Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEMILIHAN PRESIDEN SECARA INDEPENDEN (KONTRA)

Dosen pengajar: Muchlis, SH, M.Hum

Disusun oleh :
KELOMPOK :4
SABENA FEBRIANI

SAFNA NABILA

SHAIRI AFRIJA

TSALISA NABILA

UTIYA RAHMA KARIM

YULINDA FAJRA

ZAHRA SALSABILA

ZAHRATUL FIRDAUSI

ZELFI TARA IZZATI

ZULFA LUCHIANA

POLTEKKES KEMENKES ACEH


PRODI SARJANA TERAPAN TERAPI GIGI
TAHUN AJARAN 2022
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pemilihan presiden
melalui jalur independen (kontra)” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Pendidikan Pancasila. Selain
itu, Makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pentingnya untuk
mengetahui pemilihan presiden secara independen (pro dan kontra) bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muchlis selaku dosen mata
kuliah Pendidikan Pancasila. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
semua Pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh, 25 Oktober 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan calon independen atau disebut dengan calon perseorangan
pada pemilihan president beberapa tahun belakangan ini menjadi hal yang
sering diperbincangkan dan menarik minat banyak orang. Kehadiran calon
presiden untuk pemilihan tidak sesuai dengan Undang-Undang 1945 pasal 6A
ayat 2 menjelaskan bahwa calon presiden hanya boleh diusung oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Konstitusi ini bersifat tertutup, sehingga
tidak ada kemungkinan mencalonkan diri menjadi presiden melalui jalur lain
diluar partai politik.
Hal itu secara tegas bermakna bahwa hanya partai politik atau gabungan
partai politiklah yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Dengan
demikian, hal tersebut tidak memberi peluang adanya pungusulan calon
presiden secara independen.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa calon presiden tidak diperbolehkan jalur independen?
2.
BAB 2
PEMBAHASAN

Presiden dan wakil presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala


pemerintahan tertinggi dalam suatu negara. Presiden dipilih oleh rakyat melalui
pemilu dan bertanggung jawab tugas-tugas negara. Presidenlah yang akan
memimpin negara dalam berbagai aspek yang kemudian akan berkaitan dengan
kepentingan hidup orang banyak. Itulah sebabnya peranan presiden sangat
penting dalam berdirinya sebuah negara untuk berkembang dan
menyejahterakan rakyatnya.
Pemilihan calon presiden dan wakil presiden harus melalui jalur partai
tidak diperbolehkan melalui jalur independen. Sistem politik semestinya
dijalankan sesuai dengan UUD 1945 yang merupakan sistem politik demokrasi
berdasarkan hukum. Pencalonan presiden melalui independen atau
perseorangan bersifat individualistik dan tidak sesuai dengan pancasila sila ke-4
yang menginginkan adanya demokrasi perwakilan. Calon presiden merupakan
pengembangan dari demokrasi konsesus untuk membangun sistem
pemerintahan yang stabil di Indonesia, karena Indonesia bukan penganut sistem
dua partai, melainkan sistem multipartai.
UUD 1945 pasal 6A ayat 2 menjelaskan bahwa calon presiden hanya
boleh diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Konstitusi ini
bersifat tertutup, sehingga tidak ada kemungkinan mencalonkan diri menjadi
presiden melalui jalur lain diluar partai politik. Ini menegaskan bahwa
pemilihan presiden hanya boleh melalui partai politik atau gabungan partai.
Menurut pengamat politik dari LIPI, calon independen belum saatnya
diwujudkan dalam waktu dekat. Calon independen baru bisa direalisasikan jika
Indonesia sudah matang demokrasi konstitusionalnya. Di Amerika tidak benar
dikatakan ada calon independen, calon presiden harus dari partai atau gabungan
partai.
Calon presiden yang tidak berasal dari partai akan sulit dalam menjalin
hubungan dengan parlemen. Calon independen kepala daerah tidak bisa
disamakan dengan calon presiden, di daerah calon independen masih bisa
diterima karena kedudukan kepala daerah lebih dekat dengan pemilih dan yang
dipimpin juga cenderung homogen. Untuk mewujudkan pemilihan secara
independen pun harus melalukan amandemen konstitusi terlebih dahulu.
Jika calon presiden berasal dari partai politik, aspirasi yang ingin
diperjuangkan dapat langsung tersalurkan lewat basis-basis pendukung partai.
Partai politik itu cermin dari basis dukungannya dimasyarakat, sehingga suara
aspirasi itu bisa lebih tersalurkan dengan baik lewat partai politik. Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait calon presiden dari jalur
perseorangan atau independen. Mahkamah konstitusi menilai dalam konstruksi
yang dibangun dalam UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden
merupakan hak konstitusional partai politik. Dengan putusan itu, calon
perseorangan tidak bisa dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden.
Mereka harus diusung gabungan partai politik yang memenuhi ketentuan
undang-undang. Gelombang reformasi telah merombak sistem demokrasi di
Indonesia secara fundamental. Salah satunya adalah perubahan mendasar
yang terjadi pada sistem pemilu di Indonesia. Sistem pemilu yang
sebelumnya menggunakan sistem pemilu tidak langsung (perwakilan)
dirombak menjadi pemilu langsung. Yaitu pemilu dengan sistem “one man
one vote” (satu orang satu suara). Amandemen konstitusi mengamanatkan
agar pemilihan pejabat publik (DPRD, DPR dan DPD) serta Presiden dan
Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Aturan pelaksanaan
pemilu untuk memilih anggota DPRD, DPR dan DPD tersebut dirumuskan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Sementara itu, aturan
pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.
Perombakan sistem pemilu tidak hanya terjadi di tingkat nasional (presiden
dan wakil presiden) tetapi juga terjadi pada pemilu tingkat lokal. Konstitusi
hasil amandemen kedua mengamanatkan agar pelaksanaan pemilihan
kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) juga dilakukan secara langsung.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan
walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi, kabupaten
dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini oleh pemerintah
diterjemahkan sebagai pemilihan secara langsung. Aturan pelaksanaan
konstitusi ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu, pemilihan
gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia dilakukan secara
langsung.
Menurut Undang-Undangan Nomor 32 Tahun 2004 ini persyaratan
pencalonan kepala daerah hanya bisa bisa dilakukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan. Persyaratan
pencalonan ini kemudian mendapat banyak protes dari masyarakat. Salah
satu bekas calon kepala daerah yang gagal memenuhi persyaratan
pencalonan kemudian melakukan gugatan judicial review terhadap
beberapa pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut penggugat beberapa pasal dalam UU
No.32 tahun 2004 dianggap menghilangkan makna demokrasi
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan pasal-
pasal tersebut hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan
parpol dalam mengusulkan dan atau mengajukan pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Namun disisi lain tidak memberikan
peluang bagi pasangan calon perseorangan.
Keputusan MK mengabulkan gugatan judicial reviewterhadap beberapa
pasal yang menyangkut persyaratan pencalonan Pilkada. Melalui
keputusan No 5/PUU-V/2007, MK menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59
dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah. Menurut MK,
ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang menyatakan hanya partai atau
gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah,
bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain
keputasan MK ini membuka babak baru bagi Pilkada di Indonesia yakni
dengan diperbolehkannya calon perseorangan maju dalam Pilkada.
Untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut kemudian DPR melakukan
revisi terbatas terhadap UU 32/2004 dan menerbitkan UU Nomor 12 Tahun
2008. Dalam undang-undang ini diatur secara rinci tentang berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan. Pasal 59 Ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa salah satu persyaratan
yang harus dipenuhi oleh calon perseorangan adalah berupa berupa bukti
sejumlah dukungan dari masyarakat. Secara teknis bentuk dukungan resmi
dari masyarakat ini dibuktikan melalui fotokopi kartu tanda penduduk
(KTP).
Kehadiran calon perseorangan dalam pilkada ini memunculkan berbagai
pandangan di masyarakat. Sebagian kalangan merasa khawatir dengan
kehadiran calon perseorangan. Menurut mereka kehadiran calon
perseorangan akan merusak sistem demokrasi kepartaian di Indonesia.
Kehadiran calon perseorangan dianggap akan mengancam eksistensi
partai politik sebagai pilar utama sistem demokrasi di Indonesia. Dengan
bahasa lain, kehadiran calon perseorangan adalah sebagai salah satu
bentuk dari proses pengurangan peran partai politik (deparpolisasi) di
Indonesia.
Sementara itu, sebagian kalangan yang lain menyambut gembira atas
kehadiran calon perseorangan ini dalam Pilkada. Kehadiran calon
perseorangan ini justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk
memperbaiki sistem demokrasi yang telah dirusak oleh elit partai politik.
Kehadiran calon perseorangan dianggap bisa mengurangi ekses negatif
dari oligarkhi partai politik yang berlebihan. Kehadiran calon perseorangan
ini juga dianggap bisa berdampak pada menurunnya praktik-praktik politik
uang (money politics) yang terjadi dalam proses pencalonan di Pilkada.
Ditengah memburuknya citra partai politik di mata masyarakat, calon
perseorangan yang maju dalam Pilkada sebenarnya memiliki kesempatan
yang besar meraih simpati masyarakat dan memenangkan Pilkada. Tetapi
mengapa sejauh ini masih sangat sedikit Pilkada yang dimenangkan oleh
calon perseorangan? Pilkada justru banyak dimenangkan oleh calon yang
didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dan sebagian
besar calon yang didukung oleh partai politik dan menang tersebut adalah
berasal dari pejabat yang sedang berkuasa (incumbent).
Ada beberapa sebab mengapa bakal calon perseorangan sering gagal
memenangkan Pilkada.Pertama, jalur perseorangan selama ini hanya
dijadikan jalur “keterpaksaan” atau jalur “skoci” oleh bakal calon Pilkada.
Jalur perseorangan terpaksa dipilih oleh bakal calon karena setelah
mereka melakukan loby-loby dandeal-deal politik yang menguras energi,
waktu dan dana ternyata tidak ada satu pun partai yang mau memberikan
tiket kepadanya. Bakal calon yang gagal mendapatkan tiket pencalonan
dari partai hanya punya dua pilihan; mundur atau maju melalui jalur
perseorangan. Dan disadari atau tidak, kegagalan mendapatkan tiket
pencalonan dari partai tersebut memiliki dampak psikologis pada bakal
calon perseorangan. Yang pada gilirannya berpengaruh pada semangat
bertanding dari bakal calon perseorangan
Kedua, jalur perseorangan selama ini lebih banyak dipakai oleh bakal calon
yang kurang pontesial. Jalur perseorangan banyak dipakai oleh pemain-
pemain “penggembira” saja. Sementara pemain-pemain “utama” sudah
“kontrak” oleh partai-partai politik. Hal ini bisa dipahami karena partai-partai
yang memiliki tiket pencalonan tentu hanya memilih bakal calon yang
memiliki peluang paling besar memenangkan Pilkada. Apalagi kini partai-
partai politik sudah menggunakan instrumen survei untuk melihat siapa
diantara bakal calon yang paling berpeluang memenangkan Pilkada.
Dengan instrumen survei ini, peta politik di wilayah tersebut menjadi
tergambar secara jelas.
Ketiga, adanya kesalahan strategi pemenangan yang diterapkan oleh bakal
calon perseorangan. Kesalahan strategi pemenangan ini sebenarnya juga
tidak dimonopoli oleh bakal calon perseorangan saja tetapi juga banyak
dilakukan oleh bakal calon dari partai politik. Hal yang paling mendasar dari
kesalahan penggunaan strategi pemenangan adalah bakal calon tidak
memilik grand design strategi pemenangan.
Salah satunya, misalnya, bakal calon perseorangan sering betarung hanya
bermodalkan naluri dan asumsi. Mereka tidak menggunakan metode-
metode ilmiah untuk mempengaruhi pemilih. Mereka juga tidak memiliki
data peta politik yang valid yang diperoleh secara ilmiah seperti survei di
wilayah tersebut. Sehingga yang terjadi mereka seperti bertempur di
tengah hutan tapi tidak mengenal medan pertempuranya. Padahal seperti
yang dikatakan oleh Sun Tzu, tokoh klasik strategi perang, bahwa; ”Kenali
Diri Sendiri, Kenali Lawan; Maka Kemenangan Sudah Pasti Ada di Tangan.
Kenali Medan Pertempuran, Kenali Iklim; Maka Kemenangan Akan
Sempurna”. Dalam konsep pemilihan yang dilakukan secara independen
merupakan suatu konsep yang dilakukan secara hukum normatif dimana
mencakup asas-asas hukum dan sejarah keluarnya hukum pemilihan yang
dilakukan secara independen
PENUTUP

Berdasarkan analisis diatas brikut beberapa pandangan dalam


melihat peluang jalur perseorangan untuk pasangan capres dan cawapres
yaitu: pertama, penting untuk diakomodir apabila parpol semakin
mengalami distorsi dalam orientasinya yaitu untuk menginterupsi kultur ke
partaian dan mengarah pada oligarki. Namun perlu mengunakan prinsip
kehati-hatian karena mengakomodir capres perseorangan harus dengan
mengubah ketentuan konstitusi yang sangat sakral dala berkehidupan
bernegara karena menyankut hajat hidup masyarakat umum. Kedua tidak
begitu penting diakomodir bila hanya dengan alasan tidak sejalan dengan
persamaan tidak sejalan dengan persamaan hak dan kedudukan karena
persamaan hak untuk mencalonkan diri sebagai bukan hanya hak tertentu
melaikan hak umum bagi setiap masyarakat.
Daftar pustaka
Anggoro, Teddy. “Pemilihan Presiden Langsung dan Calon Independen dalam Pemilihan
Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah.” Jurnal Hukum & Pembangunan 35, no. 2 (2017):
254–74. Asshiddiqie, Jimly. Pokok-pokok hukum tata negara Indonesia pasca reformasi.
Bhuana Ilmu Populer, 2007. BASO, M U H IKHSAN. “Sistem Pemilihan Umum Presiden
Dan Wakil Presiden Indonesia Dengan Pencalonan Secara Independen (Perseorangan).”
Tadulako University, n.d.
Evangelista, Beverly. “Coalition Existence in Presidential System in Indonesia According to
the Constitution of Republic of Indonesia 1945.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 2,
no. 2 (2014). Herman. “Urgensi Amandemen UUD NRI ’45 terhadap Kewenangan Legislasi
DPD dalam Sistem Bicameral di Indonesia,” 2021. Isra, Saldi. Pergeseran fungsi legislasi:
menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. RajaGrafindo
Persada, 2010.

Anda mungkin juga menyukai