Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fatih Henning Octavian Haq

NIM : 8111422308
Rombel 6, Senin Pukul 17.00 WIB

Konflik Sangketa Tanah


Masyarakat Ngadhu-Bhaga, NTT

Dikeluarkannya UU No.1 tahun 1951 menyebabkan penghapusan peradilan


swapraja yang kemudian dialihkan ke Pengadilan Negeri. Hal ini tentunya
menyebabkan banyak persoalan tanah adat , tanah warisan dan sejenisnya semakin
meningkat. Salah satunya adalah konflik sangketa tanah masyarakat Ngadhu-Bhaga
yang terletak di Nusa Tenggara Timur. Konflik masyarakat Ngadhu-Bhaga
disebabkan oleh beberapa hal yakni
a. Phi dhi laga lange yaitu perebutan batas tanah. Secara hukum adat disana , batas
tanah selalu diberi tanda berupa tanaman tebu dan jagung sehingga batas tanah disana
berupa barisan jagung dan tebu. Pada empat sudut batas tanah itu ditanam ngusu dan
batu sebagai simbol kehidupan. Kemudian di bawahnya ditanam batu sebagai simbol
keabadian dan pertahanan. Permasalahannya bila tanah itu dibiarkan lama tidak
digarap , tebu dan pisang akan ditutupi hutan belukar dan hanya tertinggal ngusu dan
batu tersebut. Kemudian untuk menanam tanaman baru ngusu dan batu tersebut perlu
ditebang dan dipindahkan, sehingga menyebabkan batas tanah itu tidak pada tempat
semestinya. Kasus ini dapat menyebabkan perang antar desa seperti yang terjadi di
Kecamatan Golewa ,Kabupaten Ngada pada tanggal 26 Mei 1995 .
b. Tana Tei yaitu merampas tanah milik orang lain. Perampasan yang terjadi di
masyarakat Ngadhu-Bhaga adalah menggarap dengan sengaja tanah orang lain tanpa
izin pemiliknya. Diketahui orang-orang dulu yang memiliki kekuatan baik fisik
maupun finansial memiliki tanah yang sangat luas. Dari generasi ke generasi
kemudian tanah tersebut diwariskan kepada anggota keluarga mereka. Karena luasnya
tanah mereka seringkali tanah tersebut tidak dikerjakan oleh pemiliknya maka contoh
dari beberapa kasus banyak tanah-tanah yang dikerjakan oleh masyarakat yang tidak
jauh dari letak tanah tersebut.
c. Masuknya rumah tangga atau investasi. Para pemilik modal harus memperhatikan
hak-hak masyarakat setempat agar tidak menimbulkan suatu konflik sosial. Tentunya
pemerintah yang ingin mengelola tanah-tanah masyarakat adat harus meminta izin
dengan pertimbangan pasal 33 UUD Negara Indonesia tahun 1945 dan UU No.5
Tahun 1960 dan UU Penanaman Modal.

Dalam penyelesaian masalahnya , sangketa adat pada masyarakat Ngadhu ada dua
yakni, pola penyelesaian yang dilakukan secara musyarawarah atau pola penyelasaian
yang dilakuakan melalui jalur perang. Umumnya, pola penyelesaian yang dilakukan
secara musyarawarah lebih baik dibanding pola penyelesaian lainnya, sebab pada
taraf inilah kearifan lokal itu memainkan perannnya serta lebih memberikan
ketenteraman, kedamaian, dan keadilan. Sedangkan pola penyelesaian yang kedua
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa diperlukan sebuah


model alternatif penyelesaian sangketa tersebut yang sesuai dengan nilai nilai dan
moral yang ada dan diharapkan adanya suatu pola yang lebih
akomododatif,responsive dan dapat dipercaya.

Anda mungkin juga menyukai