Anda di halaman 1dari 17

Dinamika Partai Politik Indonesia dan Permasalahannya.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap sistem
demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara. Ada diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu
sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau
berniat memuaskan keinginana kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi
sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan
suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan
publik tertentu.
Partai politik adalah merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi
ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di
samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers,
kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai
politik. Pertai politik betapapun juga sangat berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai
dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan
kebijakan dalam konteks kegiatan bernegara. Partai politik lah yang bertindak sebagai
perantara dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang menghubungkan
antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan.
Yang perlu kita dilihat adalah seberapa jauh organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik
yang bersangkutan berhasil mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk membolisasi
dukungan konstituennya. Dalam sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka ragam
aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat memerlukan
penyalurannya yang tepat melalui pelembagaan partai politik. Semakin besar dukungan yang
dapat dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai politik, semakin
besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.
B. Identifikasi Masalah.
Merupakan hal yang lumrah dalam sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka
ragam aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat
memerlukan penyalurannya yang tepat melalui pelembagaan partai politik. Semakin besar
dukungan yang dapat dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai
politik, semakin besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara
tepat.Untuk menjamin kemampuannya dalam menyalurkan aspirasi konstituen itu, struktur
organisasi partai politik yang bersangkutan haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga
ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung dan diakomodasikan seluas mungkin.
Karena itu, struktur internal partai politik penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak ia
harus sesuai dengan kebutuhan untuk mobilisasi dukungan dan penyaluran aspirasi
konstituen. Di pihak lain, struktur organisasi partai politik juga harus disesuaikan dengan
format organisasi pemerintahan yang diidealkan menurut visi partai politik yang dimintakan
kepada konstituen untuk memberikan dukungan mereka. Semakin cocok struktur internal
organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula derajat pelembagaan organisasi
yang bersangkutan.
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi permaslahan di atas maka dipandang
cukup penting untuk mengadakan penelitian tentang Dinamika Partai Politik Indonesia dan
Permasalahannya.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan titik puncak untuk mengetahui bagaimana dinamika Partai Politik
Indonesia yang akan dilaksanakan sehingga dapat dirumuskan secara jelas. Dalam penelitian
ini, perlu adanya tujuan yang berfungsi sebagai acuan pokok terhadap masalah yang akan
diteliti sehingga akan dapat bekerja secara terarah dalam mencari data sampai langkah
pemecahan masalahnya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai syarat ujian akhir smester mata kuliah Sistem Politik Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimana dinamika partai politik Indonesia.
3. Untuk mengetahui permasalahan dalam partai politik Indonesia

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Partai Politk
Carl J. Frederich mengatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
diorganisasikan secara stabil dengan tujuan mengamankan/ memelihara penguasaan para
pemimpinnya atas suatu pemerintahan, dengan demikian dapat memberikan anggota-
anggotanya keuntungan serta kelebihan- kelebihan ideal dan material.
R.H Soltou mengatakan bahwa partai politik merupakan suatu kelompok warga Negara yang
kurang lebih teroganisir, yang bertindak sebagai suatu unit politik dan yang berdasarkan
kekuatan votting mereka bermaksud mengontrol pemerintahan dan melaksanakan kebijakan
mereka.
Sigmund Neumann mengatakan bahwa partai politik merupakan organisasi penghubung yang
terdiri dari para pelaku politik aktif dalam suatu masyarakat, yang menaruh perhatian pada
pengendalian kekuasaan pemerintah yang berkompetisi dengan kelompok lain atau dengan
kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda dalam rangka memperoleh dukungan
rakyat.
Sedangkan menurut pasal 1 UU No.31/2002 mengatakan bahwa partai politik adalah
organisasi yang dibentuk oleh sekelompo warga Negara RI secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan Negara melalui pemilu.
Jadi partai politik dalah kelompok/organisasi yang bertujuan mengamankan/ memelihara
penguasaan para pemimpinnya atas suatu pemerintahan,dan memiliki visi dan misi yang
sama guna memperjuangkan kepentigan anggota, masyarakat, bangsa dan Negara.
B. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai
politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana- sarana
komunikasi politik sosialisasi politik (political socialization), sarana rekruitmen politik
(political recruitment), dan pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny
dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi mobilisasi dan integrasi, sarana
pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); sarana rekruitmen
politik; dan sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana
komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan
kepentingan (interests articulation) atau political interests yang terdapat atau kadang-
kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-
baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang
bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan
sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan
yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan
sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi
pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback
berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga
berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-
antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-
cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai
dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-
kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada
yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak
langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak
langsung lainnya.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat
(conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-
kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam,
rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya
banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi
partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang
berbeda-beda satu sama lain.
C. Tipologi Partai Politik Berdasarkan Komposisi dan Fungsi
Ada terdapat dua tipologi partai politk antara lain:
1. Partai kaukusatau partai kader
Memiliki jumlah anggota relative terbatas, aktifitas direkrut secara co-optation dan formal
nomination, kekuata bersumber pada kualitas, bukan kuantitas anggotanya.
Ada dua macam partai kader:
a. Konservatif, dengan kader kaum aristocrat, industrialis besar, banker agamawan
b. Liberal, dengan kaum pedagang, industrialis menengah, pegawai pemerintah, engacara dan
wartawan.
2. Partai Cabang atau partai massa
Mencari anggota sebanyak- banyaknya, memntingkan kuantitas disbanding kualitas. Dasar
rekrutmen adalah wide open to all people. Perhatian partai bukan pada kaum elit tapi pada
massa berfungsi memberikan pendidikan politik bagi kelas pekerja.
D. Kelemahan Partai Politik
Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Di
antaranya ialah bahwa organisasi partai cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk
juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama
kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk
kepentingan pengurusnya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Robert Michels sebagai suatu
hukum besi yang berlaku dalam organisasi bahwa,
Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas para pemilihnya, antara si
mandataris dengan si pemberi mandat dan antara si penerima kekuasaan dengan sang
pemberi. Siapa saja yang berbicara tentang organisasi, maka sebenarnya ia berbicara tentang
oligarki.
Untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti dikemukakan di atas,
diperlukan beberapa mekanisme penunjang.
Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai
politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat
penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai
politik bersangkutan yang ditradisikan dalam rangka. Di samping anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan, perlu diperkenalkan pula sistem kode
etika positif yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan
demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif
membangun kultur internal setiap partai politik. Di dalam kode normatif tersedia berbagai
prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota, pengaturan mengenai lembaga-
lembaga internal, mekanisme hubungan lembaga-lembaga, serta mekanisme penyelesaian
konflik yang elegan dan dapat dijadikan pegangan bersama. Dengan begitu setiap perbedaan
pendapat dapat disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada
perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab.
Kedua, mekanisme keterbukaan partai melalui mana warga masyarakat di luar partai dapat
ikut-serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan
oleh partai politik. Partai politik harus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam
turut menentukan bekerjanya sistem kenegaraan sesuai aspirasi mereka. Karena itu, pengurus
hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya. Untuk itu,
diperlukan perubahan paradigma dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai.
Menjadi pengurus bukan lah segala-galanya. Yang lebih penting adalah menjadi wakil rakyat.
Akan tetapi, jika menjadi status sebagai menjadi faktor penentu terpilih tidaknya seseorang
menjadi wakil rakyat, maka setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan
bahkan pimpinan puncak partai politik.
Ketiga, penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meningkatnya kualitas pelayanan
publik, serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan
penyelenggaraan negara. Dengan adanya pelayanan umum yang baik disertai keterbukaan
dan akuntalitas pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya, iklim politik dengan
sendirinya akan tumbuh sehat dan juga akan menjadi lahan subur bagi partai politik untuk
berkembang secara sehat pula.
Keempat, berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan mendidik. Media pers
adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran yang sangat luas. Peranannya
dalam demokrasi sangat menentukan. Karena itu, pers dianggap sebagai the fourth estate of
democracy, atau untuk melengkapi istilah trias politica dari Montesquieu, disebut juga
dengan istilah quadru politica.
Kelima, kuatnya jaminan kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kebebasan untuk
berkumpul dan beorganisasi secara damai. Pada intinya kebebasan dalam peri kehidupan
bersama umat manusia itu adalah bermula dari kebebasan berpikir. Dari kebebasan berpikir
itu lah selanjutnya berkembang prinsip-prinsip freedom of belief, freedom of expression,
freedom of assembly, freedom of association, feedom of the press, dan sebagainya dan
seterusnya. Oleh sebab itu, iklim atau kondisi yang sangat diperlukan bagi dinamika
pertumbuhan dan perkembangan partai politik di suatu negara, adalah iklim kebebasan
berpikir. Artinya, partai politik yang baik memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu
adanya kemerdekaan berpikir di antara sesama warga negara yang akan menyalurkan aspirasi
politiknya melalui salah satu saluran yang utama, yaitu partai politik. Dalam sistem
representative democracy, biasa dimengerti bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat
terutama disalurkan melalui pemungutan suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan.
Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin
keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan,
kedudukan dan peranan partai politik dianggap sangat dominan.
Partai politik di Indonesia setidak-tidaknya mengandung tiga kelemahan utama, yaitu: (1)
ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengindentifikasi pola dan
arah kebijakan publik yang diperjuangkan tetapi juga sukar membedakan partai yang satu
dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis
sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu
organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; dan (3) secara eksternal kurang memiliki
pola pertanggungjawaban yang jelas kepada public.
Partai politik di Indonesia tampaknya belum dapat dibedakan secara jelas selain dari sentimen
kelompok. Partai politik di Indonesia lebih terkesan sebagai organisasi pengurus yang sering
bertikai daripada organisme yang hidup karena dinamika partai sebagai gerakan anggota.
Walaupun Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik mewajibkan
setiap partai politik untuk "mendaftar dan memelihara daftar anggotanya," tidak banyak
partai politik yang melaksanakan amanat UU tersebut. Hal ini terjadi tidak saja karena
banyak anggota masyarakat yang enggan mendaftarkan diri sebagai anggota partai tetapi juga
karena partai politik sendiri tidak melakukan berbagai upaya yang membangkitkan minat
menjadi anggota partai politik.

BAB III
METODOLOGI
Untuk mengetahui bagaimana dinamika partai politik Indonesia dan permasalahannya maka
terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan latar
belakang yang dipergunakan dalam mini skripsi ini. Maka penulis menggunakan metode
studi pustaka dan mencari bahan- bahan lain yang dibutuhka dengan menggunakan berbagai
sumber yang bisa dipakai.

BAB IV
PEMBAHSAN
A. Dinamika Partai Politik Indonesia
Sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan
berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif
bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip checks and balances
berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme
demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan
dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat.
Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-
berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika
kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.
Partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat
demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-
organisasi non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-
organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGOs), dan lain
sebagainya.
Partai politik merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang
negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan karena itu hendak diperjuangkan. Ideologi,
platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama
kegiatan partai politik.
Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya
untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-
citakan tersebut. Karena itu, partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga
negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan
siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah.
Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi semua warga negara,
sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula
menjadi sarana integrasi nasional.
Apabila partai politik ingin berperan sebagai pihak yang dapat menyelesaikan konflik dalam
masyarakat ataupun peserta konflik yang fair dalam pemilihan umum dan di dalam lembaga
legislatif, maka partai politik seyogianya mampu berperan sebagai lembaga konflik, yaitu
mengatur dan menyelesaikan konflik secara internal melalui aturan main yang disepakati
bersama dalam AD/ART(anggaran dasar/anggaran rumah tangga). Aturan main seperti inilah
yang nanti saya sebut sebagai demokrasi prosedural.
Partai politik lah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan
keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi
kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya, Political Parties, A Sociological Study
of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, ... organisasi ... merupakan satu-
satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif.
Berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap perjuangan politik.
Dengan begitu, harus diakui pula bahwa peranan organisasi partai sangat penting dalam
rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi, perjuangan
kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau
saingan, karena kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan
dalam satu front.
Organisasi yang berkembang makin melembaga cenderung pula mengalami proses
depersonalisasi. Orang dalam maupun orang laur sama-sama menyadari dan
memperlakukan organisasi yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak dicampur-
adukkannya dengan persoalan personal atau pribadi para individu yang kebetulan menjadi
pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun
suatu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan
dari urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi
tersebut sebagai institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan
sebagai organisasi yang kuat.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan
sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi
pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback
berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga
berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-
antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-
cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas
bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak
juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem multi
partai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Padal pemilu
1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah partai
politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut sebagai partai politik
hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut sebagai partai politik,
melainkan golongan karya saja.
B. Daftar Partai Politik Indonesia
a. Pemilu 1955
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar diantaranya
adalah:
PNI (22,3 %),
Masyumi (20,9%),
Nahdlatul Ulama (18,4%), dan
PKI (15,4%).

b. Pemilu 1971
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:
Partai Katolik
Partai Syarikat Islam Indonesia
Partai Nahdlatul Ulama
Partai Muslimin Indonesia
Golongan Karya
Partai Kristen Indonesia
Partai Musyawarah Rakyat Banyak
Partai Nasional Indonesia
Partai Islam PERTI
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
c. Pemilu 1977-1997
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu:
Partai Persatuan Pembangunan
Golongan Karya
Partai Demokrasi Indonesia
d. Pemilu 1999
Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, yaitu:
1. Partai Indonesia Baru

2. Partai Kristen Nasional Indonesia

3. Partai Nasional Indonesia - Supeni

4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia

5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia

6. Partai Ummat Islam

7. Partai Kebangkitan Ummat

8. Partai Masyumi Baru

9. Partai Persatuan Pembangunan

10. Partai Syarikat Islam Indonesia

11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

12. Partai Abul Yatama

13. Partai Kebangsaan Merdeka

14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa

15. Partai Amanat Nasional


16. Partai Rakyat Demokratik

17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905

18. Partai Katolik Demokrat

19. Partai Pilihan Rakyat

20. Partai Rakyat Indonesia

21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi

22. Partai Bulan Bintang

23. Partai Solidaritas Pekerja

24. Partai Keadilan

25. Partai Nahdlatul Ummat

26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis

27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

28. Partai Republik

29. Partai Islam Demokrat

30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen

31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak

32. Partai Demokrasi Indonesia

33. Partai Golongan Karya

34. Partai Persatuan

35. Partai Kebangkitan Bangsa

36. Partai Uni Demokrasi Indonesia

37. Partai Buruh Nasional

38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong


39. Partai Daulat Rakyat

40. Partai Cinta Damai

41. Partai Keadilan dan Persatuan

42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia

43. Partai Nasional Bangsa Indonesia

44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia

45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia

46. Partai Nasional Demokrat

47. Partai Ummat Muslimin Indonesia

48. Partai Pekerja Indonesia

e. Pemilu 2004
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, yaitu:
1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

2. Partai Buruh Sosial Demokrat

3. Partai Bulan Bintang

4. Partai Merdeka

5. Partai Persatuan Pembangunan

6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru

8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

9. Partai Demokrat

10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia

12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

13. Partai Amanat Nasional

14. Partai Karya Peduli Bangsa


15. Partai Kebangkitan Bangsa

16. Partai Keadilan Sejahtera

17. Partai Bintang Reformasi

18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

19. Partai Damai Sejahtera

20. Partai Golongan Karya

21. Partai Patriot Pancasila

22. Partai Sarikat Indonesia

23. Partai Persatuan Daerah

24. Partai Pelopor

f. Pemilu 2009
Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, yaitu:
f.1 Partai politik nasional
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)*

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)


4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)

5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

6. Partai Barisan Nasional (Barnas)

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)*


8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)*

9. Partai Amanat Nasional (PAN)*

10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)

11. Partai Kedaulatan

12. Partai Persatuan Daerah (PPD)

13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)*

14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)


15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)*
16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)

17. Partai Karya Perjuangan (PKP)

18. Partai Matahari Bangsa (PMB)

19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)*


20. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)*

21. Partai Republika Nusantara (RepublikaN)

22. Partai Pelopor*

23. Partai Golongan Karya (Golkar)*

24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)*

25. Partai Damai Sejahtera (PDS)*

26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)

27. Partai Bulan Bintang (PBB)*

28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)*


29. Partai Bintang Reformasi (PBR)*

30. Partai Patriot

31. Partai Demokrat*

32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)

33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)

34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)


41. Partai Merdeka

42. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)

43. Partai Sarikat Indonesia (PSI)

44. Partai Buruh

Catatan: Tanda * menandakan partai yang mendapat kursi di DPR pada Pemilu 2004.
f. 2 Partai politik lokal Aceh
35. Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS)[2]
36. Partai Daulat Aceh (PDA)

37. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)


38. Partai Rakyat Aceh (PRA)[3]

39. Partai Aceh (PA)

40. Partai Bersatu Aceh (PBA)

Partai politik Indonesia:


Koalisi: Partai Demokrat Partai Golongan Karya Partai Keadilan Sejahtera Partai
Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan Partai Kebangkitan Bangsa
Oposisi: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya Partai
Hati Nurani Rakyat
C. Permasalah Partai Politik
a. Permasalahan dalam pelembagaan partai poitik
Tahap Pemilu yang dalam proses pencalonan anggota DPR (D). Tahap ini merupakan bagian
internal partai politik peserta pemilu dalam menyiapkan calon-calon legislatif untuk
dipersaingkan dalam pemilu. Meski demikian, pencalonan ini menarik perhatian publik
karena sebagian caleg parpol itu akan menentukan kualitas kinerja DPR nasional maupun
daerah (yang kini sedang terpuruk citranya karena berbagai skandal korupsi). Pencalonan
juga penting bagi parpol karena caleg-caleg itu akan menjadi satu faktor untuk menarik
simpati dan selanjutnya dukungan suara pemilih pada Pemilu. Maka, banyak parpol besar
atau kecil, lama maupun baru, mengajukan atau menominasi tokoh-tokoh populer sebagai
caleg-calegnya. Mereka bukan hanya artis, tetapi juga pemuka masyarakat di tingkat nasional
maupun daerah.
Kader dan nonkader
Dengan cara itu, proses pencalonan parpol akan menghasilkan dua jenis caleg, yaitu caleg
kader dan caleg nonkader. Caleg kader berasal dari anggota parpol, sedangkan caleg
nonkader berasal dari luar parpol yang punya daya tarik mendulang dukungan masyarakat.
Bagi parpol, pencalonan caleg nonkader mungkin memberi keuntungan untuk meningkatkan
daya tarik parpol di mata masyarakat. Sebaliknya, ia juga dapat menimbulkan masalah.
Pertama, banyak kader partai akan tersingkir dari peluang terdaftar karena tempat yang
seharusnya untuk mereka diambil alih partainya untuk caleg nonkader. Ini dapat
memperlemah soliditas atau konsolidasi parpol.
Kedua, persaingan tidak sehat bisa terjadi ketika pelaksanaan kampanye karena kemarahan
caleg-caleg kader yang bisa jadi tergusur dari urutan nomor jadi (kepala) ke urutan nomor
tidak jadi (sepatu) dalam daftar calon. Namun, karena Pemilu 2009 memungkinkan
keterpilihan caleg melalui perolehan dukungan suara 30 persen dari bilangan pembagi
pemilih (BPP), caleg-caleg kader pada nomor sepatu dapat saja melakukan black campaign
untuk menjatuhkan popularitas caleg nonkader. Ini bisa mengacaukan koordinasi kegiatan
kampanye parpol yang merugikan popularitas parpol di mata massa pemilih.
Ketiga, pengistimewaan caleg nonkader dalam pencalonan dapat menumbuhkan keyakinan
negatif di kalangan anggota, bahkan pengurus parpol. Penilaian itu ialah yang terpenting
popularitas, bukan kualitas caleg yang harus dipupuk bertahap dalam pengalaman berpartai.
Keyakinan ini hanya mengukuhkan kenyataan atas tiadanya program kaderisasi terrencana
dan berjenjang di banyak parpol.
Program kaderisasi
Kaderisasi terencana dan berjenjang tampaknya belum menjadi bagian utama program dan
strategi pengembangan parpol Indonesia. Kalaupun ada pengecualian, itu terjadi hanya pada
satudua parpol. Kaderisasi semacam ini berbeda dengan pelatihan calon legislatif berjangka
pendek yang dalam minggu-minggu terakhir ini marak dilakukan banyak parpol. Ketiadaan
program kaderisasi parpol membawa efek pada banyak masalah kepartaian dan
keparlemenan.
Masalah utama kepartaian di Indonesia adalah pelembagaan. Parpol terlembaga dicirikan
oleh beberapa hal, sebagai contoh, seperti masa hidup yang relatif panjang (lama), mengakar
di masyarakat, mempunyai kesiapan personalia untuk menjalankan peran dalam aneka
jabatan publik, mempunyai program kebijakan khusus yang menjadi identifikasi partai, dan
suksesi kepemimpinan yang berlangsung teratur dan damai. Beberapa parpol berumur
panjang, tetapi tidak mengakar di masyarakat. Demikian juga beberapa parpol mempunyai
program khusus yang menjadi identifikasi partai, tetapi terpecah saat melangsungkan suksesi
kepemimpinan. Ironi-ironi seperti ini bisa disusun dalam daftar panjang. Di luar itu,
kecenderungan umum yang terlihat, banyak parpol tidak menunjukkan kesiapan dan
ketersediaan personalia saat harus mengisi jabatan-jabatan publik badan-badan pemerintahan.
Kelemahan pelembagaan parpol jelas merugikan kepentingan masyarakat.
Masyarakat, yang seharusnya dilayani partai-partai politik dengan kader-kader yang
berkualitas mempunyai tanggung jawab, bersih, dan berwawasan dalam menjalankan peran
sebagai pejabat, kehilangan kepercayaan atas kinerja badan-badan pemerintahan (legislatif
dan eksekutif). Pada kenyataannya badan-badan pemerintahan itu terisi oleh personalia yang
kurang tepercaya yang disiapkan, diusulkan, atau didukung parpol. Kini, partai-partai politik
dalam kehidupan pemerintahan di Indonesia merupakan sumber utama perekrutan untuk
jabatan-jabatan publik. Seluruh anggota DPR (D) harus berasal dari parpol. Para kepala
pemerintahan (eksekutif) nasional maupun daerah harus diusulkan parpol. Para pejabat
lembaga tinggi negara dan komisi-komisi negara harus diseleksi oleh para utusan parpol di
DPR. Demikian juga, pengawasan terhadap kinerja pemerintah dilakukan parpol melalui
perwakilan mereka di lembaga legislatif.
Tumpuan keberhasilan
Kenyataan itu menegaskan, tumpuan keberhasilan kinerja pemerintahan Indonesia sebagian
besar dalam pengaruh parpol. Dengan kata lain, parpol berperan penting bagi keberhasilan
pemerintahan. Namun, pada saat sama, parpol dapat menjadi sumber masalah dan kegagalan
pemerintahan di Indonesia. Kaderisasi parpol yang berkesinambungan pada dasarnya
menyiapkan seluruh aspek pelembagaan parpol sekaligus menjamin keberhasilan
pemerintahan. Ini juga berarti jaminan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Masalah
caleg kader dan nonkader parpol tidak akan muncul karena isu utama bukan seberapa besar
parpol akan menguasai pemerintahan, tetapi seberapa bermanfaat parpol dalam pemerintahan
memberikan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
b. Permasalahan dalam keterwakilan partai politik
Perubahan sistem politik dari sistem otoriter Soeharto ke masa transisi sekarang, bisa kita
lihat secara sederhana dengan adanya peningkatan jumlah parpol. Namun ironis, hal ini tidak
mengubah kondisi riil rakyat bawah. Bisa dikatakan parpol telah gagal memenuhi
kewajibannya untuk menyerap dan mengagregasi kepentingan masyarakat. Hal demikian ini
menandakan kita berada dalam situasi demokrasi yang defisit (democratic deficit).
Menurut Schugurensky (2004), defisit demokrasi tumbuh sejak kepercayaan publik terhadap
politisi dan institusi politik menurun, banyak partai dan wakil rakyat (representative in
democracy system) yang kehilangan hubungan dengan yang diwakili (represent).
Representasi pada akhirnya menjadi persoalan utama demokrasi yang sedang kita hadapi.
Semakin tidak diakomodasinya persoalan representasi semakin besar masalah yang dihadapi
demokrasi. Parpol sebagai salah satu institusi representasi telah secara sistematis dibajak oleh
elite dan menjadikannya tidak representatif terhadap kepentingan rakyat banyak. Partai
memang penting, namun kita harus realistis dengan mengatakan bahwa parpol yang ada
sekarang merupakan bagian dari masalah keterwakilan.
Dalam konteks ini, ide menyederhanakan jumlah parpol lewat RUU Parpol, untuk sementara
perlu dikritisi. Kita tidak perlu terjebak dalam romantisme masa lalu bahwa dengan jumlah
partai sedikit kondisi sosial-politik lebih stabil, yang pada kenyataannya koruptif. Yang harus
dilakukan justru sebaliknya. Perlu bagi para pengambil kebijakan untuk membuka seluas-
luasnya partisipasi rakyat dalam berpolitik. Bukan malah menutup rapat-rapat. Para
pengambil kebijakan diharapkan mampu melihat hal ini secara jenial, bahwa dengan menutup
pelan-pelan pintu partisipasi politik, maka demokrasi akan mati muda.
Ini merupakan realita empirik yang terjadi di masyarakat. Seyogianya, yang diperlukan untuk
mengatur sistem kepartaian adalah bagaimana menjamin representasi itu hadir dalam
kehidupan parpol. Antara lain mengatur kewajiban relasi intensif antara perwakilan
(representative) dengan yang diwakili (represent). Atau mendemokratiskan parpol dengan
semacam konvensi yang fair dimana orang di luar kepengurusan partai mempunyai
kesempatan ikut bertanding. Selain itu, perlu juga mengakomodasi secara nasional adanya
parpol lokal seperti di Aceh. Langkah ini penting untuk mengakomodasi kepentingan-
kepentingan daerah yang tidak terserap oleh parpol 'nasional' yang berpusat di Jakarta.
Sehingga partai menjadi representasi nyata kepentingan masyarakat, tidak malah
membelenggu dan mengisolasinya.

c. Permasalahan dalam Pembatasan Partai Politik Peserta Pemilu


Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus merupakan arena kompetisi
yang paling adil bagi partai politik sejauh mana telah melaksanakan fungsi dan perannya
serta pertanggungjawaban atas kinerjanya selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya.
Rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasinya kepada partai politik
mana yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksakanan aspirasinya. Partai politik
sebagai peserta pemilu dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur
dan adil, sehingga eksistensi nya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Pemilu
merupakan sarana yang paling adil untuk menentukan partai politik mana yang masih tetap
eksis dan paling berhak melanjutkan tugasnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyat. Secara alamiah akan terjadi seleksi terhadap partai politik untuk dapat eksis baik
sebagai peserta pemilu maupun keberadaannya di parlemen. Oleh karena itu, sebagai arena
kompetisi yang adil, seharusnya pemilu hanya dapat diikuti oleh peserta yang dianggap
kredible oleh rakyat, sehingga efektivitas kompetisi tersebut dapat dipelihara. Terlalu banyak
konstentan yang ikut kompetisi, akan berpengaruh terhadap mutu kompetisi tersebut, apalagi
jika standar kualitas kontestan tersebut sangat beragam.
Sejauh mana pemilu sebagai arena kompetisi tersebut mampu menyeleksi partai politik
peserta pemilu secara efektif, sangat tergantung dari, pertama, aturan main atau sistem
kompetisinya dalam hal ini sistem pemilu yang diterapkan; kedua, jumlah dan informasi
obyektif tentang kinerja partai politik sebagai peserta pemilu; ketiga, tingkat kedewasaan
rakyat yang memilih; keempat, kredibilits penyelenggara pemilunya dalam hal ini KPU.
Dalam konteks judul yang dibahas, penulis akan lebih memfokuskan pada butir kedua,
dikaitkan dengan sejauhmana sistem multi partai yang sudah menjadi pilihan kita tersebut,
harus mampu menciptakan akuntabilitas eksistensi partai politik dalam melaksanakan fungsi
dan perannya. Sistem multi partai seperti apa dan bagaimana secara demokratis sistem itu
dapat diwujudkan?
Partai politik Dalam Sistem Multi Partai
Perubahan UUD 1945 telah menegaskan bahwa partai politik sebagai salah satu pilar
demokrasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam rangka membangun kehidupan politik
nasional. Bahkan, partai politik sebagai wahana demokrasi tak bisa diabaikan eksistensinya,
karena rekrutmen kepemimpinan dan anggota lembaga kenegaraan nasional dan lokal di
bidang eksekutif dan legislatif hanya dapat dilakukan melalui partai politik. Sejauh mana
mutu kelembagaan negara tersebut sangat tergantung dari proses rekrutmen kader yang
nantinya akan diusulkan oleh partai politik sebagai calon pemimpin dan anggota lembaga-
lembaga negara tersebut. Prof. Miriam Budiardjo1 menerangkan, fungsi partai politik
sebagai: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii)
sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conlict
management). Sedangkan Yves Meny and Andrew Knapp2 menegaskan fungsi parpol sebagai
(i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih
(voting patterns), (iii) sarana rekrutmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan
kebijakan.
Sejak dibukanya kebebasan untuk mendirikan partai politik dinegara ini pada tahun 1998,
partai politik tumbuh bagaikan jamur dimusim hujan. Saat ini sudah terdaftar lebih dari dua
ratusan partai politik. Animo pendirian partai politik yang besar menunjukkan iklim
demokrasi sudah berjalan. Pilihan terhadap sistem multipartai dalam demokrasi di negara
kita, merupakan hal yang sudah benar, tinggal bagaimana mengatur agar banyaknya partai
politik ini justru merupakan aset yang berharga untuk membangun demokrasi, bukan
sebaliknya. Persoalannya, apakah semakin banyak partai politik akan lebih menjamin
berlangsungnya kehidupan demokrasi yang lebih baik?
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah wacana yang deras mengedepan di ranah kepolitikan
nasional akhir-akhir ini dan dikemukakan oleh banyak kalangan menyangkut persoalan
penyederhanaan/pembatasan partai politik. Meminjam Editorial Media Indonesia, Rabu 6
September 2006 dengan tegas menyebutkan, alasan paling mengemuka dari diskursus ini
adalah efektivitas dan efisiensi dalam menyalurkan aspirasi politik. Bahwa tanpa harus
melanggar konstitusi, sistem representasi politik harus dibuat sesederhana mungkin, seefisien
mungkin, sehingga negara tidak perlu boros biaya untuk mewadahi aspirasi politik rakyat dan
demokrasi yang hendak diwujudkan tersebut tidak menjadi sesuatu yang counterproductive.
Dan rakyat pun tidak perlu dibuat pusing saat memilih partai politik karena jumlah mereka
terlalu banyak. Fakta menunjukkan bahwa dalam masa transisi politik, dimana tingkat
kedewasaan berpolitik rakyat belum pada taraf ideal, maka semakin banyak partai politik
akan semakin menumbuhkan suasana power struggling ditanah air. Persaingan yang terus
menerus terjadi diantara partai politik yang banyak tersebut, telah membentuk citra bahwa
partai politik hanya memikirkan dirinya dalam perebutan kekuasaan. Di mata rakyat, potret
partai politik dalam perebutan kekuasaan sangat mengemuka, dibanding dengan perhatian
partai politik terhadap rakyat. Semakin banyak partai politik, maka potret perebutan
kekuasaan ini akan semakin menonjol.
Di masa reformasi kebebasan berpartai kembali dibuka dan tiba-tiba jumlah partai politik
meningkat tajam sesuai dengan tingkat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat
majemuk Indonesia. Sistem multi partai ini tentu sangat menyulitkan bagi penerapan sistem
pemerintahan presidentil untuk bekerja efektif. Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang
terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan BJ. Habibie, pemerintahan
Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati sampai ke pemerintahan SBY jiilid 1
maupun jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik
untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektifitas
pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.
Partai politik di Indonesia pada umumnya belum terlalu mengakar kuat di dalam masyarakat.
Adanya swing votores menunjukkan indikasi belum terlalu mengakarnya sebuah partai
politik di Indonesia. Para pemilih belum melekatkan dirinya terhadap suatu partai, mereka
masih bisa berpindah-pindah suatu saat dari satu partai ke partai lain. Akan tetapi, menurut
pendapat penulis, di Indonesia sudah ada partai yang cukup mengakar di masyarakat
Jika partai-partai politik di Indonesia mengalami masalah dalam menghadapi persoalan
demokratis, maka perlu dipikirkan tentang cara-cara untuk keluar dari keadaan yang
merugikan demokrasi di Indonesia tersebut. Sudah pasti bahwa tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan tidak sedikit. Namun, setidaknya
ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan hal ini.
Pertama, perlu ada reformasi internal partai politik. Adalah salah jika ada yang beranggapan
bahwa manajemen partai politik adalah semata-mata urusan partai yang bersangkutan. Kunci
eksistensi partai politik sesungguhnya berada legitimasi publik, sehingga akuntabilitas
menjadi persyaratan yang penting untuk keberadaan sebuah partai politik. Tak mengherankan
jika politik internal partai politik juga menjadi 'urusan' pemilih. Ada tiga ujung tombak
reformasi internal partai politik: (a) kemauan politik elite partai; (b) kesadaran anggota; dan
(c) kesadaran publik (pemilih).
Kemauan politik elite partai sangat penting untuk reformasi internal partai politik. Gus Dur,
misalnya, memberikan contoh kemauan elite politik yang 'baik' ketika memutuskan untuk
'tunduk' pada hasil voting yang bertentangan dengan keinginannya tentang reposisi Sekjen
PKB, Syaifullah Yusuf, beberapa waktu yang lalu. Sikap tersebut, pada kasus ini,
meruntuhkan mitos bahwa figur partai yang dihormati harus selalu dipatuhi. Kenyataan ini
juga membuka pintu kesempatan untuk meningkatkan kesadaran anggota. Runtuhnya mitos
tersebut dapat memperkuat kesadaran anggota atas hak-hak demokratisnya. Kesadaran
anggota untuk mengedepankan demokrasi internal penting karena aktivitas keseharian
anggota dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi internal atau sebaliknya. Terakhir,
adalah kesadaran publik (pemilih). Sensitivitas publik terhadap isu-isu demokrasi internal
partai juga harus ditingkatkan. Publik (pemilih) harus memahami bahwa 'demokrasi internal'
adalah juga merupakan isu politik yang harus 'dijual' oleh partai politik dalam pemilu.
Kesadaran publik dapat berwujud dalam kritisisme di bilik suara. Publik dapat menolak untuk
memilih (kembali) partai yang tidak demokratis.
Kedua, pada saat yang bersamaan tekanan struktural untuk membatasi pilihan-pilihan elit
partai juga harus diberlakukan. Tantangannya adalah menciptakan sebuah struktur yang
membatasi, namun tidak menghilangkan kepentingan individu untuk mengartikulasikan
kepentingannya di dalam sebuah partai politik. Dari perspektif yang demikian, tampaknya
perlu ada revisi aturan perundangan untuk mendorong demokrasi internal partai politik .
Meskipun aturan perundangan ini telah mengalami perbaikan yang cukup memadai, masih
banyak ruang untuk perbaikan yang harus dilakukan. Misalnya, dalam UU Partai Politik
maupun UU Pemilu masih belum ada pasal yang mendorong partai politik untuk secara
kongkrit bertindak secara demokratis terhadap anggota/pemilih-nya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa demokrasi internal parpol menjadi sangat penting karena dapat
meningkatkan hubungan antara partai politik dengan grassroot secara kualitatif, dan akan
meningkatkan peran partai politik di dalam demokrasi pada tingkat substansial.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Maka dapat kita simpulkan bahwa dinamika partai politik Indonesia memiliki kecendrugan
akan kekuasaan pada pemerintahan,kurang lagi mementingkan kebutuhan Negara ini
sendiri,keendrungan ini lebih menitik beratkan pda penguasaan pemerintahan diberbagai
sektor. Pada dasarnya partai politik merupakan sarana untuk penyampaian aspirasi
masyarakat yang menginginka hal yang lebh baik.
Partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat
demokratis. Kelemahan partai politik mekanisme internal yang menjamin demokratisasi
melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan.
Mekanisme keterbukaan partai melalui mana warga masyarakat di luar partai dapat ikut-serta
berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai
politik. Penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meningkatnya kualitas pelayanan
publik, serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan
penyelenggaraan Negara. Berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan
mendidik. Media pers adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran yang
sangat luas. Kuatnya jaminan kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kebebasan untuk
berkumpul dan beorganisasi secara damai.

DAFTAR PUSTAKA
Kantaprawira, rusadi. Dr. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar, Sinar Baru.
Algesindo, Bandung, 2006.
Merriam, Charles, Systematic Politics, University of Chicago Press, Chicago,1957.
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/07/09/Editor/edi03.html
Hasan, Helmi, Drs. MPd. Buku Ajar Sistem Politik Indonesia, Universitas Negeri Padang,
Padang, 2005
TA Legowo Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/masalah-pelembagaan-parpol.html

Anda mungkin juga menyukai