Anda di halaman 1dari 8

SISTEM MULTIPARTAI DALAM PELAKSANAAN PEMILIHAN

UMUM LEGISLATIF DI INDONESIA SETELAH ERA ORDE BARU

Syifa Fauziah1, Winda Melinda2, Delima Nasywa3

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi
Jl. Siliwangi No.24, Kahuripan, Kec. Tawang, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat

e-mail: 223507001@student.unsil.ac.id, 223507020@student.unsil.ac.id,


223507029@student.unsil.ac.id

ABSTRAK

Sistem multipartai merupakan variasi dari sistem partai yang tumbuh dalam konteks dunia
modern. Sistem partai politik berfungsi sebagai media interaksi bertingkat antarpartai politik.
Di Indonesia, setelah runtuhnya Orde Baru, jumlah partai politik berkembang pesat.
Kelahiran dan pertumbuhan begitu banyaknya partai politik ternyata menjadi beban dan
tantangan dalam upaya penyederhanaan pasca Orde Baru. Jumlah partai politik yang muncul
setelah periode tersebut bukanlah solusi evolusioner, tetapi malah menjadi salah satu
hambatan bagi sistem pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, tantangan penyederhanaan
partai politik bukanlah langkah mundur menuju sistem pemerintahan Orde Baru, melainkan
upaya efisiensi dalam sistem pemerintahan yang adil dan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Kata kunci: Sistem Multipartai; Pemilihan Umum,;Legislatif;Partai Politik


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan tata pemerintahan di bawah rezim Soeharto menjelang akhir kekuasaannya


menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan bagi golongan wong cilik dalam
berbagai aspek kehidupan nasional. Di bidang hukum, alih-alih membatasi kekuasaan hukum,
justru digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan kekayaan pribadi. Dengan kata lain,
dalam rentang waktu 1966-1998, tercipta hukum yang bersifat diskriminatif, sementara
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus mewarnai kehidupan bangsa. Manipulasi
ini terjadi karena Presiden Soeharto hampir sepenuhnya mengendalikan semua kekuasaan
negara; ia memanfaatkan kelemahan Konstitusi 1945 dengan memengaruhi proses rekrutmen
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui rekayasa undang-undang tentang struktur
dan posisi parlemen.

Melihat situasi yang semakin hegemonik, semangat kaum reformis pun muncul untuk
memberontak, menghasilkan penggulingan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998
setelah 30 tahun berkuasa. Untuk mewujudkan amanat reformasi, diperlukan pembenahan
dan penataan ulang terhadap sistem negara dan pemerintahan. Amandemen konstitusi
memperkuat deklarasi negara hukum, menjadikannya bagian integral dari Konstitusi 1945.
Konsep pemisahan kekuasaan negara ditekankan. MPR tidak lagi memiliki kekuasaan tanpa
batas, dan presiden tidak lagi memiliki wewenang membentuk undang-undang, melainkan
hanya berhak mengajukan dan membahas RUU. Kekuasaan dikembalikan kepada lembaga
yang berhak, yaitu DPR. Lebih lanjut, dalam beberapa hal, khususnya yang berkaitan dengan
isu regional, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilibatkan dalam proses legislasi. Dasar
hukum untuk sistem pemilihan umum diatur, yang sebelumnya sama sekali tidak disebutkan
dalam UUD 1945. Pemilihan umum juga diterapkan secara langsung untuk presiden dan
wakil presiden. Namun, kontrol politik yang memonopoli pencalonan presiden dan wakil
presiden, sehingga tidak memungkinkan calon independen, merupakan salah satu unsur yang
mengurangi nilai partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut, Bagaimanakah relevansi sistem multipartai dalam pelaksanaan pemilu
legislatif Indonesia pasca orde baru?
TINJAUAN PUSTAKA

1. Gambaran Umum Tentang Negara Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang terbentuk secara politis, dan pada dasarnya
kekuatan atau naluri politis menjadi inspirasi lahirnya negara ini. Pemahaman mengenai
negara ini berkembang di Indonesia melalui hubungannya dengan dunia barat melalui
perdagangan, yang kemudian berubah menjadi hubungan kolonisasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa negara Indonesia mendapat dorongan dari luar.

2. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan negara mencerminkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan


saling berhubungan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga
negara dalam sistem politik melibatkan empat institusi utama, yaitu eksekutif, birokrasi,
legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat juga lembaga atau unsur lain seperti parlemen,
pemilu, dan dewan menteri.

3. Definisi Partai Politik

Partai politik adalah asosiasi warga negara dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai
badan hukum (rechts-persoon). Meskipun partai politik memiliki status badan hukum, namun
tidak dapat tergabung dengan badan hukum lainnya. Anggota partai politik hanya dapat
berasal dari individu warga negara sebagai natural persons. Menurut Miriam Budiarjo, partai
politik adalah kelompok terorganisir yang anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-
cita dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik guna melaksanakan kebijaksanaan
partai.

4. Definisi Pemilihan Umum

Pemilihan Umum, menurut A. S. S. Tambunan, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat


dan pada dasarnya merupakan pengakuan serta perwujudan hak-hak politik rakyat, sekaligus
merupakan delegasi hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan
pemerintahan. Menurut M. Rusli Karim, pemilu adalah salah satu sarana utama untuk
menegakkan pemilih sebagai parameter pelaksanaan demokratisasi suatu negara.

.
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Partai Politik

Partai politik adalah organisasi warga negara dan dapat diakui sebagai badan hukum
(recht-persoon). Meskipun memiliki status badan hukum, partai politik tidak diizinkan
memiliki badan hukum lain sebagai anggota; hanya individu warga negara sebagai
natuurlijke persons yang dapat menjadi anggota partai politik. Menurut Miriam Budiarjo,
partai politik merupakan kelompok terorganisir yang anggotanya memiliki orientasi, nilai-
nilai, dan cita-cita dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik untuk melaksanakan
kebijaksanaan partai. Partai politik adalah kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria
cakap hukum, terorganisir secara ideologis, diarahkan pada kepemimpinan partai untuk
meraih posisi negara, baik di legislatif maupun eksekutif, melalui cara yang sesuai,
konstitusional, dan dengan seleksi kepemimpinan yang teratur dan berkala. Suatu organisasi
politik atau masyarakat dapat dianggap sebagai partai politik jika memenuhi kriteria tersebut
secara teoritis.

Partai memiliki makna dalam arti luas dan sempit. Secara luas, partai adalah
pengelompokan masyarakat dalam organisasi umum yang tidak terbatas pada organisasi
politik. Dalam arti sempit, partai adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang
politik. Meskipun beberapa ahli memiliki konsep yang berbeda mengenai partai politik,
mereka memiliki elemen-elemen yang hampir sama. Mac Iver, misalnya, mendefinisikan
partai politik sebagai perkumpulan yang diorganisir untuk mendukung suatu asas atau
perumusan kebijaksanaan yang mencoba menjadikannya sebagai dasar penentu
pemerintahan. Partai politik memiliki peran penting dalam setiap sistem demokrasi dan
berfungsi sebagai penghubung strategis antara proses pemerintahan dan warga negara.
Sebagian besar berpendapat bahwa partai politiklah yang menentukan demokrasi, seperti
dinyatakan oleh Schattscheider bahwa "partai politik menciptakan demokrasi." Namun,
terdapat juga pandangan kritis dan skeptis terhadap partai politik, menganggapnya sebagai
alat bagi elite berkuasa untuk memenuhi keinginan dan kepentingan mereka sendiri.

Di Indonesia, partai politik memiliki posisi strategis sebagai pilar utama demokrasi,
karena pemimpin negara, Presiden dan Wakil Presiden, berasal dari partai politik. Hal ini
tercermin dalam konstitusi negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 6A Ayat 2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem kepartaian yang
berkembang di dunia modern, salah satunya sistem multipartai, diadopsi oleh Indonesia
dengan pertimbangan adanya keanekaragaman budaya politik. Keanekaragaman ini
mendorong pembentukan partai politik oleh berbagai golongan masyarakat, sehingga aspirasi
mereka dapat diwakili oleh perwakilan mereka di parlemen.

B. Relevansi Sistem Multipartai Dalam Pelaksanaan Pemilu Legislatif di Indonesia

Setelah era Orde Baru, sistem pemilu di Indonesia mengalami berbagai perubahan.
Saat ini, Indonesia menerapkan sistem pemilu dua periode, yaitu pemilu legislatif, pemilu
presiden dan wakil presiden, serta pemilu kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pemisahan sistem pemilu, baik di tingkat nasional maupun pusat, eksekutif maupun legislatif,
dianggap tidak efektif dan efisien dalam konteks sistem presidensial. Selain menimbulkan
konflik dengan berbagai kepentingan kelompok atau individu, pemisahan ini juga berdampak
besar pada efisiensi anggaran pemerintah terkait pelaksanaan pemilu.

Sistem partai politik juga mengadopsi multi partai, dengan jumlah partai politik yang
tidak dibatasi dan persyaratan yang terlalu mudah. Hal ini berpengaruh pada proses
perekrutan, pengkaderan, pendidikan, dan kompetensi kader, terutama ketika mereka terpilih
menjadi pemimpin. Implikasinya adalah tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh calon
terpilih dapat dipengaruhi oleh faktor selain kepentingan masyarakat umum, seperti
kepentingan pribadi dan kelompok.

Sistem pemilu legislatif mencakup tiga sistem utama: mayoritas, proporsional, dan
semiproporsional. Namun, sistem ini telah menimbulkan berbagai masalah dalam
masyarakat, termasuk money politic, mobilisasi massa, kecurangan, dan irrasionalitas para
calon dalam upaya memenangkan pemilu. Gejolak, pertikaian, dan pertengkaran di
masyarakat semakin meluas, menjadi faktor yang memperumit sistem pemilu.

Pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia dilakukan melalui dua cara, yaitu
pemilihan langsung (populary elected) dan tidak langsung (electoral college). Calon yang
memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai presiden terpilih dalam pemilihan langsung,
sementara dalam pemilihan tidak langsung, calon harus memperoleh lebih dari 50% suara
wakil rakyat yang menjadi representasi rakyat. Sistem pemilu ini masih dianggap sulit
dipahami oleh masyarakat, terutama mereka yang tidak melek huruf. Pemilu juga dianggap
tidak efisien karena terpisahnya pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden, serta
pemilu kepala daerah yang disesuaikan dengan waktu dan ketentuan yang berbeda.
Konsep pemilu serentak dengan sistem pluralisme moderat yang dipaparkan oleh
Ramlan Surbakti dapat menjadi sumber ide untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan pemilu. Pemisahan penyelenggaraan pemilu antara daerah dan nasional
diharapkan dapat mengatasi beberapa masalah, seperti konsentrasi penuh pengurus partai,
konflik internal, dan durasi pemilu yang terlalu lama. Dengan pelaksanaan pemilu dalam
jangka waktu 2-3 tahun, diharapkan partai politik dapat lebih serius dalam kaderisasi dan
calon dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka.

Rapuhnya sistem tatanan pemerintahan disebabkan oleh kurangnya kepercayaan dari


rakyat sebagai pemegang kekuasaan penuh dalam negara. Kepercayaan masyarakat memiliki
dampak positif dalam pembangunan bangsa yang efektif dengan dukungan penuh terhadap
kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan
transparansi dan partisipasi masyarakat melalui media yang mudah diakses, sehingga tercipta
kerjasama yang komprehensif antara pemerintah dan masyarakat untuk pembangunan bangsa
yang lebih maju. perlu adanya reformasi dalam sistem pemilu dan partai politik untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Reformasi ini dapat melibatkan restrukturisasi
sistem pemilu, penguatan pengawasan, dan peningkatan transparansi dalam pemilihan umum.
Selain itu, perlu dilakukan edukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi yang aktif
dalam proses politik dan bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam memilih pemimpin
yang mewakili kepentingan bersama. Dengan demikian, upaya menciptakan pemilu yang
adil, bersih, dan demokratis dapat menjadi kenyataan, dan prinsip keadilan serta kesetaraan
dalam demokrasi dapat ditegakkan secara efektif. Hal ini akan menciptakan fondasi yang
kokoh untuk pembangunan bangsa yang lebih maju dan inklusif.
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pemilu legislatif


yang sedang diterapkan saat ini menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat.
Termasuk di antaranya adalah money politic, mobilisasi massa dengan melibatkan anak-anak,
praktik kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, hingga adanya kecenderungan untuk
menggunakan segala cara demi memenangkan pemilu. Selain itu, irrasionalitas para calon
legislatif dalam upaya mencapai kemenangan juga dapat menyebabkan hilangnya prinsip
keadilan dan kesetaraan.

Indikator permasalahan tersebut dapat dianalisis dari sistem pemilu yang dianut,
termasuk sistem partai politik dan ketidakseimbangan dalam sistem pemilu. Adanya
implementasi kebijakan yang tidak selalu dapat diakses secara langsung oleh masyarakat
melalui berbagai media juga menjadi bagian penting dalam memahami permasalahan ini.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang komprehensif antara pemerintah dan masyarakat
untuk memajukan pembangunan bangsa menuju tingkat yang lebih maju.

Oleh karena itu, perlu adanya reformasi dalam sistem pemilu dan partai politik untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Reformasi ini dapat melibatkan restrukturisasi
sistem pemilu, penguatan pengawasan, dan peningkatan transparansi dalam pemilihan umum.
Selain itu, perlu dilakukan edukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi yang aktif
dalam proses politik dan bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam memilih pemimpin
yang mewakili kepentingan bersama. Dengan demikian, upaya menciptakan pemilu yang
adil, bersih, dan demokratis dapat menjadi kenyataan, dan prinsip keadilan serta kesetaraan
dalam demokrasi dapat ditegakkan secara efektif. Hal ini akan menciptakan fondasi yang
kokoh untuk pembangunan bangsa yang lebih maju dan inklusif.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan


Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Edisi Revisi, dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI. “Partai Politik
dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi.” J urnal 6.

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Indrayana, Denny. 2004. “Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi Menuju
Demokrasi vs Korupsi.” Jurnal Konstitusi 1, no. 1.

Masyrofah, Masyrofah. 2013. “Arah Perubahan Sistem Pemilu dalam Undang-Undang


Politik Pasca Reformasi (Usulan Perubahan Sistem Pemilu dalam Undang-Undang
Politik Pasca Reformasi).” Jurnal Cita Hukum 1, no. 2: 96085

Oga, Oga Hivasko Geri. 2021. “Analisis Sistem Multipartai Terhadap Sistem Pamerintahan
Presidensial Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.” Limbago:
Journal of Constitutional Law 1, no. 1: 21–40.

Anda mungkin juga menyukai