Anda di halaman 1dari 26

PARTAI-PARTAI ERA REFORMASI

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan
Nasional Indonesia Program Studi Sejarah Peradaban Islam Program
Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

A. ARSY RAMLAN AMAL


NIM. 80100222019

PROGRAM PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa

pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah

ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda

tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di

akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas limpahan nikmat sehat-

Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk

menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Sejarah

Pergerakan Nasional Indonesia dengan judul “Partai-Partai Era Reformasi”.

Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak

yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini, terkhusus kepada dosen

pengajar kami yang telah membagi ilmunya mengenai Sejarah Pergerakan Nasional

Indonesia.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima Kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Gowa, 6 Juni 2023

A.Arsy Ramlan Amal

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang ...........................................................................1

B. Rumusan Masalah ......................................................................3

C. Tujuan Pemulisan .......................................................................3

BAB II: PEMBAHASAN.......................................................................................4

A. Partai Politik dalam Konsep .......................................................4

B. Perkembangan Partai Politik Era Reformasi ..............................5

C. Dampak Memudarnya Ideologi Partai Politik..........................10

D. Kondisi Partai Politik dan Lembaga DPR Tidak Dipercaya

Publik .......................................................................................13

E. Perbandingan Partai Politik Amerika dan Indonesia ...............16

BAB III: PENUTUP.............................................................................................19

A. Kesimpulan ..............................................................................19

B. Saran .........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21

iii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia pasca Orde Baru mengalami perubahan dalam penerapan system

politik, dari sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis. Dengan

diterapkan sistem demokratis memberikan perubahan terhadap dinamika kehidupan

politik. Di antara perubahan yang terjadi adalah jaminan kebebasan berekspresi dan

berasosiasi untuk mendirikan dan atau membentuk partai politik (parpol). Tidak

seperti era sebelumnya, pada masa pasca Orde Baru ini yang disebut sebagai era

reformasi, setiap kelompok atau golongan bebas membentuk dan mendirikan parpol

serta tidak ada pembatasan jumlah partai politik.

Pada awal reformasi jumlah parpol yang didirikan mencapai 184 partai, dan

141 di antaranya memperoleh pengesahan sebagai badan hukum. Dari jumlah

tersebut, yang memenuhi syarat untuk ikut Pemilu 1999 hanya 48 parpol.

Menghadapi Pemilu 2004, jumlah parpol yang dibentuk semakin banyak. Ada

sekitar lebih dari 200 parpol yang berdiri. Dari jumlah parpol sebanyak itu hanya

50 parpol yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dan hanya 24 parpol

yang ikut Pemilu 2004.

Pada Pemilu 2009, jumlah parpol yang dibentuk sekitar 132 partai, dan

sekitar 22 partai politik lolos verifikasi sehingga dapat ikut pemilu ditambah dengan

16 partai poitik, yang terdiri atas 7 partai politik yang lolos ET 3% dan 9 partai

politik yang mendapat kursi di DPR. Jumlah partai politik peserta Pemilu 2009

semuanya menjadi 38 partai di tingkat nasional dan 6 partai lokal di Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD).1

1
Lili Romli, “Reformasi Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” Politica, Vol.
2, No. 2, November 2011, h. 199.

1
2

Partai politik di era reformasi ini memiliki kekuasaan yang sangat besar,

sesuatu yang wajar di negara demokrasi. Dengan kewenangannya yang demikian

besar itu, seharusnnya tugas parpol yang utama adalah mencari putra-putri terbaik

untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat negara. Dalam

prakteknya, kondisi ideal itu belum dilaksanakan dengan baik oleh partai politik.

Kredibilitas partai politik yang sangat berkuasa itu juga terus merosot, disebabakan

oleh maraknya money politics dalam banyak proses politik di lembaga politik dan

lemahnya rekrutmen politik yang berkualitas. Dengan kekuasaan yang demikian

besar, partai-partai belum menjalankan tugasnya secara maksimal dalam

memuaskan rakyat.

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau

berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Pada era modern partai politik

sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik partai bukan sesuatu

yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah yang cukup panjang,

meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi

yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan

organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern. Partai politik merupakan salah

satu institusi dari pelaksanaan demokrasi modern. Demokrasi modern

menginginkan sebuah sistem dimana yang disebut keterwakilan, baik keterwakilan

dalam lembaga-lembaga formal seperti parlemen maupun keterwakilan aspirasi

masyarakat dalam institusi kepartaian. Partai politik memiliki beberapa fungsi

seperti: sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen

politik, dan sarana pengatur konflik.


3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba

mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah

ini, yaitu:

1. Bagaimana Partai Politik dalam Konsep?

2. Bagaimana Perkembangan Partai Politik Era Reformasi?

3. Bagaimana Dampak Memudarnya Ideologi Partai Politik?

4. Bagaimana Partai Politik dan Lembaga DPR Tidak Dipercaya Publik?

5. Bagaimana Perbandingan Partai Politik Amerika dan Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Partai Politik dalam Konsep.

2. Untuk mengetahui Perkembangan Partai Politik Era Reformasi.

3. Untuk mengetahui Dampak Memudarnya Ideologi Partai Politik.

4. Untuk mengetahui Kondisi Partai Politik dan Lembaga DPR Tidak Dipercaya

Publik.

5. Untuk mengetahui Perbandingan Partai Politik Amerika dan Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Partai Politik dalam Konsep

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut

serta/berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik

sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai politik bukan

sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya memunyai sejarah cukup

panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan

organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan

dengan organisasi negara. Dan tentu saja partai politik baru ada di negara modern.2

Dalam kehidupan politik modern yang demokratis partai politik merupakan

suatu keharusan. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan

untuk mengaktifkan dan membolisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu,

memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaingan, serta

menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan

damai.3 Lebih lanjut, fungsi partai politik juga dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie,

bahwa fungsi partai politik juga sangat penting dalam kegiatan bernegara, yang

biasa dirumuskan sebagai: pertama, sarana komunikasi dan penyerap aspirasi

politik; kedua, sarana sosialisasi atau pendidikan politik; ketiga, sarana rekrutmen

politik; dan keempat, sarana pengatur atau peredam konflik dalam masyarakat.

Lalu bagaimana kita memahami yang dinamakan sebagai organisasi partai

politik? Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa organisasi yang dinamakan partai

politik, selalu: pertama, memiliki cita-cita politik yang dirumuskan dalam

Konstitusi Partai yang biasa disebut Anggaran Dasar dan dijabaran dalam bentuk

2
Efriza, Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik (Bandung: Alfabeta,2011), h.171-
174.
3
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Edisi Revisi) (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1996), h. 105.

4
5

program-program kegiatan; kedua, sesuai ketentuan Undang-Undang (UU), partai

politik dipersyaratkan harus resmi berbadan hukum; ketiga, memunyai massa

anggota yang tidak terbatas dengan struktur kepengurusan yang bersifat periodik;

keempat, memunyai struktur keorganisasian yang bersifat hirarkis dari atas ke

bawah, mulai dari tingkat nasional atau dari tingkat provinsi istimewa sampai ke

tingkat terbawah; kelima, tujuan memperjuangkan aspirasi untuk memengaruhi

kebijakan orang-orang yang diharapkan dapat menjalankan dan menyukseskan

anggota partai politik sesuai yang dicita-citakan; dan keenam, terutama dengan cara

menjadi peserta pemilihan umum atau pengusung calon dan pemilihan umum yang

berhasil memenangkan suara rakyat pemilih. 4

B. Perkembangan Partai Politik Era Reformasi

Schattscheider menyatakan bahwa partai politik-lah yang membentuk

demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar atau

tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat

kelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik

yang demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan

kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara. 5 Pernyataan itu, lebih

tepatnya, secara tidak langsung juga turut menyatakan bahwa tak ada demokrasi

tanpa partai politik, pernyataan-pernyataan ini sudah cukup sering dikemukakan

oleh para akademisi. Ini didasari oleh fakta bahwa institusi partai politik adalah

salah satu pilar penting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilihan umum,

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga pers yang bebas. 6 Meski begitu

4
Jimly Asshiddiqie, “Penguatan dan Penataan Partai Politik di Masa Depan”, Jurnal
Ketatanegaraan, Vol. 5, November 2017, h. 35.
5
Rohaniah, Yoyoh dan Efriza, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu Politik
(Malang: Intrans Publishing, 2015), h.225.
6
Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014), h.45.
6

pentingnya kedudukan partai politik dalam sistem demokrasi, tetapi tanpa partai

politik yang kuat maka tak akan ada demokrasi yang kuat.7

Partai politik pada awalnya dibentuk atas dasar keinginan untuk

menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang memunyai visi dan misi yang

sama, sehingga pikiran dan orientasi mereka dapat dikonsolidasikan. Berangkat dari

hal tersebut, dapat diuraikan bahwa partai politik merupakan kelompok terorganisir,

yang anggota-anggotanya memunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama,

yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dalam bentuk program yang

akan dilaksanakannya dengan cara konstitusional untuk memperoleh kekuasaan

politik dan merebut kedudukan politik.8

Penafsiran di atas, jelas mencerminkan bahwa faktor ideologi tak bisa

diabaikan, sebab partai politik mesti memiliki ideologi yang berfungsi tak hanya

sebagai identitas pemersatu,9 tetapi juga memberikan karakter tersendiri yang dapat

menjelaskan mengapa suatu partai harus ada, dan karakter perbedaan antar partai-

partai, di samping itu ideologi juga sebagai tujuan perjuangan partai. Di banyak

sistem demokrasi keberadaan ideologi tersebut diturunkan dalam manifesto dan

program partai yang tentu juga berbeda dengan partai lainnya. Perbedaan program

kerja partai ini memudahkan masyarakat untuk menentukan pilihannya, program

kerja mana yang sesuai dengan keadaan hidup masyarakat itu sendiri, dan program

kerja partai tentunya akan menjadi sikap dasar partai dalam proses pengelolaan

kebijakan negara.10

7
Sebastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia: Asesmen terhadap Kelembagaan,
Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2007), h. 5.
8
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). (Jakarta: Gramedia, 2004), h.
404.
9
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1999), h.115.
10
Pramono Anung Wibowo, Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret
Komunikasi Politik Legislator-Konstituen (Jakarta: Kompas, 2013), h.272-273.
7

Konsep di atas telah menunjukkan bahwa betapa pentingnya partai politik

sebagai suatu sarana untuk manusia atau warga negara untuk membentuk suatu

organisasi dalam mewujudkan aspirasinya, yang kemudian diwujudkan dengan

fungsi-fungsi politik itu sendiri. Secara umum fungsi partai politik dapat

dikelompokkan menjadi lima fungsi utama. Kelima fungsi utama tersebut yakni:

artikulasi dan agregasi kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, rekrutmen, dan

penyelesai konflik. Antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya memiliki

keterkaitan, dan memiliki pengaruh besar terhadap ekspektasi dan animo anggota

maupun masyarakat umum terhadap suatu partai politik.11

Selama 20 tahun Reformasi yang telah kita lalui, setelah runtuhnya

pemerintahan Orde Baru, pendirian partai politik masih tumbuh subur bak jamur di

musim hujan. Meski terjadi fluktuasi partai-partai sebagai partai peserta pemilu,

seperti, pada Pemilu 1999, jumlah partai yang didirikan sebanyak 148 partai dengan

93 partai politik yang disahkan, tetapi 48 partai yang menjadi peserta Pemilu 1999.

Pemilu 2004 terjadi lonjakan cukup drastis jumlah pendirian partai politik, jumlah

partai politik hingga 237 partai politik. Dari jumlah sebanyak itu hanya 50 partai

yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dan hanya 24 partai yang bisa

ikut Pemilu 2004.

Namun terjadi penurunan pada Pemilu 2009, jumlah partai yang dibentuk

sekitar 132 partai: 22 partai lolos verifikasi ditambah dengan 16 partai politik, yang

terdiri atas 7 (tujuh) partai yang lolos electoral threshold sebesar 3 persen dan 9

(sembilan) partai politik yang mendapat kursi di DPR. Dari jumlah tersebut, partai

yang lolos menjadi peserta Pemilu 2009 sebanyak 38 partai di tingkat nasional dan

6 partai lokal di Aceh.

11
Sebastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia: Asesmen terhadap Kelembagaan,
Kiprah, dan Sistem Kepartaian, h. 8.
8

Dalam Pemilu 2014 juga terjadi penurunan bahwa, ada 14 partai yang

didirikan dan mendaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM, namun hanya satu

yang lolos verifikasi dan mendapatkan status badan hukum yakni Partai Nasdem.

Selanjutnya dari 34 parpol yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU),

yang lolos menjadi peserta Pemilu sebanyak 12 partai dan tiga partai lokal di Aceh.

Meski begitu, memasuki Pemilu 2019 nanti, setidaknya terjadi kenaikan drastis

Kembali yakni terdapat 73 partai politik yang berbadan hukum dan terdaftar di

Kementerian Hukum dan HAM.12

Melihat realitasnya, dalam pemilu-pemilu yang telah berlangsung bahwa

partai-partai baru akan terus berdatangan dan dapat memasuki arena pemilu, ini tak

lepas dari belum terlembaganya proses penyelesaian konflik internal di dalam partai.

Dalam banyak kasus, partai-partai baru itu tidak didirikan oleh para elite politik

baru, melainkan oleh para elite politik lama, Partai-partai politik yang mengalami

perpecahan yang kemudian melahirkan partai-partai baru, antara lain, Partai Golkar.

Sebut saja, kehadiran Partai MKGR, PKPI, PKPB, Partai Gerindra, Partai Hanura,

Partai Nasdem dan Partai Berkarya (memasuki Pemilu 2019), misalnya, adalah

produk dari konflik internal Partai Golkar.

Begitu juga dengan konflik internal di PDI Perjuangan, yang melahirkan

partai politik seperti Partai Indonesia Tanah Airku (PITA), Partai Nasional Benteng

Kerakyatan (PNBK), Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP). Sementara di

kalangan partai berbasis massa Islam terjadi pada PPP, PKB dan PAN juga

mengalami perpecahan. Di dalam tubuh PPP misalnya, melahirkan Partai Bintang

Reformasi (PBR). PKB juga mengalami perpecahan dengan munculnya antara lain:

12
Lili Romli, Problematik Institusionalisasi Partai Politik di Era Reformasi (Jakarta: LIPI,
2017), h. 2.
9

Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Begitu juga dengan PAN yang

menyebabkan munculnya Partai Matahari Bangsa (PMB).13

Hingga sekarang ini memasuki Pemilu 2019 mendatang, sebut saja Partai

Berkarya yang merupakan fusi dua partai Beringin Karya dan Partai Nasional

Republik, kehadirannya tak bisa lepas dari sosok Tommy Soeharto yang pernah

mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar lewat Musyawarah Nasional

(Munas) 2009 dan gagal. Lalu, ada juga Partai Garuda adalah pecahan dari Partai

Hanura dan Partai Gerindra. Dan yang lebih fenomenal adalah lahirnya, Partai

Persatuan Indonesia (Perindo) juga produk dari perpecahan dalam tubuh Partai

Nasdem dan Partai Hanura. Ini menunjukkan bahwa ketika mereka kecewa dan

tersingkir di dalam arena konflik, khususnya dalam perebutan kepemimpinan partai,

mereka berusaha membentuk partai-partai baru. Partai-partai baru itu dibaratkan

seperti ‘old wine in new bootle,’.14

Melihat realitas di atas, dan ditambah fakta setelah Pemilu 2004 lalu, yang

menunjukkan bahwa partai-partai baru dapat memperoleh kursi di lembaga DPR,

maka memasuki Pemilu 2009, tampak adanya kecemasan partai-partai di Indonesia,

perlahan tetapi pasti secara drastis partai-partai mulai mengurangi muatan ideologis

mereka dalam rangka untuk meraih sebanyak mungkin jumlah pemilih, seperti PKS

dan PDS yang menyatakan tak lagi menjadi partai eksklusif.

Pembentukan dan pemeliharaan konstituen tampaknya tak lagi menjadi

agenda kerja partai. Begitu pula dalam menjalankan fungsi partai, tampak sebagian

baru akan terlihat gregetnya saat tibanya pemilu. Merawat konstituen dengan

berbasis program jangka panjang tidak menjadi prioritas. Karena kebutuhan politik

jangka pendek berupa mendulang suara, lebih mendesak, sehingga partai-partai

13
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
(Kencana. Jakarta, 2010), h. 66.
14
Saifullah Ma’shum, DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR Periode
2004-2009 (Catatan Sejarah Sang Wakil Rakyat) (Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012), h. 3.
10

lebih menempuh langkah-langkah instan, tak terkecuali sikap tak acuh untuk

membuat pola rekrutmen internal partai yang bagus, malah perilaku partai-partai

itu sendiri yang lebih memilih menempuh jalan pintas dengan melakukan

rekrutmen anggota yang dilakukan secara transaksional dan tertutup. Akibat dari

perilaku politisi dan partai politik dalam rangkaian pemilihan umum legislatif

(pileg), pemilihan umum presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada)

justru mengkonfirmasikan terbangunnya watak “partai mengambang” (floating

party), perwujudan parpol tumbuh dengan kaki lemah atau malah tak berkaki di

masyarakat.

Jika di masa Orde Baru, kita berhadapan dengan gejala “massa

mengambang” (floating mass), masyarakat pemilih yang berkaki lemah atau malah

tidak berkaki. Karena gerak partai politik dibatasi hingga tak bisa menjangkau basis

pemerintahan terendah, tempat para pemilih sejatinya beraktivitas, masyarakat

dipaksa untuk tidak beraktivitas di dalam dan berasosiasi dengan partai politik.

Dalam “pemilihan umum,” mereka menjadi massa mengambang yang diperebutkan.

Lalu, Golkar-lah yang merengguk keuntungan karena tak menyebut dirinya partai

politik sehingga memiliki ruang gerak leluasa untuk menggalang calon pemilih.

Tetapi, masa itu telah lama berlalu dan menjadi sejarah hitam politik semata.

Demokratisasi semestinya menguatkan kembali kaki masyarakat dan mendorong

kompetisi antarpartai di atas lahan baru yang serba terbuka, tetapi celakanya, yang

kemudian tumbuh dari lahan baru ini adalah “partai mengambang.”

C. Dampak Memudarnya Ideologi Partai Politik

Realitas “partai mengambang” di atas adalah yang terjadi di era reformasi

ini. Harus diakui pada era reformasi, memang tidak terjadi polarisasi ideologi antara

satu partai politik yang satu dengan yang lainnya. Ini terlihat bukan saja tidak

adanya pertentangan ideologis, meski muncul pada awal reformasi saat amandemen
11

konstitusi hal mana beberapa partai Islam ingin menghidupkan kembali Piagam

Jakarta pada Sidang Tahunan MPR 2000, tetapi juga terlihat partai-partai politik

saling berkoalisi di antara mereka, bahkan menciptakan koalisi partai yang gemuk,

seperti dalam pemilihan presiden (Pilpres) maupun dalam pemilihan pemilihan

kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Kondisi ini menunjukkan ideologi partai-

partai cenderung cair.15

Cairnya ideologi partai ini di satu pihak, memang dapat mengurangi

intensitas dan polarisasi yang tajam di antara partai-partai, dan ini dapat dianggap

baik dalam rangka menciptakan stabilitas nasional, sehingga mereka bisa

bekerjasama antara partai politik yang satu dengan yang lainnya, saling bahu

membahu untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Namun

problem yang muncul terkait dengan Kerjasama antarpartai atau koalisi partai

tersebut cenderung pragmatis, terjebak dalam rangka meraih kekuasaan atau

jabatan semata. Ideologi partai dan platform partai tidak menjadi basis perjuangan

dan landasan dalam membangun koalisi. Inilah yang kemudian muncul apa yang

disebut kartelisasi partai atau partai kartel (cartel party).

Absennya ideologi partai karena partai-partai politik cenderung mencakup

berbagai kalangan. Kecenderungan ini oleh Otto Kircheimer disebut sebagai catch

all party, yaitu partai yang menghimpun sebanyak mungkin dukungan dari berbagai

macam kelompok masyarakat.16 Dampaknya adalah, kita tidak bisa membedakan

antara satu partai dengan partai lainnya. Padahal, semestinya, ideologi partai

menjadi identitas dan ciri khas dari masing-masing partai. Jika pun ada partai politik

yang mengklaim memiliki ideologi, namun ideologi tersebut acapkali dalam

penggunaannya dimanfaatkan sebagai kamuflase, hanya sebagai legitimasi bagi

15
M. Prakoso Aji, “Perkembangan dan Dinamika Partai Politik di Era Reformasi”
PARAPOLITIKA (Journal of Politics and Democracy Studies), Vol. 1, No.1, Februari 2020, h. 9.
16
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Edisi Revisi), h. 107.
12

kepentingan elit untuk memperoleh kekuasaan. Inilah yang dikatakan oleh Yasraf

Amir Piliang sebagai Nomadisme Partai, hal mana politik dua kaki, berpolitik

minus etika, dan sebagainya. Sehingga, perjalanan (politik) dari sepak terjang partai

politik (atau politisi) selalu berada di antara dua titik atau dua teritorial, ia selalu

berada di daerah antara (in between), tidak pernah menetapkan di sebuah titik atau

teritorial. Satu-satunya konsistensi adalah konsistensi untuk selalu berada di daerah

antara itu, selalu berpindah, dan bergerak, bukan berada di sebuah titik ketetapan

(sendentarity).17

Dengan kata lain, ideologi partai mengalami distorsi. Ini terlihat dari

ketidakjelasan kaitan ideologi partai dengan sistem filosofi utama masyarakat dan

negara, tidak kokohnya ideologi sebagai landasan program partai, dan lemahnya

peran ideologi sebagai pedoman umum dalam menentukan strategi perjuangan

partai. Ketika kekuatan partai tidak lagi terletak pada ideologi dan program yang

dimiliki, terjadi kerapuhan di tubuh partai politik Indonesia, sehingga kekuatan

figur pimpinan partai, patron partai atau bahkan kekuatan uang yang mendominasi.

Absennya ideologi partai ini juga menyebabkan partai di mata pemilih

dianggap sama saja, tidak ada bedanya. Untuk membuktikan hal tersebut dapat kita

lihat pada saat pemilu, perbedaan antarpartai begitu kabur sehingga publik/pemilih

tidak dapat melakukan diferensiasi terhadap partai politik. Akhirnya, publik

memilih partai bukan atas dasar ideologi atau program, tetapi karena

figur/ketokohan dan politik transaksional (money politics).

Dampak dari ketiadaannya ideologi partai tentu bermuara kepada

identifikasi partai (party identification/Party ID) yang lemah. Padahal, identifikasi

partai merupakan kedekatan psikologis seseorang dengan suatu partai atau loyalitas

terhadap suatu partai dan kesetiaan seorang pemilih terhadap partai tertentu.

17
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas
(Yogyakarta: Jalasutra, 2005), h. 155-173.
13

Hubungan psikologis antara pemilih dan partai inilah yang menjadi salah satu

kelemahan institusionalisasi partai politik di Indonesia: sebagian besar pemilih

tidak memunyai hubungan emosional yang kuat dengan partai-partai yang ada.

Survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan bahwa

89 persen lebih pemilih di Indonesia tidak memiliki perasaan kedekatan dengan

partai.18

Kondisi ini pula yang menyebabkan pemenang dalam perolehan suara

terbanyak dari pemilihan umum ke pemilihan umum, pemenangnya selalu berbeda-

beda, misalnya, pada Pemilu 1999 pemenangnya PDI Perjuangan, Pemilu 2004

dimenangkan oleh Partai Golkar, Pemilu 2009 yang menang adalah Partai

Demokrat, dan Pemilu 2014 pemenangnya kembali PDIP, tidak menutup

kemungkinan juga terjadi di Pemilu 2019 nanti. Serta, mudahnya partai-partai baru

memperoleh simpatik di masyarakat, seperti PKS, Partai Demokrat, Partai Hanura,

Partai Gerindra, dan Partai Nasdem, tidak menutup kemungkinan partai baru di

Pemilu 2019 juga dapat memperoleh kursi di Senayan.

D. Kondisi Partai Politik dan Lembaga DPR Tidak Dipercaya Publik

Sangat disayangkan di era reformasi ini jumlah parpol boleh bertambah,

tetapi tidak menunjukkan bahwa adanya korelasi kebebasan berpolitik ini dengan

proses penyerapan aspirasi dan kepentingan masyarakat bahkan konstituennya.

Malah kita terjebak pada kebangkitan partycracy, yang diibaratkan seperti buah

busuk yang dipetik dari tanah kering dan hama, akibat syahwat kekuasaan dan

kemiskinan kesadaran dalam pengorganisasian kepartaian.19

Titik awal terjadinya kemerosotan demokrasi adalah sesaat setelah

disetujuinya rumusan kedaulatan rakyat yang ada di tangan rakyat tetapi

18
Dwi Reinjani, “SMRC: Loyalitas Masyarakat Indonesia Terhadap Partai Terendah Di
Dunia” dalam https://kbr.id/nasional/01-2018/smrc__loyalitas_ masyarakat_ indonesia_terhadap_p
artai_terendah_di_dunia/94269.html, diakses 6 Juni 2023.
19
14

dilaksanakan berdasar Undang-Undang Dasar. Maksud dari rumusan hasil

amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa telah ditinggalkannya

rumusan dasar supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Sayangnya, sejak

itu, demokrasi yang semestinya bertumpu pada apa maunya rakyat bergeser

menjadi apa maunya partai politik. Pembentukan lembaga-lembaga negara sangat

ditentukan oleh apa maunya partai melalui fraksi-fraksi di DPR, sebut saja misal,

seleksi untuk anggota Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penentu akhirnya adalah apa maunya

DPR – dalam hal ini partai politik yang ada di dalamnya. Kedaulatan rakyat pun

menjadi kedaulatan partai.

Situasi sekarang ini kita bisa mengatakan bahwa negara sedang berada

dalam masa demokrasi yang defisit (deficit democracy). Defisit demokrasi ini

tumbuh sejak kepercayaan publik terhadap politisi maupun institusi politik

menurun, banyak partai dan wakil rakyat (representative in democracy system)

yang kehilangan hubungan dengan yang diwakili (represent).20

Harapan masyarakat di masa-masa awal runtuhnya Orde Baru, yakni agar

partai politik yang ada mampu membebaskan diri dari kebiri Orde Baru dan

menjadi demokrasi yang mewakili kepentingan konstituen, tampaknya tinggal

angan-angan. Skeptisme masyarakat ini ditemukan dalam jajak pendapat yang

dilakukan oleh Skala Survei Indonesia (SSI) pada 2012 lalu. Survei menunjukkan

bahwa ketidakpuasan masyarakat lebih besar 52,6 persen terhadap kinerja partai

politik selama ini dibandingkan dengan tingkat kepuasan yang lebih sedikit sebesar

30,0 persen. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja partai tentu linear dengan

ketidakpercayaan masyarakat bahwa partai politik memperjuangkan kepentingan

M. Prakoso Aji, “Perkembangan dan Dinamika Partai Politik di Era Reformasi”, h. 12.
20
15

rakyat yaitu 51,4 persen, sedangkan yang mempercayai jumlahnya lebih sedikit

sebanyak 32,3 persen.

Efek dari ketidakpercayaan masyarakat sekaligus ketidakdekatan

masyarakat dengan partai politik, berdampak pula terhadap tidak percayanya

masyarakat kepada lembaga DPR. Hasil Survei SSI menjelaskan realitas bahwa

masyarakat menganggap anggota legislatif tidak mampu dalam melakukan

tugasnya, yaitu sebesar 45,3 persen sedangkan yang menyatakan mampu sebesar

34,0 persen. Ketidakpercayaan masyarakat tentu diikuti ketidakyakinan masyarakat

bahwa anggota legislatif memperjuangkan kepentingan rakyatnya yakni sebesar

52,1 persen, sementara yang menyatakan peduli sebesar 28,5 persen.

Merosotnya citra partai politik itu, tentu akan berakibat buruk terhadap opini

publik yang merupakan kekuatan politik penting dalam demokrasi. Opini publik

yang buruk niscaya akan membuat citra demokrasi juga merosot, bahkan terjun

bebas. Namun kepercayaan publik yang menurun itu, bukan pada demokrasi dalam

tataran konsep, melainkan kepercayaan itu merosot terhadap aktor politik atau

politisi. Aktor politik atau politisi itu, tentu tidak dapat dipisahkan dengan parpol

yang mengusungnya.21

Kemerosotan partai politik di era reformasi juga ditunjukkan oleh hasil

kajian Lili Romli, menunjukkan bahwa institusional parpol masih lemah di pasca

reformasi karena faktor absennya ideologi partai, munculnya kepemimpinan

personal/klientelistik, konflik internal partai, dan temuan baru yaitu pragmatisme

politik.22 Memang berbagai hasil survei telah berkali-kali dirilis dan hasilnya tetap

sama, dan hasil ini semestinya dijadikan tantangan bagi DPR dan partai untuk

memperbaiki citra diri bahwa Lembaga politik dipersepsi publik sebagai hulu

21
Anwar Arifin, Pencitraan dalam Politik (Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif
Komunikasi Politik) (Bandung: Pustaka Indonesia, 2006), h.202-203.
22
Lili Romli, Problematik Institusionalisasi Partai Politik di Era Reformasi, h. 21.
16

semua permasalahan bangsa. Meski demikian, menurut Inggrid van Biezen bahwa,

merosotnya citra partai politik itu, tidak berarti bahwa partai politik itu tidak lagi

relevan dalam kehidupan demokrasi sekarang ini.23

E. Perbandingan Partai Politik Amerika dan Indonesia

Amerika serikat memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam system

pemerintahannya, yaitu system pemerintahan presidensial. Dalam parlemennya

juga tidak berbeda jauh. Tapi ada beberapa hal yang sangat menonjol perbedaannya.

Salah satunya adalah peran partai politik.

Amerika serikat memiliki 2 partai unggulan yang paling bergengsi dan

sengit dalam pemilihan presiden. Partai itu adalah partai republic dan democrat, ada

ciri khas tertentu di masing – masing partai itu. Ciri khas partai republic adalah

menurunkan pajak dan menggalakan operasi militer keluar negeri. Sedangkan

partai democrat ciri khasnya menaikkan pajak dan mengurangi operasi militer

diluar negeri.

Indonesia juga memiliki beberapa partai unggulan yang juga sering menjadi

partai pengusung presiden yang terpilih. Tapi mereka tidak memiliki ciri khas

seperti partai – partai di amerika. Sebagai contoh mereka seringkali bertindak untuk

kepentingan partai, meskipun pada saat partai mereka mendapatkan kekuasaan di

parlemen terkadang mereka justru menelan ludah sendiri dengan kebijakan yang

dikeluarkan oleh partai tersebut.

Contoh ketika partai democrat pengusung presiden susilo bambang

yudhoyono menaikan harga BBM, ada beberapa partai yang memprotes keras

kebijakan tersebut, salah satunya adalah partai PDIP. Namun ketika kini partai

PDIP menang dalam pemilu dengan mengusung joko widodo, mereka justru

menelan ludah sendiri ketika presiden joko widodo menaikkan harga BBM sesuai

23
Anwar Arifin, Pencitraan dalam Politik (Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif
Komunikasi Politik), h. 203.
17

harga minyak dunia. Partai PDIP yang awalnya memprotes keras kebijakan

menaikkan harga BBM di era susilo bambang yudhoyono, kini hanya menerima

dengan pasrah dan berdalih untuk menghindari pernyataan mereka sebelumnya.

Selain itu partai politik di amerika lebih sering menggunakan isu – isu yang

sedang beredar atau dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan isu dari gerakan social

masyarakat amerika, partai politik amerika berusaha memikat hati masyarakatnya

dengan mengangkat isu itu untuk pemilihan presiden selanjutnya. Contoh ketika

seorang anak 14 tahun yang bernama ahmed yang membuat jam modifikasi

ditangkap oleh kepolisian amerika. Banyak LSM dan pihak – pihak lainnya yang

mengecam atas perbuatan kepolisian amerika tersebut. Kesempatan ini digunakan

oleh partai politik democrat dengan tindakan presiden Obama yang langsung

menangani kasus ahmed anak 14 tahun ini.

Cara ini cukup jelas berbeda jika dibandingkan dengan partai politik di

Indonesia dalam mengambil hati masyarakatnya. Mereka justru membentuk koalisi

dalam parlemen untuk memenangkan suara penetapan undang – undang untuk

keselamatan mereka. Mereka menggunakan peraturan sebagai langkah pemaksaan

terhadap masyarakat untuk memilih mereka kembali. Partai politik Indonesia lebih

bersifat egois terhadap masyarakatnya. Mereka dating pada masyarakat jika ada

inginnya saja. Misalnya pada saat pemilihan presiden, pemilihan legislative dan

yang lainnya. Masyarakat baru bisa merasakan manfaat partai politik untuk mereka.

Namun mereka akan pergi meninggalkan masyarakatnya ketika sudah terpilih dan

terpenuhi kepentingannya.

Memang cukup banyak partai politik di Indonesia yang mengangkat isu –

isu permasalahan yang ada di masyarakat. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak

menyelesaikan permasalahan masyarakat yang dahulu mereka janjikan dan lebih


18

memilih untuk melupakannya. Jarangnya sikap konsisten dan komitmen dalam

menyelesaikan masalah dalam masyarakat dari kalangan partai politik.

Apabila setiap partai mengusungkan isu – isu tersendiri di setiap pemilihan,

maka masyarakat akan lebih mudah memilih partai untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada. Seperti amerika contohnya yang memiliki partai republic

dan partai democrat dengan focus isu masing – masing. Kebanyakan dari partai

politik Indonesia tidak menawarkan solusi atas isu permasalahan yang ada. Tapi

justru mencari dengan segala cara agar bisa berkuasa tanpa menyelesaikan tugasnya

sebagai pelayan masyarakat.24

Aryo Teguh, “Perbandingan Partai Politik ( USA - Indonesia)” dalam https://www.acade


24

mia.edu/17568053/Perbandingan_Partai_Politik_USA_Indonesia_, 9 Juli 2023.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasca reformasi belum memperlihatkan kemajuan malah cenderung

mengarah pada defisit demokrasi yang disumbang oleh partai politik yang juga

berdampak terhadap lembaga DPR. Di samping itu, bahwa perkembangan partai

politik sekarang ini kurang responsif terhadap konstituen sebab partai-partai di

Indonesia perlahan tetapi pasti secara drastis mengurangi muatan ideologis mereka

dalam rangka untuk meraih sebanyak mungkin jumlah pemilih. Tampaknya

pembentukan dan pemeliharaan konstituen tak lagi menjadi agenda kerja partai.

Pilihan tersebut malah mengakibatkan berkurangnya ikatan hubungan partai-partai

terhadap pemilih atau konstituennya.

Sehingga, tak ayal menyebabkan dua hal yakni: pertama, dari sisi para

pemilih atau konstituen semakin enggan untuk mengidentifikasikan diri dengan

partai yang sama selama dalam suatu siklus pemilihan, dan terdapat kecenderungan

yang kuat untuk mengubah identifikasi mereka dari pemilihan ke pemilihan,

tentunya menguntungkan partai-partai baru tidak hanya sebagai peserta pemilu

semata tetapi kemungkinan besar dapat memperoleh kursi di DPR meski

diberlakukan aturan ambang batas parlemen, maka hal ini menunjukkan lemahnya

ikatan antara partai dan pengikut. Kedua, celakanya, yang kemudian tumbuh di era

pasca reformasi ini adalah “partai mengambang,” bahkan efektivitas partai politik

cenderung tidak bertanggungjawab dan tidak tanggap terhadap konstituennya, ini

pula yang turut mengkonfirmasikan berbagai penafsiran bahwa institusionalisasi

partai politik di Indonesia pascareformasi adalah masih lemah.

Atas fakta di atas, sehingga yang muncul seperti sekarang ini adalah upaya-

upaya pragmatisme partai politik saja dalam mendulang suara dalam pemilihan

19
20

umum, akibatnya adalah defisit demokrasi terjadi. Defisit demokrasi ini tumbuh

sejak kepercayaan publik terhadap politisi maupun institusi politik menurun,

banyak partai dan wakil rakyat (representative in democracy system) yang

kehilangan hubungan dengan yang diwakili (represent). Oleh karena itu, maka

diperlukan upaya serius membangun kesadaran bersama utamanya para pemimpin

partai pada era reformasi dewasa ini untuk membenahi diri, melakukan reformasi

kepartaian dari dalam dirinya sendiri. Para politisi dan elite partai tidak boleh malah

terkesan berupaya melestarikan problematika struktural partai-partai dan

“menikmati” situasi tidak sehat tersebut demi kelangsungan kekuasaan pribadi

dan/atau kelompoknya semata.

B. Saran

Penyusun sadar bahwa dalam makalah ini kami masih terdapat banyak

kekurangan. Maka dari itu, penyusun menyarankan bahwa untuk menambah

keilmuan mengenai pembahasan ini, sebaiknya para pembaca bisa mencari

beberapa artikel-artikel atau referensi-referensi yang terkait tentang Partai-Partai

Era Reformasi agar para pembaca lebih bisa memahami lagi seluk-beluk tentang

hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aji, M. Prakoso. Perkembangan dan Dinamika Partai Politik di Era Reformasi”


PARAPOLITIKA (Journal of Politics and Democracy Studies), Vol. 1, No.1,
Februari 2020.

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Edisi Revisi). Yogyakarta:


Tiara Wacana Yogya, 1996.

Arifin, Anwar. Pencitraan dalam Politik (Strategi Pemenangan Pemilu dalam


Perspektif Komunikasi Politik). Bandung: Pustaka Indonesia, 2006.

Asshiddiqie, Jimly. Penguatan dan Penataan Partai Politik di Masa Depan. Jurnal
Ketatanegaraan, Vol. 5, November 2017.

Efriza, Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta,2011.

Haris, Syamsuddin. Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Ma’shum, Saifullah, DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR
Periode 2004-2009 (Catatan Sejarah Sang Wakil Rakyat). Jakarta: Kreasi
Cendekia Pustaka, 2012.

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde


Baru. Kencana. Jakarta, 2010.

Miriam, Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia,


2004.

Piliang, Yasraf Amir. Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas.


Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Reinjani, Dwi. SMRC: Loyalitas Masyarakat Indonesia Terhadap Partai Terendah


Di Dunia. dalam https://kbr.id/nasional/01-2018/smrc__loyalitas_
masyarakat_ indonesia_terhadap_p artai_terendah_di_dunia/94269.html,
diakses 6 Juni 2023.

Rohaniah, Yoyoh dan Efriza, Pengantar Ilmu Politik: Kajian Mendasar Ilmu
Politik. Malang: Intrans Publishing, 2015.

Romli, Lili. Problematik Institusionalisasi Partai Politik di Era Reformasi. Jakarta:


LIPI, 2017.

Romli, Lili. Reformasi Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia. Politica,
Vol. 2, No. 2, November 2011.

Salang, Sebastian. Potret Partai Politik di Indonesia: Asesmen terhadap


Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2007.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1999.

21
22

Wibowo, Pramono Anung. Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi: Potret


Komunikasi Politik Legislator-Konstituen. Jakarta: Kompas, 2013.

Anda mungkin juga menyukai