Anda di halaman 1dari 9

Abstrak

Jurnal ini dibuat untuk mengetahui bagaimana pengaruh koalisi partai politik terhadap
sistem presidensial di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif dengan
pendekatan konseptual, teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder dengan
kepustakaan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dan teknik analisis data
menggunakan reduksi data, display data, serta kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulannya
adalah Koalisi partai politik berpengaruh terhadap sistem presidensial di Indonesia karena
untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden harus diusulkan dari partai politik atau
gabungan partai politik.

Kata kunci: Partai Politik, Koalisi Partai Politik, Sistem Presidensial

Abstract

This journal was created to find out how the influence of political party coalitions on
the presidential system in Indonesia. The research method used is normative with a
conceptual approach, data collection techniques using secondary data with literature, namely
primary legal materials and secondary legal materials, and data analysis techniques using data
reduction, data display, as well as conclusions and verification. The conclusion is that the
coalition of political parties has an influence on the presidential system in Indonesia because
nominating the President and Vice President must be proposed from political parties or a
coalition of political parties.

political parties, coalitions of political parties, presidential systems

1. Latar belakang
Secara umum sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial, seperti
yang telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia menganut sistem
presidensial dari orde lama hingga orde reformasi. Kendati demikian, berdasarkan sejarah
Indonesia pernah gagal menggunakan sistem parlementer, tetapi setelah dilakukan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia mampu memperkuat sistem presidensial
sebagai dasar penyelenggaraan negara. Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut di
Indonesia tersebut juga diaplikasikan ke dalam konstruksi sistem politik yang multipartai.1

1
Lidya Christina Wardhani, Pengaruh Koalisi Partai Politik Terhadap Pelaksanaan Sistem Presidensial Di
Indonesia, Justitia Jurnal Hukum, Surabaya, Vol. 3 No.2 Oktober 2019, hlm. 256
Ada dua kategori sistem multipartai, yaitu sistem multipartai sederhana dan sistem
multipartai ekstrem. Sistem multipartai yang dianut di Indonesia adalah sistem multipartai
ekstrem, artinya terdapat partai dengan jumlah yang banyak. Tidak ada batasan dalam
pendirian partai politik, juga tidak ada persyaratan yang ketat untuk keikutsertaan mereka
sebagai anggota terpilih. Alhasil, partai tumbuh bak jamur di musim hujan, dan dipandang
sebagai bagian dari ekspresi kebebasan berdemokrasi. Banyaknya jumlah partai politik dan
keikutsertaannya dalam pemilu tidak diragukan lagi menunjukkan demokratisasi yang
tumbuh di negara ini. Namun harus dipahami juga bahwa pertumbuhan demokrasi tidak
hanya harus diperhatikan, tetapi juga kekuatan politik yang bersaing harus mampu
mewujudkan kesejahteraan rakyat.2

Konsekuensi umum dari pemberlakuan sistem multipartai di beberapa negara, termasuk


Indonesia adalah tingkat kelembagaan sistem kepartaian rendah. Pengalaman yang terjadi
saat ini menunjukkan bahwa transisi politik dengan sistem multipartai cenderung
menciptakan sistem kepartaian yang rapuh dengan tingkat pelembagaan yang rendah.
Akibatnya, gejala perpecahan internal partai sangat kuat. Fenomena pemisahan partai politik
yang diikuti dengan bertambahnya jumlah partai menimbulkan gejala ketidakmampuan partai
dalam menjaga disiplin anggotanya. Fenomena ini mendorong politisi untuk beralih dari satu
partai ke partai lain.3 Sehingga banyaknya partai politik yang ada pada pemilihan umum
menjadikan beberapa partai politik harus membentuk koalisi atau gabungan yang terdiri dari
partai politik besar dan partai politik baru.4

Menjadikan koalisi sebagai bagian kekuatan partai politik dalam perebutan kekuasaan
baik dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota. Di Indonesia, koalisi yang
terbentuk antarpartai cenderung cair karena koalisi mengutamakan kepentingan bersama saat
merebut kekuasaan.5 Maka dari itu, adanya koalisi partai politik, kekuasaan menjadi lebih
stabil dan berjalan sesuai rencana. Dalam kaitan ini, sebuah koalisi dibangun dengan skema
bagi-bagi kursi jabatan, agar partai politik yang bersedia untuk berkoalisi pada akhirnya akan
kecipratan hal tersebut dan hal semacam itu lumrah terjadi pada sistem presidensial. Pada
kampanye pemilu 2019 misalnya, partai Gerindra , PAN, Demokrat serta PKS menjadi kubu
oposisi selama ini. Namun seiring berjalannya waktu, partai oposisi secara bertahap
bergabung dengan pemerintah, yaitu partai Gerindra yang memutuskan bergabung setelah
2
Hanta Yudha A.R., Presidensialisme Setengah Hati, Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 38.
3
Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Partai Politik, Cetakan Pertama, Kencana, Jakarta, 2020, hlm. 163.
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm.56.
5
Decky Wospakrik, Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensil di Indonesia, Papua Law Journal, Papua,
Vol. 1 No. 1, November 2016, hlm. 143.
kemenangan Presiden Joko Widodo dalam pemilihan Presiden 2019. Berdasarkan
kesepakatan tersebut, Presiden Jokowi lantas memberi dua kursi jabatan menteri kepada
partai Gerindra yakni kursi Menteri Pertahanan untuk ketua umum Gerindra yakni Prabowo
Subianto dan juga kursi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk Sandiaga Uno.6

2. Hasil penelitian dan pembahasan

Konstitusi Negara Indonesia telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
menganut sistem presidensial (Pasal 4 UUD 1945). Secara khusus, ketika konstitusi di
amandemenkan untuk menekankan sistem presidensial yang diterima, hal ini ditandai dengan
sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sifat sistem presidensial tidak
memiliki supremacy of parliament karena dianggap tidak memiliki kapasitas sebagai lembaga
pemegang kekuasaan negara. Dalam sistem presidensial, presiden sebagai eksekutif memiliki
kedudukan yang seimbang antara legislatif maupun dengan yudikatif, karena ketiganya saling
terkait secara horizontal sehingga satu sama lain tidak dapat saling menjatuhkan, kecuali ada
alasan tertentu yang telah diatur oleh UUD.7

6
Ahmad Sholihin, Fenomena Koalisi Partai Politik Pada Suatu Pemerintahan, Jurnal Ilmu Administrasi dan
Manajemen, Yogyakarta, Vol. 6 No. 2, Mei 2022, hlm. 56-57.
7
Lidya Christina Wardhani, Op.Cit., hlm. 262.
Sistem pemerintahan presidensial di negara multipartai yang heterogen sangat tidak
efisien. Hal ini disebabkan oleh polarisasi masyarakat yang termanifestasi di parlemen,
sehingga parlemen menjadi cair, tidak stabil dan sangat fleksibel. Oleh karena itu, praktik ini
sangat berlawanan dengan hakikat kekuasaan eksekutif pemerintahan presidensial yang
bersifat rigid (kaku). Kekakuan eksekutif ini tercermin dengan masa jabatan fixed term dan
Presiden yang tidak dapat digulingkan oleh legislatif, membuat masyarakat frustasi
menunggu sampai masa jabatan presiden berakhir dan kemudian memilihnya kembali
presiden dalam pemilihan umum. Dua pemilihan umum diselenggarakan dalam pemerintahan
presidensial, yaitu pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden. presiden memiliki
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, sehingga pemilihan umum presiden menjadi
sangat penting karena menentukan arah kebijakan negara. Dalam sistem ini, partai politik
dalam pemilihan umum presiden lebih cenderung menjadi pendukung atau pendukung
program calon presiden yang didukungnya. Dengan demikian, partai politik umumnya
menjadi kendaraan politik untuk memperoleh kedudukan atau jabatan politik. Selain itu,
popularitas calon presiden menjadi faktor terpenting dalam model pemilihan umum ini
dibandingkan dengan program partai politik.8

Mendefinisikan partai politik tidaklah mudah. Pada umumnya partai politik bersifat
normatif dan jawaban yang diberikan oleh para ilmuwan politik berbeda-beda dari waktu ke
waktu. Namun, ada pendapat umum tentang partai politik yang berangkat dari anggapan
bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang
mempunyai berpikiran sama sehingga ide dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Hal ini
memungkinkan mereka untuk memiliki pengaruh lebih besar dalam pembuatan dan
pelaksanaan keputusan.9

Meskipun banyak definisi-definisi partai politik namun beberapa contoh dikemukakan


sebagai berikut. Sedangkan Miriam Budiarjo menyebutkan, secara umum dapat dikatakan
bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. 10 Sedangkan secara yurudis,
penjelasan mengenai partai politik terdapat dalam Pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011, yang menyebutkan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat

8
Moch. Marsa Taufiqurrohman, Koalisi Partai Politik dan Implementasinya Terhadap Sistem Presidensial
Multipartai di Indonesia, Kertha Semaya Journal Ilmu Hukum, Jember, Vol. 9 No. 1, Desember 2020, hlm. 136.
9
Efriza, Eksistensi Partai Politik Dalam Persepsi Publik, Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik dalam
Negeri dan Hubungan Internasional, Jakarta, Vol. 10 No. 1 Mei 2019, hlm. 20.
10
Ahmad Ainun N., Pergeseran Peran Partai Politik dalam Mewujudkan Produk Hukum Yang Berdasarkan
Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum, Yogyakarta, Vol. 2 No. 2 Desember 2019, hlm. 8.
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.11

Gagasan tentang pentingnya partai politik disampaikan oleh pemikir terkenal Inggris
yaitu John Stuart Mill. Mill menekankan pentingnya partai politik bagi masyarakat untuk
menentukan atau menempatkan wakilnya sendiri sebagai pejabat negara, yang dapat
diberhentikan menurut kepentingan masyarakat. Penanganan masalah akan lebih efektif jika
dilakukan secara kolektif melalui suatu partai. K.C. Whear juga sependapat dengan Mill,
dengan mengatakan bahwa partai politik pada hakikatnya adalah cara bagi rakyat untuk dapat
mengontrol atau berpartisipasi dalam pemerintahan melalui pengorganisasian. Organisasi ini
didasarkan pada kesamaan pandangan ideologis, ekonomi, sosial dan kepentingan lainnya.
Namun, yang lebih penting dalam mengorganisir sebuah partai politik adalah keinginan
bersama untuk mempertahankan atau menduduki posisi atau kekuasaan politik, hal itu
dilakukan dengan cara berkoalisi.12

Koalisi adalah aliansi, merger, atau federasi dari beberapa elemen yang masing-masing
bekerja sama dengan kepentingan sendiri. Aliansi semacam ini mungkin bersifat sementara
atau berasas manfaat. Sedangkan hakikat koalisi adalah untuk membentuk pemerintahan yang
kuat, mandiri, dan tahan lama. Koalisi Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat. Secara teori,
koalisi hanya bekerja jika kedua belah pihak menerapkan ide-ide realistis dan rasional.
Koalisi seharusnya tidak hanya ditafsirkan sebagai persahabatan, tetapi harus dibangun
dengan tujuan yang jelas. Teori koalisi terkait erat dengan keberadaan kepentingan elitis.
Kepentingan elit ini yang menentukan arah koalisi, kadang-kadang dapat mengarah ke tingkat
yang lebih rendah (Keraguan). Koalisi itu harus mengembangkan strategi yang disesuaikan
dengan kegiatan para pemangku kepentingan mereka dan mitra koalisi. Sehingga, platform
bersama menjadi dasar koalisi dalam menghadapi aktor-aktor lawan. Oleh karena itu, koalisi
membutuhkan mitra, musuh, dan strategi. Koalisi politik tidak didasarkan pada tujuan

11
Lihat Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
12
Benito Asdhie KMS., Fungsi Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilihan Umum Kepala
Daerah di Kota Medan, Jurnal EduTech, Medan, Vol. 5 No.1 Maret 2019, hlm. 2.
material, mereka didasarkan pada tujuan politik. Pembentukan koalisi politik akan lebih
banyak memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan terhadap efektivitas
kebijakan.13

Dalam konteks sistem presidensial, struktur yang terbentuk didasarkan pada pembagian
kekuasaan pemerintahan adalah bentuk koalisi pemerintahan. Dalam hal ini, distribusi
dilakukan dengan persetujuan presiden. Dalam bentuk koalisi, presiden selalu memutuskan
struktur pemerintahannya, meskipun presiden bukan dari partai politik tertentu (independen)
atau partai yang bukan non-mayoritas. Posisi ini menjadikan presiden senantiasa dapat
menjalankan perannya dengan cukup leluasa. Peran ini tidak hanya mempengaruhi fungsi
pada pemerintahan, tetapi juga secara keseluruhan di pemerintahan. Sebagai institusi,
Presiden selalu berinteraksi dengan parlemen terkait dengan proses politik pemerintahan.
Tanda-tanda saat ini menunjukkan perbedaan dalam dua sistem pemerintah tersebut.
Perbedaan ini sangat terkait dengan pelaksanaan kekuasaan dalam sistem dan hubungan
antara eksekutif dan legislatif. Secara umum, perbedaan dapat dilihat pada dasar
pembentukan dan pelaksanaan koalisi. Juga dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan,
termasuk dinamika proses politik, kedua sistem pemerintahan tersebut menunjukkan
kecenderungan yang sama. Peran partai politik sangat penting, karena adanya kesamaan
tujuan dan eratnya hubungan antara kader partai di pemerintahan dengan membuat koalisi
kedua sistem tersebut cenderung menghasilkan kesamaan cara kerja dalam kaitan dengan
kepentingan koalisi.14

Di Indonesia terdapat berbagai bentuk koalisi, Ada beberapa bentuk koalisi partai yang
dikelompokkan menurut jenis koalisinya, yaitu:

1) Koalisi potensial adalah sesuatu kondisi koalisi ada relevansi yang muncul, dapat
menjadi koalisi jika ada tindakan bersama. Koalisi ini terbagi menjadi dua bagian:
latent, artinya belum terbentuk koalisi aktif dan Dormant, artinya sudah terbentuk lebih
awal, tetapi sudah tidak aktif lagi.
2) Koalisi operasi adalah jenis koalisi partai politik yang masih berjalan. Jenis ini terbagi
menjadi dua bagian: koalisi stabil, di mana koalisi ini cukup aktif, biasanya terbentuk
secara normal, dan terjadi dalam waktu singkat, kemudia koalisi temporer, yaitu koalisi
yang berfokus pada satu isu inti.
13
Yusrijal Abdar, Koalisi Partai Politik Dalam UU No. 10 Tahun 2016, Jurnal Hukum Magnum Opus, Surabaya,
Vol. I No. 1, Agustus 2018, hlm. 58-59.
14
Sukri T., dan Sakinah N., Koalisi Partai Politik di Indonesia Pasca Soeharto, Jurnal Review Politik,
Makassar, Vol. 03 No. 02, Desember 2013, hlm. 273.
3) Koalisi bersambung adalah jenis koalisi sementara karena masalah yang belum
terselesaikan. Koalisi dalam ranah politik yang mana terdiri atas dua partai atau lebih
untuk mewujudkan satu kekuasaan secara bersama-sama.15

Terdapat permasalahan dalam koalisi partai yang dinilai lemah dalam penerapan sistem
presidensial Indonesia, yaitu sistem presidensial yang mensyaratkan keterbukaan kepada
banyak pihak dengan cara berkoalisi. Instabilitas pemerintahan memang dapat terjadi pada
sistem parlementer multipartai dibandingkan dengan sistem parlementer. Seperti yang
dikatakan Miriam Budiardjo, sistem multipartai, apalagi jika dipadukan dengan sistem
pemerintahan parlementer, cenderung memusatkan kekuasaan di legislatif, sehingga
seringkali peran eksekutif menjadi lemah dan bimbang. Hal ini sering terjadi karena tidak ada
partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri dan karena itu terpaksa
berkoalisi dengan partai lain. Dalam keadaan seperti itu, partai-partai koalisi harus siap untuk
menarik kembali dukungan partai-partai koalisi jika mayoritas di parlemen hilang.16

Kemudian untuk saat ini, parpol yang berkoalisi sebagian besar termasuk dalam
kategori koalisi besar, karena hampir semua parpol berkoalisi pada saat terbentuk. Hal ini
mengakibatkan jumlah partai melebihi batas yang dibutuhkan untuk mendukung mayoritas
parlemen. Namun, bentuk koalisi lintas batas seperti itu sebenarnya penuh dengan
kepentingan politik dan saling negosiasi untuk mendapatkan posisi tertentu di pemerintahan.
Koalisi yang tepat dan ideal ialah koalisi yang dibentuk semata-mata untuk mendapatkan
dukungan mayoritas, tanpa partai politik yang tidak diperlukan untuk mendapatkan dukungan
mayoritas di parlemen. Maka dari itu, untuk mencapai kekuatan politik yang optimal,
penyederhanaan jumlah partai politik merupakan salah satu cara agar pemerintahan dapat
berjalan dengan baik dan kuat.17

Oleh karena itu, jalan menuju pemerintahan yang kuat, efisien, dan stabil di Indonesia
akan terwujud jika ada dukungan dari sistem kepartaian yang sederhana. Karena, sistem
kepartaian yang sederhana mengurangi pengambilan keputusan yang berlarut-larut karena
banyaknya partai politik yang ada. Realitas saat ini adalah tidak ada koalisi permanen dari
partai politik utama, sehingga setiap keputusan pemerintah hampir selalu diblokir oleh
parlemen. Oleh karena itu, harus diupayakan untuk membentuk koalisi partai politik yang
langgeng yang tidak hanya mendukung pemerintah tetapi juga aliansi partai yang dibentuk
15
Ahmad S., Heri K., Op.Cit., hlm. 66.
16
Dinoroy Marganda A., Penerapan Sistem Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal
Mimbar Hukum, Yogyakarta, Vol.22 No. 2, Juni 2010, hlm. 403.
17
Lidya Christina Wardhani, Op. Cit., hlm. 265.
dalam bentuk lain. Hal ini harus dilakukan agar tetap sejalan dengan prinsip pemisahan
kekuasaan dalam sistem presidensial.

3. Penutup
a. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa koalisi


partai politik bukanlah yang sebenarnya terjadi di negara yang menganut sistem
presidensial seperti Indonesia, tetapi karena untuk dapat maju dalam pemilihan umum,
seorang Presiden/wakil Presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik seperti aturan di dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu untuk
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden harus diusulkan dari partai politik atau
gabungan partai politik, sehingga mau tidak mau partai-partai yang tidak melewati
ambang batas harus berkoalisi untuk dapat mengikuti pemilu. Namun yang terjadi,
koalisi partai politik yang terbentuk biasanya didasarkan pada kepentingan politik
untuk mendapatkan posisi penting di kabinet, dan bukan hanya karena kesamaan visi,
misi, dan tujuan untuk kebaikan rakyat. Akibatnya, hak prerogatif presiden dalam
pemerintahan presidensial hancur akibat tekanan dan kemauan politik dari para partai
politik pendukung.

b. Saran

Untuk mencegah munculnya koalisi sub-optimal yang mengganggu sistem presidensial


Indonesia, setidaknya ada hal yang harus dilakukan, yaitu dengan menaikkan ambang batas
kursi di parlemen dan menyederhanakan jumlah partai politik yang ada. Menciptakan sistem
kepartaian yang lebih sederhana akan mendorong koalisi partai politik yang lebih disiplin dan
terorganisir serta memperkuat demokrasi. Selain itu pemerintahan juga perlu didukung
kepemimpinan Presiden yang kuat. Selain itu, pemerintah membutuhkan dukungan
kepemimpinan presiden yang kuat. Dengan ditetapkannya sistem presidensial seperti itu,
diharapkan presiden mampu memaksimalkan keinginan dan kesejahteraan rakyat, daripada
harus mengikuti intervensi partai politik, sehingga nuansa demokrasi lebih dirasakan dan
lebih bermanfaat bagi rakyat.

Anda mungkin juga menyukai