Anda di halaman 1dari 3

LEGAL STANDING KEWENANGAN MAHKAMAH Konstitusi

1. Pengujian Undang-Undang
Perubahan UUD 1945 telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi
untuk mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 24C
UUD 1945, yang diatur lebih lanjut dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, , yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “UU MK”. Di mana dalam pelaksanaan Tata
Beracara diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, selanjutnya disebut “PMK
Nomor 2 Tahun 2021”.
Legal Standing dalam pengujian UU adalah Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “UU MK” menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar. Dalam
sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara, terdapat dua unsur yang harus
dipenuhi, yaitu adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD NRI
Tahun 1945 dan timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional
tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran diantara kedua atau lebih lembaga
negara.Hal ini pernah ditentukan dalam sebuah putusan Mahkamah Konstitusi, tepatnya
Putusan MK No. 2/SKLN/2011, khususnya dalam pertimbangan hakim yang menentukan
bahwa apakah suatu lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945, yang pertama-tama diperhatikan adalah apakah terdapat
kewenangan tertentu dalam UUD (objectum litis) dan kemudian kepada lembaga apa
kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis). Baik objectum litis maupun subjectum
litis pemohon adalah dua hal yang pemenuhannya bersifat kumulatif.
3. Pembubaran Partai Politik
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “UU MK mengatur cara-
cara Pembubaran Partai Politik dalam Bagian kesepuluh, dari pasal 68 sampai dengan
Pasal 73 ayat 2. Di dalam rangkaian pasal-pasal tersebut, ditentukan bahwa pihak yang
dapat menjadi pemohon untuk perkara pembubaran partai politik itu adalah pemerintah,
bukan pihak lain. Misalnya, partai politik lain tidak berhak untuk mengajukan tuntutan
pembubaran partai politik lain ataupun masyarakat juga tidak berhak untuk mengajukan
tuntutan pembubaran partai politik. Dan ini juga dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai
Politik, Pasal 3 ayat 1, bahwa pemohon adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa
Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh presiden untuk itu.
Kewenangan pembubaran partai politik yang dipegang oleh mahkamah konstitusi
juga terdapat dalam isi dari BAB XVII pasal 41 Undang-Undang No.2 Tahun 2011
perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang
mengatakan bahwa Partai politik bubar apabila:
a. Membubarkan diri atas keputusan sendiri:
b. Menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau
c. Dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi
4. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Perselisihan hasil pemilihan umum tentunya mengadung 3 substansi/makna
perselisihan, yaitu pertama perselisahan karena adanya pelanggaran terhadap cara dan
prosedur penghitungan suara; kedua perselisihan karena adanya perbuatan pelanggaran
anggota KPU, PPK, dan PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 505 UU No. 7 tahun
2017 ttg Pemilu.
Dalam hal telah terbukti adanya pelanggaran cara dan prosedur penghitungan
suara, maka putusan MK memerintahkan dilakukan penghitungan ulang. Adapun terbukti
adanya pelanggaran oleh KPU dan jajarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 505
UU No. 17 yang mengakibatkan kerugian tehadap perolehan suara peserta pemilu, maka
MK harus mengaitkan dan menghubungkannya dengan menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemilu dijalankan dengan kecurangan, tidak jujur dan tidak adil.
Dalam hal terbukti bahwa penyelenggaraan Pemilu itu telah melanggar asas,
prinsip, dan norma jujur, adil, dan berintegritas, maka berdasarakan Pasal 77 UU No 24
tahun 2003 tentang MK yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Putusannya adalah hasil penghitungan pemilu oleh KPU
dibatalkan.

Anda mungkin juga menyukai