Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KELOMPOK UJIAN AKHIR SEMESTER

PERJANJIAN HUKUM PERDATA


INTERNASIONAL

Oleh :
Kelompok 4
Putu Kanitha Putri Amaris ( 2004551180 )
I Gusti Ayu Ketut Intan Pradnyawati ( 2004551182 )
Rizki Paramukti Soemadi ( 2004551204 )
Novyar Boy Putra Saragih ( 2004551205 )
Komang Santi Triana Wedha ( 2004551223 )
I Ketut Andika Wedananta M. ( 2004551235 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Terbukanya globalisasi mendukung intensitas antar negara untuk bekerjasama dan


membentuk perjanjian-perjanjian internasional baik bersifat bilateral maupun multilateral.
Sebelum melangkah lebih jauh pada poin bahasan berikutnya, ada baiknya kita mendefinisikan
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional itu sendiri. Kata “perjanjian”
yang diikuti kata “internasional” merujuk pada perjanjian yang dibuat oleh para aktor yang
bertindak sebagai subyek hukum internasional, selain itu internasional disini digunakan untuk
menggambarkan bahwa perjanjian yang dimaksud bersifat melintasi batas-batas suatu negara,
para pihak masing-masing bertindak dari lingkungan hukum nasional yang berbeda.1 Perjanjian
internasional dalam proses berlakunya tunduk pada asas-asas umum perjanjian salah satu asas
tersebut yakni Pacta Sunt Servanda.
Adanya asas dalam hukum perjanjian menjadi sebuah hal yang penting sebagai dasar
beroperasi atau pelaksanaan perjanjian internasional tersebut. Pacta sunt servanda sebagai salah
satu asas fundamental berasal dari bahasa latin yang berarti ”janji harus ditepati” atau
(agreements must be kept). Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem
hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional. 2 Asas
ini pada dasarnya mengandung makna bahwa perjanjian dianggap sebagai undang-undang bagi
pembuat dan menjadi isyarat bahwa mengingkari perjanjian berarti melakukan pelanggaran atau
wanprestasi terhadap perjanjian tersebut.3 Asas ini menjadi norma dasar dalam hukum yang
berkaitan dengan asas itikad baik (good faith) sebab diperlukan niat sungguh-sungguh untuk
menghormati dan menaati sebuah perjanjian internasional. Anzilotti dan beberapa sarjana
lainnya mengungkapkan bahwa dari segi fungsional, asas pacta sunt servanda merupakan
sumber eksklusif (satu-satunya sumber) bagi sifat mengikatnya norma-norma hukum
internasional.4 Dengan kata lain, asas pacta sunt servanda memang mendapat pengakuan dan

1
Ko Swan Sik, “Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional” Jurnal Hukum Internasional,
Vol. 3, No. 4, (2006), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.
474-476.
2
Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional”, Jurnal Mimbar Hukum,
Vol.21, No.1. 2009, hal 162
3
Ibid
4
Sam Suhaedi, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 1968), hlm. 53.
kepastian dalam hubungan antara negara yang dituliskan dalam perjanjian internasional maupun
perundang-undangan nasional (Indonesia).5
Pasal 26 Konvensi Wina 1969 berbunyi “Pacta Sunt Servanda setiap perjanjian yang
berlaku mengikat para pihak dan harus dilakukan oleh mereka dengan baik”. Untuk mengetahui
pengimplementasian Pacta Sunt Servanda, kita bisa mengambil contoh perjanjian Paris
Agreement on Climate Change. Dimana sebanyak 194 negara di dunia diantaranya (Arab Saudi,
Irak, Nigeria, Kazakhstan, Amerika Serikat, Cina dan masih banyak negara lainnya) sudah
sepakat dan menandatangani perjanjian ini, ini menimbulkan Pacta Sunt Servanda dimana
mereka harus menerapkan kebijakan ini dengan baik di negaranya sebagai perwujudan itikad
baik terhadap perjanjian yang disepakati dan disahkan bersama.

5
Harry Purwanto, op. Cit, hlm.166
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Paris Agreement On Climate Change


Persetujuan Paris adalah sebuah perjanjian internasional antara 195 pihak yang ikut serta
dalam mitigasi perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 Paris, Prancis.
Konvensi ini lahir pada tanggal 22 April 2016 yang ditandatangani 194 negara dan 141
diantaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut.6 Persetujuan Paris bertujuan untuk menguatkan
respon global terhadap ancaman perubahan iklim dengan menahan kenaikan suhu rata-rata
global di bawah 2⁰ C dari angka sebelum masa Revolusi Industri dan melanjutkan upaya untuk
menekan kenaikan suhu ke 1,5⁰ C di atas tingkat pra-industrialisasi.7 Syarat berlakunya hukum
ini mengharuskan untuk minimal diratifikasi oleh 55 negara anggota UNFCCC yang mewakili
55% emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri masuk ke negara yang sudah membuktikan
komitmennya untuk memotong emisi karbon melalui ratifikasi UU No. 16 Tahun 2016 tentang
Pengesahan Paris Agreement. Melalui proses penandatanganan dan juga ratifikasi yang
dilakukan oleh Indonesia, membuktikan bahwa Indonesia sudah terikat dan ikut serta
menerapkan Persetujuan Paris.

2.2 Analysis
Persetujuan Paris adalah sebuah perjanjian internasional antara 195 pihak yang ikut serta
dalam mitigasi perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 Paris, Prancis.
Konferensi ini sudah ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 22 April 2016. Komitmen
pemerintah Indonesia setelah penandatanganan persetujuan tersebut kemudian dilanjutkan
dengan menetapkan Pengesahan Paris Agreement menjadi peraturan perundang-undangan
sebagai payung hukum yang kuat melalui Undang-Undang Republik Indonesia. Pada tanggal 24
Oktober 2016, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia

6
Otoritas Jasa Keuangan, Paris Agreement, diakses dari
https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-internasional/Pa
ges/Paris-Agreement.aspx, pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 21:53 WITA.
7
Suwarno Joyomenggolo, Mengenal Persetujuan Paris, diakses dari
https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-internasional/Pa
ges/Paris-Agreement.aspx, pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 22:02 WITA.
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nation Framework
Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa
pengendalian perubahan iklim merupakan amanat konstitusi UU 1945 Pasal 28 H bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan diratifikasinya
perjanjian internasional ini memberikan indikasi bahwa Indonesia sebagai salah satu pihak yang
menandatangani perjanjian ini mengikatkan dirinya pada perjanjian paris tersebut. Pengikatan
diri yang ditunjukkan melalui ratifikasi ini sesuai dengan salah satu asas yang terdapat di Pasal
26 Konvensi Wina 1969 berbunyi “Pacta Sunt Servanda setiap perjanjian yang berlaku mengikat
para pihak dan harus dilakukan oleh mereka dengan baik”.
Sebagai wujud dari tindak lanjut komitmen serta konsistensi pengikatan diri dalam Paris
Agreement ini sesuai dengan asas pacta sunt servanda, Indonesia akan melakukan upaya
kontribusi nasional terhadap upaya global yang dituangkan dalam kontribusi yang Ditetapkan
Secara Nasional (Nationally Determined Contribution (NDC)). NDC Indonesia mencakup
aspek mitigasi dan adaptasi dan akan ditetapkan secara berkala. Pada periode pertama, Indonesia
akan mengurangi emisi sebesar 29% melalui upaya sendiri. Target penurunan emisi ini akan
meningkat dan ditetapkan sebesar 41% jika ada kerjasama internasional dari kondisi tanpa aksi
pada tahun 2030 melalui dukungan pendanaan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas.
Penurunan laju emisi ini akan ditekankan terhadap sektor kehutanan, energi termasuk
transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. Komitmen NDC
Indonesia untuk periode berikutnya akan ditetapkan berdasarkan kajian kinerja dan harus
menunjukkan peningkatan dari periode sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN

Persetujuan Paris adalah sebuah perjanjian internasional antara 195 pihak yang ikut serta
dalam mitigasi perubahan iklim di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 Persetujuan Paris
bertujuan untuk menguatkan respon global terhadap ancaman perubahan iklim. Presiden
Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016
tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nation Framework Convention on Climate
Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim) Pada tanggal 24 Oktober 2016. Pengikatan diri yang ditunjukkan
melalui ratifikasi ini sesuai dengan salah satu asas yang terdapat di Pasal 26 Konvensi Wina
1969 berbunyi “Pacta Sunt Servanda setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan
harus dilakukan oleh mereka dengan baik”.
DAFTAR PUSTAKA

Joyomenggolo, Suwarno. n.d. “Mengenal Persetujuan Paris.” OJK.go.id.

https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-internasi

onal/Pages/Paris-Agreement.aspx.

Keuangan, Otoriras J. n.d. “Paris Agreement.” OJK.go.id.

https://www.ojk.go.id/sustainable-finance/id/publikasi/prinsip-dan-kesepakatan-internasi

onal/Pages/Paris-Agreement.aspx.

Purwanto, Harry. 2009. “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian

Internasional.”” Jurnal Mimbar Hukum Vol. 2 (No. 1): 162.

Sik, Ko S. 2006. “Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional.” Jurnal

Hukum Internasional Vol. 3 (No. 4): 474-476.

Suhaedi, Sam. 1968. Pengantar Hukum Inernasional. Bandung: Alumni.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement

To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris

Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim)

Paris Agreement-Status of Ratification, UNFCCC, http://unfccc.int/2860.php, diakses 15

Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai