Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan suatu hal yang sangat penting berguna

dalamberlangsungnya kehidupan manusia sehari-hari, beberapa di antaranya

adalah sebagai tempat tinggal, tempat melangsungkan kehidupan, dan sebagai

wadah dalam memenuhi kehidupannya. Keberadaan tanah dijamin dalam Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 yaitu pada pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Tanah, berapa pun luasnya dapat menjadi sebuah investasi

bagiseseorang.Atas tanah tersebut seseorang dapat menjualnya, menanaminya,

atau mendirikan suatu bangunan diatasnya.Intinya tanah tersebut dapat menjadi

modal dasar kehidupan bagi manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka tanah

memiliki dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi non produksi. Fungsi produksi

diartikan bernilai ekonomis, sedangkan fungsi non produksi memiliki nilai religio-

magis

Bagi masyarakat hukum adat tanah ini mempunyai banyak fungsi lainnya

yaitu sebagai tempat tinggal keluarga dan masyarakat, tempat memberikan

penghidupan, sebagai tempat para warga meninggal dikebumikan, dan sesuai

dengan kepercayaan leluhur dari zaman dahulu yaitu sebagai tempat tinggal dewa-

dewa pelindung serta tempat roh para leluhur bersemayam.

Di Sumatera Barat, mayoritas penduduknya merupakan masyarakat

Minangkabau yang menganut sistem matrilineal yang tersebar mempunyai system

1
kepemilikan tanah yang bersifat komunal, penting artinya dalam pemeliharaan

kelompok bersama, sehingga masyarakat Minangkabau sulit melepaskan

hubungannya dengan tanah walaupun areal tanah yang dimiliki sedikit.

Masyarakat Minangkabau yang tidak mempunyai tanah dianggap orang yang

kurang dan tidak mempunyai asal-usul yang jelas.1

Pada suku Minangkabau, ada empat macam jenis (tingkatan) tanah ulayat

yaitu : (1) Ulayat Rajo yakni tanah atau hutan lebat yang terletak jauh dari

kampung, koto atau nagari; (2) Ulayat Nagari yaitu tanah adat milik nagari

misalnya untuk fasilitas umum, tanah lapang, kolam nagari, untuk kantor, sekolah,

masjid, rumah sakit, tanah cadangan berupa belukar muda, dll; (3) Ulayat Suku

adalah tanah cadangan bagi suatu suku yang ada dalam nagari tersebut, biasanya

digunakan untuk perkebunan atau perladangan milik bersama; dan (4) Ulayat

Kaum adalah tanah milik kaum bisa sebagai tanah cadangan yang kelak jika

anggota kaum semakin berkembang, maka tanah kaum itu dengan

izinpanghulunya dapat mendirikan rumah, membuat kebun bersama, sawah atau

ladang. Semua tanah ulayat ini disebut tanah Pusako Tinggi yang berada di bawah

pengawasan Panghulu.2

Pengakuan mengenai hak ulayat ditemukan di dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Pada Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa:

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-hak

ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

1
Navis, A. A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta. Grafiti Press
2
Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Hukum Adat daerah Sumatera
Barat. Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang

2
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan

atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-

undang dan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi.

Tanah ulayat adalah aset masyarakat adat minangkabau yang tidak ternilai

harganya.Ada ungkapan dalam adat Minangkabau, bahwa semua orang

berkewajiban untuk menjaga dan mempertahankan tanah ulayat agar tidak

habis.Bunyi pepatah tersebut adalah”Nanketek dipagadang, nan hanyuik

dipnitehi, nan hilang dicari, nan patah ditimpa,nan sumbiang dititiak, nan buruak

dipaelok”.Dalam pepatah itu terkandung makna yang sangat mendalam, betapa

berharganya tanah ulayat bagi kehidupan masyarakat hukum adat di Sumatera

Barat.Tanah ulayat merupakan pengikat bagi masyarakat adat di Sumatera Barat

agar hubungan sesama suku tetap terjaga, dengan utuh.

Berharganya nilai tanah membuat setiap orang maupun kelompok berlomba

untuk memiliki bahkan menguasai dengan berbagai cara. Hal ini sering membuat

terjadinya sengketa akan tanah. Sengketa akan tanah terjadi tidak lepas dari faktor

pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. membuat berbagai kebutuhan

seperti halnya tanah semakin besar, sehingga menarik perhatian untuk

meninggalkan daerah asal dan mulai memilih serta menetap ke daerah lain. Hal

inilah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat nias, mereka mulai meninggalkan

daerah asal nya dan mencari daerah baru.Salah satu daerah tujuan mereka yaitu

sumatera barat khususnya Kanagarian Sungai Buluah, Padangpariaman.

3
Kehadiran masyarakat nias tersebut membuat mereka memilih tinggal

menetap dan membuka lahan pertanian di daerah tujuan, sehingga berimplikasi

pada meningkatnya kebutuhan akan tanah-lahan. Di daerah tujuan, mereka yang

bermigrasi tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan tanah yang telah bermakna

seperti di daerah asalnya. Untuk memenuhi kebutuhan tanah, penguasaan tanah

biasanya didapat melalui pelepasan adat maupun penyerobotan.Pelepasan secara

adat dapat diberikan kepada anggota kelompok setempat atau kelompok luar

dengan status kepemilihan hak pakai, dimana tanah dapat digunakan sampai

keturunan selanjutnya, bila tanah tidak di kelola lagi maka tanah tidak dapat di

jual dan kembali kepada pemilik semula atau pemilik ulayat.

Menurut sejarahnya, keberadaan masyarakat Nias di daerah Minangkabau

sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada masa penjajahan Belanda tersebut

masyarakat Nias di datangkan dari pulau nias ke minangkabau untuk menjadi

pekerja. Masyarakat Nias dipekerjakan sebagai pekerja pembuat jalur kereta api

yang terbentang di seluruh wilayah Sumatera Barat, terkhususnya di wilayah

padang pariaman. Masyarakat Nias yang menjadi pekerja di daerah padang

pariaman, oleh pemerintah kolonial belanda diberikan tanah di sekitar daerah

kanagarian tanjuang basuang, dan kanagarian ketaping. Tanah yang diberikan

merupakan tanah ulayat rajo di kanagarian ketaping

Uraian di atas menjadi dasar bagi penulis untuk memfokuskan penelitian

pada “Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.”

4
B. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang masalah di atas, ada beberapa hal yang

menjadi permasalahan penelitiannya, antara lain :

1. Bagaimanakah cara memperoleh Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.?

2. Bagaimanakah sistem penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.?

3. Bagaimanakah pemanfaatan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman. ?

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan penelitian iniadalah:

1. Untuk mengetahui cara memperoleh Tanah Oleh Masyarakat Nias

DiKanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.

2. Untuk mengetahui sistem penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di

Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.

3. Untuk mengetahui pemanfaatan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain :

5
1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat

sehingga penerapan hukum adat dapat dijalankan secara baik dan dapat

mengurangi adanya benturan kepentingan antara masyarakat dalam

melaksanakan adatnya.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

cakrawala mengenai hukum adat tidak hanya bagi masyarakat hukum

adat suatu daerah tetapi juga bagi pihak berkepentingan yang

membutuhkan informasi mengenai hukum adat.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam

pengembangan hukum adat sesuai dengan perkembangan hukum adat.

Hal ini dikarenakan hukum adat bersifat dinamis yang selalu mengalami

perkembangan dari waktu kewaktu.

b. Penelitian ini dapat membantu dalam memberikan informasi mengenai

Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Oleh Masyarakat Nias yang terjadi

Di Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembaca

yang ingin mengetahui akibat yang mungkin akan timbul akibat adat

yang tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.

E. METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh data yang maksimal dan menunjukkan hasil yang

baik, sehingga tulisan ini mencapai sasaran dan tujuan sesuai dengan judul

6
yang telah ditetapkan, maka penulis mengumpulkan dan memperoleh data

dengan menggunakan metode penelitian:

1. Pendekatan masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan

mengamati gejala sosial (perilaku warga masyarakat) danmenganalisisnya

bisa dengan peraturan, teori, ahli dan logika.

2. Sifat penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah bersifat deskriptif yang bisa

memberikan gambaran yang luas tentang Penguasaan dan Pemanfaatan

Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang

Anai, Kab. Padang Pariaman.

3. Sumber data

Data-data yang terdapat daalam penelitian ini diperoleh melalui Field

research, yaitu melalui penelitian lapangan yang kemudian di tambah

dengan data yang diperoleh melalui Library research yang dilakukan pada

beberapa perpustakaan, diantaranya :

a. Perpustakaan Daerah Sumatera Barat

b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas

c. Buku- buku milik penulis dan bahan- bahan kuliah yang berkaitan

dengan penelitian ini.

4. Jenis data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

7
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari lapangan berupa surat-

surat yang berhubungan dengan masalah yang terjadi.

b. Data sekunder, yaitu merupakan data atau informasi yang diperoleh

dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan–bahan hukum yang mengikat,

dan terdiri dari :

a) Norma atau kaedah dasar, yakni pembukaan Undang- Undang

Dasar Tahun 1945

b) Peraturan dasar, yaitu Undang- Undang Dasar Tahun 1945

c) Peraturan perundang-undangan, yakni Kitab Undang- Undang

Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan daerah

Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya.

d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat

e) Perundang-undangan lain yang terkait dengan permasalahan

yang sedang diteliti.

2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti halnya hasil karya dari kalangan

hukum.

8
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti kamus, encyclopedia.3

5. Teknik pengumpulan data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui :

a. Studi dokumen

Pada tahap ini penulis mengkaji beberapa dokumen yang ada dan

tersedia di Kantor Kerapatan Adat Nagari.Studi dokumen merupakan

tahap awal dalam menganalisa kasus ini.

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka

(face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang

responden.4Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode

wawancara semi terstruktur yaitu dengan membuat daftar pertanyaan

pokok dan pertanyaan lanjutan disusun sesuai dengan perkembangan

wawancara.Dalam penelitian ini pihak yang diwawancarai adalah para

pihak, ketua KAN dan penghulu, ninik mamak dalam hal ini.

6. Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan melakukan editing dan

klasifikasi data agar dapat disajikan secara sistematis.

7. Analisa data
3
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 32
4
Ibid, hlm. 82

9
Data yang telah disajikan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menilai

berdasarkan peraturan perundang-undangan, teori, logika untuk menarik

kesimpulan dengan cepat.

BAB II

10
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana Cara Memperoleh Tanah Oleh Masyarakat Nias Di

Nagari Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman

1. Gambaran Lokasi Penelitian

Sebelum penulis membahas mengenai Bagaimana Cara Memperoleh

Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Nagari Sungai Buluah, Kec.Batang Anai,

Kab. Padang Pariaman. Ada baiknya kita mengetahui tentang kondisi

wilayah Kenagarian Sungai Buluah. Penduduk Nagari Sungai Buluh

berjumlah 14.672 jiwa yang terdiri dari 3.542 Kepala Keluarga dan luas

wilayahnya mencapai 19.250 hektar. Nagari ini terbagi kedalam delapan

korong, yaitu Korong Kuliek, Korong Salisikan, Korong Kampung Apar,

Korong Tanjung Basung, Korong Banda Cino, Korong Kabun, Korong

Talang Jala, Korong Pasa Usang.

Menurut sejarahnyaBerdasarkan hasil wawancara dengan Zulkifli

Datuak Lembang yang merupakan ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN)

Sungai Buluah, sejarah hak ulayat nagari Sungai Buluah bermula dari

seseorang nenek moyang dari negeri Kajai Laminjai (solok) yang bernama

Sisatu yang bergelar Datuak Rajo Batuah. beliau lima kali turun naik

pegunungan, guna mencari tempat tinggal dan lahan bercocok tanam baru

yaitu : Gunung Talang, Gunung Bungsu, Gunung sago, Bancah Laweh,

Panyinggahan. Setelah 5 kali naik turun pegunungan yang bernama Sisatu

Datuak Rajo Batuah tidak juga menemukan tempat yang pas dhatinya.

Lalu Sisatu meneruskan perjalanan sampai ke Lubuk Penurunan yang

11
sekararang bernama Lubuk Minturun dan terus Menempuh Nagari Kasang

dan terus mendaki Bukit Kasang sampai Kebukit Kayu Manang. antara

perbatasan Bukit Kasang dengan Bukit Kuliek datuak rajo batuah

menelusuri lembah. Disana beliau menemukan pohon yang besar dan

beliau memberikan tanda silang empat. Dan dsanalah hati Sisatu Datuak

Rajo Batuah merasa di lembah Bukit Kuliek yang di aliri sungai Batang

Buluah ini cocok beliau untuk hidup menetap dan bercocok tanam.

Dsinilah awal mula nagari Sungai Buluah, dari Taratak Kuliek.

Setelah mengelilingi lembah Bukit Kuliek, menelusuri aliran sungai

Batang Buluah, dan menemukan lokasi yang akan dijadikan ulayat dalam

kekuasaan Sisatu Datuak Rajo Batuah. Beliau Kembali Ke taratak

Kulieklalu membagi daerah ulayatnya dengan istilah “ Taratak yang

delapan”

1. Taratak Pasar Usang

2. Taratak Talang Jala

3. Taratak Kampung Apar

4. Taratak Kali Air

5. Taratak Kuliek

6. Taratak Salisikan

7. Taratak Tanjung Basung I

8. Taratak Tanjung Basung II

Setelah Taratak baru bernama Kampong setelah Kampong baru

dinamakan Koto, setelah Koto baru dinamakan Korong, setelah Korong

baru menjadi nagari, setelah Korong baru menjadi nagari dan barulah

12
bertemu sejarah Sungai Buluah. Yang terletak di Banda Kuliek, Sungai

Buluah diberi nama dikarenakan ada tumbuh serumpun Pohon Buluh

(Bambu) tumbang dekat Lubuk Batu Lago. Jadi orang mengambil air di

Buluh Tumbang, sebab itulah Nagari ini dinamakan Nagari Sungai

Buluah.

Batas Ulayat

Dipandang kesebelah Barat hinggo riak nan badabua

Dipandang kesebelah timur berbatasan Solok dibukit Gunuang

Siriah

Dipandang kesebelah Utara Sasayut sayut mato mamandang

dibateh gunung pasaman

Dipandang sebelah selatan sampai karanah pasisia

Masyarakat Nias yang tinggal dan menetap di kanagarian Sungai

Buluah berjumlah 150 KK (Kepala Keluarga) dengan jumlah penduduk

seluruhnya 459 jiwa, yang terdiri dari anak-anak sampai dewasa. Jumlah

penduduk yang berjenis kelamin perempuan 291 jiwa, selebihnya 168

jiwa berjenis kelamin laki-laki. Ada 7 marga suku nias yang berada di

Nagari Sungai Buluah ini, Zebua, Hareffa, Dohare, Era-era, Zai, Gea, dan

Waruwu.Jumlah luas tanah yang dikuasai oleh Masyarakat Nias di

Kanagarian Sungai Buluah ± 400hektare dari 19.250hektare luas nagari.

Menurut Sejarahnya kedatangan suku Nias ke Kenagarian Sungai

Buluh Kabupaten PadangPariaman atas ajakan Datuak kasupian pada

13
tahun 1901, beliau mengajak orang Nias yang semulanyabermukim di

daerah Ulakan tapakis untuk merambah daerah bagian dari tanah ulayat

nagari masyarakat adat Sungai Buluah, yang sebelumnya merupakan hutan

belantara. Awalnya orang Nias yang datang ke Nagari Sungai Buluah

berjumlah tujuh keluarga atau 25 orang. Setelah masyarakat suku Nias

berhasil merambah daerah tersebut menjadi pemukiman dan lahan

pertanian, barulah muncul permasalahan tentang status tanah yang

dikuasai masyarakat Nias, karena hutan yang masyarakat Nias buka dan

rambah dan dijadikan lahan pertanian dan pemukiman mereka merupakan

tanah ulayat nagari Sungai Buluah.

Pada tanggal 27 Desember 1927, terjadinya musyawarah antara

masyarakat adat Nias dan dan masyarakat adat Sungai Buluah yang terkait

tentang status tanah ulayat nagari yang dijadikan lahan pertanian dan

pemukiman oleh masyarakat Nias, hasil musyawarah tersebut

membolehkan masyarakat nias untuk dapat menguasai dan memanfaatkan

tanah ulayat nagari Sungai Buluah dengan beberapa perjanjian :

1. Adat di isi limbago dituang

2. Harus mengikuti adat istiadat dinagari Sungai Buluah

3. Jika ada masyarakat Nias yang ingin menguasai dan memanfaatkan

tanah ulayat nagari harus seizin penghulu masyarakat Nias dan

penghulu, ninik mamak, cadiak pandai, alim ulama nagari Sungai

Buluah

14
4. Diangkat lah Gapuak Zebua sebagai kepala suku masyarakat nias oleh

penghulu, ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai masyrakat adat

sungai buluah, yang nantinya bergelar penghulu Si Gapuak.

5. Hak pakai atas tanah ulayat nagari sungai buluah diberikan kepada

penghulu Si Gapuak sebagai kepala suku nias. Yang nantinya izin

pemakaian nya di atur oleh penghulu, ninik mamak alim ulama dan

cadiak pandai masyarakat adat nagari Sungai Buluah.

2. Bagaimana Cara Memperoleh Tanah Oleh Masyarakat Nias Di

Nagari Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman

Hukum adat Minangkabau menyatakan tidak ada sejengkal tanah pun

yang tidak berpunya, berapapun luasnya ada penguasanya, baik oleh suatu

kaum, suku maupun suatu nagari disebut dengan tanah ulayat. Tanah

ulayat tersebut merupakan hak kolektif (bersama) anggota persekutuan

hukum adat yang bersangkutan dan bukan merupakan hak individu yang

dapat dimiliki seseorang atau keluarga, tetapi menjadi hak

beschikkingsrecht masyarakat (hukum) adat yang bersangkutan, untuk

memenuhi segala kebutuhan hidup anggota persekutuan adat.

Menurut sejarah Nenek moyang, untuk mendapatkan tanah pada

waktu dahulunya dengancaramencancang tanah dan malateh tanah, tanah

tersebut diolah dan diusahakan untuk kebutuhan hidupnya. Sehingga

hasilnya dapat langsung dimanfaatkan oleh nenek moyang tersebut,

sebagian besar lagi dibiarkan dalam bentuk tidak diolah sebagai cadangan

untuk menampung anak cucu kemudian harinya. Tanah yang tidak diolah

dan dijadikan tanah cadangan bagi anak cucu inilah yang disebut dengan

15
Tanah Ulayat Nagari. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat

No.6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat pada pasal 7 ayat 1 “Tanah

Ulayat Nagari berkedudukan sebagai tanah cadangan masyarakat adat

nagari, penguasaan serta pengaturannya dilakukan oleh ninik mamak KAN

bersama Pemerintah Nagari sesuai dengan hukum adat Minangkabau dan

dapat dituangkan dalam peraturan nagari”

Menurut hukum adat minangkabau peralihan kepemilikan tanah ulayat

pada zaman dahulu tidak pernah terjadi, yang ada hanya peralihan dalam

penguasaan sementara. Tanah ulayat tersebut tidak dibenarkan untuk

dipindah tangankan secara permanen, kecuali dengan keadaan yang sangat

mendesak.

Tanah ulayat menurut hukum adat secara umum punya kekuatan

keluar dan kedalam.Keluar yaitu bahwa pihak luar boleh mengeksploitasi

atau memanfaatkan tanah asal mengisi adat terlebih dahulu. Untuk

kedalam bahwa pihak – pihak atau anggota kaum boleh saja menguasai

tanah dan mengusahakan tanah tersebut secara pribadi (individu) tapi tidak

memiliki atas nama perseorangan. Jika dilihat dari kekeuatan keluar hak

ulayat, akan menunjukan pembatasan penguasaan tanah komunal bagi

pihak luar. Pihak luar dapat saja meneksploitasi tanah atau memanfaatkan

tanah setelah membayar terlebih dahulu dengan cara “adat di isi, limbago

dituang”. Hak yang diperoleh oleh pihak luar hanya terbatas sebagai hak

pakai tidak dapat dan tidak akan dapat dijadikan hak milik.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Zulkifli Datuak Lembang Ketua

KAN Sungai Buluah, menurut sejarahnya Masyarakat Nias yang pertama

16
kali mengurus izin untuk menguasai dan memanfaatkan tanah ulayat

nagari Sungai Buluah adalah Gapuak Zebua, setelah meminta izin kepada

masyarakat nagari Sungai Buluah, akhirnya Penghulu, Ninik Mamak,

Alim Ulama, Cadiak Pandai nagari Sungai Buluah bermusyawarah

memutuskan bahwa Gapuak Zebua di izinkan menguasai dan

memanfaatkan tanah ulayat nagari Sungai Buluah, dengan beberapa

syarat :

1. Gapuak Zebua harus mengisi adat. Adat diisi limbago dituang.

2. Gapuak Zebua harus tunduk dan patuh terhadap aturan adat nagari

Sungai Buluah.

3. Tanah ulayat yang akan diizinkan dikuasai dan dimanfaatkan oleh

Gapuak Zebua hanyalah lahan rawa yang tidak mampu terolah oleh

masyarakat adat nagari Sungai Buluah.

4. Gapuak Zebua diangkat oleh penghulu, ninik mamak, alim ulama,

cadiak pandai masyarakat Sungai Buluah, sebagai penghulu

mayarakat Nias (kepala suku) yang nantinya di panggil dengan

sebutan “penghulu Si Gapuak”

5. Tanah ulayat nagari yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh Gapuak

Zebua statusnya merupakan hak pakai atas tanah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Zulkifli Datuak Lembang Ketua

KAN Sungai Buluah pada saat ini, bagi masyarakat Nias yang ingin

mengusai dan memanfaatkan tanah ulayat nagari Sungai Buluah harus

melalui beberapa tahapan sebelum dikeluarkan izin :

17
1. Masyarakat Nias tersebut harus meminta izin terlebih dahulu

kepada penghulu masyarakat Nias.

2. Setelah izin didapat dari penghulu masyarakat Nias, penghulu

masyarakat Nias akan meminta izin kepada KAN Sungai Buluah.

3. Setelah Penghulu masyarakat Nias Meminta Izin kepada KAN

Sungai Buluah, Pengurus KAN Sungai Buluah akan mengadakan

Musyawarah untuk memutuskan memberikan izin atau tidak.

4. Izin diberikan apabila memenuhi beberapa kriteria :

a. Masyarakat Nias tersebut sudah dapat izin dari penghulu

masyarakat Nias

b. Masyarakat Nias tersebut harus sudah lama menetap dan

tinggal di nagari Sungai Buluah minimal 5 tahun.

c. Masyarakat Nias tersebut harus bersedia mematuhi aturan adat

nagari Sungai Buluah

d. Tanah yang akan dikuasai dan dimanfaatkan masyarakat Nias

haruslah tanah ulayat nagari yang merupakan lahan rawa yang

tidak di olah oleh masyarakat adat nagari Sungai Buluah.

5. Apabila masyarakat Nias dapat memenuhi seluruh kriteria maka

KAN Sungai Buluah akan mengizinkan untuk menguasaai dan

memanfaatkan tanah tersebut.

B. Bagaimanakah Sistem Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di

Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman

1. Bentuk Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di Kanagarian

Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman

18
Dalam hukum adat secara umum penguasaan terhadap suatu tanah

di kenal dengan dua bentuk, yaitu : penguasaan secara

kelompok/komunal (kaum,suku,nagari) dan pengusaan secara

perorangan/ individu.

Dalam hukum adat minangkabau setiaptanah ulayat dikuasai secara

kelompok, tidak ada penguasaan tanah ulayat secara perorangan

diminangkabau. Walaupun demikian tanah ulayat yang dikuasai

secara kelompok tersebut, masih terdapat hak perorangan terhadap

tanah ulayat didalamnya :

1. Hak untuk mengumpulkan hasil hutan (seperti : rotan,damar

kemiri dan lain-lain).

2. Hak untuk berburu binatang.

3. Hak untuk mengambil hasil dari tanaman liar.

4. Hak untuk membuka lahan dan mengolah tanah ulayat tersebut

secara terus menerus.5

Dalam bentuk penguasaan tanah ulayat yang didalamnya terdapat

hak atas tanah, akan terlihat hubungan timbal balik antara hak ulayat

dan hak individu. Hal ini dapat kita perhatikan dengan adanya

perubahan dari status tanah dengan intensifnya penguasaan hak atas

tanah ulayat oleh masyarakat adat. Sebagaimana dikemukakan oleh

“Bushar Muhammad” bahwa hubungan interaksi antara hak ulayat dan

hak individu satu sama lainya adalah dalam keadaan mengembang dan

mengempis tergantung pada intensitas penggarapannya terhadap tanah

5
Edison MS. Tambo Minangkabau (Budaya dan Hukum Adat Minangkabau),
Kristalmultimedia,Bukittinggi,2010, hal 274

19
ulayat tersebut.”6 Yang dikemukan oleh Bushar Muhammad

merupakan “teori balon” mengembang dan mengempis, maksudnya

adalah apabila ada anggota persekutuan adat yang secara terus menerus

mengolah tanah ulayatnyamaka hak perorangan yang akan menonjol,

namun apabila tanah ulayat tersebut dibiarkan saja tanpa ada yang

mengolahnya maka hak komunal yag akan menonjol.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala suku Nias penghulu

Si Us mengatakan tanah yang dikuasai dan dimaanfaatkan oleh

masyarakat Nias yang telah diberikan izin oleh penghulu, ninik

mamak, alim ulama, dan cadiak pandai nagari Sungai Buluah status

tanahnya merupakan hak pakai. Dan dalam hal penguasaan atas

tanahnya dikuasai secara individu oleh masyarakat nias dengan status

hak pakai. Dalam hal ini penghulu masyarakat Nias hanya bertugas

sebagai fasilitator dalam pengurusan izin penguasaan dan pemanfaatan

terhadap tanah ulayat. Setelah izin diberikan tanah ulayat tersebut

dikuasai secara perorangan oleh masyarakat nias tersebut.

Dalam hukum adat Minangkabau penguasaan dan pemanfaatan

tanah ulayat nagari hanya di batasi untuk warga masyarakat adat

persekutuan masing-masing. Sedangkan untuk warga diluar

persekutuan adat diberlakukan ketentuan ketentuan yang mengikatnya,

seperti izin dari KAN atau membayar recognitie ganti rugi dalam

penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat nagari.

6
Bushar Mummad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradya Paramita,Jakarta,1983,hal 109

20
Bagi anak anak Nagari yang tidak mempunyai tanah olahan, dapat

mengajukan permohonan kepada penguasa nagari (KAN) untuk

mengolah bagian dari tanah ulayat nagari. Kalau menurut KAN kepada

yang bersangkutan layak diberi izin baik dengan uang pemasukan

maupun tidak, yang bersangkutan diizinkan mengolah tanah ulayat

nagari tersebut. Bahkan kalau yang bersangkutan terus menerus

mengolah tanahnya dengan baik, kepada yang bersangkutan dapat

diberikan hak milik.

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Barat telah

mengakui proses ini yaitu melalui pemberian hak, bukan penegasan.

Tanah ulayat nagari tadi dianggap tanah negara. Layak atau tidaknya

diberikan hak milik pada pemohon sangat ditentukan oleh rekomendasi

dari KAN setempat.7

Berdasarkan hasil wawancara dengan Zulkifli Datuak Lembang

ketua KAN Sungai Buluah mengatakan bahwa tanah ulayat nagari

yang telah diberikan izin kepada masyarakat Nias dengan status hak

pakai atas tanah dapat mengurus rekomendasi menjadi hak milik atas

tanah dengan kriteria :

1. Tanah ulayat tersebut minimal sudah di kuasai dan dimanfaatkan

minimal 10 tahun.

7
Kurniawarman,Op cit. Hlm 63

21
2. Selama menguasai dan memanfaatkan tanah ulayat tersebut,

masyarakata Nias, Tidak pernah melanggar aturan adat nagari

Sungai Buluah

3. Harus mendapat izin atau rekomendasi dari penghulu kepala suku

Masyarakat Nias di nagari Sungai Buluah.

Berdasarkan wawancara dengan ketua KAN Sungai Buluah Zulkifli

Datuak Lembang , rekomendasi tanah ulayat dari statusnya hak pakai

menjadi hak milik yang dikeluarkan oleh KAN Sungai Buluah selama

kepengurusan beliau ada 16 rekomendasi berdasarkan musyawarah.

2. Sistem Pewarisan Terhadap Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat

Nias Di Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab.

Padang Pariaman

Dalam masyarakat Nias hukum adat nya dikenal dengan

Fondrakö yaitu dari Fo dan Rako yang merupakan kata kerja yang

berarti tetapkan dengan sumpah yang bersanksi kutuk bagi

pelanggar. Fo di sini berarti Pe atau Ke sehingga fondrakö berarti

penetapan, ketetapan-ketetapan dengan penyumpahan dan kutuk bagi

yang melanggar. Istilah Rako adalah satu kata yang demikian tinggi

dan dalam pengertiannya.

Fondrakö merupakan kumpulan dan sumber segala hukum yang

menjadi landasan hidup Ono Niha baik perorangan maupun

masyarakat banyak. Pada dasarnyaFondrakö menekankan pada sikap

agar berbuat baik dan melarang segala corak kejahatan serta memberi

22
dorongan dan petunjuk  untuk berbuat menurut jiwa dari Fondrakö

tersebut.

Jiwa Fondrakö tesebut dikenal menurut istilah aslinya, yang

mengatakan :Masi–masi atau kasih  sayang, Möli-möli atau

pengasuhan/pencegahan dan Rourouatau pendorong

berbuat/pengasahan. Dalam istilah Indonesia umum, kita dapat

mengatakan; asih, asuh dan asah. Adapun yang telah ditetapkan

dalam Fondrakö Laraga Talu Idanoi seperti:

a. Amakhöita dan Huku dalam hal-hal yang mengembirakan sepeti:

pemberian nama anak, sunat, perkawinan, mendirikan rumah,

menempa perhiasan rumah, melakukan owasa, mendirikan banua,

mendirikan gowe (tugu), mendirikan Öri, bercocok tanam.

b. Amakhöita dan Huku dalam dukacita seperti kematian, kebakaran,

peperangan dan lain-lain.

c. Amakhöita dan Huku dalam hal harta seperti harta pusaka, ternak,

tanah, harta hibah, hutang piutang dan lain-lain.

d. Membuat dan menetapkan peraturan tentang alat ukur,

yaitu: lauru (takaran padi), afore (meteran babi), fali’era  (neraca

emas), sagani’omanu-manu  (bungkal neraca), balö

gondrekhata (pengukur nilai/gram emas), timbanga mbawi (alat

penimbang babi) dan lain-lain.

e. Amakhöita dan Huku tentang kegiatan menyangkut acara religius,

dimana setiap kegiatan dimulai dengan doa.

f. Amakhöita dan Huku tentang berburu dan menangkap ikan.

23
g. Amakhöita dan Huku tentang kekeluargaan, pergaulan dan lain-lain

h. Amakhöita dan Huku tentang pelabuhan seperti bea dan cukai, izin

pendaratan, pandu pelabuhan dan lain-lain.

i. Huku dan Ogauta pada pelanggaran susila, mulai dari mengedip

mata pada wanita sampai pada kehamilan diluar nikah.

j. Huku dan Ogauta  mencuri, mulai dari mencuri ubi sampai

menculik orang

k. Huku dan Ogauta dalam hal persengketaan, mulai dari bertengkar

sampai membunuh dan meracuni orang.

Demikianlah Salawa dan Ono Salawa bersama semua

warga laraga melakukanFondrakö Laraga Talu Idanoi di Onositoli

Tamomboho dengan musyawarah,  kekeluargaan, persatuan dan

kesatuan Laraga, berpedoman pada falsafah hidup nenek moyang

kita :Salawa Fa’atulöö, Salawa Fa’atuatua, Salawa Fa’abölö,

Salawa Ökhöta,dan dan Salawa Söfu” Tinggi dalam hal; keadilan,

ilmu dan kebijaksanaan, kuat jasmani dan rohani,  berkeadaan dan

berwibawa.

Walaupun ketetapan fondrakö itu tidak tertulis, namun sangat

ditaati dan pelanggaran fondrakö diyakini berbahaya bagi

pelanggarnya oleh karena di ikrarkan oleh semua warga dengan

sumapah sakral  fondrakö yang dipimpin olehere. Orang yang taat

diberkati dan orang yang melanggar dikutuki dan dikenakan hukuman

yang setimpal melalui sidang pengadilan banua yang dipimpin

24
olehSalawa atau Tuhenöri. Berikut ini merupakan bagan tentang

hukum yang berlaku pada masyarakat Nias:

Pewarisan dalam hukum adat merupakan suatu perbuatan

meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau

perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada para warisnya

yang dilakukan dengan hukum adat masing-masing masyarakat adat.

Jadi dalam hal melakukan pewarisan ketika pewaris masih hidup

pewarisan berarti penerusan atau penunjukan ,setelah pewaris wafat

pewarisan berarti pembagian harta warisan.

Menurut Prof.H.Hilman Hadikusuma S.H sistem pewarisan

menurut hukum adat di indonesia dibagi kepada beberapa golongan :

1. Sistem keturunan

a. Sistem patrilinial

b. Sistem matrilineal

c. Sistem parental atau bilateral

2. Sistem pewarisan individual

3. Sistem pewarisan kolektif

4. Sistem pewarisan mayorat

5. Sistem pewarisan islam

6. Sistem pewarisan barat.8

Di Minangkabau yang sistem kekeluargaan nya merupakan sistem

Matrilineal, dimana garis keturunan ditarik berdasarkan garis

8
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 23

25
keturunan ibu (perempuan) maka dalam hal sistem pewarisannya juga

memakai sistem matrilineal. Sistem pewarisan matrilineal kedudukan

perempuan lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan laki-laki

didalam pewarisan. Sistem pewarisan matrilineal di Minangkabau

mengatur bahwa setiap harta pusako berupa tanah, sawah ,ladang ,

kebun, rumah gadang, semuanya menjadi hak milik perempuan dan

hanya perempuan yang dapat mewarisinya. Sedangkan pihak laki-laki

tidak mempunyai hak milik terhadap pusako yang dapat diwarisi dan

mewarisi, pihak laki laki hanya mempunyai hak penguasaan terhadap

pusako tersebut.

Masyarakat Nias yang sistem kekeluargaannya merupakan sistem

patrilineal, yaitu garis keturunannya ditarik berdasarkan garis

keturunan ayah (laki-laki). Dalam hal sistem pewarisan masyarakat

adat Nias juga memakai sistem pewarisan patrilineal. Sistem pewarisan

patrilineal kedudukan laki-laki lebih menonjol di dibandingkan

perempuan didalam pewarisan. Di pulau Nias yang masih kuat hukum

adat dan masih bertahan sampai sekarangdalam hal sistem pewarisan,

anak laki-laki yang berhak menerima seluruh warisan. Sedangkan

perempuan tidak mempunyai hak untuk menerima warisan.

Berdasarkan wawancara dengan penghulu Si Us kepala suku

masyarakat Nias di Sungai Buluah, tanah ulayat yang dikuasai dan

dimanfaatkan oleh masyarakat Nias atas izin dari KAN Sungai Buluah

ada yang bisa diwariskan dan ada yang tidak bisa diwariskan. Tanah

ulayat yang bisa diwariskan merupakan tanah ulayat yang telah

26
menjadi hak milik bagi masyarakat Nias. Dan ini dibuktikan dengan

sertifikat hak milik dari kantor Pertanahan Dan sistem pewarisan yang

dipakai oleh masyarakat Nias di nagari Sungai Buluah terhadap tanah

ulayat yang sudah menjadi hak milik tersebut adalah dengan sistem

patrilineal. Pihak laki-laki atau keturunan laki-laki yang berhak atas

warisan di masyarakat Nias di nagari Sungai Buluah.

Tanah ulayat yang tidak dapat diwariskan oleh masyarakat Nias di

nagari Sungai Buluah adalah tanah yang status nya masih tanah ulayat

nagari Sungai Buluah. Tanah ulayat tersebut hanya dapat dikuasai dan

dimanfaatkan selama masyarakat Nias tersebut hidup. Apabila terjadi

kematian bagi masyarakat Nias yang menguasai dan memanfaatkan

tanah ulayat yang telah diberikan izin oleh KAN Sungai Buluah

tersebut maka bagi ahli waris atau keturunan yang berhak menerima

warisan tidak dapat mewarisi izin dalam menguasai dan memanfaatkan

tanah ulayat tersebut. Apabila ahli waris ingin menguasai dan

memanfaatkan kembali tanah ulayat yang selama ini dikuasai dan

dimanfaatkan oleh pewaris, maka ahli waris harus mengurus izin

kembali pada KAN Sungai Buluah sesuai proses dalam mendapatkan

izin dalam menguasai dan memanfaatkan tanah ulayat di nagari Sungai

Buluah.

C. Bagaimanakah Pemanfaatan Tanah Oleh Masyarakat Nias Di

Kanagarian Sungai Buluah, Kec.Batang Anai, Kab. Padang Pariaman

Dalam hukum adat pada umumnya, penguasaan dan pemanfaatan

tanah adat ditentukan oleh penguasa adat. Penguasa adat setempat

27
memiliki kewenangan dalam membuat berbagai aturan terhadap

pemanfaatan tanah adat yang dikuasainya. Aturan terhadap

pemanfaatan tanah adat tersebut tidak hanya berlaku bagi anggota dari

masyarakat adat tersebut, tetapi berlaku juga bagi anggota diluar

masyarakat adat tersebut yang ingin memanfaatkan tanah adat.

Bagi masyarakat adat Minangkabau, yang menjadi penguasa dan

mempunyai kewenanangan terhadap pemanfaatan tanah ulayat nagari

adalah penghulu dan ninik mamak dalam suatu nagari atau (Kerapatan

Adat Nagari). Tanah ulayat dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak

kemenakan atau sebagai tanah cadangan bagi anak kemenakan

dikemudian hari. Dalam pemanfaatan tanah ulayat di minangkabau

dikenal dengan pepatah adat “kabau pai kubangan tingga” maksudnya

adalah tanah ulayat hanya bisa dimanfaatkan tidak bisa di alihkan atau

dijual. Biasanya tanah ulayat nagari di Minagkabau dimanfaatkan untuk

kepentingan umum, seperti tanah untuk mendirikan bangunan sekolah,

masjid, jalan raya, rumah sakit, jembatan, irigasi dan lain-lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penghulu Si Us kepala suku

masyarakat Nias di kanagarian Sungai Buluah mengatakan pada tanah

ulayat nagari yang telah diberi izin oleh KAN Sungai Buluah

masyarakat nias dapat memanfaatkan tanah tersebut seperti :

d. Mendirikan bangunan milik pribadi seperti (rumah, kandang, toko

dll)

e. Mendirikan tempat ibadah seperti (ada 2 bangunan gereja )

f. Berternak (sapi, kambing, ayam, babi dll)

28
g. Bertani dan berladang ( sawah, pohon karet, pohon sawit, pohon

kelapa, pohon kakao dll)

Beberapa hal yang dilarang oleh penguasa nagari, KAN Sungai Buluah

dalam memanfaatkan tanah ulayat tersebut :

a. Diatas tanah tersebut tidak boleh mendirikan lebih dari 2 bangunan

gereja.

b. Diatas tanah tersebut tidak boleh beternak babi lebih dari 2 ekor,

dan jarak kandang babi dari pemukiman warga minimal 100m.

c. Dan hak pakai atas tanah tersebut tidak boleh diperjual belikan

tanpa seizin KAN Sungai Buluah.

Oleh karena itu fungsi tanah adat atau ulayat harus sesuai dan sejiwa

dengan pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan

bahwa “hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, mengandung arti

bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau badan

hukum, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan

dipergunakan untuk sesuatu yang dapat menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Pemanfaatan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan

sifat dari pada haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan

kebahagian yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat

dan negara.

29
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan oleh penulis, penulis berkesimpulan :

30
1. Tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat Nias di nagari

Sungai Buluah merupakan tanah ulayat nagari Sungai Buluah. Masyarakat

Nias dapat memiliki hak pakai dan hak milik terhadap penguasaan dan

pemanfaatan tanah ulayat nagari Sungai Buluah. Masyarakat Nias yang

menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut harus mengurus izin kepada

kepala suku masyarakat Niasdan KAN Sungai Buluah.

2. Dalam sistem penguasaannya tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh

masyarakat Nias baik berupa hak pakai atau hak milik atas tanah tersebut,

penguasaan nya secara individu/perorangan. Dalam hal sistem pewarisan,

tanah ulayat yang masih berstatus hak pakai, tidak dapat diwariskan. Tetapi

tanah yang telah berstatus hak milik dapat diwariskan kepada ahli waris yang

berhak sesuai ketentuan adat masyarakat Nias.

3. Dalam hal pemanfaatan tanah ulayat, terhadap tanah ulayat tersebut

masyarakat nias dapat :

a. Mendirikan bangunan milik pribadi seperti (rumah, kandang, toko dll)

b. Mendirikan tempat ibadah seperti (ada 2 bangunan gereja )

c. Berternak (sapi, kambing, ayam, babi dll)

d. Bertani dan berladang ( sawah, pohon karet, pohon sawit, pohon kelapa,

pohon kakao dll)

Beberapa hal yang dilarang oleh penguasa nagari, KAN Sungai Buluah

dalam memanfaatkan tanah ulayat tersebut :

d. Diatas tanah tersebut tidak boleh mendirikan lebih dari 2 bangunan

gereja.

31
e. Diatas tanah tersebut tidak boleh beternak babi lebih dari 2 ekor, dan

jarak kandang babi dari pemukiman warga minimal 100m.

f. Dan hak pakai atas tanah tersebut tidak boleh diperjual belikan tanpa

seizin KAN Sungai Buluah.

SARAN

1. Perlu adanya sosialisai dan penyuluhan tentang hukum adat minangkabau

terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat khususnya peralihan

hak atas tanah ulayat.

2. Perlu adanya pemahaman yang lebih dari sumber daya manusia yang

menjabat dalam KAN tentang hukum adat minangkabau terkait penguasaan

dan pemanfaatan tanah ulayat.

3. Perlu adanya kodifikasi tertulis hukum adat minangkabau agar memudahkan

masyarakat minangkabau memahami berbagai aturan adatnya. Terutama

dalam memahami aturan penguasaan dan pemanfaatan tanah ulayat.

32

Anda mungkin juga menyukai