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Pt. Gramedia Widiasarana

Indonesia,.

23

Anda mungkin juga menyukai