Anda di halaman 1dari 5

HAK ULAYAT DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT ARFAK

Masyarakat hukum adat arfak adalah penduduk asli daerah pedalaman Manokwari. Mereka
terdiri atas 4 suku yaitu Hatam, Sougb, Moyle, dan Meyah. 1 Sistem kepemimpinan yang ada
pada suku bangsa Papua terdiri dari 4 sistem kepemimpinan politik yaitu sistem Big Man, sistem
Ondoafi, sistem Kerajaan, dan sistem campuran.2

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 menyatakan bahwa masyarakat adat adalah warga
msyarakta asli yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan
rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. 3 Masyarakat hukum adat tentunya
mempunyai harta kekayaan baik material maupun immaterial. Kekayaan material antara lain
tanah, yang diatasnya ada hutan, danau, sungai yang memberi mereka hidup. Berkenaan dengan
hak atas tanah, hutan dan air maka MHA mengenal adanya hak ulayat.4

MHA Arfak memaknai hak ulayat dalam arti luas sebagai hak yang dikuasai oleh warga
persekutuan. (suku, kampong, faam), yang meliputi hak memanfaatkan tanah, hutan, air,
berburu, dan mengambil hasil hutan. Hak ulayat dalam arti sempit hanya menyangkut
penguasaan, penggunaan tanah saja.5 Dalam masyarakat papua, pengakuan hak ulayat juga
diakomodasi dalam Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua. Tentang
MHA dan pemanfaatan sumber daya alam dinyatakan bahwa hak ulayat adalah hak persekutuan
yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan
airmserta isinya sesuai denganperauran perundang-undangan.

Hukum masyarakat adat (HMA) berkaitan dengan penguasaan, pemanfaatan tanah dan sumber
daya alam lainnya mendasar pada Tijei atau Jiyaser jide dihei atau Jijoung Yeyin mebi yaitu hak
ulayat atas lingkungan hidupnya. Jiyaser jide dihei atau Jijoug yeyin mebi mengacu kepada
wilayah yang ditempati dan dimiliki secara kolektif oleh faam yang mendiami suatu kamung

1
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 135
2
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 145
3
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 152.
4
ibid
5
ibid
(minu). Jiyaser Jidei dihei atau Jijoung yeyin mebi beraku atas wilayah darat yakni tanah, hutan,
sungai, danau maupun pantai. Setiap keluarga memiliki wilayah yang memang sudah dibagi,
dengan batas-batas alam yang saling diakui oleh maisng-maisng keluarga yang bertetangga.
Kendatipun untuk batas wilayah di dihutan kadangkala tidak jelas. Batas wilayah selain antara
milik keluarga, juga batas wilayah kampong, dan distrik. Namun batas administrasi tidak
menghilangkan kepemilikan kolektif warga yang berada diwilayah distrik maupun kampong
lain.6

Hak ulayat yang dipahami oleh MHA Arfak adalah7

1. Hak kolektif yang dipunyai oleh keluarga dalam faam pada komunitas suku
2. Pengaturan hak tersebut baik untuk dimanfaatkan maupun untuk dibagikan kelak kepada
anak diatur oleh anak tertua.
3. Aturan-antar keluarga dan antar faam dalam dan antar suku berlaku prinsip-prinsip umum,
seperti igya ser dll, yang diatur dan diawasi oleh Menir, Moskur, Andijpoy dari jenjang
kampong, suku dan antar suku.

Jadi Hak ulayat dalam MHA Arfak dapat dideskripsikan sebagai berikut8

1. Ada hak kolektif suku yakni wilayah Arfak (Ndon)


2. Salam wilayah suku besar terbagi dalam masing-maisng suku Hatam, Sougb, Moile,
Meyah.
3. Wilayah masing-masing suku terbagi lagi dalam wilayah kampong. (Minu)
4. Wilayah kampong terbagi dalam kepemilikan faam.
5. Penguasaan faam terbagi dalam kepemilikan keluarga.

Perbandingan kriteria hak ulayat menurut Permenag No. 5 Tahun 1999, Hukum Adat, dan MHA
Arfak

No Pemenag No. 5 Tahun 1999 Hukum Adat MHA Arfak


.

6
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 153
7
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm.153 -154
8
ibid
1. Adanya masyarakat hukum Masih adanya suatu Adanya suku besar Arfak
adat tertentu kelompok orang sebagai yang terdiri atas suku
warga suatu persekutuan Hatam, Moile, Sougb,
hukum adat tertentu, yang Meyah.
merupakan suatu
masyarakat hukum adat
2. Adanya hak ulayat tertentu Masih adanya wilayah yang Adanya hak ulayat di Ndon
yang menjadi lingkungan merupakan ulayat sampai wilayah pesisir yang
hidup dan tempat masyarakat hukum adat dikuasai oleh masing-
mengambil keperluan hidup tersebut, yang disadari masing suku.
masyarakat hukum adat itu. sebagai tanah kepunyaan
bersama para warganya
sebagai “lebensraum”
3. Adanya tatanan hukum adat Masih adanya penguasa adat Adanya Menir, Moskur, dan
mengenai pengurusan, yang pada kenyataannya tatanam hukum adat tentang
penguasaan dan penggunaan dan diakui oleh para warga pengelolaan hak ulayat
tanah ulayat yang berlaku masyarakat hukum adat yang dipatuhi oleh MHA
dan ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan, Afak, misalnya Igya Ser
hukum adat. melakukan kegiatan sehari- hanjob
hari sebagai pelaksanaan
hak ulayat

Jika dilakukan perbandingan terhadap keberadaan MHA Arfak berdasarkan kriteria penentuan
adanya hak ulayat sebagaimana diatur dalam9

1. Peraturan Mentri Negara Agraria / Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
2. Hukum Adat, dengan keberadaan MHA Arfak, maka secara realitas sosial hak ulayat MHA
Arfak memenuhi kriteria yang diatur, dalam Permenag No. 5 Tahun 1999 maupun Ilmu
Hukum Adat.

9
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 155-156
Prinsip-Prinsip yang mendasari Penataan Ruang Masyarakat Hukum Adat

a. Prinsip Mosu efen meng ofot10


Bermakna hutan, tanah, dan air sebagai “mana” perlu dijaga kelestariannya. Hutan, tanah
dan air diidentikan dengan Mama yangmemberikan kehidupan kepada anaknya. Hal ini
bermakna bahwa hutan, tanah, dan air, di Papua telah menyediakan kekayaan alam yang
snagat luar biasa. Bukan saja flora dan fauna tetapi sumber daya alam tambang, yang tiada
tara.
b. Prinsip Igya ser Hanjop11
Igya artinya kita berdiri, ser artinya menjaga dan hanjop artinya batas. Maknaynya adalah
(1) brlaku keluar: nerdiri menjaga batas wilayah hak ulayat artinya merupakan peringatan
kepada MHA agar menjaga batas, dan tidak melewati batas yang ditentukan pada saat
berburu, mengambil hasil hutan. (2) berlaku kedayal yaitu: menjaga batas wilayah/kawasan
pemanfaatan antara yang digunkan untuk kegiatan warga MHA dengan dibiarkan sebagai
kawasan konservasi.
c. Prinsip Rifmekeni tina yutjoung isuk12
Prinsip ini memiliki makna bahwa tanah dijaga dan dikerjakan secara baik. Prinsip ini
dimaksud untuk mendorong agar setiap orang mengusahakan atau memanfaatkn tanah
(ruang) secara baik. Tujuanya adalah agar warga MHA memanfaatkan tanah (ruang) sesuai
peruntukannya, dengan cara memanfaatkan tanah/ruang sesuai dengan sifat dan
karakteristik tanah tanah atau ruang untuk budidaya atau konservasi.
d. Prinsip Mebi bera yutjoug isusk13
Prinsip ini bermakna bahwa tanah diperkenankan untuk dipergunakan berkebu/berladang
tetapi aktifitas tersebut tidak boleh menimbulkan kerusakan tanah yang telah memberikan
keberlanjutan kehidupan.
e. Prinsip Ningada atau Ofow dan Ikwas atau Rikuba14

10
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 164.
11
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 165.
12
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 166.
13
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 167.
Prinsip ini memberikan kesempatan pada orang luar untuk dapat melakukan aktifitas atau
akses di wilayah hak ulayatnya, dengan cara memperoleh ijin dari pemangku hak ulayat
dengan memberikan “uang pemasukan” sebagai bukti pengakuan atas kekuasaan MHA.

14
Dr. Robert Kurniawan Ruslak Hammar, S.H., M.H., M.M., 2017, “Penataan Ruang Berbasis Kearifan Lokal:
Implikasi Penataan Ruang Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”, Yogyakarta, Calpulis, hlm. 169.

Anda mungkin juga menyukai