Anda di halaman 1dari 25

SEJARAH PERKEMBANGAN ORIENTALISME

(Kajian Kebudayaan Lokal)

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Kebudayaan
Lokal Prodi Dirasah Islamiyah Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

A. Arsy Ramlan Amal


NIM: 80100222019

PROGRAM STUDI DIRASAH SILAMIYAH


KONSENTRASI SEJARAH PERADABAN ISLAM
PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah senantiasa tercurahkan puja dan puji syukur kehadirat Allah


Swt. Atas karunia dan segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga makalah
ini bisa tersusun. Salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Muhammad saw
yang senantiasa menjadi uswah dalam menjalani kehidupan yang berperadaban.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Kajian
Kebudayaan Lokal. Makalah ini membahas tentang “Sejarah Perkembangan
Orientalisme”. Dalam penulisan makalah ini, sangat mungkin terdapat banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah turut memberikan saran dan kritik dalam proses
penyelesaian makalah ini.

Gowa, 12 Desember 2023


Penulis,

A. Arsy Ramlan Amal


NIM:80100222019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................7
A. Sejarah Perkembangan Orientalisme............................................................7
B. Motif Lahirnya Orientalisme......................................................................10
C. Pemikiran Orientalisme Edward Said........................................................11
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
A. Kesimpulan.................................................................................................13
B. Saran............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagaimana yang dikatakan oleh Edward W.Said1 selalu

membagi dunia ke dalam wilayah-wilayah yang memiliki perbedaan yang

nyata atau khayali antarsatu dengan yang lain. Garis demarkasi yang muncul

antara Timur dan Barat sebenarnya telah tercipta bertahun-tahun, bahkan

berabad-abad lamanya. Tentu saja, tidak sedikit pelayaran yang telah

dilakukan untuk menemukan daerah-daerah baru dan banyak hubungan yang

terjadi melalui perdagangan dan peperangan.

Namun demikian, lebih dari itu, sejak pertengahan abad XVIII, ada dua

unsur pokok dalam hubungan antara Timur dan Barat. Unsur pertama adalah

pengetahuan sistematis yang terus tumbuh di Eropa mengenai dunia Timur,

suatu pengetahuan yang keberadaannya diperkuat dengan munculnya invasi-

invasi kolonial, perhatian-perhatian yang besar terhadap hal-hal yang asing

dan tidak biasa, yang kemudian dieksploitisir oleh sains-sains etnologi,

anatomi perbandingan, filologi, dan sejarah, yang tengah berkembang.

Bahkan, pengetahuan sistematis ini ditambah lagi dengan sejumlah besar

literatur yang dihasilkan oleh para novelis, penyair, penerjemah, dan

penjelajah-penjelajah berbakat.

Unsur kedua yang muncul dalam relasi antara dunia Timur dan Eropa

adalah bahwa Eropa selalu berada dalam “kedudukan yang kuat” (untuk tidak

mengatakan “mendominasi”). Tidak ada kata-kata yang lebih halus untuk

mengungkapkan hal ini. Memang benar bahwa hubungan antara “yang kuat”

dan “yang lemah” bisa saja diselubungi atau bahkan dilunakkan sedemikian

1
Edward W.Said, Orientalism. Ter. Orientalisme, Menggugat Dunia Barat dan
Mendudukan Timur sebagai Subyek (Cet II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2016), h. 58
rupa, seperti ketika Balfour2 mengakui “kebesaran” peradaban-peradaban

Timur.

Hubungan Timur (khususnya Islam) dan Barat merupakan suatu hal

yang tidak pernah lepas dari kajian orientalisme. Dan pada dasarnya dapat

dikatakan bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami

Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang

tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua.3

Orientalisme sebagai gambaran Hegemoni Barat terhadap Timur

merupakan permasalahan yang sudah cukup lama. Orientalisme telah

berkembang sedemikian rupa dan telah mendapat perhatian dan juga kajian

yang amat serius dalam studi-studi keagamaan di kalangan perguruan tinggi

Barat. Pada dasarnya, kajian orientalisme melibatkan orang-orang Barat yang

mayoritas non-Muslim dengan menempatkan Timur, terutama Islam dan

tempat lahirnya Islam, yakni Arab, sebagai obyek kajiannya. Meskipun

demikian untuk mengkaji orientalisme bukanlah hal yang mudah, oleh karena

itu penulis mencoba memaparkannya dalam sebuah makalah sederhana yang

berjudul “Sejarah Perkembangan Orientalisme”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka dirumusan masalah dalam makalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah perkembangan orientalisme?

2. Bagaimana motif-motif lahirnya orientalisme?

3. Bagaimana Pemikiran Orientalisme Edward Said?

2
Balfour adalah Arthur James Balfour Anggota Parlemen Majelis Rendah Inggris yang
Konservatif.
3
H. Muhammad Bahar Akkase Teng, Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif
Sejarah (Vol 4 No 1: Makassar: Jurnal Ilmu Budaya 2016), h. 48
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka

tujuan dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan orientalisme?

2. Untuk mengetahui motif-motif lahirnya orientalisme?

3. Untuk mengetahui pemikiran orientalisme edward said?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Orientalisme

1. Pengertian Orientalisme

Orientalisme dalam Kamus Ilmiah popular berasal dari kata orien

berarti timur; kemudian oriental yang berarti adat-istiadat atau ciri atau

tabiat ketimuran (Asia). Selanjutnya, Orientalis yang berarti orang Barat

yang mempelajari timur. Adapun istilah Orientalisme adalah ilmu

pengetahuan ketimuran atau tentang (adat-istiadat atau sastra atau bahasa

atau kebudayaan dan sebagainya) dunia Timur (Asia): sikap membanggakan

akan segala yang dimiliki oleh dunia Timur (oleh orang Timur Asia sendiri);

proses penyerapan adat-istiadat atau kebudayaan timur oleh orang Barat. 4

Menurut sebagian ahli Orientalisme berasal dari kata latin “oriens”

yang berarti the rising of the sun (terbit matahari), the castern part of the

world (belahan dunia timur): the sky whence comes the sun (langit asal

datangnya matahari): the cast (timur). Kata oriens kemudian diserap ke

dalam Bahasa Inggris melalui Bahasa Perancis dengan mengalami sedikit

perubahan menjadi kata orient yang berarti cast (timur). Kata orient ini

dilawankan dengan kata occidentl-occidental yang berarti west (barat).

Barat di sini mengandung arti Dunia Barat (Eropa). Dengan demikian,

secara bahasa, orien atau oriental merujuk pada daerah selain Eropa (secara

geografi dan kultural). 5

Jika dicermati pemaparan Edward W. Said dalam bukunya

Orientalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur


4
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer (Cet. I; Surabaya: Gita Media Press, 2006) h.
349.
5
Ahmad Bayuni Wahib, Orientalisme Dalam Hukum Islam, Kajian Hukum Islam Dalam
Tradisi Barat, (Cet I; Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2018), h. 1.
Sebagai Subyek, maka orientalisme mengandung arti yaitu keahlian

mengenal wilayah timur, kemampuan metodologi dalam mempelajari

masalah ketimuran dan memahami sikap ideologis terhadap masalah

ketimuran khususnya terhadap dunia Islam. Penyebab langsung munculnya

orientalisme atau ahli ketimuran adalah hadirnya ilmuwan Barat yang

mengkaji aspek-aspke ketimuran, seperti: sastra, adat-istiadat, sejarah,

politik, ekonomi, filologi, lingkungan serta agama yang berkembang di

Timur termasuk seluk-beluk Islam. Dengan kata lain Orientalisme

merupakan suatu aliran penafsiran yang menjadikan Timur dan peradaban-

peradabannya, orang-orangnya, dan lokalitas-lokalitasnya sebagai objek

interpretasi.

Dari segi keilmuan, orientalisme adalah sebuah istilah akademik

yang mempunyai sejarah cukup panjang. Sebagai sebuah disiplin akademik,

Orientalisme telah banyak berkontribusi terhadap perkembangan

pengetahuan (sosial dan humaniora) seperti sejarah, budaya, sastra,

geografi, dan social dalam kaitannya dengan dunia Timur.6

Pada intinya, Orientalisme merupakan suatu kajian yang dilakukan

oleh para ilmuan Barat yang menitikberatkan pada ambisi geografis pada

dunia Timur dan secara tradisional mereka menyibukkan diri dengan

mempelajari hal-hal yang berbau dunia ketimuran.

2. Sejarah Perkembangan Orientalisme

Dari sisi sejarah perkembangannya Orientalisme, Abad XVIII

dianggap sebagai fase awal munculnya Orientalisme sebagai mana yang

dikatakan oleh E.W. Said bahwa pada abad tersebut Renan menemukan usia

bahasa Timur (Sanskerta) yang ternyata jauh lebih tua daripada usia bahasa

6
Ahmad Bayuni Wahib, Orientalisme Dalam Hukum Islam, Kajian Hukum Islam Dalam
Tradisi Barat, h. 8.
Ibrani, berbondong-bondong orang-orang Eropa pada saat itu

menyampaikan penemuan ini kepada cendekiawan-cendekiawan lain dan

melestarikan penemuan tersebut dalam bentuk ilmu baru, yakni filologi

Indo-Eropa. Dari sinilah muncul keinginan yang kuat dari orang Eropa

untuk mulai meninjau bahasa-bahasa Timur, dan pada waktu yang

bersamaan seperti yang ditunjukkan oleh Foucault dalam The Order of

Things lahir pula sebagai kajian ilmiah yang juga berkaitan.7

Abad ke-19 dianggap sebagai fase keemasan tradisi Orientalisme

(golden age of Orientalism). Seiring dengan semakin kuatnya dominasi

Barat terhadap Timur dalam bidang politik (puncang periode kolonialisme

Barat terhadap Timur), tradisi Orientalisme mengalami puncak kejayaan,

perhatian Barat terhadap dunia Timur semakin intensif, puncak tradisi

Orientalisme ini ditandai semakin terorganisirnya tradisi Orientalisme

dengan diadakannya Kongres Orientalis pertama di Paris pada tahun 1873.

Kongres ini mengukuhkan tradisi Orientalisme yang dilakukan oleh para

sarjana Barat yang mempunyai perhatian terhadap dunia Timur. Barat

semakin intensif melakukan kajian terhadap dunia Timur. Pada era ini,

produksi pengetahuan di Barat mengenai dunia Timur berkembang pesat.8

Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi Muslim

maupun bagi orientalis sendiri. Sebab, pada fase ini Barat telah benar-benar

menguasai Negara-negara Islam secara politik, militer, kultural, dan

ekonomi. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-

negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Oleh

sebab itu pada waktu yang hamper bersamaan lembaga-lembaga studi


7
Edward W.Said, Orientalism. Ter. Orientalisme, Menggugat Dunia Barat dan
Mendudukan Timur sebagai Subyek, h. 33
8
Ahmad Bayuni Wahib, Orientalisme Dalam Hukum Islam, Kajian Hukum Islam Dalam
Tradisi Barat, h. 9.
keislaman dan ketimuran didirikan di mana-mana. Diantaranya di Paris,

Inggris, dan Amerika. Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman maka

framework kajian orientalis berubah dari fase caci maki menjadi serangan

sistematis dan ilmiah. Tapi sistematis dan ilmiah tidak berarti tanpa

kesalahan dan bias. Framework kajian orientalis tidak lepas dari warna dan

latar belakang agama, politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat.

Bagi yang berfikir kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati

bahwa kajian para orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai

orang Barat. Kajian Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja

yang dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperalis

dan etnosentris.9

Selanjutnya perkembangan Orientalisme mengalami titik balik pada

akhir abad XIX dan awal abad XX telah mengalami proses pereduksian

besar-besaran. Orientalisme pada saat itu seolah-olah kehilangan kekuatan

untuk menyajikan kekuatan Eropa yang superior terhadap Timur yang

inferior. Hal ini tentu disebabkan adanya perubahan-perubahan Timur yang

drastic menuju arah kemajuan. Perubahan-perubahan inilah yang membuat

Eropa merasa getir menghadapi Timur. Tidak hanya itu, ketakutan Eropa ini

juga diperparah lagi oleh tantangan–tantangan politis yang mucnul selama

dua Perang Dunia. Eropa menjadi terancam eksistensinya karena Timur

sudah mulai menunjukkan ancaman-ancaman yang tak mudah mereka

atasi.10

9
Hamid Fahmi Zarkasy, Tradisi Orientalisme dan Framework Studi Al-Qur-an, (Vol 7
No 1: Gontor: Jurnal Peradaban Islam Tsaqfqg 2011), h.7.
10
Edward W.Said, Orientalism. Ter. Orientalisme, Menggugat Dunia Barat dan
Mendudukan Timur sebagai Subyek, h. 391.
B. Motif Lahirnya Orientalisme

1. Agama

Agama atau sentiment agama ini dimulai oleh para rahib gereja

kemudian berlanjut para pendeta kemudian menjadi kelompok besar

orientalis dimana mereka hanya memikirkan bagaimana caranya menyerang

Islam, merusak eksistensi agama Islam dan memutarbalikkan fakta

kebenaran ajaran Islam.11 Dengan cara demikian, mereka menyampaikan

kepada public bahwa Islam hanyalah agama kebudayaan arab yang tidak

layak untuk dianut dan diikuti.

Semenjak menyaksikan dan merasakan hasil dari peristiwa Futuhat

Islamiyyah, Perang Salib, dan penaklukan-penaklukan pada masa

Ustmaniah di Eropa, disinyalir sangat mempengaruhi kondisi jiwa Bangsa

Barat, berupa rasa takut (syndrome) terhadap kekuatan Islam sampai mereka

membenci penganutnya. Sehingga dari kondisi psikologis seperti ini timbul

keinginan dan usaha dalam diri mereka untuk melakukan studi tentang

Islam. Ketika berdiri lembaga-lembaga misionaris dengan tujuan untuk

memurtadkan kaum Muslim dari agamanya kepada agama Kristen atau

atheis, cara yang paling utama digunakan mereka adalah dengan

orientalisme, yakni melalui dua tahap :

a. Menjauhkan orang-orang Islam dari agamanya sendiri.

b. Berusaha mengajak masuk ke agama Kristen.

Doktrin-doktrin yang mereka lakukan, diantaranya :

1) Memalingkan orang-orang Islam dari agamanya dan mengiring

mereka untuk benci kepada keyakinannya. Selain itu,

memutarbalikkan kebenaran dan mengesankan adanya keraguan

11
Muhammad Bahar, “Orientalis dan Orientalisme Dalam Persepektif Sejarah” dalam
Jurnal ilmu budaya, Vol. 4, 2016.
dalam pokok-pokok ajaran Islam dengan memberikan cela terhadap

ajaran-ajaran Islam.

2) Menghiasi ajaran dan hukum-hukum agama Kristen , sehingga

terkesan menarik dan indah.

3) Mengundang orang-orang Islam untuk melihat peradaban modern

yang materialistik dengan segala sesuatunya yang menggiurkan hawa

nafsu manusia.12

2. Kolonialisme

Setelah banyak mengalami kekalahan dalam peperangan Salib,

bangsa Eropa tidak berputus asa untuk kembali berusaha menjajah negara-

negara Arab dan seluruh negara Islam dengan bergai cara. Salah satunya,

mereka mempelajari negara-negara Islam baik dari segi ideology, adat-

istiadat, perilaku, kekayaan alam, bahasa dan lain-lain. Orientalisme dan

kolonialisme mempunyai hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita

bangsa Eropa. Terlebih setelah kekalahan kaum salibis, tujuan gerakan

orientalisme, melebur dengan tujuan perang salib, seolah-olah gerakan

orientalisme sebagai pengganti strategi kaum salibis, dari perang fisik

berganti menjadi perang pemikiran. Ini termaktub dalam wasiat Louis. Raja

Perancis yang juga merupakan pemimpin pasukan salib ke 8, yang

mengalami kegagalan dan kekalahan sehingga menjadi tawanan di sebuah

keluarga Mesir tepatnya di kota Mansurah sampai akhirnya ditebus dengan

jumlah yang besar.

Setelah Louis kembali ke Perancis, ia berpikir dan yakin bahwa

peperangan bukanlah strategi yang tepat untuk bisa meraih kemenangan dan

mengalahkan umat Islam, karena umat Islam amat memegang teguh

12
Hasan Abdul Rauf, Orientalisme dan Misionarisme (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2008), h. 3.
agamanya dan rela berjihad, mengorbankan jiwa dan raganya demi membela

agama Islam. Harus dengan strategi lain ! Yaitu mengalihkan pemikiran dan

perhatian umat Islam terhadap agamanya melalui jalan perang pemikiran.

Oleh karena itu, cendekiawan-cendekiawan Eropa berbondong-bondong

mempelajari Islam untuk dijadikan senjata dalam memerangi Islam.

Perubahan strategi dari perang fisik kepada perang pemikiran,

menurut mereka ini meruapakan senjata yang ampuh, efektif, dan efisien

sebagai kekuatan baru dalam upaya melemahkan umat Islam dari aspek

rohani dan jasmani dalam diri kaum muslim.13

3. Ekonomi

Di antara motif-motif yang mendorong kuat orang-orang Barat

melakukan gerakan orientalisme adalah keinginannya menguasai pasar-

pasar perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, kekayaan alam dan

mengeskpor sumber-sumber alam migas maupun non migas dengan harga

semurah mungkin.

4. Politik

Setelah negara-negara Islam terlepas dari penjajahan yang zalim,

kekuatan dan taktik kolonialisme terus berjalan, antara lain dengan

menempatkan orang-orang pilihan yang berpengalaman dan luas

pengetahuannya mengenai dunia Islam di kedutaan-kedutaan dan konsulat-

konsulat mereka untuk memenuhi kepentingan politik kolonialismenya di

negara-negara Islam.14

5. Keilmuan

Sejarah telah mencatat keberhasilan umat Islam dalam

pengembangan Sains dan Teknologi, ketika orang-orang Barat belum


13
Hasan Abdul Rauf, Orientalisme dan Misionarisme, h.14.
14
Hasan Abdul Rauf, Orientalisme dan Misionarisme, h.15
mempunyai apa-apa.15 Mereka menganggap bahwa agama Islam adalah

sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dilupakan begitu saja, karena itu

mereka melakukan penyelidikan dari segala aspeknya, kemudian menulis

dan menerbitkan buku-buku. 16

Literature Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban yang

dilakukan para orientalisme ini minim sekali. Sehingga tidak menutup

kemungkinan, faktor inilah yang membuka lebar-lebar ruang kekeliruan,

serta kesalahan dalam memahami Islam, terkecuali orangorang yang

diberikan petunjuk dan dibukakan pintu hatinya oleh Allah untuk tunduk

menerima kebenaran Islam.

Selain yang tersebut di atas, terdapat faktor-faktor lain lahirnya

gerakan orientalisme ini, yaitu bagi orang-orang yang mencari keuntungan

materi demi kepuasan hasrat pribadi. Ada yang mejadikan gerakan oriental

ini sebagai pemenuhan hobi berpergian dan mempelajari budaya dunia luar.

Atau sekelompok orang yang memanfaatkannya untuk menyari rejeki,

ketika kebutuhan hidup dirasakan menghimpit mereka. Atau dijadikan

sebagai tempat pelarian ilmu yang harus diembannya. Dengan demikian,

motif-motif pribadi ini hanyalah segelintir yang melakukannya, terutama

bagi orientalis Yahudi, tetap saja motif yang dominan bagi mereka

melakukan gerakan orientalisme adalah agama. Mereka berupaya

bagaimana upaya melemahkan Islam dan menciptakan keraguan di kalangan

umat Islam atas ajaran agamanya sendiri. Secara politik, ini ditujukan untuk

membantu kelangsungan kehidupan zionisme baik secara pemikiran

15
Muhammad Bahar, “Orientalis dan Orientalisme Dalam Persepektif Sejarah” dalam
Jurnal ilmu budaya, Vol. 4, 2016, h.25.
16
A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi tentang Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.
7.
maupun secara kenegaraan.17 Orientalis telah melakukan penyalahartian

Islam dan pemutarbalikan fakta. Islam digambarkan tidak hanya sebagai

aliran murtad (dari Kristen) tetapi juga sebagai agama sesat yang cenderung

ke arah pemujaan berhala.18

C. Pemikiran Orientalisme Edward Said

Edward W. Said lahir (1 November 1935) di Jerusalaem Palestina. Ia

putra dari pasangan Mariam Said dan Maire Jaanus seorang intelektual yang

diaspora (terasing) seorang cendekiawan Non-Muslim Arab, ahli sastra

komparatif, kritikus opera, aktifis politik, menyampaikan informasi seputar

dunia Timur khususnya Islam kepada publik, melalui karya-karya cendekiawan

kelahiran palestina ini, mempunyai pengaruh yang besar dalam membongkar

cara pandang barat terhadap timur khususnya Islam.

Said hidup sebagai seorang usiran, yang hidup pada batas-batas

identitas antar budaya. Said memandang posisinya sebagai posisi yang

menguntungkan , di mana ia bisa berbicara dan menulis, berusaha mengungkap

kontribusi kebudayaan terhadap penciptaan seni dan sejarah. Edward W. Said,

seorang intelektual asal Palestina, menberikan pengertian orientalisme sebagai

sebuah “perpustakaan” atau “arsip informasi” yang dikuasai bersama, di mana

yang menjadi tali pengikat setiap arsip itu adalah sekelompok ide-ide dan

seperangkat nilai menyatu yang dalam berbagai cara terbukti efektif

menjelaskan perilaku orang-orang Timur, mensuplai orang-orang Timur

dengan suatu mentalitas, geneologi dan iklim tertentu. Dan terpenting ide-ide

tersebut memungkinkan orang-orang Barat untuk berurusan dan melihat orang-

17
A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi tentang Islam, h.7.
18
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalis, Modernisme hingga
Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.196-197.
orang Timur sebagai suatu fenomena yang memiliki karakteristik yang

teratur.19

Dengan kata lain, tesis utama Edward W. Said dalam bukunya

Orientalism, bahwa telaah atau kajian kaum orientalis Barat atas dunia Arab

dan Islam sebetulnya bukanlah pekerjaan yang hanya dalam rangka untuk

mengetahui sisi terluar dari peradaban dunia Timur, akan tetapi ada maksud

terselubung yang dimiliki oleh para orientalis dalam mengkaji dunia Timur,

utamanya dunia Islam. Oleh karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis",

bukan ilmu murni. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk

"menguasai" bangsa-bangsa di luar Barat. Pendapat para orientalis seolah-olah

sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai pemerintah

kolonial-mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain. Tetapi,

seperti kita tahu, telaah Edward W.

Said sendiri dalam buku itu juga bukan "telaah murni", sebab ada motif-

motif yang berasal dari pengalaman hidup pribadinya sebagai eksil Palestina di

negeri Barat, seperti ditunjukkan dalam pengakuannya tersebut. Telaah Edward

W. Said, seperti dikritik oleh Bernard Lewis, juga mengandung biasnya sendiri,

bahkan mengandung obsesi yang berlebihan. Itulah sebabnya, Said agak

mengabaikan karya-karya orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya

mencecar karya-karya orientalis di Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis

mengkritik, bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri

telah "salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin yang

disebut Orientalisme itu. Setelah kritik Said tersebut, istilah Orientalisme

menjadi semacam olok-olok. Orienalisme identik dengan kegiatan intelektual

yang membantu kaum kolonialis Barat untuk menjajah tanah-tanah di dunia

Timur. Orientalisme telah menjadi, dalam kata Lewis, "the perversion of


19
Edward W. Said, Orientalisme, “terj.”, Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1994), h. 53.
language", kelainan bahasa (kelainan dalam pengertian yang kita pahami dalam

kata "kelainan seksual"). Dalam penggunaan populer di kalangan umat Islam,

jika seseorang disebut sebagai "orientalis", habislah riwayat intelektualnya. .

Umumnya para pengkritik Orientalisme di dunia Arab mempunyai

kecenderungan pemikiran keagamaan yang konservatif. Para pengkritik itu

juga mudah menuduh para pemikir liberal di dunia Islam sebagai antek

orientalisme.20

1. Tentang Dunia Timur

Dalam konteks pidato Arthur James Balfour yang dibahas dalam

teks, "Dunia Timur" merujuk pada wilayah-wilayah di Timur, khususnya

Mesir, yang menjadi pusat perhatian pembicaraan terkait pendudukan

Inggris. Penggunaan istilah "Dunia Timur" mencerminkan pandangan

stereotipikal dan eksotisasi yang umumnya melekat dalam pandangan Barat

terhadap wilayah tersebut.21

Balfour membahas isu-isu terkait pendudukan Inggris di Mesir pada

tahun 1910, yang melibatkan aspek politik, militer, dan ekonomi. Pidatonya

mencerminkan pandangan superioritas Barat terhadap "orang-orang Timur,"

menciptakan refleksi tentang bagaimana pengetahuan dan kekuasaan

digunakan untuk membenarkan tindakan imperialis.

Dalam perspektif Orientalisme Edward Said, pemikiran Barat

tentang "Dunia Timur" sering kali terdistorsi dan didasarkan pada stereotip,

mitos eksotis, dan orientalisasi yang menempatkan Barat sebagai subyek

yang lebih unggul. Konsep ini menjadi fokus kritik Said terhadap

representasi Barat terhadap Timur dalam karya "Orientalisme." Edward Said


20
Ulil Absar-Abdallah, “Edward Said dan Masalah Orientalisme”, Kompas (05 Oktober
2003), h. 5.
21
Edward Said, Orientalism terj. Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), h.
45.
mengkritik cara pemikiran dan representasi Barat tentang "Timur" atau

dunia Asia dan Afrika Utara. Menurutnya, pemikiran Barat cenderung

mendistorsi dan menggeneralisasi dunia Timur sebagai sesuatu yang eksotis,

statis, dan inferior.22 Ini menciptakan pandangan bias bahwa Barat adalah

subyek yang lebih unggul dibandingkan Timur yang menjadi obyek kajian

dan penaklukan.

Said menyebut fenomena ini sebagai "Orientalisme". Ia melihat

Orientalisme sebagai bentuk diskursus yang terkait erat dengan

kolonialisme dan kepentingan politik Barat untuk mendominasi negara-

negara Timur. Diskursus ini memiliki elemen stereotip, mitos, fantasi

romantis, dan "pengetahuan" palsu tentang Timur. Menurutnya, hal ini

memudahkan Barat untuk mengontrol dan mengeksploitasi negara-negara

Timur secara moral dan intelektual.

Said mengkritik cara ilmuwan, akademisi, dan seniman Barat dalam

merepresentasikan budaya Timur. Mereka cenderung memandang secara

berbeda atas peradaban non-Eropa, bahkan mempromosikan stereotip

negatif tentang kemunduran spiritual, kemalasan, despotisme, dan fanatisme

Timur. Padahal Timur memiliki sejarah dan peradaban yang kaya dan

kompleks. Namun, wacana Orientalisme telah "memutarbalikkan" realitas

ini.

2. Hegemoni Barat terhadap dunia Timur

Dalam buku "Orientalisme," Edward Said membahas hegemoni

Barat atas Dunia Timur. Orientalisme mencakup penguasaan politik dan

rekonstruksi naratif Barat terhadap Timur. Konsep Timur dan Barat

diciptakan oleh cendekiawan Eropa, menciptakan perbedaan khayali. Istilah

Timur Jauh dan Timur Dekat mencerminkan Geografi Imaginatif Eropa.


22
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), h. 49-73.
Hegemoni ini mencakup penguasaan secara politik, intelektual, dan

budaya oleh Barat terhadap bangsa-bangsa Timur. Menurutnya, wacana

Orientalisme yang diciptakan Barat berfungsi untuk membenarkan dominasi

kolonial dan imperialisme terhadap negara-negara di Asia dan Afrika

Utara.23 Orientalisme memotret Timur Tengah sebagai fokus utama, terkait

dengan Islam dan kecemasan Kristen. Pemisahan Timur dan Barat

menciptakan superioritas kulit putih dan pandangan negatif. Tradisi

akademis orientalisme memengaruhi minat wisatawan, perusahaan dagang,

dan pemerintah.

Orientalisme mengacu pada cara pandang Barat terhadap dunia

Timur yang sering kali dipengaruhi oleh stereotip, prasangka, dan

representasi yang dibentuk oleh kepentingan politik dan kebudayaan Barat.

Pemikiran ini memperkuat ide bahwa Barat dianggap sebagai pusat

peradaban yang superior sementara Timur dianggap sebagai 'yang lain', di

luar lingkaran peradaban yang dominan.

Representasi Timur yang dibuat oleh Barat seringkali terdistorsi dan

tidak mewakili keberagaman, kompleksitas, dan kekayaan budaya yang

sebenarnya. Hal ini telah memengaruhi persepsi dan hubungan antara kedua

wilayah ini, seringkali menyebabkan ketidaksetaraan dan diskriminasi.

Pemikiran ini menunjukkan pentingnya untuk memahami bahwa

pandangan-pandangan yang dibentuk secara historis dan kultural dapat

memengaruhi cara kita memahami dunia. Menyadari konstruksi semacam

itu membuka ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif dan menghargai

keragaman budaya, bukan sekadar menerima representasi yang telah

dibentuk secara stereotip. Ini juga menekankan pentingnya dialog,

pemahaman saling, dan penolakan terhadap generalisasi yang merugikan.


23
Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), h. 95.
Pemisahan antara Orient dan Occident menciptakan dualitas dan

stereotip negatif terhadap orang Timur. Said membedakan orientalisme laten

dan nyata, menyoroti pemahaman tersembunyi yang membentuk persepsi.

Karya ini relevan pasca-9/11, menunjukkan pengaruh orientalisme dalam

masyarakat kontemporer.

Dengan demikian, "Orientalisme" menggambarkan cara hegemoni

Barat terbentuk melalui representasi dan konstruksi pengetahuan,

memengaruhi hubungan antara Barat dan Timur.

3. Kritik Poskolonial Untuk Islam

Pemikiran Edward Said dalam bukunya "Orientalisme" merupakan

kritik poskolonial terhadap hegemoni Barat atas Dunia Timur. Said sendiri

merupakan seorang intelektual Palestina-Amerika yang memiliki latar

belakang pengalaman kolonialisme di Timur Tengah. 24 Said, berasal dari

latar belakang Palestina dan Mesir, menghadapi kolonialisme, yang

memengaruhi perspektifnya. Orientalisme, sebagai karya yang memicu

wacana poskolonial, mengkritik tindakan kolonial Barat terhadap Timur.

Said meragukan kejujuran orientalis Barat dan menuduh mereka tidak

mampu melepaskan diri dari prasangka buruk terhadap Islam.

Poskolonialisme muncul sebagai bentuk kritik terhadap dampak neo-

kolonialisme dan hubungan hegemonis kekuasaan. Pemahaman poskolonial

tidak hanya terjadi setelah penjajahan atau dekolonisasi, tetapi ketika terjadi

dominasi oleh yang kuat terhadap yang lemah.

Said menyoroti konsep wacana dalam menata studi kolonialisme.

Orientalisme, sebagai suatu pemahaman yang unik tentang imperialisme dan

24
Maira, Sunaina. “Edward Said, Palestine, and the Politics of Academic Freedom.” Arab
Studies Journal Vol. 13, No. 14, 2005, h. 55.
kolonialisme, membantu mempertahankan dan meluaskan hegemoni Eropa

atas negeri-negeri lain.

Pemikiran Edward Said dalam menyoroti prasangka dan distorsi

terhadap peradaban Islam dan umat Muslim oleh orientalis Barat sangatlah

relevan. Orientalisme telah menciptakan representasi yang terdistorsi

tentang peradaban Islam, seringkali dipengaruhi oleh stereotip negatif yang

memengaruhi cara Barat dalam memahami dan merepresentasikan dunia

Muslim.

Said menekankan bahwa pandangan tersebut tidak hanya tidak adil,

tetapi juga menyederhanakan dan meremehkan kompleksitas sejarah serta

kontribusi intelektual yang signifikan dari peradaban Islam. Peradaban

Islam memiliki warisan yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan, seni,

filsafat, dan peradaban yang membentuk bagian penting dari sejarah

manusia.

Orientalisme juga berkontribusi pada pemikiran bahwa umat Muslim


25
dianggap 'lain' dan diidentifikasi sebagai 'lawan' budaya atau agama.

Pandangan ini telah memengaruhi politik, sosial, dan hubungan

antarbudaya, seringkali membentuk stereotip yang merugikan dan

membatasi pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman dan

kompleksitas dalam dunia Muslim.

Said menyerukan untuk melihat dengan lebih kritis representasi yang

dibuat oleh orientalis Barat dan untuk memahami bahwa pandangan tersebut

tidak mewakili keseluruhan realitas atau kebenaran yang sebenarnya. Ini

menegaskan pentingnya mendekonstruksi stereotip dan mempromosikan

25
Young, Robert J.C. Postcolonialism: An Historical Introduction, (Blackwell Publishing,
2001), h. 13.
dialog serta pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang berbagai

budaya dan peradaban.

Edward Said telah meletakkan fondasi bagi perkembangan wacana

kajian poskolonial. Ia mengeksplorasi secara kritis dampak imperialisme

dan kolonialisme Barat terhadap dunia Timur, khususnya dunia Islam.

Kritik pedasnya terhadap para orientalis Barat telah membuka jalan bagi

kajian identitas yang bebas dari pandangan Eropasentris. 26 Menurut Said,

pandangan para orientalis dan imperialis Barat cenderung bersifat esensialis,

mengeneralisasi, dan merendahkan identitas bangsa-bangsa Timur. Mereka

gagal memahami kompleksitas sejarah, politik, dan budaya Timur dengan

cara pandang yang tidak berpihak. Oleh karena itu, karya Said mendorong

lahirnya kesadaran baru untuk memahami identitas dan pengalaman

pascakolonial secara lebih mendalam.

Pemikiran Said ini kemudian dilanjutkan oleh cendekiawan

poskolonial lain seperti Homi Bhabha dan Gayatri Spivak. Mereka semakin

mengeksplorasi pembentukan identitas hibrida pascakolonial dan resistensi

bangsa-bangsa bekas jajahan terhadap narasi imperialis Barat. Dengan

demikian, warisan intelektual Edward Said amat besar dalam membentuk

wacana poskolonial kontemporer.

Dengan demikian, pemikiran Said menciptakan wacana poskolonial

yang mengeksplorasi dampak tindakan kolonial Barat, khususnya terhadap

dunia Islam. Kritiknya terhadap orientalis Barat membuka jalan bagi studi

lebih lanjut dalam menyadari identitas yang tidak terkontaminasi oleh

pandangan Eropasentris dan universalis.

26
Said, Edward W, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1979), h. 49.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) yang bernama
orientalisme muncul pada abad ke 18. Orientalisme yang mengkaji tradisi
ketimuran dan keislaman di dunia Barat telah berumur berabad-abad, karena
itu maka semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun, karena
subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat yang mayoritas beragama
Kristen yang obyek kajiannya ada di Timur yang mayoritas beragama Islam,
maka bias ideology, kultural dan religious tidak dapat dihindari.

Framework kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang
agama, politik, worlview dan nilai-nilai peradaban Barat. Bagi yang berfikir
kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati bahwa kajian para
orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai orang Barat. Kajian
Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh
orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperialis, dan etnosentris.

Pemikiran Edward Said dalam "Orientalisme" menyoroti pentingnya


kritik terhadap hegemoni Barat terhadap dunia Timur, khususnya dunia Islam.
Dia mengeksplorasi bagaimana orientalisme—pengetahuan dan representasi
Barat tentang Timur—telah menciptakan stereotip, distorsi, dan pandangan
superior Barat terhadap budaya, sejarah, dan identitas Timur. Said, sebagai
seorang intelektual Palestina-Amerika dengan latar belakang pengalaman
kolonialisme di Timur Tengah, meneliti bagaimana orientalisme bukan
sekadar studi ilmiah, tetapi memiliki motif politik dan kolonial yang kuat. Dia
mengungkap bagaimana orientalisme menciptakan pandangan yang terdistorsi
tentang peradaban Islam, memengaruhi cara Barat dalam memahami dan
merepresentasikan dunia Muslim.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu besar harapan dari penulis
untuk diberikan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini
di sama yang akan datang agar lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rauf, Hasan. Orientalisme dan Misionarisme. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2008.

Akkase Teng, H. Muhammad Bahar. "Orientalis dan Orientalisme dalam


Perspektif Sejarah." Jurnal Ilmu Budaya Vol. 4, 2016.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalis, Modernisme


hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.

Bayuni Wahib, Ahmad. Orientalisme Dalam Hukum Islam, Kajian Hukum Islam
Dalam Tradisi Barat. Cet I. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2018.

Maira, Sunaina. "Edward Said, Palestine, and the Politics of Academic Freedom."
Arab Studies Journal Vol. 13, No. 14, 2005.

Prima Pena, Tim. Kamus Ilmiah Populer. Cet. I. Surabaya: Gita Media Press,
2006.

Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979.

Said, Edward W. Orientalisme, Menggugat Dunia Barat dan Mendudukan Timur


sebagai Subyek. Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, 1994.

Umar, A. Muin. Orientalisme dan Studi tentang Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1978.

Young, Robert J.C. Postcolonialism: An Historical Introduction. Blackwell


Publishing, 2001.

Anda mungkin juga menyukai