Anda di halaman 1dari 11

Indonesia merupakan salah satu negara penganut sistem demokrasi (Fikri and Ukhwaluddin 2022).

Di
dalam sistem demokrasi terdapat berbagai pilar, salah satu dari pilar tersebut adalah partai politik (Fendi
Agus Syaputra, Bob Alfia, and Azwar 2022). Partai politik sendiri memiliki andil yang begitu besar dalam
membangun dan menjaga stabilitas demokrasi (Sutisna 2016). Indonesia sebagai salah satu negara yang
menganut sistem demokrasi suatu keniscayaan bahwa Indonesia tidak mempunyai partai politik, maka
dari itu, sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
kehidupan demokrasi suatu negara (Zainal Abidin Saleh 2008).

Mengenai definisi dari partai politik sendiri hal tersebut telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 1
Ayat 1 yaitu “partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 “

Dalam struktural, jabatan ketua umum partai politik memiliki peran penting dalam organisasi partai
politik, karena ketua umum partai politik mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan
arah, dan fungsi partai, disisi lain, ketua umum akan begitu mudah mendapatkan kekuasaan atau bahkan
dicalonkan untuk jabatan-jabatan tertentu dikarenakan ketua umum mewakili nama partai dan memiliki
akses yang dekat dengan kekuasaan, agar peranan dan kekuasaan yang dimiliki oleh ketua umum parpol
tidak disalahgunakan dan diselewengkan maka masa jabatan ketua umum partai politik perlu diatur dan
dibatasi.

Penyebutan kata “partai politik” didalam Undang-Undang Dasar disebutkan sebanyak 6 kali, hal ini
menunjukkan bahwa partai politik memiliki peranan yang sangat penting di dalam sistem demokrasi. Di
dalam UU Parpol sendiripun tidak ada bunyi pasal mengenai berapa lama masa jabatan ketua umum
partai politik

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik memang tidak secara detail dan jelas
mengatur soal batasan periode kepemimpinan ketua umum partai politik.

Pasal 23 Ayat (1) dalam undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa pergantian kepengurusan
partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
partai politik. Jika mengacu pasal tersebut, artinya undang-undang ”menyerahkan” sepenuhnya urusan
suksesi kepengurusan, termasuk pergantian ketua umum partai politik, kepada partai politik masing-
masing.

Soal tidak adanya pembatasan periode jabatan ketua umum partai politik ini
kemudian mengemuka dengan adanya permohonan uji materi terhadap Pasal 23
Ayat (1) di UU No 2/2011. Permohonan ini diajukan oleh Eliadi Hulu dan Saiful Salim
yang diregistrasi dengan nomor 69/PUU-XXI/2023 tanggal 27 Juni 2023.

Seperti yang diberitakan Kompas, Senin (3/7/2023), pertimbangan permohonan di


antaranya UU Parpol wajib memerintahkan pengaturan pembatasan masa jabatan
pimpinan parpol dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) untuk
menciptakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D
Ayat (1) UUD 1945.

PDI : 24 tahun -> megawati

Gerindra : 9 tahun -> prabowo subianto

PKB : 18 tahun -> muhaimin iskandar

Nasdem : 10 tahun -> surya paloh


Pengaturan pembatasan periodisasi pimpinan parpol dipandang perlu karena implementasi dari parpol
sebagai instrumen, pilar demokrasi, dan pelaksana kedaulatan rakyat. Pemohon uji materi berharap MK
bisa mengabulkan permohonan mereka untuk mengganti Pasal 23 Ayat (1) tersebut dengan menambah
ketentuan pembatasan masa jabatan ketua umum selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali
satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

Titi Angraini menilai pembatasan masa jabatan ketum parpol cukup dua periode akan
mendorong demokratisasi internal partai.

Ketua Umum PDI Perjuangan sudah 24 tahun [menjabat] dan anaknya menjadi Ketua PDI
Perjuangan. Adapun Partai Demokrat, dari Ketum SBY menurun ke anaknya, AHY dan SBY
bergeser menjadi Ketua Majelis Tinggi, hal ini membuktikan adanya dinasti politik

Pria yang juga Wakil Ketua MPR ini menilai, persoalan masa jabatan ketua umum partai adalah
open legal policy atau kebijakan terbuka sesuai keputusan forum musayawarah partai. Ia
menilai, MK maupun pembentukan undang-undang sebaiknya tidak ikut campur sesuai UU
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ia beralasan, kebijakan itu merupakan kontrak
antara pemangku kepentingan masing-masing partai.

Sementara itu, politikus PDIP, Deddy Sitorus menilai, permohonan tersebut tidak layak secara
hukum. Ia mengatakan, putusan MK justru menandakan negara ikut campur dalam internal
partai.

Pegiat pemilu cum dosen kepemiluan di Universitas Indonesia (UI) Titi Angraini menyambut
positif substansi permohonan para pemohon ke MK. Ia menilai hal itu akan mendorong
demokratisasi internal partai karena partai berfungsi sebagai institusi kaderisasi dan regenerasi
politik.

“Jadi ada distorsi dalam konsep demokratis ini yang ditarik ke tataran internal partai melalui
AD/ART, sehingga menjadi sangat beragam dan tidak terstandar. Mestinya, UU Partai Politik lah
yang mengatur konsep kepengurusan yang demokratis itu, termasuk pembatasan masa jabatan
ketua umum. Mengingat partai politik adalah institusi publik yang memperoleh sebagian dari
pendanaannya dari keuangan negara yang bersumber dari APBN dan APBD," kata Titi.

Oleh karena itu, Titi beranggapan bahwa pengabulan undang-undang tersebut berkontribusi
positif bagi penguatan demokrasi Indonesia. Walau MK akan cenderung menahan diri untuk
mengatur soal kepengurusan partai politik, Titi menyarankan, MK bisa mengambil jalan tengah
dengan memuat pertimbangan hukum agar pembentuk undang-undang mengatur lebih terukur
soal demokrasi internal partai politik dan tidak memberi karpet merah sepenuhnya kepada
partai politik melalui pengaturan dalam AD/ART. “Apalagi UU Partai Politik sudah 12 tahun lebih
tidak dievaluasi. Terakhir diatur melalui UU No. 2 Tahun 2011. Padahal banyak dinamika politik
yang terjadi yang membutuhkan penyesuaian dalam konteks regulasi untuk mewujudkan partai
politik yang moderen dan demokratis," kata Titi.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai,
pembatasan periode akan menguntungkan bagi partai. Hal itu dilakukan agar partai tidak
tergantung dinasti politik tetapi lebih pada meritokrasi dan prestasi kader. Di sisi lain, rakyat juga
akan mendapat kader potensial meski ada kemungkinan konflik internal partai. Ia menilai konflik
internal akibat persaingan jika tidak dikelola dengan baik. Ia menilai dampak buruk berujung
pada gangguan demokrasi.

para Pemohon juga akan kehilangan hak untuk menjadi pengurus salah satu pengurus partai
politik karena ketua umum akan mengutamakan orang-orang terdekat untuk mengisi struktur
kepengurusan. Sehingga, hal ini menurut para pemohon akan membentuk dinasti dalam
kepengurusan partai politik.

gugatan yang diajukan oleh Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus
O. Magai itu ditolak lantaran majelis hakim menganggap gugatan tersebut tidak serius.
Sebab tidak menjalankan perbaikan hal yang diminta oleh hakim.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan, secara ideal
Ketum Parpol mesti diatur berapa lama masa jabatan politiknya, untuk memberikan ruang
regenerasi, ruang yang berkesimbungan dalam potret regenerasi kepemimpinan.

Ini juga untuk menunjukan harus ada upaya modernisasi di internal parpol, karena partai
adalah ujung tombak pembangunan demokrasi.

"Ini kan sebenarnya aspirasi publik. Problemnya adalah apakah mau elite-elite partai
menerima masukan ini, ya itu tentu urusan parpol, tapi yang jelas namanya aspirasi dari
bawah, perlu dipertimbangkan," kata Adi kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).
Adi menilai, agak sedikit dilematis dan bahkan paradoks, karena parpol di Indonesia
terpusat dan tersentralisasi pada Ketum mereka yang berkuasa selama bertahun-tahun,
artinya kekuatan parpol di Indonesia itu terpersonifikasi pada sosok-sosok figur ketum
mereka. Itu jelas sangat terlihat, bahkan partai-partai yang terpesonifikasi atau yang
ketumnya begitu lama berkuasa, justru perolehan suaranya signifikan.

"Tapi pada saat bersamaan ada tuntutan supaya partai lakukan modernisasi supaya
ketumnya gantian dan bukan itu-itu saja. Sementara di sisi lain ada partai yang cukup
modern terbuka seperti PSI, tapi tidak lolos ke parlemen, sementara parpol lain yang
ketumnya lama berkuasa justru perolehan suara pilegnya signifikan, ini yang serba
dilematis."

"Sulit membayangkan akan ada perubahaan UU parpol, dimana ketumnya itu dibatasi dua
periode, karena banyak parpol yang tidak mau keistimewaan kekuatan mereka yang
terletak pada ketum akan habis, akan sirna dengan perubahan UU itu," ucapnya.

Sementara Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menganggap masa jabatan Ketum Parpol
digugat hal yang wajar. Dia menilai masyarakat ingin ada sirkulasi kepemimpinan dalam
organisasi Parpol. Dan sirkulasi kepemimpinan adalah hal yang sehat. Adagium power tend
to corrupt, bahwa kekuasaan (jika terlalu lama) cenderung menyimpang punya pembenaran
dalam sejarah.

Pembatasan masa kepemimpinan dalam Parpol, menjadi kebutuhan bersama bangsa


Indonesia. Praktik demokrasi harus dimulai di dalam Parpol sendiri, baru diperjuangkan dan
diwujudkan dalam tata kelola pemerintahan. Fakta sejarah Indonesia menunjukkan bahwa
kekuasaan yang tidak dibatasi berakhir tragis, dipaksa tumbang oleh “people power”. Maka
segala bentuk kekuasaan absolut, termasuk dalam Parpol harus diakhiri. Jika Parpol tidak
bersedia melakukan perubahan dalam masa kepemimpinan, maka bantuan keuangan yang
bersumber dari keuangan negara baik APBN maupun APBD harus dihentikan.

Kornas meminta kepada MKRI agar mengabulkan permohonan JR Eliadi dan Saiful
sehingga kekuasaan eksklusif, absolut dalam Parpol berakhir. Sebagai pilar demokrasi,
maka wujud praktik demokrasi paling nyata adalah pembatasan kekuasaan

ketum parpol yang menjabat begitu lama dan praktik politik dinasti. Mereka
menyoroti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang sudah menjadi
ketum selama 24 tahun.

Selain dipimpin Megawati hampir seperempat abad, sejumlah posisi strategis di


partai berlogo banteng itu juga diduduki anaknya. Salah satunya adalah Puan
Maharani sebagai Ketua DPP Bidang Politik.

Para penggugat juga menyoroti praktik politik dinasti di kepengurusan Partai


Demokrat. Eks Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putra sulungnya, Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY). Posisi Wakil Ketua Umum Demokrat diduduki
oleh putra keduanya, Edhie Baskoro Yudhoyono. SBY sendiri kini masih
berkuasa dengan jabatan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Indoensia (UI) Jimly Ashiddiqie
mengusulkan agar terdapat pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik
maksimal dua atau tiga periode saja. Tujuan pembatasan ini agar muncul
kaderisasi di internal dan tentunya menyemarakkan proses demokratisasi di
internal partai politik.

“Kecenderungan pemimpin partai makin lama (menjabat) makin tidak demokratis


ke dalam, perlu ada aturan yang membatasi kepengurusan partai politik. Partai
nanti tidak sehat karena dipimpin oleh tokoh yang itu-itu saja, sehingga boleh jadi
kreativitas internal tidak tumbuh," ujar Jimly dalam diskusi di Kementerian Hukum
dan HAM Selasa (24/5/2016) pekan ini.

Jimly juga berpendapat jika jabatan Ketua Umum partai politik tidak dibatasi akan
memberi dampak mandegnya demokratisasi di internal partai politik. Padahal, kata
Jimly, di partai politik demokratisasi disemaikan.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pembatasan kekuasaan menjadi penting, dikarenakan:

a. Kekuasaan yang terlalu besar dan lama akan menyebabkan penyalahgunaan atau
penyelewenangan kekuasaan (abuse of power);
b. Pembatasan kekuasaan menimbulkan implikasi adanya regenerasi dalam suatu partai politiki
untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang kompeten dan berkualitas;
c. Pembatasan kekuasaan dalam periode waktu tertentu menjadi sarana untuk memastikan bahwa
roda kepemimpinan partai politik tidak hanya dijalankan oleh satu orang atau kelompok tertentu
secara melainkan melibatkan partisipasi anggota secara merdeka dan demokratis.

Pengamat politik Sukardi Rinakit menilai, terlalu kuatnya figur pimpinan partai politik
berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh parpol bersangkutan. Ada pandangan bahwa figur
pimpinan yang kuat selalu bisa diposisikan sebagai perekat, padahal kondisi tersebut akan terus
menerus melahirkan ketergantungan di tubuh parpol, sementara pada saat bersamaan kader yang
memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagai calon pengganti (Litbang
Kompas 2019).

Sementara itu, pakar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada Riswandha Imawan menilai,
kegagalan munculnya tokoh baru dalam parpol menunjukkan kegagalan partai melakukan
reformasi internal, terutama untuk revitalisasi dan regenerasi. Terhambatnya regenerasi terutama
karena figur petingginya menjadi simbol institusi. Apapun pandangan ketua umumnya nyaris
selalu menjadi sebuah kebenaran. Padahal, menghadapi tantangan ke depan, kader muda harus
didorong untuk tampil (Litbang Kompas 2019).

URGENSI PEMBATASAN

a) Agar terciptanya proses demokratisasi di dalam tubuh parpol

Jika hal tersebut tidak perlu diatur maka kemungkinan besar suatu partai akan mengarah
kepada partai yang otoriter atau bahkan terciptanya dinasti politik didalamnya. Tentu semua
ini bukan dari konsep demokrasi yang selama ini kita kenal

b) Untuk menyehatkan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia

Maka dari itu demokrasi yang sehat tidak akan bisa muncul di Indonesia jika proses
penyelenggaraan demokrasi tidak berjalan di dalam tubuh partai politik. Salah satu
contohnya adalah jika jabatan ketua umum sebuah partai politik dijabat secara terus menerus
oleh satu orang. Yang akan menyebabkan terciptanya oligarki dan kekuasaan absolut di
internal partai dimana proses pengambilan keputusan hanya akan berkutat di sosok ketua
umum dan elit partai yang diangkatnya. Bahkan ketua umum akan cenderung
mempertahankan kekuasaan politiknya dengan menempatkan keluarganya dalam jabatan
penting di internai partai politik. Mengutip Lord Acton yang mengatakan bahwa: “power
tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” yang diartikan, kekuasaan cenderung
untuk korup, dan kekuasaan absolut pasti korup secara absolut.

c) Untuk mencegah terjadinya politik dinasti dan personalisasi tokoh dalam Partai Politik

Politik dinasti adalah proses mobilisasi regenerasi kekuasaan kaum oligarki yang bertujuan
untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan, sedangkan dinasti politik ialah sistem
reproduksi kekuasaan yang mengandalkan familisme atau hubungan kekerabatan. Kedua hal
tersebut dapat dikatakan sebagai sistem yang bertentangan dengan demokrasi karena telah
membatasi ruang lingkup demokrasi yang seharusnya membuka peluang dalam berpolitik
seluas-luasnya (Gunanto 2020).

d) Untuk melakukan regenerasi calon pemimpin Indonesia

Dengan banyaknya keluhan dari kalangan khususnya generasi muda, maka sudah saatnya
untuk segera diatur mengenai pembasan masa jabatan ketua umum parpol. Karena selama ini
dengan belum diaturnya masa jabatan ketua umum parpol sangat terlihat bahwa tidak
terciptanya regenerasi, padahal dengan terciptanya regenerasi tersebut diharapkan akan
muncul calon-calon pemimpin yang diharapkan.

Undang-Undang Partai Politik yang tidak Mengatur Acuan Baku tentang Periodesasi dan
Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik Berimplikasi pada Kekuasaan yang Terpusat pada
Orang Tertentu dan Terciptanya Keotoritariatan dan Dinasti dalam Tubuh Partai Politik
- . Bahwa tidak adanya pembatasan masa jabatan Pimpinan Partai politik telah
menyebabkan satu figur atau kelompok bahkan keluarga tertentu memegang kekuasaan di
tubuh partai politik dengan begitu panjang. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip
konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan menghindari
excessive atau abuse of power. Limitasi kekuasaan ini dapat dilakukan dengan adanya
pemaknaan baru terhadap Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik dengan menambahkan
ketentuan baku mengenai periodesasi dan masa jabatan ketua umum partai politik.
Apabila masa jabatan Pimpinan partai politik tidak dibatasi maka akan membuka ruang
abuse of power yang berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme, negara hukum,
dan demokrasi konstitusional di tubuh partai politik

- Ketiadaan batasan masa jabatan pimpinan partai politik juga menyebabkan institusional
disaster, sebab aturan ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme, prinsip
proporsionalitas, Pasal (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3),
Pasal 28I ayat (2);

- Bahwa secara mayoritas sistem pemerintahan internal organisasi partai politik di


Indonesia menganut sistem demokrasi termpimpin (sistem satu komando) dimana seluruh
kebijakan dan keputusan Partai Politik berada di tangan pemimpin tertinggi sedangkan
anggota hanya mengikuti dan melakukan apa yang telah diputuskan oleh pimpinan partai;

- Bahwa design UU Partai Politik cenderung menempatkan partai politik sebagai


organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
pihak internal dari partai itu sendiri, jikalaupun terdapat pengawasan internal namun
hanya diatur melalui AD DAN ART partai yang bersangkutan dengan memunculkan
organ internal yang penamannya berbeda-beda setiap partai politik. Namun demikian,
organ internal tersebut pun tunduk kepada pimpinan partai politik, dalam hal ini ketua
umum;

DINASTI : Bahwa salah satu contoh nyata adanya dinasti di tubuh Partai Politik adalah
kepengurusan 2 (dua) partai politik besar di Indonesia, yaitu Partai PDIP dan Partai Demokrat.
Kedua Partai ini dipimpin oleh dua keluarga secara turun temurun, bahkan untuk Partai PDIP,
Ketua Umumnya telah menjabat selama kurang lebih 24 (dua puluh empat) tahun, yakni sejak
tahun 1999 hingga sekarang dan saat ini yang menjadi ketua DPP Partai PDIP adalah anak dari
ketua umum sendiri yakni Puan Maharani. Begitu pula dengan Partai Demokrat, sebelum Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY) menjabat, ketua umumnya dijabat oleh ayahnya sendiri, yaitu
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Bahwa sistem kepengurusan dalam Bab IX khususnya Pasal 23 UU Partai Politik telah
mendelegasikan kewenangan pengaturan kepengurusan partai politik melalui AD dan ART.
Pendelegasian tersebut tentunya tidak sepenuhnya salah, namun akan menjadi lebih efektif
apabila UU Partai Politik telah menetapkan atauran baku mengenai periodesasi dan masa jabatan
ketua umum partai politik sehingga seluruh AD dan ART partai akan mengikuti ketentuan
tersebut;
Pembatasan Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik merupakan Perwujudan Check and
Balance dan Mekanisme Kontrol di Tubuh Partai Politik melalui Pemaknaan Pasal 23 ayat (1)
UU Partai Politik : Tidak adanya mekanisme check and balances dalam UU Partai Politik, dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan dalam internal kepengurusan Partai Politik. Oleh karena
itu, pentingnya pembatasan masa jabatan pimpinan atau ketua umum Partai Politik dalam
periode waktu tertentu dan batasan maksimum masa jabatan sebagai bentuk mekanisme check
and balance serta bentuk pencegahan terhadap potensi penyelewengan atau penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Kesewenang-wenangan yang terjadi secara internal akibat semata-
mata ambisi kekuasaan orang atau kelompok orang tertentu akan berimbas dan merugikan para
kader Partai politik karena hanya akan memicu terjadinya perpecahan di dalam Partai Politik dan
menghilangkan kesempatan bagi para kader yang memiliki integritas, kapabilitas, dan
profesionalisme untuk memajukan partai politik;

. Bahwa mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022 Paragraf


[3.15], [3.16], dan [3.17] yang pada pokoknya menyatakan perlu adanya pembatasan masa
jabatan pimpinan Organisasi Advokat melalui undang-undang, maka hal tersebut sangat relevan
apabila diterapkan kepada pimpinan partai politik dengan alasan: Partai politik secara langsung
lahir dari UUD 1945, Partai Politik merupakan instrumen, dan pilar demokrasi serta pelaksana
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu sangat rasional bilamana pada level undang-undang
mewajibkan agar AD DAN ART menentukan tentang pembatasan masa jabatan dan periodesasi
ketua umum sebagai ketentuan baku yang wajib diikuti oleh seluruh partai politik. Selain itu
mengutip pertimbangan Mahkamah dalam putusan a quo, seyogianya masa jabatan pimpinan
organisasi adalah selama 5 (lima) tahun. Pilihan 5 (lima) tahun tersebut didasarkan kepada
praktik pembatasan masa jabatan organisasi pada umumnya. Sedangkan berkenaan dengan masa
jabatan 2 (dua) kali periode tersebut dapat dilakukan secara berturut-turut atau secara tidak
berturut-turut. Secara lengkap pertimbangan Mahkamah tersebut berbunyi:

Ketiadaan Batasan Masa Jabatan Pimpinan Partai Politik Menyebabkan Kerusakan Sistem
Demokrasi Internal dan Penyalahgunaan Kekuasaan Pimpinan Terhadap Anggota Partai Politik
serta Menutup Ruang Partisipasi dan Aspirasi Anggota dalam Pengambilan Kebijakan Atau
Keputusan sebagaimana Diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD Tahun 1945 : maka ketiadaan
pembatasan masa jabatan pemimpin partai politik akan menciptakan kekuasaan mutlak yang tak
terbatas oleh satu sosok atau kelompok tertentu saja yang berimplikasi adanya penyalahgunaan
atau penyelewenangan kekuasaan yang mana hal ini akan menutup semua saluran atau sarana
bagi anggota partai politik untuk bersuara menyampaikan kritik, saran, masukan, dan/atau
pendapat bagi kemajuan partai politik. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan
memunculkan tekanan, ancaman, atau paksaan terhadap anggota partai politik yang kritis dan
vokal menyuarakan tata kelola partai politik yang baik, karena kekuasaan pemimpin partai
politik untuk mencabut atau memberhentikan anggota partai politik tersebut.

. Ketiadaan Ketentuan Baku mengenai Pembatasan Masa Jabatan Pimpinan Partai Politik dalam
Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik Menciptakan Ketiadaan Kesempatan yang Sama bagi
Anggota Partai Politik untuk Menjadi Pimpinan/Pengurus Partai Politik yang dijamin dalam
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. : dapat
diketahui bahwa seorang pemimpin khususnya pemimpin partai politik memiliki kekuasaan yang
sangat besar dan luar biasa terhadap anggota atau kader partai politik, seperti persetujuan
terhadap kader yang hendak menjadi bakal calon legislatif maupun eksekutif. Dengan besarnya
kewenangan tersebut maka sudah sepatutnya masa jabatan seorang pemimpin partai politik
dibatasi dengan periodisasi waktu tertentu.

Bahwa hukum tidak akan diciptakan untuk tujuan yang buruk, kecuali ada penyalahgunaan
kewenangan oleh penguasa dan mencampurkan adukan hukum dengan politik demi kepentingan
pribadi atau golongan tertentu. Selaras dengan kemanfaatan hukum yang harus diregulasi oleh
penguasa

Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron menilai perihal jabatan lebih baik diurus oleh
internal parpol, bukan negara.

"Menurut saya, biarkan saja ini adalah proses demokrasi yang berlangsung di internal
partainya, diatur oleh rumah tangga partainya," kata Herman.

"Sehingga betul-betul dinamika di internal partai juga tidak kaku semuanya diatur oleh
negara," sambungnya.

Menurutnya, gugatan yang dilayangkan tidak relevan ke MK. Sebab, pimpinan partai atau
parpol sama saja seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).

"Karena pimpinan partai adalah pimpinan para pengurus partainya sama dengan sebuah
organisasi. Masa, organisasi misalkan organisasi masyarakat lama dibatasi, kan enggak
juga gitu," papar dia.

Lebih lanjut, dia menyebut masa jabatan ketum parpol tidak bisa disamakan dengan
jabatan pejabat publik atau misal Kepala Negara dan Kepala Daerah. Ketua umum parpol,
kata Herman, memiliki aturan yang sangat tergantung kepada struktur di dalam partainya.

"Ketua umum partai itu diatur oleh statutanya, diatur oleh anggaran dasar dan anggaran
rumah tangganya karena ini menjadi urusan internal, menjadi urusan rumah tangga partai
itu sendiri. Sehingga tidak bisa diatur oleh Negara," tutur Herman.

Ketua DPP PPP Achmad Baidowi alias Awiek mengingatkan bahwa parpol bukan alat
negara dan setiap parpol memiliki aturannya sendiri.

"MK memang tidak bisa menolak setiap uji materi yang masuk, semua harus diperiksa,
tetapi bukan ranah MK mengurusi partai politik karena partai politik itu bukan alat negara,"
kata Awiek.

Oleh karena itu, Awiek menyebut Parpol adalah mitra bukan alat negera sehingga tidak
bisa diatur-atur, sebab bisa mengatur dirinya sendiri.

"Parpol itu mitranya negara dan partai politik punya aturan main tersendiri, diberikan
kewenangan kepada partai politik untuk mengatur dirinya sendiri. Parpol bukan pejabat
publik, partai politik ya swasta kan? ngapain diatur-atur," kata Awiek.
Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon menilai, masa jabatan ketum menjadi ranah internal partai
politik.

"Ya kalau itu kan urusan internal dari setiap partai politik, beda antara partai politik dengan jabatan
publik gitu ya jadi kalau kita lihat partai politik adalah satu institusi yang bergerak di dalamnya
menurut aturan disepakati oleh semua anggotanya dan pimpinannya, jadi saya kira agak berbeda
dengan jabatan-jabatan publik seperti jabatan presiden dibatasi dua periode," kata Fadli Zon.

Dia pun menyinggung soal jabatan ketua DPR RI yang tidak dibatasi. Sebab hal itu sesuai dengan
hak konstituen. Lebih lanjut, Fadli Zon menilai, jika masa jabatan ketua umum partai politik dibatasi
tidak akan menjadi demokratis.

"Amerika juga tidak dibatasi di Eropa juga tidak dibatasi karena itu aspirasi rakyat jadi rakyat
maunya orang itu ya memang harus orang itu begitu juga dengan ketua umum parpol, kalau
masyarakatnya anggotanya atau yang menjadi pengikutnya menginginkan ketua umumnya adalah si
A ya apa boleh buat ya karena itu kan proses yang demokratis. Kalau dibatasi justru bisa tidak
demokratis," imbuh dia.

Dalam kehidupan ber demokrasi, apalagi demokrasi langsung dalam artian bahwa rakyat dapat memilih
pemimpinnya secara langsung dengan tanpa melalui perwakilan, sebenarnya aturan pembatasan 2
periode sedikit banyak tidak sesuai dengan azas demokrasi. “Vox Populi Vox Dei” yang artinya “suara
rakyat, suara Tuhan”. Apabila rakyat tanpa direkayasa oleh siapapun masih menghendaki seorang
pemimpin yang sudah menjabat selama 2 periode, namun terhalang oleh konstitusi, maka sebenarnya
hal tersebut sudah tidak sesuai dengan azas demokrasi. Pemimpin bijak itu tercipta bukan diciptakan..
Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik dan sudah berjuang untuk rakyat, sudah seyogyanya tidak
terhalang oleh sekat-sekat pembatasan periode dalam kepemimpinan.

Pada dasarnya Demokrasi itu seharusnya tidak mengekang siapapun dan di situasi apapun dengan
berbagai alasan untuk menduduki jabatan publik apapun di Indonesia baik itu jabatan Presiden & Wakil
Presiden di tingkat pusat atau jabatan Gubernur & Wakil Gubernur di tingkat Provinsi ataupun
Bupati/Walikota & Wakil Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/ Kotamadya. Pembatasan periodiasi
jabatan public di semua tingkatan selama 2 periode saja memang bertujuan baik untuk menghindarkan
oligarki ataupun menciptakan suatu rezim baru di Indonesia sebagai akibat lamanya seseorang
menempati jabatan public tersebut. Namun mungkin bisa terjadi ada kalanya ada seseorang yang
mempunyai sifat-sifat luhur dalam memimpin negara ataupun kewilayahan, serta rakyat sebagian besar
menghendaiki yang bersangkutan tetap menempati jabatan public.

Sedangkan Pasal 1 angka 3 menyatakan,”Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat
ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD”. Dari ketentuan ini menjadi jelas bahwa AD
berfungsi sebagai konstitusi bagi partai politik yang mengatur rules of the games dan prinsip-prinsip
organisasi yang bersifat mendasar dari suatu partai politik, sedangkan ART berfungsi layaknya undang-
undang yang merupakan penjabaran dari AD. Oleh karena itu, desain politik hukum dalam UU Partai
Politik adalah untuk tetap memberikan ruang bagi partai politik dalam menentukan aturan mainnya
sendiri yang dituangkan dalam AD dan ART sebagai hukum tertinggi dan penjabarannya dari hukum
tertinggi tersebut.

biarlah masa jabatan ketua umum setiap partai politik diatur di dalam ketentuan AD dan ART masing-
masing sesuai dengan kebutuhan dan suara nurani seluruh pengurus partai politik dan anggota tanpa
intervensi pembentuk undang-undang. Hal ini tidak lah berarti tak ada demokratisasi dalam struktur
partai politik. Karena pada dasarnya demokratisasi setiap partai politik tetap ada dalam setiap proses
Musyawarah Nasional atau dengan nama istilah lain yang aturan mainnya ditentukan dalam AD dan ART
masing-masing partai politik sebagai hukum tertinggi yang wajib ditaati para anggotanya.

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Maka sejatinya Parpol adalah lembaga milik publik yang inklusif dan memenuhi kaidah dan
ketentuan hukum sesuai karakter negara demokrasi Pancasila. Sehingga kebutuhan dan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara harus menjadi yang pertama dan
utama diperjuangkan oleh Parpol. Eksklusivitas orang, keluarga atau kelompok tertentu
dalam Parpol bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Penggunaan istilah adanya “hak prerogatif” dalam Parpol juga bertentangan dengan prinsip
demokrasi yang mensyaratkan representasi suara terbanyak. Maka seluruh keputusan
Parpol harus melewati proses pengambilan keputusan secara berjenjang dan partisipatif.
Pengambilan keputusan yang tanpa partisipasi orang banyak dalam Parpol pun tidak
dibenarkan, sebab pasti subjektif dan kental nuansa “like or dislike”

Pembatasan 2 periode untuk jabatan publik, pada awalnya dimaksudkan agar jangan sampai terjadi
kembali kecenderungan terpusatnya kekuasaan akibat terlalu lamanya seseorang memimpin. Memang
lazim terjadi bagi seorang pemimpin yang terlalu lama berkuasa, akhirnya merasa terlalu nyaman
menggunakan kekuasaan tersebut bagi kepentingan pribadi dan kroni- kroninya daripada untuk
kepentingan rakyat. Ada sebuah peribahasa yang tertulis bahwa “sebaik- baiknya pemimpin, adalah yang
menyiapkan kaderisasi pemimpin ke depan”. Namun juga terkadang ada suatu peribahasa juga yang
menulis bahwa “Seorang pemimpin yang arif dan bijaksana belum tentu lahir dan ada sepanjang waktu”.

Anda mungkin juga menyukai