Anda di halaman 1dari 8

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT

MASYARAKAT HUKUM ADAT KAUM DATUK TIANSO DAN


KAUM DATUK CUMANO
DI NAGARI SUPAYANG KECAMATAN SALIMPAUNG
KABUPATEN TANAH DATAR

Vella Ade Sayita


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
vellaadesayita@students.undip.ac.id

Abstrak

Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting khususnya bagi masyarakat


hukum adat. Di Sumatera Barat, mayoritas penduduknya merupakan masyarakat
Minangkabau yang menganut sistem matrilinear dan mempunyai sistem
kepemilikan tanah yang bersifat komunal sehingga masyarakat Minangkabau sulit
melepaskan hubungannya dengan tanah ulayatnya. Tanah ulayat merupakan
pengikat bagi masyarakat adat di Sumatera Barat agar hubungan sesama suku
tetap terjaga, dengan utuh. Berharganya nilai tanah membuat setiap orang maupun
kelompok berlomba untuk memiliki bahkan menguasai dengan berbagai cara. Hal
ini sering membuat terjadinya sengketa akan tanah ulayat adat. Salah satu
sengketa tanah ulayat adat yang terjadi dalam masyarakat Minangkabau adalah
sengketa yang terjadi antara kaum Datuk Tianso (Suku Salo Caniago) dan kaum
Datuk Cumano (Suku Parikcancang Piliang) di Nagari Supayang, Kecamatan
Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar yang disebabkan oleh pernikahan antar suku
dan pewarisan tanah ulayat adat.

Kata kunci: tanah ulayat, hukum adat, pewarisan


A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang harus dijaga keutuhannya. Bagi masyarakat Indonesia yang
sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada sektor agraris,
tanah adalah sumber penghidupan paling mendasar. Begitu pentingnya tanah
bagi masyarakat, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA merupakan
penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Begitu pula bagi masyarakat hukum adat, tanah mempunyai
kedudukan yang penting. Bagi masyarakat hukum adat, tanah berfungsi
sebagai identitas masyarakat yang merupakan warisan turun-temurun dari
nenek moyangnya. Selain itu tanah adat merupakan asset ekonomi yang
sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat hukum adat untuk dikelola dan
dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat setempat.
Seperti halnya dalam masyarakat Sumatera Barat, khususnya
masyarakat adat Minangkabau, masih diakuinya tanah-tanah dalam
lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, pengguasan, dan
penggunaanya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui
oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah
ulayatnya. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga mengakui pelaksanaan
Hak Ulayat yaitu dengan dikeluarkannya Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang merupakan pengakuan pemerintah
atas hukum adat sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat Provinsi
Sumatera Barat.
Meskipun telah terdapat peraturan yang berlaku yang mengatur tentang
tanah ulayat dan pemanfaatannya, hal tersebut tidak menutup kemungkinan
terjadinya perselisihan antar kaum pada masyarakat Provinsi Symatera Barat.
Nyatanya, sengketa tanah ulayat antar kaum juga dialami oleh masyarakat adat
di Nagari Supayang, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar.
Sengketa yang terjadi adalah perebutan tanah pusaka antara kaum Datuk
Cumano (Suku Parikcancang Piliang) dengan kaum Datuk Tianso (Suku Salo
Caniago.
Asal usul tanah yang menjadi sengketa tersebut berasal dari tanah
ulayat kaum Datuk Tianso yang bersuku Salo Caniago. Pada awalnya tanah
tersebut dikuasai oleh kaum Datuk Tianso, dimana Datuk Tianso dan Ninik
Mamak Salo Caniago bersepakat untuk memberikan tanah tersebut kepada
Anwar Zen yang merupakan adik dari Datuk Tianso agar dapat dikelola dan
dijadikan tempat tinggal. Selang waktu berlalu, Anwar Zen menikah dengan
Liana yang merupakan Kaum Datuk Tianso dan bersuku Parikcancang
Piliang. Mereka mempunyai 3 orang anak yaitu Nursida, Aryus, dan Sunin.
Setelah Anwar Zen dan Liana meninggal, tanah yang ditempatinya
tersebut beralih kepengurusan kepada ketiga anaknya. Karena merasa tanah
tersebut merupakan peninggalan dari kedua orangtuanya, maka tanah tersebut
masih ditinggali oleh ketiganya dan memiliki kedai dari modal mereka sendiri.
Akan tetapi, menurut kaum Datuk Tianso, tanah tersebut merupakan milik
Suku Salo Caniago. Hal tersebut membuat kaum Datuk Tianso menggugat
anak-anak dari Anwar Zen dan Liana yang tetap tinggal ditanah tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka rumusan masalah yang
ingin penulis bahas yaitu; 1. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa
tanah ulayat yang dilakukan oleh kaum Datuk Cumano dan Kaum Datuk
Tianso? dan 2. Apakah penyelesaian sengekta tanah yang dilakukan oleh
Kaum Datuk Tianso dan Kaum Datuk Cumano telah memenuhi asas keadilan
bagi kedua belah pihak?

B. Hasil dan Pembahasan


1. Proses penyelesaian sengketa tanah ulayat yang dilakukan oleh kaum
Datuk Cumano dan Kaum Datuk Tianso
Dalam penyelesaian suatu sengketa tanah dalam adat
Minangkabau, terdapat suatu prosedur yang harus dilalui, hal ini sesuai
dengan Pasal 13 angka 1 Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008
tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang berbunyi “Sengketa tanah
ulayat antar Nagari diselesaikan oleh KAN antar Nagari yang
bersangkutan, menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku secara
musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian”.
Berdasarkan pasal tersebut maka hal pertama yang harus dilakukan dalam
penyelesaian sengketa antar kaum tersebut adalah dengan cara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Musyawarah ini dilakukan antara
kaum Datuk Tianso yang bersuku Salo Caniago dan kaum Datuk Cumano
yang bersuku Parikcancang Piliang dengan diwakili oleh Penghulu dari
masing-masing suku atau kaum.
Dalam proses musyawarah tersebut tidak mencapai hasil yang
diinginkan oleh kedua belah pihak sehingga sengketa tidak terselesaikan.
Hal tersebut terjadi karena terdapat berbagai permasalahan, antara lain:
a. Keegoisan dari para penghulu dari kaum Datuk Tianso dan Datuk
Cumano atas permasalahan tanah ulayat kaum tersebut.
b. Ketidakpahaman penghulu terhadap adat istiadat Minangkabau
terhadap penyelesaian sengketa tanah ulayat antar kaum.
c. Ketidakpahaman dari kaum Datuk Cumano terhadap ranji pewarisan
tanah ulayat tersebut.
d. Keegoisan kedua belah pihak yang bersengketa yaitu kaum Datuk
Tianso dan kaum Datuk Cumano.
Karena sengketa tanah ulayat tersebut tidak terselesaikan dengan
cara musyawarah antar kaum yang bersengketa, maka cara selanjutnya
yang dapat dilakukan adalah dengan menyerahkan sengketa tersebut untuk
diselesaikan oleh KAN (Kerapatan Adat Nagari). Menurut pasal 1 angka
15 Perda Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya,
Kerapatan Adat Nagari adalah lembaga perwakilan permusyawaratan dan
pemufakatan adat tertinggi Nagari. Salah satu tugas Kerapatan Adat
Nagari adalah menyelesaikan perkara-perkara adat dan istiadat, termasuk
salah satunya menyelesaikan sengketa tanah ulayat. Penyelesaian sengketa
oleh KAN berarti penyelesaian sengketa non litigasi dan kedudukan
lembaga KAN tidak bersifat sebagai pihak yang memutus perkara tetapi
untuk meluruskan persoalan-persoalan adat yang terjadi dari sengketa
tersebut.
Sengketa tanah ulayat antar kaum Datuk Tianso dengan kaum
Datuk Cumano akhirnya terselesaikan dengan menerima solusi yang
diberikan oleh Kepala Kerapatan Adat Nagari Supayang. Solusi tersebut
yaitu kaum Datuk Tianso haruslah membayar kerugian yang telah diterima
oleh anak-anak Datuk Cumano, dan juga anak-anak dari kaum Cumano
yang menempati tanah tersebut haruslah pergi dan meninggalkan tanah
ulayat tersebut.

2. Apakah penyelesaian sengekta tanah yang dilakukan oleh Kaum


Datuk Tianso dan Kaum Datuk Cumano telah memenuhi asas
keadilan bagi kedua belah pihak?
Suku Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang
memiliki sistem kekerabatan berbeda, unik, dan langka. Sistem
kekerabatan di Minangkabau disebut dengan sistem kekerabatan
Matrilineal atau Matriakhat.1 Matrilineal berasal dari kata “matri” yang
artinya ibu dan “lineal” yang artinya garis. Jadi matrilineal berarti garis
atau hubungan keturunan yang berdasarkan kerabat ibu.2 Matrilineal yaitu
seseorang menjadi anggota suatu masyarakat hukum adat yang
bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap dirinya sebagai
keturunan dari nenek moyang perempuan atau tunggal ibu yaitu ibu asal
yang menurunkan anak cucu yang perempuan itu tidak meninggalkan
kerabatnya dan tidak pindah ke kerabat
suaminya.
Pola kepemilikan tanah di Minangkabau tidaklah bersifat
individual, melainkan milik komunal yaitu milik suku, kaum, dan nagari.
1
Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau (Padang: Angkasa Raya, 2003) hlm. 5
2
Yaswirman, Hukum Keluarga Adat Dan Islam (Analisis Sejarah, Karakteristik, Dan Prospeknya
Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau) (Padang: Universitas Andalas, 2006) hlm. 17.
Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turun-temurun, yang haknya
berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat
adalah mamak kepala waris. Tanah ulayat adalah warisan dari mereka
yang mendirikan nagari, tanah tersebut bukan saja kepunyaan umat yang
hidup sekarang tetapi menjadi hak generasi yang akan datang, yang hidup
kelak dikemudian hari.3 Oleh karena itu, solusi yang diberikan oleh
Kerapatan Adat Nagari terhadap penyelesaian sengketa tanah ulayat kaum
Datuk Tianso dan Datuk Cumano telah memenuhi asas keadilan bagi
kedua pihak.
Solusi yang diberikan oleh Kerapatan Adat Nagari yaitu anak-anak
dari Anwar Zen dan Liana haruslah meninggalkan tanah ulayat yang
ditempatinya tersebut. Hal tersebut dikarenakan tanah ulayat yang menjadi
sengketa pada awalnya merupakan tanah yang dikuasai oleh kaum Datuk
Tianso yang bersuku Salo Caniago dan diwariskan kepada keturunannya
yang memiliki kekerabatan dengan kaum Datuk Tianso. Sehingga dalam
hal ini, Anwar Zen berhak untuk menempati dan mengelola tanah ulayat
tersebut. Akan tetapi setelah Anwar Zen meninggal, seharusnya tanah
ulayat yang ditempatinya tersebut haruslah kembali penguasaannya kepada
Ninik Mamak suku Salo Caniago. Tanah tersebut tidak dapat diwariskan
kepada anak-anak dari Anwar Zen karena dalam adat Minangkabau,
pewarisan adalah secara matrilinear atau garis keturunan ibu, sedangkan
istri dari Anwar Zen, yaitu Liana, merupakan kaum Datuk Cumano yang
bersuku Parikcancang Piliang sehingga anak-anak dari Anwar Zen tidak
dapat mewarisi tanah ulayat tersebut.
Selain itu, Kerapatan Adat Nagari juga memberikan solusi bahwa
kaum Datuk Tianso harus membayar kerugian yang diterima oleh anak-
anak kaum Datuk Cumano. Anak-anak dari Anwar Zen dan Liana yang
merupakan kaum Datuk Cumano tersebut harus mendapat ganti kerugian
karena tanah yang mereka tinggali akan diserahkan kembali kepada kaum

3
Fatmi, Siti Raga. Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik. Jember:
Jurnal Lentera Hukum Vol. 5, 2018.
Datuk Tianso yang menyebabkan hilangnya tempat tinggal ataupun usaha
kedai yang selama ini mereka jalankan dengan modal sendiri.
Penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam sengketa tanah ulayat
adat kaum Datuk Tianso dan kaum Datuk Cumano tersebut telah
memenuhi asas keadilan bagi kedua belah pihak. Kaum Datuk Tianso
mendapatkan kembali tanah ulayat adatnya dan anak-anak dari Anwar Zen
dan Liana yang merupakan keturunan kaum Datuk Cumano juga
mendapatkan gani kerugian atas usaha kedainya yang mereka bangun
dengan modal pribadi. Sehingga dalam penyelesaian sengketa tersebut
tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

C. Penutup
a. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari permasalahan yang telah dibahas
diatas, yaitu:
1. Proses penyelesaian sengketa tanah adat antara kaum Datuk Tianso
dan
Datuk Cumano dilakukan dengan dua cara, yang pertama yaitu
musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi tidak dapat menyelesaikan
sengketa sehingga menggunakan cara yang kedua yaitu menyerahkan
sengketa untuk diselesaikan oleh KAN (Kerapatan Adat Nagari).
2. Penyelesaian sengketa terhadap sengketa tanah ulayat tersebut
telah
memenuhi asas keadilan bagi kedua pihak. Kaum Datuk Tianso
mendapatkan kembali tanah ulayat adat mereka dan anak-anak kaum
Datuk Cumano menerima ganti kerugian atas usaha kedai yang telah
mereka bangun dengan modal pribadi diatas tanah tersebut. Sehingga
dalam penyelesaian tersebut tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan yaitu:
1. Diharapkan bagi penghulu adat agar lebih memperdalam dalam
memahami adat Minangkabau khususnya dalam penyelesaian
sengketa tanah ulayat adat dikarenakan hukum adat tersebut yang
hidup di masyarakat.
2. Diharapkan kepada masyarakat hukum adat Minangkabau agar
memahami hukum adat yang berlaku khususnya dalam pewarisan
tanah ulayat agar tidak timbul sengketa yang berkaitan dengan tanah
ulayat.

Daftar Pustaka
Azrial, Yulfian. 2003. Budaya Alam Minangkabau. Padang: Angkasa Raya.
Fatmi, Siti Raga. 2018. Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi
Tanah Hak Milik. Jember: Jurnal Lentera Hukum Vol. 5, (3).
Pemerintah Indonesia. 1960. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Tahun 1960
No. 104. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. 2008. Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 6
tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Lembaran Daerah
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 No.6. Padang: Sekretariat Daerah.
Yaswirman. 2006. Hukum Keluarga Adat Dan Islam (Analisis Sejarah,
Karakteristik, Dan Prospeknya Dalam Masyarakat Matrilineal
Minangkabau). Padang:Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai