Anda di halaman 1dari 9

Peran Partai Politik dalam Demokratisasi di Indonesia: Sejarah Partai

Politik dalam Pemilihan Umum di Indonesia

Oleh : Yong Irwana Indrajaya

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara tergolong dalam negara berkembang, hal tersebut
dapat dimaknai bahwa Indonesia sedang dalam tahap mengembangkan negaranya di segala
aspek mulai dari pendidikan, hukum, ekonomi, hingga politik. Semenjak kemerdekaan Indonesia
76 tahun silam negara mengalami banyak hambatan dan dinamika dalam perjalanan
pengembangannya dalam seluruh bidang tanpa terkecuali. Salah satu bidang yang seringkali
berhadapan dengan permasalahan yaitu politik. Pengembangan politik pada suatu negara menjadi
sesuatu yang esensial karena sistem dan situasi politik suatu negara berimplikasi kepada
berjalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Perubahan politik yang terjadi di
Indonesia umumnya terwujud melalui perubahan bentuk pemerintahan ataupun kehadiran
kebijakan-kebijakan politik tertentu yang berdampak pada sistem kepartaian negara. Dalam
perkembangan republik ini, setidaknya terdapat tiga masa yang telah dilalui Indonesia dari aspek
perkembangan demokrasinya yaitu:
1. Era Demokrasi Parlementer, pada era ini parlemen serta partai-partai mendominasi
spemerintahan melalui parlemen.
2. Era Demokrasi Terpimpin, demokrasi pada masa ini cenderung terselenggara secara
otoriter dan dipegang oleh satu pihak sebagai pusat komando.
3. Era Demokrasi Pancasila, demokrasi pancasila yang masih diterapkan hingga
sekarang merupakan asimilasi dari budaya asli Indonesia dan demokrasi barat.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut
berimplikasi pada dinamika yang terjadi di partai politik yang ada di Indonesia. Perubahan
jumlah partai politik yang berkontestasi di Indonesia dari masa ke masa menjadi salah satu
indikasi pola hubungan antara partai politik dan bentuk pemerintahan yang sedang dianut. Pada
zaman kolonial, kehadiran partai politik dilatar belakangi oleh meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk bangkit melawan kolonialsme. Kemudian pada Orde Lama kehadiran partai
politik yang menganut sistem multi partai dengan ideologinya masing-masing menjadi
representasi dari nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat kala itu. Pada masa ini terdapat
setidaknya tiga ideologi yang mencorakkan pemerintahan di Indonesia yaitu nasionalis, agama,
dan komunis.
Sistem multi partai yang dianut pada masa Orde Lama kemudian mengalami perubahan
pada masa Orde Baru. Pada masa ini, terdapat dua partai politik dan satu kelompok yang
menamakan dirinya golongan karya yang kemudian menjadi cikal bakal partai Golkar. Paham
komunisme yang diberantas pada akhir Orde Lama menyebabkan menyemptinya ideologi-
ideologi yang mewarnai perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Lebih lanjut, dua partai
politik yang ada pada Orde Baru merupakan penggabungan antara partai-partai sebelumnya
dengan ideologi serupa. Seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merepresentasikan
nasionalisme dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kemudian berideologi keagamaan.
Akhir Orde Baru yang ditandai oleh kemunculan gerakan reformasi pada tahun 1998
yang dilatar belakangi oleh krisis moneter asia dan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pemerintahan di kala itu menyebabkan dinamika di dalam negeri. Transisi dari Orde Baru ke
reformasi yang diwarnai konflik kala itu berimplikasi kepada perpolitikan dan penyelenggaraan
pemerintahan tidak terkecuali sistem kepartaian. Minimnya kuantitas partai politik pada Orde
Baru disinyalir menjadi salah satu faktor ketidakstabilan negara oleh karena itu, melalui Undang-
Undang No. 2 Tahun 1999 menjadi titik balik sistem kepartaian dan politik yang ada di
Indonesia. Hal ini disambut baik oleh masyarakat, dimana pada Pemilu tahun 1999 terdapat 48
partai yang berpartisipasi dan di Pemilu berikutnya terdapat 24 partai yang turut andil dalam
pemilu 2004. Perubahan tersebut tentunya menjadi katalisator pengembangan politik di
Indonesia yang kemudian berimplikasi kepada kebaikan masyarakat.
Dinamika yang terjadi dalam proses penyelenggaraan demokrasi di Indonesia tidak
terlepas dari kehadiran partai politik sebagai salah satu aktornya. Oleh karena itu, pengkajian
mengenai hubungan antara partai politik dan penyelenggaraan demokrasi dapat menjadi suatu
bahasan yang dapat membantu memberikan pemahaman dalam memahami penerapan sistem
demokrasi yang ada di Indonesia dari masa ke masa.
PEMBAHASAN
a. Partai Politik dalam Pelaksanaan Demokrasi (Penjelasan Konseptual)
Partai politik yang berperan untuk menjadi media penghubung antara masyarakat dengan
pemerintah tentunya menjadikan kehadirannya sebagai penunjang berjalannya demokrasi di
suatu negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan demokrasi yang ada di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari kehadiran partai politik. Lebih lanjut, partai politik berperan untuk menampung
aspirasi masyarakat dan mengolahnya secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk
menentukan langkah yang akan ditempuh oleh partai politik. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwasannya partai politik merupakan salah satu media yang dapat digunakan
untuk menyuarakan suara rakyat sehingga partai politik memiliki posisi yang sangat penting
dalam berjalannya demokrasi di suatu negara. Berkaca pada kondisi tersebut, banyak pandangan
yang berpendapat bahwa partai politiklah yang kemudian menentukan demokrasi dan arah gerak
dari suatu negara kedepannya.
Penerapan demokrasi di Indonesia yang mengedepankan partisipasi rakyatnya dalam
penyelenggaraan negara tercermin dari kehadiran partai politik dan media-media lain yang
difasilitasi pemerintah untuk mewujudkan demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Oleh
karena itu media utama yang digunakan oleh pemerintah dalam mewujudkan demokrasi
kedaulatan rakyat ialah melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dianggap sebagai salah satu
cara yang efektif untuk mewadahi aspirasi dan kepentingan rakyat. Dalam penyelenggaraan
pemilihan umum tentunya tidak terlepas dari kehadiran partai politik. Walaupun di sebagian
kasus teradapat calon-calon yang tidak memiliki latar belakang partai atau yang biasa disebut
independen tetapi sebagian besar calon maju mewakili partainya masing-masing baik di tingkat
daerah hingga tingkat nasional. Berkaca melalui hal tersebut posisi dan peranan partai politik
dalam realisasi perwujudan demokrasi menjadi sangat penting.
Selain sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah, partai politik memiliki
fungsi-fungsi lain yang dicetuskan oleh Miriam Budiardjo dalam karyanya yang berjudul Dasar-
Dasar Ilmu Politik. Fungsi-fungsi tersebut antara lain; komunikasi politik (political
communication), sosialisasi politik (political socialization), rekrutmen politik (political
recruitment), dan pengatur konflik (conflict management). Keempat fungsi partai politik tersebut
berkaitan satu sama lain dan bersifat komplementer. Lebih lanjut, kehadiran partai politik
sebagai sarana dalam melakukan komunikasi politik menjadi salah satu peran yang vital dalam
mengartikulasikan kepentingan (interests articulation). Dalam mengutarakan kebutuhannya,
masyarakat seringkali bersifat tertutup dan sulit untuk menyampaikannya oleh karena itu,
kehadiran partai politik berperan penting dalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan
masyarakat demi terselenggaranya demokrasi seutuhnya. Aspirasi masyarakat tersebut lebih
lanjut diadvokasikan kepada pihak-pihak yang berwenang dan sekiranya dapat menyelesaiakan
permasalahannya. Tidak terbatas pada point tersebut, fungsi komunikasi politik juga dapat
berbentuk edukasi dan sosialisasi politik terhadap masyarakat. Pendidikan yang dilakukan oleh
partai politik umumnya meliputi gagasan, pandangan, hingga langkah yang ingin ditempuh oleh
partai tersebut kedepannya. Dalam hal ini partai politik sekaligus menjadi intermediate structure
yang bertanggungjawab untuk menyebarluaskan cita-cita kenegaraan kepada masyarakat luas.
Fungsi berikutnya yang dimiliki oleh partai politik adalah rekrutmen politik atau political
recruitment. Sejatinya, kehadiran partai politik dalam penyelenggaraan suatu negara adalah
untuk menjadi kendaraan sekelompok masyarakat yang memiliki visi yang sama untuk meraih
posisi tertentu di pemerintahan. Pada dasarnya tiap masyarakat memiliki kemampuan sekaligus
kepentingan yang berbeda terlepas dari kesamaan nilai ataupun ideologinya. Lebih lanjut,
masyarakat yang tergabung menjadi bagian dari suatu partai politik disebut dengan istilah
‘kader’. Walaupun demikian, partai politik tidak memiliki kapasitas untuk menerima seluruh
masyarakat dan menempatkannya dalam satu posisi yang sama. Oleh karena itu, fungsi
rekrutmen berguna untuk menyaring dan menentukan kader-kader pilihan yang sekiranya sesuai
dengan posisi yang dibutuhkan. Catatan penting yang perlu diperhatikan dalam proses rekrutmen
ialah posisi-posisi yang berkaitan dengan jabatan pegawai negeri sipil tidak boleh dijadikan
tempat bagi partai politik untuk menempatkan kader-kadernya. Posisi-posisi yang diperbolehkan
diisi para aktor politik ialah posisi-posisi politik melalui political appointment ataupun prosedur
yang ada. Salah satu contoh perbedaan dari jabatan pegawai negeri sipil dan jabatan yang
bersifat politik adalah yang sebagaimana terdapat di lingkungan kementerian. Dalam satu
kementerian terdapat satu menteri dan staff-staff di bawahnya. Menteri merupakan jabatan yang
bersifat politik sehingga diangkat melalui political appointment sedangkan para staff yang
membantu kerja menteri tersebut merupakan pegawai negeri sipil yang menjadi pegawai melalui
proses rekrutmen yang berbeda.
Fungsi keempat yang menjadi fungsi terakhir partai politik ialah mengatur dan
melakukan manajemen atas konflik yang terjadi di masyarakat. Nilai-nilai dan kepentingan
masyarakat yang beragam seringkali bergesekan antara satu sama lain yang seringkali
menyebabkan konflik antar individu, individu dengan kelompok, hingga kelompok dengan
kelompok. Hal tersebut berimplikasi kepada kelahiran partai-partai politik baru yang secara
spesifik mewakili nilai tertentu yang dianut oleh masyarakat. Keanekaragaman ini merupakan
katalisator meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Kondisi tersebut
dapat dimaknai bahwa fungsi conflict management yang dimiliki oleh partai politik diwujudkan
melalui agregasi kepentingan atau aggregation of interest. Dengan fungsi tersebut, partai politik
dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan kepentingan-kepentingannya sesuai
dengan nilai dan ideologi yang dianutnya. Melalui fungsi ini, partai mengagregasikan sekaligus
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan tersebut secara persuasif ke pihak yang berwenang
dalam perumusan kebijakan-kebijakan politik di suatu negara.
b. Perjalanan Pemilihan Umum dan Partai Politik di Indonesia (Pembahasan Elaborasi
Konsep dan Data)
Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan Indonesia pada tahun 1955 menjadi awal
dari perjalanan panjang perwujudan penerapan demokrasi yang mengedepankan kedaulatan
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Pemilihan umum kala itu dilaksanakan di
bawah pengawasan Burhanudin Harahap selaku perdana menteri Indonesia. Terdapat perbedaan
yang mencolok antara pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955 dengan
yang kini kita implementasikan yaitu, pemilihan umum tahun 1955 masih menggunakan UUD
sementara Tahun 1950 dan belum menggunakan UUD 1945.
Pemilihan umum yang diselenggarakan pada tahun 1955 membagi daerah pemilihan
menjadi 16 bagian sebagaimana yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953.
Daerah tersebut terdiri atas: (i) daerah pemilihan Jawa Timur, (ii) Jawa Tengah, (iii) Jawa Barat,
(iv) Jakarta Raya, (v) Sumatera Selatan, (vi) Sumatera Tengah, (vii) Sumatera Utara, (viii)
Kalimantan Barat, (ix) Kalimantan Selatan, (x) Kalimantan Timur, (xi) Sulawesi Utara-Tengah,
(xii) Sulawesi Tenggara-Selatan, (xiii) Maluku, (xiv) Sunda Kecil Timur, (xv) Sunda Kecil
Barat, dan (xvi) Irian Barat. Namun terdapat fenomena unik yang terjadi kala itu dimana Irian
Barat tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum dikarenakan masih dalam sengketa
dengan pemerintahan Belanda.
Pada pemilihan umum tahun 1955 pemilihan anggota konstituante dan pemilihan anggota
DPR diselenggarakan secara terpisah, tetapi masih dalam tahun yang sama dengan jangka waktu
beberapa bulan. Tepatnya pada tanggal 29 September 1955 terdapat 29 partai politik yang
berpartisipasi dalam pemilihan anggota DPR. Melalui pemilihan umum tersebut, Partai Nasional
Indonesia keluar menjadi partai dengan suara terbanyak dengan 22,3% diikuti partai-partai yang
berideologi agama yaitu Masyumi dengan 20,9% dan Nahdlatul Ulama dengan perolehan suara
sebesar 18,4% . Pada tahun itu, Partai Komunis Indonesia menjadi salah satu poros kekuatan
politik masyarakat yang turutu berpartisipasi dalam kontestasi pemilu, PKI berhasil menempati
posisi empat besar dengan perolehan 15,4% dari total 37.875.229 jiwa yang memutuskan untuk
menggunakan hak suaranya. Fenomena golongan putih sudah ada semenjak pemilihan umum
pertama dimana tingkat partisipasi masyarakat sebesar 87,65% dari total 43.104.464 jiwa yang
memiliki hak suara.
Dalam jangka waktu tiga bulan, tepatnya pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan
untuk anggota konstituante diselenggarakan. Anggota konstituante yang terdiri atas 520 orang
memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan revisi dan menginisiasi konstitusi negara.
Secara garis besar, kewenangan dan tugas dari Badan Konstituen serupa seperti halnya Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dimiliki Indonesia saat ini. Kemudian, pada tahun 1956 tepatnya
pada tanggal 10 November Badan Konstiuante dilantik oleh Presiden Soekarno di Kota
Bandung, Jawa Barat. Adapun pelantikan tersebut menjadi akhir dari seluruh prosesi pemilihan
umum yang pertama kali diselenggarakan Indonesia di bawah Pemerintahan Kabinet
Burhanuddin Harahap. Melalui pemilihan umum ini lahir Kabinet Ali Sastroamidjojo yang
menggantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet Ali Sastroamidjojo dipegang oleh tiga
partai yang mendominasi suara kala itu yaitu, Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan
Nahdlatul Ulama (NU) dan disokong oleh Partai Katolik dan Kristen (Parkindo). Sementara,
Partai Komunias Indonesia (PKI) memilih untuk independen dan tidak bergabung dalam kabinet
demikian pula dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tepat 17 bulan semenjak pemilihan DPR
diselenggarakan yaitu pada bulan Desember 1956, Masyumi menarik aktor-aktornya dari jabatan
politik yang kemudian berimplikasi pada runtuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Tidak stabilnya perpolitikan yang ada di dalam negeri berimplikasi kepada kinerja Badan
Konstituante yang tidak dapat bekerja secara optimal dalam menjalankan tugasnya. Keadaan ini
memperparah proses penyelenggaraan pemerintahan yang ada di dalam negeri. Pembubaran
Kabinet Ali Sosotramidjojo dan menurunnya kinerja Badan Konstituante menuntut pihak-pihak
terkait untuk memperbaiki keadaan demi menghindari konflik dalam negeri yang dapat
mengancam masa depan bangsa. Dilatarbelakangi hal tersebut, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang bertujuan untuk menstabilkan kondisi dalam
negeri dan menanggulangi konflik politik yang terjadi. Dekrit Presiden tersebut berisikan tiga
point penting yang tentunya berimplikasi pada posisi partai politik dan penerapan demokrasi di
Indonesia, point tersebut antara lain: (i) pembubaran Konstituante; (ii) berlakunya kembali UUD
1945; (iii) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sementara dan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) Sementara.
Kemunculan Dekrit Presiden tahun 1959 ini mengisyaratkan transisi Demokrasi
Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin, transisi tersebut sekaligus menandakan awal dari
Orde Lama di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Melalui keputusan ini, Presiden
Soekarno mengambil langkah untuk mengusulkan serta mengimplementasikan sistem politik
yang dianggapnya praktis dimana seluruh pihak dapat mencapai persetujuan dan konsensu
bersama tanpa melalui konflik. Pada jaman Demokrasi Termpimpin, terhitung hanya ada satu kai
pemilihan umum yang terselenggara hingga berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno. Tepat
pada tahun 1965 terjadi transisi dari Orde Lama menjadi Orde Baru di bawah kuasa Soeharto
yang kemudian menjabat menjadi presiden dan salah satu tokoh penting Orde Baru. Di bawah
pimpinan Presiden Soeharto, penyelenggaraan pemilihan umum pertama dilaksanakan pada
tahun 1971 dan pada pemilihan umum tersebut sudah menggunakan UUD 1945 sebagai dasarnya
tentunya berimplikasi kepada peraturan dan ketentuan-ketentuan yang lebih ketat dari
sebelumnya. Pada pemilihan umum ini pula masyarakat dapat mencalonkan dirinya secara
independen, di sisi lain pada era ini terjadi penyerdehanaan terhadap partai politik.
Penyerdehanaan partai politik yang terjadi di Orde Baru berimplikasi kepada
berkurangnya jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 1971.
Dalam pemilihan umum ini terdapat 10 partai politik yang turut serta berkontestasi dan 2
diantaranya gagal mendapatkan posisi di DPR. Kedua partai tersebut antara lain, Partai
Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Selain terjadinya penyerdehanaan, terdapat beberapa partai yang berkontestasi pada pemilihan
umum 1955 yang sudah membubarkan diri atau dibubarkan oleh pemerintah sehingga tidak turut
serta berkontestasi di pemilihan umum tahun 1971. Partai-partai tersebut antara lain Partai
Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi).
Selain terdapat pengurangan jumlah partai akibat pembubaran ataupun penyederhanaan,
muncul partai dan kelompok baru yang berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 1971. Partai
tersebut adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan kelompok tersebut adalah Golongan
Karya (Golkar). Golkar berhasil keluar menjadi pemengan di pemilihan umum tahun 1971 ini
dengan suara yang diperoleh sebesar 62,82% dari total 34.348.673 suara yang masuk. Lebih
lanjut, Golkar berhasil mengamankan 236 kursi DPR dari total 360 kursi yang ada. Di sisi lain,
Parmusi sukses mendapatkan 24 kursi di parlemen dan berada satu tingkat di bawah Partai
Nahdlatul Ulama yang berada di posisi kedua dengan berhasil mengamankan 58 kursi. Berbeda
dengan pemilihan umum sebelumnya, pada pemilihan umum tahun 1971 terdapat lembaga
khusus yang berwenang dan bertugas menyelenggarakan pemilihan umum yaitu Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) yang menjadi cikal-bakal lahirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lahirnya LPU merupakan amanat dari keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 yang dipimpin
oleh Menteri Dalam Negeri yang berinisiasi untuk mendirikan badan yang bertanggungjawab
menyelenggarakan pemilihan umum pada tingkat pusat hingga desa yang bernama Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI).
Dominasi Golkar pada pemilihan umum tahun 1971 mengindikasikan dugaan akan
terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Partai lain yang turut
berkontestasi pada pemilihan umum tahun itu menuntut hadirnya lembaga yang dapat melakukan
pengawasan pada keseluruhan prosesi pemilihan umum dari awal hingga akhir. Tuntutan tersebut
kemudian direalisasikan oleh pemerintah setelah penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1977
tepat ketika menjelang terselenggaranya pemilihan umum tahun 1982. Badan pengawas tersebut
kemudian berdiri dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Faktor utama
yang mendorong hadirnya badan ini adalah indikasi-indikasi pelanggaran yang terjadi pada
pemilihan umum 1977 yang semakin terlihat dan teroganisir. Pembentukan Panwaslak Pemilu
bertujuan untuk menjaga asas-asas demokrasi dan mengimplementasikan amanat konstitusi yang
mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil.
Berdasarkan substansi yang telah tertuang dalam konstitusi, implementasi
penyelenggaraan pemilihan umum pada masa itu terselenggara dengan tujuan pemilihan anggota
legislatif secara proporsional. Sistem proporsional yang digunakan oleh pemerintah ialah melalui
prinsip keseimbangan antara jumlah penduduk yang memiliki hak suara dalam satu daerah
pemilihan. Melalui hal tersebut, perwakilan rakyat yang menduduki kursi DPR dipilih sesuai
dengan jumlah suara yang ada di daerah pemilihannya. Sementara itu, pemilihan untuk eksekutif
termasuk presiden masih dilaksanakan oleh MPR, dimana sesuai dengan amanat UUD 1945
MPR merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. MPR sendiri terdiri atas anggota legislatif,
utusan golongan, dan utusan daerah. Pembentukan MPR sendiri dilakukan sesaat setelah
pemilihan umum legislatif diselenggarakan dan dilanjutkan oleh pemilihan presiden oleh MPR
melalui sidang umum.
Pemilihan umum tahun 1997 menjadi pemilu terakhir yang diselenggarakan pada Orde
Baru. Pada pemilihan umum tahun tersebut terdapat tiga partai yang berpartisipasi yaitu, Golkar,
PPP, dan PDI. Tepat setelah pemilihan umum ini, terjadi transisi secara signifikan terhadap
sistem pemilu yang dilatar belakangi oleh implementasi prinsip kebebasan yang berimplikasi
kepada meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi
tersebut diwujudkan oleh masyarakat dengan mendirikan partai-partai politik, mudahnya
pendirian partai pada kala itu menyebabkan meningkatnya taraf penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia pada pemilihan umum berikutnya. Keterkaitan antara partai politik dan demokrasi
tercermin secara jelas pada masa ini.
Fase berikutnya dari perkembangan pemilihan umum yang menjadi titik balik
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di era reformasi masyarakat
mulai memiliki hak untuk melakukan pemilihan secara langsung dengan asas kedaulatan rakyat.
Asas ini lebih lanjut mengubah wewenang MPR dari yang sebelumnya memilih presiden
menjadi melantik presiden dan pemilihan presiden dilakukan oleh rakyat melalui sistem
pemilihan secara langsung. Akan tetapi, pada pemilu tahun 1999 pemilihan presiden belum dapat
dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut dikarenakan pemilu
yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali akan dilaksanakan pada tahun 1997 sementara pada
tahun 1999 terdapat urgensi yang menuntut untuk pergantian presiden secara langsung.
Semenjak transisi tersebut hingga kini, antusiasme masyarakat dalam berpartisipasi secara
langsung di kontestasi politik melalui partai-partai politik semakin tinggi. Fenomena tersebut
menjadi katalis positif dari penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, sebagaimana yang dapat
dilihat dari segi stabilitas domestik dibandingkan era-era sebelumnya.
KESIMPULAN
Kontribusi partai politik dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia tidak dapat
dipungkiri lagi. Perjalanan panjang negara Indonesia dalam berpolitik dan menerapkan bentuk
pemerintahan demokrasi pancasila selalu beririsan dengan kehadiran partai politik sebagai salah
satu aktor pentingnya. Lebih lanjut, kehadiran partai politik di Indonesia dari masa ke masa
mencerminkan bagaimana pola demokrasi yang sedang diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat
melalui masa dimana suara rakyat terbungkam dan masyarakat biasa tidak dapat menyalurkan
aspirasinya, pada masa itu pula partai politik mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya,
partai-partai politik di Indonesia juga tidak dapat terlepas dari pengaruh yang berasal dari luar
baik secara ideologi ataupun budaya organisasi. Bahkan kehadiran partai politik hingga kini
dapat menyalurkan aspirasi golongan-golongan tertentu yang memiliki ideologi spesifik dari
yang sebelumnya hanya terpaku pada nasionalis, agama, dan komunis.
Dinamika dan konflik yang terjadi dari tahun ke tahun, masa ke masa dalam konteks
penyelenggaraan demokrasi tentu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa. Pada dasarnya
seluruh permasalahan negara terutama yang berkaitan dengan partai politik tidaklah mudah
untuk diselesaikan tetapi tentunya selalu ada jalan pada setiap permasalahan. Oleh karena itu,
pelajaran berharga yang bangsa ini dapatkan ialah bagaimana cara menyelenggarakan demokrasi
tentunya dengan besarnya Indonesia secara geografis maupun demografis. Dalam mewakili
perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa partai politik memegang peran penting dalam
kesuksesan demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aji, M. P., & Indrawan, J. (2020). Hambatan dan tantangan partai politik: persiapan
menuju pemilihan umum 2024. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 8(2), 214-229.

Arianto, H. (2004). Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia. Lex Jurnalica,
1(2), 17940.

Asshiddiqie, J., Revisi, E., & RI, K. M. K. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum
Sebagai Instrumen Demokrasi. Jurnal, 6.

Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama

Pasaribu, P. (2017). Peranan Partai Politik dalam Melaksanakan Pendidikan


Politik. JPPUMA Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik Universitas
Medan Area, 5(1), 51-59.

Perdana, A. (2009, July). Civil Society dan Partai Politik dalam Demokratisasi di
Indonesia. In Makalah Seminar Internasional ke-10: Representasi Kepentingan
Rakyat pada Pemilu Legislatif. Salatiga: Yayasan Percik.

Prasetya, I. Y. (2011). Pergeseran peran ideologi dalam partai politik. Jurnal Ilmu Politik
dan Ilmu Pemerintahan, 1(1), 30-40.

Prasetyoningsih, N. (2014). Dampak Pemilihan Umum serentak bagi pembangunan


demokrasi Indonesia. Jurnal Media Hukum, 21(2), 23.

Ristyawati, A. (2019). Penguatan Partai Politik sebagai Salah Satu Bentuk


Pengadministrasian dan Pelembagaan Sistem Demokrasi. Administrative Law and
Governance Journal, 2(4), 710-120.

Garmana, D. H. (2020). Keberadaan dan Peranan Partai Politik di Negara Demokrasi (Di
Indonesia). Journal Of Regional Public Administration (JRPA), 5(1), 38-47.

Anda mungkin juga menyukai