Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH

“AKAD DALAM JUAL BELI”

Disusun Oleh:

DINDA GUSTIANI PUTRI 2130203018

FANNI FEBRIANI 2130203025

Dosen Pengampu:

YUSTILOVIANI, S. Ag. M.Ag

FADLI, S.E.I, M.Sy

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SIYASAH

UNIVERSITAS NEGERI MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

BP.2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya yang telah
memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas kelompok ini. Dan
shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan penerapan tentang akad jual beli.

Makalah ini berjudul “AKAD DALAM JUAL BELI” yang ditulis penulis sebagai
tugas mata kuliah Fiqih Muamalah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa
itu bagi hasil.

Serta Tiada Gading Yang Tak Retak, begitupun dengan makalah ini. Masih ada
beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan
akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri
kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Batusangkar, 6 september 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Murabahah..............................................................................................................3
B. Salam......................................................................................................................5
C. Istishna....................................................................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................12
B. Saran.....................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara sukarela diantara kedua belah pihak, dimana pihak yang satu menerima benda-benda
dan pihak lain menerima sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
secara syara’ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi
persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitanya dengan jual beli, sehingga bila
syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.

Jual beli merupakan akad yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam
setiap pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini.2 Dari akad jual beli ini masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari seperti kebutuhan pokok (primer), kebutuhan tambahan (sekunder) dan kebutuhan
tersier.Kehidupan bermuamalah memberikan gambaran mengenai kebijakan perekonomian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian murabahah?
2. Apa dasar hukum dan fatwa DSN-MUI murabahah?
3. Apa syarat-syarat dan ketentuan umum murabahah?
4. Apa aplikasi murabahah di Lembaga Keuangan Syari’ah?
5. Apa pengertian, dasar hukum dan fatwa DSN-MUI salam?
6. Apa rukun syarat dan sifat akad salam?
7. Apa perbedaan salam dengan jual beli (biasa)?
8. Apa aplikasi salam di Lembaga Keuangan Syari’ah?
9. Apa pengertian, dasar hukum dan fatwa DSN-MUI istishna?
10. Apa rukun dan syarat istishna?
11. Apa perbedaan istishna dengan salam. Aplikasi istishna di Lembaga Keuangan
Syari’ah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian murabahah.
2. Untuk mengetaui dasar hukum dan fatwa DSN-MUI murabahah.
3. Untuk mengetahuisyarat-syarat dan ketentuan umum murabahah.
4. Untuk mengetahui aplikasi murabahah di Lembaga Keuangan Syari’ah.
5. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum dan fatwa DSN-MUI salam.
6. Untuk mengetahui rukun syarat dan sifat akad salam.
7. Untuk mengetahui perbedaan salam dengan jual beli (biasa).
8. Untuk mengetahui aplikasi salam di Lembaga Keuangan Syari’ah.
9. Untuk mengtahui pengertian, dasar hukum dan fatwa DSN-MUI istishna.
10. Untuk mengetahui rukun dan syarat istishna.
11. Untuk mengetahui perbedaan istishna dengan salam. Aplikasi istishna di Lembaga
Keuangan Syari’ah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Murabahah
1. Pengertian murabahah

Murabahah adalah akad jual beli suatu barang dimana penjual menyebutkan harga jual
yang terdiri atas harga pokok dan tingkat keuntungan tertentu atas barang dimana harga jual
tersebut disetujui oleh pembeli. Dalam akad murabahah, penjual (dalam hal ini adalah bank)
harus memberi tahu harga poduk yang dibeli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Saat ini, produk inilah yang paling banyak digunakan oleh bank Syariah karena
paling mudah dalam implementasinya dibandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.1

Menurut Wiroso dalam bukunya, murabahah didefinisikan oleh para fuqaha sebagai
penjualan barang sehingga biaya/ harga pokok (cost) barang tersebut ditambah mark-up/
keuntugan yang disepakati. Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus
memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan
yang ditambahkan pada biaya tersebut.2 Beberapa alasan mengapa transaksi murabahah
begitu dominan dalam pelaksanaan investasi perbankan Syariah, yaitu sebagai berikut:

a. Murabahah adalah mekanisme penanaman modal jangka pendek dengan pembagian


untung rugi/ bagi hasil.

b. Mark-up (keuntungan) data ditetapkan dengan cara yang menjamin bahwa bank
mampu mengembangkan dibandingkan dengan bank-bank yang berbasis bunga dimana bank-
bank Islam sangan kompetitif.

c. Murabahah menghindari ketidakpastian yang diletakkan dengan perolehan usaha


berdasarkan sistem bagi hasil.

d. Murabahah tidak mengizinkan bank Islam untuk turut campur dalammanajemen bisnis
karena bank bukanlah partner dengan klien tetapi hubungan mereka adalah hubugan kreditur
dengan debitur.3

1
M. Nur Rianto, Lembaga Keuangan Syariah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), 149.
2
Wiroso, Jual Beli Murabahah (Yogyakarta: UII Press, 2005), 13.
3
Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 140.
2. Dasar hukum dan fatwa DSN-MUI murabahah

Al-Qur’an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan murabahah, walaupun ada
beberapa acuan di dalamnya untuk menjual keuntungan, kerugian, dan perdagangan.
Demikian juga, nampaknya tidak ada juga hadits yang memiliki acuan langsung kepada
murabahah. Meskipun murabaha termasuk dalam akad jual beli dan dalam Al- Qur’an dan
beberapa ayat tentang jual beli misalnya surat Al-Baqarah ayat 275:

‫وا َو َح َّر َم ْالبَ ْي َع هّٰللا ُ َواَ َح َّل‬


ۗ ‫ال ِّر ٰب‬

Terjemahan

“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Mengenai murabahah sendiri telah diatur jelas dalam fatwa DSN MUI No :04/DSN-
MUI/2000, tentang murabahah yang menyatakan bahwa “bank membeli barang yang
diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian ini harus sah dan bebas dari riba”.
Sedangkan dalam praktiknya bank selaku penjual memberikan kebebasan terhadap pihak
nasabah untuk mencari sendiri barang atau kendaraan yang diinginkan.

3.Syarat-syarat dan ketentuan umum murabahah

Adapun rukun-rukun murabahah adalah sebagai berikut:

a. Ba’iu (penjual)

b. Musytari (pembeli)

c. Mabi’ (barang yang diperjualbelikan)

d. Tsaman (harga barang)

e. Ijab Qabul (pernyataan serah terima) Dari rukun di atas terdapat pula syarat-syarat
murabahah sebagai berikut:

a. Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.

b. Barang yang diperjual belikan (mabi’) tidak termasuk barang yang haram dan jenis
maupun jumlahnya jelas.
c. Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.

d. Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik
pihak-pihak yang berakad.4

Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang dipelukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini
harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan, misalnya jika pembelian
dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli serta keuntugannya. Dalam kasus ini, bank harus memberitahu secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membiayai harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu
tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barangdari pihak ketiga
(akad wakalah), akad jual beli murabahah harus.

4. Aplikasi murabahah di Lembaga Keuangan Syari’ah

4
Veithzal Rifai, Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan praktis
untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008), 146-147.
Pertambahan kebutuhan masyarakat terkendala pada kesibukan dan ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan sehingga masyarakat membutuhkan alternatif untuk
membantunya dalam pemenuhan kebutuhan. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) muncul
sebagai alternatif bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Produk utama yang
ditawarkan LKS kepada masyarakat adalah murabahah karena sedikitnya resiko dalam
aplikasinya. Namun aplikasi murabahah menimbulkan banyak kritik di kalangan masyarakat.
Bank syariah sering disebut sebagai “bank murabahah” karena murabahah mendominasi dan
modifikasi pada aplikasi murabahah yang dianggap sama seperti kredit pada bank
konvensional.

Kajian ini merupakan kajian pustaka dengan analisis deduktif, yaitu penulis menganalisis
dari yang umum ke khusus sehingga dapat diambil kesimpulan. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa dalam aplikasi murabahah yang ada pada perbankan syariah
menjadikan bank syariah sebagai penyedia dana bukan sebagai penjual. Akad murabahah
yang ada pada fiqih klasikpun telah banyak mengalami modifikasi.

Modifikasi pada akad murabahah inilah yang memunculkan kritik di kalangan


masyarakat. Modifikasi akad murabahah meliputi akad murabahah yang mengikat nasabah
sebelum bank memiliki barang yang diinginkan nasabah sehingga memunculkan bai’
ma’dum, murabahah lil amri bi al-syira’ yang dianggap haram oleh sebagian ulama karena
merupakan celah riba, dan murabahah bil wakalah yang hukumnya boleh menurut Fatwa
DSN-MUI namun adanya akad wakalah memudahkan munculnya kecurangan dari pihak
nasabah yang akan membuat akad murabahahnya tidak sah.

B. Salam
1. Pengertian, dasar dan fatwa DSN-MUI salam

Dalam sinonim dengan salaf. Dikatakan aslama ats-tsauba lilkhiyath, artinya iya
memberikan atau menyerahkan pakaian untuk dijahit. Dikatakan salam karena orang yang
memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis. Dikatakan salam karena ia
menyerahkan uang terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangannya. 5 Salam termasuk
kategori jual beli yang sah jika memenuhi persyaratan keabsahan jual beli pada umumnya.
Dimayuddin Djuani mengatakan dalam bukunya Pengantar Fiqh Muamalah bahwa Ba’i

5
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 113.
salam adalah akad jual beli barang pesanan di antara pembeli (muslam) dengan penjual
(muslam ilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka secara penuh.6

Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya Fiqh Muamalat mengambil beberapa pendapat,
menurut Kamaluddin bin Al-Hamman dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa sesungguhnya
pengertian salam menurut syara’ adalah jual beli tempo tunai. Pendapat kedua, dari
Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan definisi bahwa salam suatu akad atas barang yang
disebutkan sifatnya dalam perjanjian dengan pengerahan tempo dengan harga yang
diserahkan di majelis akad. Pendapat ketiga, dari Malikiyah memberikandefinisi bahwa salam
adalah jual beli dimana modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barang diserahkan
dibelakang. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab tersebut dapat
diambil intisari bahwa salam adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang harga barang
dibayarkan secara tunai, sedangkan barang yang dibeli belum ada, hanya sifat-sifat, jenis, dan
jenis.

Menurut Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/IV/2000, salam
adalah jual beli barang dengan cara pesanan dan pembayaran harga terlebih dahulu dengan
syarat-syarat tertentu. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, salam adalah
jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembiayaanya dilakukan bersamaan
dengan pemesanan barang.

2. Rukun,syarat dan sifat akad salam

Dalam melakukan jual beli salam, maka harus dipenuhi beberapa rukun. Adapun rukun jual
beli Salam menurut Wahbah Az-Zuhaily yaitu :

a. Muslam atau pembeli

b. Muslam Ilayhi atau penjual

c. Modal atau uang

d. Muslam Fihi atau barang

e. Sighot atau ucapan

6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : dari Teori ke Prktik,(Jakarta : Gema Insani,
2001), h. h.108.
Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain hanafiyah, terdiri atas :51

a. Orang yang berakad harus baligh dan berakal.

b. Objek jual beli salam, yaitu barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, waktu harus
jelas, dan harganya harus jelas serta diserahkan diwaktu akad.

c. Ijab dan Qabul.

Ijab menurut Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah menggunakan lafal salam dan ba’i . seperti
ucapan pemesan “saya pesan barang ini” kemudian di jawab oleh pihak lain yang dimintai
pesanan “saya terima pesanan itu”. Akan tetapi, menurut Imam Zufar dan Syafi’iyah, salam
tidak sah kecuali menggunakan lafal salam atau salaf. Untuk lafal ba’idikalangan Syafi’iyah
ada dua pendapat, sebagian lagi mengatakan boleh (sah), karena salam merupakan salah satu
bagian dari jual beli.

Syarat Ba’i Salam

Ulama yang bersepakat bahwa salam diperbolehkan denga syarat sebagai berikut:

1. Jenis objek jual beli salam harus jelas.

2. Sifat objek jual beli salam harus jelas.

3. Kadar atau ukuran objek jual beli salam harus jelas.

4. Jagka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas.

5. Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.53

KHES Pasal 103 ayat 1-3 menyebutkan syarat salam sebagai berikut:

1. Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas sudah jelas.

2. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan atau meteran.

3. Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.

3. Perbedaan salam dengan jual beli


Perbedaan Antara Jual Beli Salam Dengan Jual Beli Biasa Semua syarat-syarat dasar
suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa
perbedaan antara keduanya. Misalnya:55

a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli
biasa tidak perlu.

b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual, yang mana
dalam jual beli biasa tidak boleh dijual.

c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan
kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki
bisa dijual,kecuali yang dilarang oleh Al-Qur’an dan Hadist.

d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika membuat kontrak,yang mana
dalam jual beli biasa pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman
barang berlangsung.

4. Aplikasi salam di Lembaga Keuangan Syari’ah

Ketentuan – Ketentuan Salam di LKS. Berikut ini ketentuan-ketentuan umum salam


di LKS adalah sebagai berikut ini:7

a. Pembeli hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlahnya.

b. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab dengan cara mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.

c. Mengingat bang tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan
(inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga
(pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekan. Mekanisme ini disebut
salam paralel.

C. Istishna

7
Mardani, Fiqh Ekonomi, h.123.
1. Pengertian, dasar hukum dan fatwa DSN-MUI istishna

Pengertian Akad istishna’Adalah memesan kepada penjual/produsen/perusahaan


untuk memproduksi suatu barang tertentu untuk konsumen atau pembeli. 8 Akad istishna’
muncul jika suatu perusahaan atau penjual mengerjakan atau memproduksi barang yang
dipesan dengan menggunakan bahan baku dari perusahaan atau penjual itu sendiri.

Dan akad ini dikatakan sah apabila harga telah ditetapkan diawal atau saat akad
terjadi dengan penjual menjelaskan spesifikasi kepada pembeli dan sepakat. Berbeda dengan
Akad Salam, pada Akad Istishna’ transaksi pembayaran bisa dilakukan dimuka (saat proses
akad), dicicil (sesuai kesepakatan) ataupun dibelakang (batas akad yang telah ditentukan).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

َ‫يل لَهُ ِإ َّن ْال َع َج َم الَ يَ ْقبَلُون‬


َ ِ‫ب ِإلَى ْال َع َج ِم فَق‬ َ ُ‫ى هَّللا ِ صلى هللا عليه و سلم َكانَ َأ َرا َد َأ ْن يَ ْكت‬ َّ ِ‫س رضي هللا عنه َأ َّن نَب‬
ٍ َ‫ع َْن َأن‬
‫ رواه مسلم‬.‫ض ِه فِى يَ ِد ِه‬ ِ ‫ قَا َل َكَأنِّى َأ ْنظُ ُر ِإلَى بَيَا‬.‫ض ٍة‬ َّ ِ‫ فَاصْ طَنَ َع خَ اتَ ًما ِم ْن ف‬.‫ِإالَّ ِكتَابًا َعلَ ْي ِه خَ اتِ ٌم‬

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan
kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas
menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan
beliau.” (Riwayat Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah akad yang
dibolehkan. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam).

Jenis Fatwa DSN

Nomor 22/DSN-MUI/III/2002

Tahun 2002

Tentang Jual Beli Istishna' Paralel

Klasifikasi Fatwa DSN Akad Jual Beli

8
Arcaya, Akad Dan Produk Bank Syariah Cet Ke-1, (Jakarta: PT. Rja Grafindo
Persada, 2007), Hlm 96.
Materi Muatan Pokok akad jual beli Istishna’ yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS) pada umumnya secara paralel ( ‫) االستصناع الموازي‬, yaitu sebuah bentuk akad
Istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada
nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai Shani.

2. Rukun dan syarat istishna

Rukun-rukun Jual beli Istishna’. Adapun rukun-rukun istishna’ adalah sebagai berikut :

a. Produsen / pembuat barang (shaani’) yang menyediakan bahan bakunya

b. Pemesan / pembeli barang (Mustashni)

c. Proyek / usaha barang / jasa yang dipesan (mashnu')

d. Harga (saman)

e. Serah terima / Ijab Qabul .

Syarat-syarat Jual beli Istishna’. Syarat-syarat jual beli istishna’ adalah sebagai berikut :

a. Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli

b. Ridha / keralaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.

c. Apabila isi akad disyaratkan Shani' hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna,
tetapi berubah menjadi akad ijarah

d. Pihak yang membuat barang menyatakan kesanggupan untuk mengadakan / membuat


barang itu

e. Mashnu' (barang / obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran
(tipe), mutu dan jumlahnya

f. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara' (najis, haram, samar/
tidak jelas) atau menimbulkan kemudratan.
3. Perbedaan istishna dengan salam. Aplikasi istishna di Lembaga
Keuangan Syari’ah

Perbedaan akad istishna dengan salam

1. Barang Kalau dalam akad salam, barang tidak perlu dibuat atau mengalami proses
pengolahan sebelum diserahkan.Sedangkan akad istishna adalah akad untuk suatu barang
pesanan, dimana barang perlu proses pembuatan pengolahan sebelum diserahkan.

2. Status Akad

Akad salam merupakan akad lazim atau mengikat. Artinya akad ini tidak boleh serta merta
dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan akad istishna tidak lazim menurut riwayat yang
paling kuat. Kecuali kalau barang sudah dibuat barulah dia mengikat menurut Abu Yusuf.
Tapi kalau selepas akad tiba-tiba salah satu pihak berubah pikiran dan membatalkan akad,
maka akad menjadi batal.

3. Pembayaran

Perbedaan mendasar dari kedua akad ini juga ialah dari segi penyerahan uangnya. Dimana
disyaratkan dalam akad salam, uang wajib diserahkan terimakan secara tunai semuanya di
majlis akad. Sedangkan dalam akad istishna’ tidak disyaratkan harus demikian. Boleh
diserahkan secara tunai semuanya di awal, atau dicicil atau dihutang dan dilunasi diakhir
akad menurut sebagian ulama.

Ketentuan – Ketentuan Istishna’ di LKS.

Berikut ini ketentuan-ketentuan umum salam di LKS adalah sebagai berikut ini:27

a. Barang pesanan harus jelas, macam ukuran, mutu dan jumlahnya.

b. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna’dan tidak boleh
berubah selama berlakunya akad.

c. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditanda tangani, seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Murabahah adalah akad jual beli suatu barang dimana penjual menyebutkan harga
jual yang barang, dan harga tersebut disetujui oleh pembeli. Salam adalah jual beli tempo
tunai atau akad suatu barang yang disebutkan sifatnya dalam perjanjian dengan
pengeragan tempo dengan harga yang diserahkan di majelis akad.

Istishna adalah memesan kepada penjual untuk memproduksi suatu barang.

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi
pembaca. Pemakalah juga mengharapkan kritik dan saran serta masukan yang
membangun dari dosen pengampu dan seluruh audiens yang turut bersama pemakalah
dalam acara presentase mempertanggung jawabkan isi makalah ini. Jika ada kesalahan
atau kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Muslich,A.,w., 2013. Fqih Mualat.Jakarta: Amzah. Hal 242-243.

Saeed,A.,2004. Bank islam dan bunga. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hal 140.

a-Mushlil,A.,2004.fiqih ekonomi keuangan islam.Jakarta.

Muhammad Syarbini Al-Katib, al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, t.t.

Veithzal Rifai.2008. Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan
praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa .Jakarta: RajaGrafindo
Persada.Hal 146-147.

Al- jaziri,A., al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Qalam, Beirut. t.t, hlm. 76.

Anda mungkin juga menyukai