Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhamad Rafi Muharrom

NIM : 1203050092
Kelas : Ilmu Hukum 3B
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara

Partai Politik
Sejak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara telah memilih
“demokrasi” sebagai sistem politik ideal mereka. Dalam sistem politik yang demokratis, setiap
warga negara berhak menyampaikan pendapat dan cita-cita yang sejalan dengan ideologi nasional.
Namun, secara umum, setiap warga negara memiliki pendapat, sikap, dan orientasi politik yang
berbeda. Itu dilembagakan di berbagai partai politik. Oleh karena itu, secara umum dapat dilihat
bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir, dan para anggotanya kurang lebih
memiliki orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini biasanya dengan cara
konstitusional melalui pemilihan umum untuk memperoleh kekuasaan politik dan
mempertahankannya jika telah diperoleh guna melaksanakan program yang telah ditentukan oleh
mereka.(Kadir, 2014)
Lebih lanjut Ichlasul Amal (1988) mengemukakan bahwa partai politik merupakan suatu
keharusan dalam kehidupan politik demokrasi modern. Partai politik sebagai organisasi idealnya
dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat (partisipasi politik), mewakili
kepentingan tertentu, menyediakan jalan kompromi untuk bersaing pendapat, dan menyediakan
sarana suksesi kepemimpinan politik yang sah dan damai. Oleh karena itu, menurutnya, partai
politik dalam pengertian modern dapat dirumuskan sebagai kelompok yang mengajukan calon-
calon jabatan politik untuk dipilih oleh rakyat agar dapat memantau atau mempengaruhi tindakan
pemerintah. Pengertian ini cenderung sejalan dengan rumusan yang dikemukakan oleh Mark N.
Hagopian bahwa partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan
watak kebijakan publik dalam kerangka prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktik
kekuasaan langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilu (dalam Ichlasul Amal, 1988). Dari
rumusan-rumusan tersebut dapat dipahami bahwa landasan sosiologis suatu partai adalah ideologi
dan kepentingan yang diarahkan pada upaya untuk memperoleh kekuasaan.(Kadir, 2014)
Partai politik yang secara historis erat kaitannya dengan modernisasi masyarakat Barat,
dalam berbagai bentuknya (partai reformis, revolusioner, nasionalis), telah menjadi instrumen
modernisasi di negara-negara berkembang. Partai politik merupakan kekuatan kritis bagi
modernisasi di semua masyarakat kontemporer dengan pola modernisasi tertentu yang dianut oleh
masing-masing masyarakat, seringkali ditentukan oleh partai (After, 1987). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa partai politik memiliki beberapa ciri penting, yaitu: pertama, asal usulnya sulit dipisahkan
dari evolusi masyarakat dan negara modern. Peran satu partai seringkali banyak berubah jika
kondisi politik di suatu negara berubah, terutama dalam masyarakat yang sedang mengalami proses
modernisasi, di mana berbagai perkembangan politik dapat mengarah pada politik yang luas dan
kompleks sejak awal. Kedua, bentuk partai ditentukan oleh kerangka sosial-politik masyarakat.
Sebuah partai bergantung pada derajat modernisasi dalam suatu masyarakat dan membutuhkan
kerangka acuan konstitusional atau rezim politik yang sesuai dengan fungsinya. Dalam pengertian
ini, partai politik adalah variabel independen. Ketiga, partai politik adalah sub-kelompok dalam
sistem dengan cara mereka sendiri untuk menghasilkan kekuasaan. Dalam pengertian ini, partai
politik di negara berkembang seringkali merupakan mikrokosmos masyarakat masa depan, partai
diidentifikasi sebagai variabel independen. Masyarakat dan pemerintah merupakan variabel terikat
pada organisasi partai, keputusan pemimpin partai dan kerangka acuan partai yang diterapkan pada
masyarakat. Jika partai politik menjadi biasa dalam masyarakat yang menjadi modern, maka partai
politik tersebut akan memainkan berbagai fungsi dan peran dalam sistem politik yang demokratis.
Sistem politik Indonesia telah mengalami perkembangan mulai dari sistem politik Demokrasi
Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.(Kadir, 2014)
Partai politik dalam menjalankan fungsinya selalu mempertimbangkan kelompok yang ada
di dalamnya dan tujuan yang ingin dicapai. Sebuah partai revolusioner cenderung berjuang untuk
sepenuhnya mengubah organisasi pemerintahan yang ada, budaya, struktur masyarakat dan
ekonomi negara; dan jika partai berhasil, ia dapat mengontrol setiap aktivitas penting dalam
masyarakat. Di sisi lain, partai konservatif cenderung melakukan aktivitasnya untuk berusaha
mempertahankan situasi saat ini seperti apa adanya.(Kadir, 2014)
Mengembangkan sistem politik yang demokratis, partai politik menjalankan berbagai
fungsi, yaitu; sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan
manajemen konflik (Miriam Budiardjo, 1991). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsinya sebagai
sarana komunikasi politik, parpol seharusnya melakukan komunikasi dua arah yaitu dari bawah ke
atas untuk merumuskan dan menyampaikan berbagai kepentingan, aspirasi dan tuntutan masyarakat
kepada pemerintah dalam bentuk usulan kebijakan publik. Di sini, partai politik tidak hanya
memperjuangkan kepentingan, aspirasi dan tuntutan anggotanya, tetapi juga kepentingan
masyarakat. Partai politik juga melakukan arus komunikasi dari atas ke bawah, disini partai politik
juga membahas dan mensosialisasikan rencana dan kebijakan pemerintah sehingga terjadi dialog
yang memungkinkan terjalinnya saling pengertian antara pemerintah dan masyarakat. Dalam
menjalankan fungsi tersebut, partai politik dapat disebut sebagai perantara (broker) dalam
pertukaran pikiran (“Clearing house of ideas”).(Kadir, 2014)
Partai politik juga memiliki fungsi sebagai sarana sosialisasi/pendidikan politik. Sosialisasi
atau pendidikan politik adalah proses dimana seseorang memperoleh pandangan tentang orientasi
dan nilai-nilai masyarakat di mana dia berada, proses itu juga mencakup proses dimana masyarakat
mewariskan norma dan nilai dari satu generasi ke generasi lainnya. selanjutnya. Proses sosialisasi
atau pendidikan politik sudah dimulai sejak masa kanak-kanak dan dilakukan melalui berbagai
lembaga dan kegiatan, seperti pendidikan formal dan informal, media massa seperti radio dan
televisi, dan partai politik. Melalui mata kuliah pendidikan politik menanamkan nilai-nilai ideologi
dan loyalitas kepada negara dan partai. Khususnya di negara-negara berkembang, yang bangsanya
seringkali heterogen, partai politik dapat membantu meningkatkan identitas nasional dan
mendorong integrasi nasional. Di sini, partai politik dituntut untuk mendahulukan kepentingan
nasional di atas kepentingan partai. Loyalitas yang harus ditanamkan adalah loyalitas terhadap
bangsa dan negara, bukan hanya loyalitas kepada partai, karena partai politik sebenarnya
merupakan salah satu sarana dalam membangun bangsa dan negara yang demokratis.(Kadir, 2014)
Selain itu, partai politik juga berfungsi sebagai sarana rekrutmen politik. Rekrutmen politik
adalah proses di mana partai mencari anggota baru dan mengundang orang-orang berbakat untuk
berpartisipasi dalam proses politik. Dengan berdirinya ormas-ormas yang melibatkan buruh, petani,
pemuda, mahasiswa, perempuan dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi semakin terbuka
lebar. Rekrutmen politik menjamin kelangsungan dan keberlangsungan partai, sekaligus merupakan
salah satu cara untuk menyeleksi calon pemimpin yang akan tampil dalam pemilu, baik sebagai
calon presiden, wakil presiden maupun sebagai anggota legislatif.(Kadir, 2014)
Partai politik juga berfungsi sebagai alat pengatur konflik. Di negara demokrasi yang
masyarakatnya terbuka, ada perbedaan dan persaingan pendapat adalah hal yang wajar. Namun,
dalam masyarakat yang sangat heterogen seperti Indonesia, perbedaan pendapat ini, baik yang
didasarkan pada perbedaan suku, status, sosial ekonomi dan agama, dengan mudah mengundang
konflik. Perselisihan semacam itu dapat diselesaikan dengan bantuan partai politik, setidaknya
dapat diatur sedemikian rupa sehingga konsekuensi negatifnya minimal. Di sisi lain, terlihat
terkadang parpol malah mempertajam kontradiksi yang ada. Jika ini terjadi dalam masyarakat di
mana tingkat konsensus nasional rendah, peran seperti itu dapat membahayakan stabilitas politik
dan pemerintahan.(Kadir, 2014)
Peranan Partai Politik dalam Sistem Politik Indonesia
Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah akrab dengan kehidupan partai politik. Sebelum
“Republik Indonesia” berdiri, partai politik telah berfungsi dan berperan sebagai wadah perjuangan
yang mengobarkan semangat nasionalisme. Demikian pula setelah “Proklamasi Kemerdekaan”
keberadaan partai politik semakin meluas dengan lahirnya banyak partai politik sesuai dengan
maksud dari “Deklarasi Pemerintah 3 November 1945” yang menyatakan bahwa pemerintah lebih
menyukai lahirnya partai politik. agar semua arus paham dalam masyarakat dapat diarahkan ke
jalan yang benar. reguler. Namun ternyata fungsi dan peran partai politik mengalami dinamika atau
pasang surut sesuai dengan perkembangan sistem politik Indonesia.(Kadir, 2014)
Pada masa sistem politik Demokrasi Parlementer, partai politik menunjukkan fungsi dan
peran yang kuat. Partai politik dan parlemen (DPR) merupakan kerangka utama mekanisme sistem
politik. Stabilitas politik dan pemerintahan sangat bergantung pada “dukungan” parpol di parlemen.
Sistem politik ini diterapkan dalam sistem multi partai. Betapa sulitnya membangun pola kerjasama
(koalisi) antar partai politik dalam membentuk kabinet. Tak satu pun dari kabinet dapat
menyelesaikan masa jabatannya. Naik turunnya kabinet menunjukkan ketidakstabilan politik dan
pemerintahan saat itu. Oleh karena itu, pada masa Demokrasi Terpimpin, muncul kebijakan
penyederhanaan partai politik dengan mengurangi jumlah partai politik melalui penetapan Presiden
No. pemerintah. Disini Keputusan Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pendirian
partai politik dicabut.(Kadir, 2014)
Ketentuan Presiden di atas juga diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960
tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Para Pihak. Kedua peraturan tersebut memuat
persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat mendirikan partai politik, di antaranya persyaratan
partai politik harus memiliki cabang yang tersebar di seperempat dari jumlah Daerah Tingkat I, dan
jumlah cabang pembantu. partai politik paling sedikit mencakup seperempat dari jumlah Daerah
Tingkat II. Partai politik harus memiliki minimal 50 anggota. Selain itu, disebutkan pula bahwa
Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap partai politik.(Kadir, 2014)
Berdasarkan persyaratan tersebut, semua parpol yang ada wajib melakukan registrasi ulang.
Oleh karena itu, sejumlah parpol mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk membentuk
parpol. Akibatnya, banyak partai kecil yang tidak mampu memenuhi persyaratan yang dibuat oleh
pemerintah. Pengakuan keberadaan partai politik atau pembubaran partai politik dilakukan melalui
Keppres No.128/1961, pemerintah hanya mengakui PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Murba,
PSII-Arudji dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Selanjutnya melalui Keppres
No. 440/1961 pemerintah juga mengakui Parkindo dan Parti Partai Islam. Dengan demikian, hanya
sembilan partai politik yang diakui pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin (Syamsuddin, dkk;
1988). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada era ini, fungsi dan peran partai politik lemah karena
semua kebijakan politik dan pemerintahan ditentukan oleh Presiden. posisi sesuai dengan kebijakan
Presiden.(Kadir, 2014)
Tampaknya upaya penyederhanaan partai politik juga terjadi pada masa sistem politik
Demokrasi Pancasila. Pada awal periode ini, ada sembilan partai politik (PNI, NU, Parkindo, Partai
Katolik, PSII, IPKI, Perti, Partai Murba dan Parmusi) dan Kelompok Kerja (Golkar). Pada tahun
1970, "pemerintah" menyerukan kepada sembilan partai politik untuk mengambil langkah-langkah
konkrit menuju penyederhanaan sistem kepartaian. Atas dasar imbauan tersebut, pada tahun 1971
muncul kelompok “Persatuan Pembangunan” di DPR yang merupakan wadah kerjasama antara
partai NU, Parmusi, PSII dan Perti yang beraliran "Islam". Kelompok "Pembangunan Demokrasi"
juga muncul sebagai naungan PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Partai Murba yang beraliran
"nasional/demokratis". Kedua kelompok tersebut kemudian melebur pada tahun 1973 membentuk
“Partai Persatuan Pembangunan” (PPP) sebagai peleburan partai politik “Islam” dan “Partai
Demokrasi Indonesia” (PDI) sebagai peleburan partai politik nasional/demokratis. Dengan
demikian, muncul tiga organisasi kekuatan sosial politik, yaitu PPP, Golkar dan PDI, sebagai
infrastruktur sistem politik Demokrasi Pancasila di era Orde Baru. Hal ini diatur dalam UU no. 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Kelompok Kerja.(Kadir, 2014)
Ketiga organisasi kekuatan sosial politik (PPP, PDI dan Golkar) ini berperan dalam sistem
politik Indonesia di era Orde Baru. Untuk memperkuat perannya, ketiga organisasi kekuatan politik
tersebut dikembangkan berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) dalam sistem
politik. Indonesia.(Kadir, 2014)
Di era ini, fungsi dan peran partai politik melemah. Hal ini antara lain disebabkan oleh
penerapan “sistem massa terapung”, di mana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 menyatakan
bahwa partai politik tidak diperbolehkan membentuk kepengurusan di kecamatan dan desa. Hal ini
tidak memungkinkan partai politik untuk melakukan kegiatan politik di daerah pedesaan, di mana
sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal. Namun Golkar bisa melalui birokrasi pedesaan,
sehingga mampu menampilkan fungsi dan perannya yang dominan. (Kadir, 2014)
Namun, memasuki era reformasi, di mana arus demokratisasi mengalir deras, tuntutan
pembentukan partai politik baru juga semakin meningkat. Menanggapi tuntutan tersebut, UU No. 2
Tahun 1999 tentang partai politik memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Republik
Indonesia untuk membentuk partai politik. Hal ini terlihat sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945
tentang kebebasan berserikat dan berkumpul. (Kadir, 2014)
Ketika partai politik baru tumbuh, pada pemilu legislatif 1999 terdapat 48 partai politik yang
bersaing, pada pemilu legislatif 2004 muncul 24 partai politik. Jumlah parpol peserta pemilu turun
50% dari pemilu sebelumnya. Namun sayang pada Pemilu Legislatif 2009, naik lagi menjadi 38
parpol peserta pemilu yang berlaga dan pada Pemilu Legislatif 2014 menampilkan 12 parpol.
Tampaknya sistem multipartai memungkinkan jumlah partai politik menjadi tidak stabil, di mana
partai politik baru mungkin muncul dari tuntutan perubahan di masyarakat. Hal ini memungkinkan
proses politik berjalan kurang efisien dan efektif. (Kadir, 2014)
Selain itu, hasil pemilu legislatif di era reformasi menunjukkan kurang dari 50% parpol
peserta pemilu yang mampu meraih kursi di DPR RI, bahkan pada pemilu legislatif 2009 dengan 38
parpol hanya 9 parpol mampu menang. Kursi DPR RI, yaitu: Partai Demokrat (150 kursi), PDIP (95
kursi), Partai Golkar (107 kursi), PPP (37 kursi), PKB (27 kursi), PAN (43 kursi), PKS (57 kursi),
Partai Gerindra (26 kursi) dan Partai Hanura (18 kursi), (KPU.RI, Laporan Hasil Pemilu Legislatif,
2009). Data ini menggambarkan betapa “energi politik” terbuang sia-sia tanpa mencapai tujuannya.
(Kadir, 2014)
Namun pada Pemilu Legislatif 2014, ada perkembangan baru yaitu dari 12 parpol peserta
pemilu, ternyata 10 parpol mampu merebut kursi di DPR RI yaitu PDIP (109 kursi), Golkar (91
kursi), Gerindra (73 kursi), Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi), PKB (47 kursi), PKS (40 kursi),
PPP (39 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), tempat duduk); (Keputusan KPU Nomor:
416/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik dan Penetapan Calon
Anggota DPR Terpilih Pada Pemilu 2014). (Kadir, 2014)
Data pemilu legislatif yang dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa tidak ada partai politik
peserta pemilu yang mampu meraih kursi di DPR RI di atas 50% (>50%). Presiden. Implikasinya
adalah pembentukan “kabinet koalisi” oleh Presiden baru. Namun sayangnya, pengalaman
Indonesia menggambarkan bahwa “kabinet koalisi” tidak luput dari terjadinya “perombakan
kabinet” dalam perjalanannya sehingga proses politik dan pemerintahan kurang efisien dan efektif.
Namun, fungsi dan peran partai politik cenderung menguat dalam hal pencalonan calon legislator,
presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota serta melakukan uji tuntas terhadap
pejabat publik lainnya. (Kadir, 2014)
Fenomena-fenomena yang diuraikan di atas seharusnya menginspirasi para elit politik di
nusantara ini untuk lebih bijak dalam membangun partai politik yang lebih efisien dan efektif dan
pada akhirnya mampu berfungsi dan berperan lebih kuat dalam sistem politik demokrasi Indonesia.
(Kadir, 2014)
Kesimpulan
Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan keberadaan partai politik.
Namun fungsi dan peran partai politik mengalami dinamika atau pasang surut sesuai dengan
perkembangan sistem politik demokrasi Indonesia.
Pada sistem politik Demokrasi Parlementer, partai politik menunjukkan fungsi dan peran
yang kuat. Stabilitas dan efektifitas politik dan pemerintahan sangat bergantung pada dukungan
partai politik di parlemen (DPR). Sayangnya kabinet pemerintahan yang dibentuk oleh kerjasama
atau koalisi partai politik itu jatuh dan bangkit, tidak ada satupun kabinet yang mampu
menyelesaikan masa jabatannya.
Kondisi ini mendorong "Presiden" untuk menerapkan sistem politik "Demokrasi
Terpimpin", di mana peran "Presiden" sangat dominan. Pada periode ini mulai diterapkan kebijakan
penyederhanaan parpol yang membuat fungsi dan peran parpol menjadi lemah.
Demikian pula dalam sistem politik Demokrasi Pancasila di era Orde Baru, kebijakan
penyederhanaan partai politik masih diterapkan, sehingga hanya ada tiga organisasi kekuatan politik
dan sosial, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Kebijakan massa terapung juga diterapkan yang tidak
memungkinkan terbentuknya kepengurusan partai politik di kecamatan dan desa, tetapi Golkar bisa
melalui jalur “birokrasi” pedesaan. Di sini Golkar tampil sebagai organisasi kekuatan sosial politik
paling dominan yang melemahkan fungsi dan peran partai politik.
Berbeda halnya, dalam sistem politik demokrasi Pancasila di era reformasi dimana partai
politik baru lahir, fungsi dan peran partai politik kembali diperkuat bahkan sangat menentukan
proses politik Indonesia. Hal ini terlihat dari fungsi dan perannya dalam pencalonan calon anggota
legislatif pusat dan daerah, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota serta
melakukan “tes kebugaran” bagi calon pejabat publik lainnya.
Namun, masih ada hal yang perlu disikapi dengan bijak, antara lain banyaknya partai politik
yang tampil di pemilu legislatif, sehingga tidak ada satupun partai politik peserta pemilu legislatif
yang mampu merebut kursi di DPR RI di atas. 50% (>50%). Hal ini berimplikasi pada
pembentukan “kabinet koalisi” parpol. Namun sayangnya, pengalaman Indonesia menunjukkan
bahwa kabinet koalisi dalam perkembangannya selalu terjadi “cabinet reshuffle” yang
menyebabkan proses politik dan pemerintahan menjadi kurang efisien dan efektif.
Uraian tentang dinamika atau pasang surut fungsi dan peran partai politik sesuai dengan
perkembangan sistem politik Indonesia, seharusnya mampu menginspirasi para “elit politik” di
nusantara ini dalam membangun partai politik yang mampu mengemban semakin kuat fungsi dan
perannya dalam sistem politik demokrasi Indonesia.

Daftar Pustaka
Kadir, A. G. (2014). Dinamika Partai Politik Di Indonesia. Sosiohumaniora, 16(2), 132.
https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v16i2.5724

Anda mungkin juga menyukai