Anda di halaman 1dari 25

TUGAS BUDAYA MELAYU RIAU

Disusun Oleh :

1. AGUNG PRATAMA

2. ANGGY ANGGREY

3. DAVID FAJAR JULIANTO

4. FEFRIANTI

5. REYFAN HORISON LAIA

6. USWATUN KHASANA

SEKOLAH MENENGAH ATAS 5 NEGERI TAPUNG

RIAU

TA. 2023/2024
1. Kearifan Melayu
1. Pembagian Ruang Lingkungan
Pembagian ruang lingkungan pada masyarakat melayu dahulunya
disebut dengan tanah adat. Pengertian Tanah adat yaitu tanah yang dimiliki
oleh suatu masyarakat yang hidup di bawah hukum adat merujuk kepada tanah
beserta hutan dan segala kekayaan yang terkandung di dalam wilayah yang
tertakluk kepada hukum adat. Masyarakat yang bernaung di bawah hukum
adat adalah komunitas yang terikat oleh hukum adat yang diamalkan secara
turun temurun karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
yang sama.
Hak adat adalah kekuasaan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat yang bernaung di bawah masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan kawasan warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam dalam kawasan wilayah tanah adat untuk
keperluan sehari-hari. Konsep umum tentang tanah adat bersumberkan klasik
yang pada dasarnya menjelaskan bahwa tanah adalah milik raja, bahkan
dianggap bahwa segala apa yang terdapat di atas dan di dalam tanah adalah
milik raja termasuk orang menjadi penghuni suatu wilayahnya.
Keadaan ini merupakan gambaran umum di Indonesia semasa zaman
pemerintah feodal, walaupun terdapat berbagai bentuk pemerintahan beraja
(Zein, 1994). Terbentuknya tanah adat bagi suatu kesatuan masyarakat hukum
adat adalah semata-mata atas dasar kemurahan hati atau kemurnian sang raja.
Setelah tanah dikurniakan kepada rakyat, maka pemanfaatan dan penggunaan
suatu tanah adat haruslah memenuhi ketentuan adat.
Di antara ketentuan adat tentang hutan dan tanah adat adalah:
(1) hutan dan tanah adat tidak boleh diperjual beli dengan cara apa
sekalipun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan;
(2) hutan dan tanah adat tidak boleh dibagi-bagikan menjadi milik
peribadi/ perseorangan;
(3) walaupun seseorang itu dapat memanfaatkan tanah secara
perseorangan ia harus mengikuti ketentuan atau kewajibankewajiban tertentu
seperti memberikan sebagian hasilnya kepada ketua suku (Zein,1994).
Kenyataan yang terjadi sekarang ini (2014) tanah adat Orang Melayu
di Orang Melayu tentang pemenfaatan tanah di Orang Melayu) tanah adat
telah dialih fungsikan dari masyarakat adat kepada pihak pemerintah hutan
milik negara (30.03 %), milik perkebunan sawit (26.07%), Tanaman Pangan
(9.92%), pemukiman (2,63%), lahan terbuka (25,57%), tanah adat (0.57%)
Alih fungsi pengelolaan Tanah adat Orang Melayu ini dari masyarakat adat
kepada kebjakan pemerintah mulai dari era kolonial hingga ke pemerintah
Indonesia membuat kedudududkan dan status tanah adat mengalami
dagradasai dan marjinalisasi.
Pada masa lalu kekuasaan raja dan anggapan yang berlaku ketika itu
boleh menyebabkan seseorang raja melakukan apa saja terhadap tanah adat.
Walau bagaimanapun, ada pendapat yang mengatakan bahwa aspek pemilikan
tanah bukanlah sesuatu yang penting dalam pemerintahan raja atau sultan
karena apa yang lebih utama adalah pembayaran upeti oleh penduduk kepada
pihak istana, sebagai tanda kekuasaan wilayah kasultanan.
Menurut (Astrid,1982) raja atau sultan tidak pernah menuntut tanah
dari penduduknya atau menganggap diri sebagai pemilik tanah desa
(kampung). Apa yang dituntut oleh sultan hanyalah pengakuan sebagai
personifikasi negara, yang tercermin dalam pembayaran upeti atau cukai(tapak
lawang) dalam bentuk hasil pertanian atau kerja sukarela bagi proyek negara
atau desa (Susanto, 1984). Untuk itu raja pada umumnya sibuk mengunjungi
daerah untuk mempertahankan hubungan antara diri atau negara dengan
masyarakat yang terikat oleh ikatan kampung.
Tanah adat juga dijaga atau diatur oleh hukum adat, yang menentukan
hak dan kewajiban anggota masyarakat atau komunitas terhadap tanah adat.
Menurut hukum adat, anggota masyarakat mempunyai hak bersama dalam
menguasai atau memanfaatkan suatu lingkungan tanah untuk kehidupannya
dan kesejahteraan masyarakatnya secara umum.
Dalam hal ini, orang luar tidak mendapat hak tersebut melainkan telah
mendapat izin dari ninik mamak. Pada masa yang sama, anggota masyarakat
mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memelihara lingkungan tanah
dan segala bentuk isinya dari ancaman luar.Hal ini sejalan dengan petatah
petitih orang Melayu mengatakan. ”apabila rusak alam lingkungan ,di situlah
punca segala kemalangan, musibah datang berganti-gantian, celaka melanda
tak berkesudahan, apabila rusak alam lingkungan,, hidup sengsara binasalah
badan, cacat dan cela jadi langganan, hidup dan mati jadi sesalan, apabila alam
porak poranda, di situlah timbul silan. Sengketa, aib datang malu menimpa,
anak cucu hidup merana” (Wawaancara dengan informan Zulkarnain, Tokoh
Masyarakat Tanah Putih, Maret 2014) Dalam ikatan hak dan kewajiban inilah
suatu komunitas desa mengembangkan nilai gotong royong untuk menjaga
sumber daya desa dan sistem organisasi desa misalnya dalam aspek
pengurusan tanah adat, tanggung jawab diberikan penghulu (Zein, 1994).
Walau bagaimanapun oleh karena tanah adat tidak mempunyai
dokumen yang jelas dan oleh karena pada zaman pemerintahan Sultan, raja
mempunyai kekuasaan yang besar ke atasnya, maka masalah kenaikan upeti
yang sewenangwenang, pengambilalihan hak rakyat terhadap tanah adat boleh
terjadi dengan mudah apabila raja atau wakil raja yang mempunyai kuasa
berbuat demikian untuk kepentingan tertentu. Oleh karena keadaan dokumen
pemilikan resmi yang jelas hak kepemilikan tanah yang berasaskan kepada
hukum adat masyarakat ini sukar untuk dipertahankan melalui UndangUndang
yang diperkenalkan oleh pihak Belanda. Jauh sebelum penjajahan Belanda,
masyarakat hukum adat di Orang Melayu dibawah kekuasaan Kerajaan Siak
Sri Indrapura (1776-1942) telah menata suatu kehidupan bersama dalarn aspek
ekonomi, sosial, lingkungan, politik, budaya, agama, seni, dan sebagainya.
Hutan tanah adat bagi mereka bukan semata-mata merupakan kekayaan
material untuk memenuhi hajat hidup tetapi bahkan rnengandung nilai yang
lebih esensial yaitu melekat pada harkat dan martabat sebagai manusia. Orang
Melayu tradisional yang hakikatnya hidup sebagai nelayan dan petani amat
bersebati dengan alam lingkungannya. Alam bukan saja dijadikan alat mencari
nafkah, tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaannya
(Effendy, 2004).
Pada saat ini hutan tanah adat tersebut telah sewenang-wenangnya
diekploitasi oleh perusahaan yang di tanami dengan kelapan sawit dengan
skala besar .Perusahaan Swasta di Kabupaten Orang Melayu Tahun 1996-2014
ada 22 perusahaan kelapa sawit yang diberikan izin legal oleh pemerinah
untuk membuka lahan sawit mencapai 231.600 Ha (26.07 % dari luas Orang
Melayu). Dampak ekologis penanam sawit secara besar-besaran ini
menimbulkan berbagai persoalan ekologis seperti krisis air, pendangkalan
sungai, kepunahan berbagai species flora dan fauna. Penanaman kelapan sawit
tersebut hanya menguntungkan pihakpihak perusahaan, atau kelompok kapital.
Pada jika dirujuk pada hukum adat , tanah adat tidak boleh diperjual belikan
kepada siapapun, tanah adat adalah milik masyarakat adat.
Dalam tanah adat tersebut telah diatur sedemikian rupa pengaturan
pengunaan tanah, misal aturan mengambil hasil hutan, atauran pembagian
kawasan wilayah hutan. Dengan diberlakukannya hukum adat pada zaman
kesultanan siak masyarakat relatif dapat mempertahan dirinya, flora dan fauna
terjaga, dan masyarakat mempunyai identitas kultural. Bagi masyarakat Orang
Melayu tradisional hidup mereka sangat tergantung pada alam dan hutan.
2. Berladang
Tanah perladangan berfungsi sebagai tempat berladang padi, ubi kayu
dan tanaman semusim lainnya, secara umum tanah perladangan/lading dibuat
dengan membuka hutan, menebas semak-semak, menabang pohon-pohonnya,
menutuh, membakar, memerun, membersihkan dan meratakan tanahnya.
Penanaman padi di lading bergantung pada hujan, sehingga petani menanam
padi pada musim hujan dan menuainya pada musim panas.
Setelah itu, biasanya lading ditanami dengan tanaman seperti padi,
jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, atau ubi-ubian. Oleh karena
kesuburan tanah penting, orang yang menanam padi bukti sering berpindah-
pindah lokasi untuk mencari kawasan ladang yang baru. Perpindahan lahan
berladang atau apa yang disebut dengan ‘ladang berpindah’ tidak dapat
dikatakan merusak hutan karena wilayah lahan yang dikerjakan untuk ladang
sudah sedia ada dari tahun ke tahun.
Berladang

Salah satu pemanfaatan alam secara langsung dalam kaitan memenuhi


keperluan hidup masyarakat Melayu adalah berladang. Menurut Elmustian
Rahman (2012: 97), ladang adalah sebutan untuk tanaman padi atau jenis
tanaman jangka pendek lainnya semacam jagung, kacang-kacangan, sayur-
sayuran, dan umbi-umbian. Disebut juga huma, secara umum, ladang dibuat
secara berpindah-pindah, sehingga selalu dijuluki orang dengan ladang
berpindah-pindah. Dalam konsep ini, cara berpindah-pindah tidak merusak
lingkungan, sebab berpindah-pindah tersebut dapat diumpamakan memberi
jeda pada tanah untuk kembali subur, sehingga dalam waktu tertentu didatangi
lagi petani dengan maksud bercocok tanam.
Elviriadi menulis (2007: 79), pada lahan perladangan berpindah ini
tidak pemah ditanami perpohonan karena akan mempersempit lahan untuk
menanami tanaman inti seperti padi, jagung, umbi-umbian, dan sayur-mayur.
Jika telah ditanami pohon berarti lahan tersebut telah dianggap tua dan
dikonversikan sebagai hutan masyarakat. Pada lahan konversi, masyarakat
hanya memungut hasilnya. Lahan konversi ini ditumbuhi berbagai jenis kayu-
kayuan, tanaman perkebunan, buah-buahan, semak dan berbagai jenis flora
sehingga secara biologis memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.

Dalam membuka ladang, biasanya dikerjakan dengan cara gotong


royong dalam keluarganya atau sebuah perut, sesuku, atau sekampung.
Kegiatan gotong royong tersebut dilakukan dengan sebutan perharian atau
batopo. Perharian yaitu (mengambil hari) sistem gotong royong seperti julo-
julo atau arisan atau dilakukan secara bergiliran, masing-masing anggota
mendapat jatah kerja. Pola seperti ini tidak dikenakan bayaran. Pola
berikutnya disebut batobo jual pagari, yaitu cara pengerjaan lahan yang
pekerjanya mendapat upah dari pemilik lahan. Kegiatan batobo ini tidak hanya
diisi dengan bekerja, tetapi juga diselingi dengan hiburan seperti berbatas
pantun, berkayat, memainkan musik. Bahkan kegiatan ini juga selalu dijadikan
sebagai ajang mencari jodoh. (Op.Cit).
Menurut Taufik Ikram Jamit, dkk., (2018), dalam membuka hutan,
orang Melayu tidak dibenarkan atau berpantang mengolah hutan gambut dan
hutan yang dekat dengan tepian sungai. Hutan yang dibolehkan untuk dikelola
telah diatur dalam adat. Kepatuhan terhadap aturan itu bersifat mutlak dan atas
pelanggarannya dikenakan sanksi. Ketentuan itu berlaku disetiap kelompok
komunal Melayu dari satu kampung ke batas kampung lainnya. Unsur tradisi
dalam membuka hutan ini yakni upacara dan ritual yang berkenaan dengan
kebersamaan. Dalam membuka hutan, mereka melakukan secara bergotong-
royong (piaghi). Nilai saling membantu dan memberi wujud dalam upacara
membuka hutan. Misalnya, dalam memperoleh bibit (tampang), tanaman akan
ditanamam juga didiskusikan dalam kegiatan membuka hutan ini. Pemberian
ini sifatnya dibeli dan tidak pula dengan cuma-cuma. Hal ini diiistilahkan
dalam kata mmenyambung tampang atau bila masanya panen nanti, bibit yang
digunakan itu dikembalikan pada orang yang memberikan. Unsur
kebersamaan ini dibina orang Melayu sebagai nilai-nilai kepatuhan (ibid).

Secara umum, mata kegiatan dalam membuka ladang diberbagai


tempat dalam kawasan Melayu Riau untuk pertama kali, adalah sebagai
berikut:

1. Merintis, kegiatan membuka atau membuat jalan dari pinggir


kampung ke lahan atau membuat batas kasar ladang yang
hendak digarap.
2. Merembas, menebas semak sekali pancung pada bagian atasnya -
tidak dari pangkal semak.
3. Menebang, pohon-pohon kecil ditebang secara gantung - tidak
mesti harus tumbang, sebab akan ditumbangkan oleh pohon-pohon
besar yang ditebang kemudian.
4. Menutuh, cabang maupun ranting yang tumbang bersama pohon,
dipotong-potong, kemudian dikumpulkan ditengah lahan.
5. Melandang, suatu pekerjaan membersihkan daun, memotong dahan
dan ranting maupun sisa-sisa kayu yang berserakan di tepi lahan
yang dekat dengan hutan sekeliling ladang untuk dikumpulkan ke
tengah ladang.
6. Memarit, yakni membatasi lahan ladang dengan bukan lahan
ladang menebas bagian batas ini agak bersih sekitar sehasta.
7. Membakar, dengan memperhatikan arah angin. Misalnya, kalau
angin dari barat, maka pembakaran dilakukan mulai dari barat
lahan ladang juga, sehingga membawa ke timur.
8. Memerun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dahan serta
batang kayu yang masih tersisa setelah pembakaran di tempat
tertentu untuk dibakar kembali. Batang besar biasanya dijadikan
galang pembatas antara jenis-jenis padi yang akan ditanam.
9. Menugal dan membenih adalah kegiatan menanam tanaman.
Pekerjaan ini dilakukan secara bersamaan. Laki-laki ditugaskan
menugal dan perempuan mengerjakan membenih.
3. Batas Pemanfaatan Alam
Bagi masyarakat melayu batas pemanfaat alam yang menjadi
keseimbangan hidup yaitu Rimba, penghubung alam tanah dana lam
langit (magi/tradensi), tanah dimana manusia terhubung dengan
leluhurnya (ancestral domain), sumber kehidupan (sumber air bagi
hulu sungai, penghubung kampong dengan dunia luar), penanda alam
atau tombo alam bagi wilayah adat dan sumber ekonomi subsistem
(penghasilan tanaman) untuk dibuat rumah, sampan dan berbagai alat
rumah tangga serta satwa yang dapat diburu untuk konsumsi, rumah
bagi satwa yang dihormati misalnya harimau disebut dengan sebutan
‘datuak’ dengan rasa hormat, jarang ditemui orang dari kampong
menyebuat harimau dengan lugas karena hormat dan segan.

2. Kepengarangan Sastra Melayu Riau


1. Bentuk (Mantra, Patung, Syair)
a) Mantra
Mantera Mengusir Hantu Polong
Hi, polong
Aku tahu asal engkau
Mula menjadi
Hidung luas tapak tangan lebar
Jangan engkau dengki aniaya
Kepada si ……………………..
Jika engkau dengki aniaya
Durhaka engkau kepada Allah
Raib dikau seperti angin
Hancur dikau seperti air
Berkat do’a………………………
La ilaha ilallahu Muhammadarrasulullah

Mantera Mengusir Angin Putting Beliung (taung)


Hi----iii taung
Aku tahu asal engkau jin
Hi----iii jin
Aku tahu asal engkau jin
Lidah api yang berasap
Biasanya mantra ini dipergunakan pada saat tutun ke laut atau oleh
para nelayan.

Mantera Seri Muke


Perlu peredah patah
Aku duduk pintu mahari
Aku lalu siti Fatimah latah
Raja tertunduk tuan puteri tertawa
Kurs semangat ……………….. (dengan menyebutkan namanya)
Dipergunakan oleh kaum perempuan, pada minyak wangi yang
diletakkan pada pakaian.

b) Patung
1. Monument Perjuangan Rakyat Riau Pekanbaru

Monumen perjuangan Rakyat Riau berada di Jalan


Diponegoro Pekanbaru, persis berada di depan komplek
Gubernuran. Di tengah monument ini terdapat patung TNI dan
Rakyat dalam menghadapi penjajah, patung ini berdiri di atas
pelataran yang berisi relief perjuangan dan diisi kanan dan kiri
terdapat meriam. Monument ini dibangun atas prakarsa
Gubernur Riau H. Imam Mundar Datuk Sri Lela Wangsa dan
diresmikan pada 17 Agustus 1984.

2. Tugu Zapin

Tugu ini memiliki 7 meter yang terletak di titik nol Kota


Pekanbaru, tepatnya di bundaran Jalan Gadjah Mada. Tugu ini
adalah peninggalan Gubernur provinsi Riau Ke-11 yaitu Rusli
Zainal, yang menggantikan Tugu Pesawat Tempur peninggalan
Gubernur Provinsi Riau ke-5, Imam Munandar. Tugu ini
berbentuk sepasang Bujang dan Dara yang sedang menarikan
tari yang sebagai icon provinsi Riau, yaitu Tari Zapin. Tari
zapin sendiri merupakan tarian khas orang melayu. Tugu ini
dibangun menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja daerah
(APBD) Riau tahun 2011 dengan pagu anggaran sebesar 4
miliar yang dibangun oleh PT Citra Mutiara Bumi Riau.

3. Patung Tuanku Tambusai


Sejarah Melayu Riau, 5 Patung Yang Ada Di Riau
berikutnya yaitu Patung tuanku tambusai. Patung ini adalah
patung penyambut kedatangan tamu jika kamu balek kampung
ke Tanah Putih Rokan Hilir, khususnya bagi yang melewati
Simpang Pasar Banjar XII. Tuangku tambusai sendiri adalah
seorang tokoh Paderi terkemuka yang lahir pada tanggal 5
November 1784 di Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Penampakan
patung pahlawan nasional menunggangi kuda ini sering di
jadikan latar untuk sekedar berfoto atau selfi.

4. Tugu Proklamasi Riau

Tugu ini didirikan dalam bentuk mengenang usaha


Kepulauan Riau untuk bergabung dengan Indonesia, tak hanya
tugu ini juga menjadi tempat untuk pertamakalinya bendera
merah putih dikibarkan sekaligus pembacaan teks Pancasila di
Tanjungpinang. Tugu ini didirikan pada tanggal 29 Desember
1949. Tugu Proklamasi terletak begitu strategies, yakni terletak
berdekatan dengan pintu keluar Pelabuhan Sri Bintan Pura,
Tanjungpinang. Tugu ini didirikan untuk menghargai
perjuangan yang sudah dilakukan untuk menggabungkan
Kepulauan Riau dengan Indonesia.

5. Tugu Ikan Selais

Tugu Ikan Selais pekanbaru merupakan salah satu ikon


Kota Pekanbaru yang cukup unik dan menarik. Lokasinya
berada di Jalan Jendral Sudirman tepat di depan Mal Pelayanan
publik (MPP) atau eks Kantor Walikota Pekanbaru. Peresmian
tugu ini dilakukan oleh Herman Abdullah pada hari Kamis 14
Juli 2011 lalu. Tugu tersebut berbentuk tiga ekor ikan selais
seperti berpelukan.

c) Syair
2. Menulis Karya Sastra Melayu Riau / Bagaimana Cara Menuliskan Karya
Sastra Melayu Riau
a) Karya Sastra Tertulis
1. Hikayat
Hikayat berasal dari bahasa Arab hikayah yang berarti kisah,
cerita, atau dongeng. Pengertian mengenai hikayat ini bisa
ditelusuri dalam tradisi sastra Arab dan Melayu lama. Dalam sastra
Melayu lama, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk
prosa panjang berbahasa Melayu, yang menceritakan tentang
kehebatan dan kepahlawanan orang ternama dengan segala
kesaktian, keanehan dan karomah yang mereka miliki. Orang
ternama tersebut biasanya raja, putera-puteri raja, orang-orang suci
dan sebagainya.
Hikayat termasuk genre yang cukup populer di masyarakat
Melayu dengan jumlah cerita yang cukup banyak. Kemunculan
genre ini merupakan kelanjutan dari ceritera pelipur lara yang
berkembang dalam tradisi lisan di masyarakat, kemudian diperkaya
dan diperindah dengan menambah unsur-unsur asing, terutama
unsur Hindu dan Islam.
Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari, hikayat ini
berfungsi sebagai media didaktik (pendidikan) dan hiburan.
Berdasarkan fase historis, hikayat dalam sastra Melayu lama bisa
dibagi tiga yaitu:
1) Hikayat berunsur Hindu; Hikayat yang berunsur Hindu
berinduk pada dua hikayat utama: Hikayat Sri Rama dan
Mahabbhrata. Dari dua kisah ini, kemudian berkembang kisah atau
hikayat lain seperti Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Sri Rama.
2) Hikayat berunsur Hindu-Islam; Hikayat yang mengandung
unsur Hindu dan Islam merupakan hikayat yang berasal dari tradisi
Hindu, kemudian diubah sesuai dengan memasukkan unsur-unsur
Islam. Contohnya adalah Hikayat Jaya Lengkara, Hikayat Si
Miskin dan Hikayat Inderaputera.
3) Hikayat berunsur Islam. Sedangkan hikayat yang hanya
berunsur Islam adalah hikayat yang berasal dari tradisi sastra Arab-
Persia. Contohnya adalah Hikayat 1001 Malam, Hikayat Qamar al-
Zaman dll. Berdasarkan isi, hikayat dapat digolongkan ke dalam
tiga jenis yaitu:
1) jenis rekaan, contohnya Hikayat Malim Dewa;
2) jenis sejarah, contohnya Hikayat Hang Tuah, Hikayat Pattani
dan Hikayat Raja-raja Pasai;
3) jenis biografi, contohnya Hikayat Abdullah dan Hikayat Sultan
Ibrahim bin Adam.
2. Sya’ir
Syair adalah bentuk puisi dalam sastra Melayu lama. Kata syair
berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Dari kata
syu’ur, muncul kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian
umum. Syair dalam kesusasteraan Melayu merujuk pada pengertian
puisi secara umum.
Namun, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami
perubahan dan modifikasi sehingga menjadi khas Melayu, tidak
lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri Arab. Penyair yang
berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah
Hamzah Fansuri, dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu; Syair
Burung Pingai; Syair Dagang; dan Syair Sidang Fakir. Dari
namanya, syair, tampak jelas bahwa orang Melayu mengenalinya
seiring dengan penetrasi dan perkembangan ajaran Islam, terutama
tasawuf di Nusantara. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling
tua di Nusantara adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al-Saleh
di Aceh, bertarikh 1297 M.
Sedangkan syair berbahasa Melayu yang tertua adalah syair di
prasasti Minye Tujoh, Aceh, Indonesia bertarikh 1380 M (781 H).
Dalam syair ini, bahasa Melayu masih bercampur dengan bahasa
Sansekerta dan Arab. Bentuk syair terdiri dari empat baris
serangkap dengan rima a/a/a/a dan a/b/a/b, yang paling populer
adalah a/a/a/a. Tiap baris terdiri dari antara 8 hingga 12 suku kata.
Tiap empat baris membentuk satu bait syair, dan merupakan satu
kesatuan arti. Selain itu, ada juga syair yang terdiri dari tiga baris
dengan rima akhir a/a/b; dan yang terdiri dari dua baris dengan
rima a/b, namun kedua bentuk ini tidak populer.
Bait syair yang terdiri dari empat baris agak mirip dengan
pantun. Letak perbedaannya adalah, empat baris pantun merupakan
dua baris sampiran dan dua baris isi yang berdiri sendiri, sementara
bait syair merupakan bagian dari sebuah cerita yang panjang. Dari
segi jumlah, syair diperkirakan menempati posisi kedua setelah
pantun, yang menandakan bentuk sastra ini sangat populer pada
masyarakat Melayu.
Dari segi cara penceritaan, syair bisa diklasifikasi menjadi dua:
syair naratif dan yang non naratif. Selanjutnya, berdasarkan isi dan
tema, syair naratif bisa dibagi lagi menjadi 4 jenis yaitu: syair
romantis (contohnya: Syair Bidasari); syair sejarah (contohnya:
Syair Perang Makassar; Syair Perang Banjar); syair keagamaan
(contohnya: Syair Nur Muhammad); syair kiasan (contohnya: Syair
Ikan Terubuk); sedangkan syair non-naratif terbagi menjadi tiga
jenis yaitu: syair agama; syair nasihat dan syair di luar tema-tema
tersebut.
3. Gurindam
Gurindam adalah bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari
dua larik (baris), mempunyai irama akhir yang sama dan
merupakan satu kesatuan yang utuh. Larik atau baris pertama
berisikan semacam soal atau perjanjian, sedangkan bait kedua
adalah jawaban soal atau akibat dari perjanjian tersebut. Berikut ini
kutipan definisi Raja Ali Haji mengenai gurindam, yaitu:
“...perkataan yang bersajak akhir pasangannya, tetapi sempurna
perkataannya dengan satu pasangannya saja. Jadilah seperti sajak
yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua itu jadi seperti
jawab”.
Berdasarkan definisi Raja Ali Haji ini, Takdir Alisjahbana
kemudian menjelaskan bahwa, gurindam terbentuk dari sebuah
kalimat majemuk yang dibagi menjadi dua baris yang bersajak.
Tiap-tiap baris adalah kalimat. Perhubungan antara kalimat
pertama dan kedua seperti perhubungan anak kalimat dengan induk
kalimat. Jumlah suku kata tiap baris dan pola rimanya tidak
ditentukan. Biasanya, untuk menyampaikan suatu ide tertentu,
diperlukan beberapa rangkain bait gurindam.
Kata gurindam berasal dari bahasa Tamil yang berarti perhiasan
atau bunga. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
gurindam berasal dari bahasa Sangsekerta. Gurindam berisi nasehat
ataupun filsafat hidup, karena itu tidak bisa digunakan untuk
bersenda gurau atau berkasih-kasihan dalam kehidupan keseharian.
Mungkin karena sifat dan fungsinya yang formal, maka jenis sastra
ini tidak begitu populer di masyarakat Melayu. Karena kurang
populer, maka tentu saja agak sulit mencari contoh gurindam -
gurindam lama. Satu-satunya yang sering dirujuk adalah Gurindam
Dua Belas karya Raja Ali Haji (1847 M). Gurindam ini disebut dua
belas karena terdiri dari dua belas pasal. Contoh bait gurindam
karangan Raja Ali Haji adalah: Barang siapa meninggalkan
sembahyang; bagai rumah tiada bertiang (pasal 2); Jika anak tidak
dilatih; jika besar bapaknya letih (pasal 7). Di antara gurindam-
gurindam yang ada, terdapat pula yang awal kata tiap barisnya
menggunakan kata yang sama. Contohnya: Cahari olehmu akan
guru--Yang boleh tahukan tiap seteru; Cahari olehmu akan isteri—
Yang boleh menyerahkan diri (dikutip dari Gurindam Dua Belas).
b) Karya Sastra Lisan
1. Cerita Rakyat
a. Putri Kaca Mayang (Asal Mula Pekanbaru)
b. Legenda Si Lancang (Kampar)
c. Legenda Ikan Patin
d. Putri Mambang Linau
2. Dodoi (Nyanyi Budak)
a. Lagu dodoi (lullabies) adalah bagian dari genre tradisi
lisan orang Melayu di nusantara. Ada yang mengatakan
bahwa, lagu dodoi adalah nyanyian rakyat paling tua,
yang lahir dari tengah kehidupan rakyat biasa, karena
itu, tematema lagu juga berkaitan dengan kehidupan
harian mereka.
Dalam lagu dodoi tercermin kepercayaan,
pikiran, keinginan dan harapan rakyat. Secara umum,
terdapat empat aspek utama dalam lagu dodoi yaitu:
pembelajaran bahasa; permainan anak-anak; pesan nilai
dan norma kehidupan; dan aspek keagamaan. Dalam
masyarakat Melayu, lagu ini dinyanyikan oleh seorang
ibu (terkadang kakak atau saudara) dengan suara yang
lemah-lembut, merdu, mendayu-dayu dan berulang-
ulang sambil mengayun atau membuai anak yang
berada dalam ayunan (buaian) hingga tertidur.
Usia anak yang ditidurkan dengan lagu dodoi ini
biasanya masih bayi, belum mengerti bahasa formal.
Ketika mendendangkan lagu dodoi, pergerakan tangan,
mimik muka dan nada suara sang ibu menggambarkan
seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan anaknya.
Terkadang, ibu juga mencium dan menepuknepuk
punggung anaknya, mengangguk-anggukkan kepala dan
mengeluarkan suara tertentu yang sudah dikenal dengan
baik oleh anaknya, sehingga anak akan cepat tertidur.
Bisa dikatakan bahwa, lagu ini adalah simbol dari
limpahan kasih sayang dan keikhlasan orang tua
terhadap anaknya; media komunikasi antara anak dan
ibu bapak; media perdidikan perdana tentang nilai-nilai
luhur dan keagamaan; dan pengganti teman bagi si
anak.
3. Koba / Nyanyi Panjang
Nyanyi panjang merupakan jenis sastra lisan bercorak
naratif (cerita) yang dipertunjukkan oleh tukang nyanyi panjang
dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Dari namanya, nyanyi
panjang, terdapat dua kata: nyanyi dan panjang. Nyanyi
merujuk pada cara sastra lisan itu dipertunjukkan, dan panjang
merujuk pada waktu yang diperlukan dalam penyampaiannya.
Dalam pertunjukan nyanyi panjang, ada empat unsur yang
saling berkaitan dan mempengaruhi yaitu: tukang cerita, cerita,
suasana pertunjukan dan penonton.
Nyanyi panjang ini murni hasil kreatifitas masyarakat
dan menjadi milik bersama, kemudian diwariskan secara turun
temurun dengan cara berguru pada tukang cerita. Tidak ada
buku rujukan yang mereka jadikan pegangan, karena itu,
nyanyi panjang termasuk kategori kelisanan primer (primary
oral). Di antara ciri nyanyi panjang adalah: gaya bahasa
bercorak prosa lirik atau prosa berirama; banyak pengulangan;
struktur cerita seperti hikayat Melayu lainnya yaitu:
pengenalan, pengembaraan dan penyelesaian; dan diawali
dengan pantun bebalam. Disebut bebalam, karena nyanyian
pantunnya mirip dengan suara burung balam.
3. Pantun
Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri atas empat baris yang bersajak
bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya, tiap baris terdiri atas empat
perkataan. Dua baris pertama disebut sampiran (pembayang), sedangkan dua
baris berikutnya disebut isi pantun. Ada dua pendapat mengenai hubungan
antara sampiran dan isi pantun. Pendapat pertama dikemukakan oleh H.C.
Klinkert pada tahun 1868 yang menyebutkan bahwa, antara sampiran dan isi
terdapat hubungan makna.
Pendapat ini dipertegas kembali oleh Pijnappel pada tahun 1883 yang
mengatakan bahwa, hubungan antara keduanya bukan hanya dalam tataran
makna, tapi juga bunyi. Bisa dikatakan jika sampiran sebenarnya
membayangkan isi pantun. Pendapat ini dibantah oleh van Ophuysen yag
mengatakan bahwa, sia-sia mencari hubungan antara sampiran dan isi pantun.
Menurutnya, yang muncul pertama kali dibenak seseorang adalah isi, baru
kemudian dicari sampirannya agar bersajak.
Dalam perkembangannya, Hooykas kemudian memadukan dua
pendapat ini dengan mengatakan bahwa, pada pantun yang baik, terdapat
hubungan makna tersembunyi dalam sampiran, sedangkan pada pantun yang
kurang baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan
persamaan bunyi. Pendapat Hooykas ini sejalan dengan pendapat Dr. (HC)
Tenas Effendy yang menyebut pantun yang baik dengan sebutan pantun
sempurna/penuh, dan pantun yang kurang baik dengan sebutan pantun tak
penuh/tak sempurna. Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna
yang dalam (berisi), maka kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi,
dan isi dapat menjadi sampiran.” Dalam kehidupan masyarakat Melayu
sehari-hari, pantun merupakan jenis sastra lisan yang paling populer.
Penggunaannya hampir merata di setiap kalangan: tua-muda, laki-laki-
perempuan, kaya miskin, pejabat-rakyat biasa dst. Dalam prkatiknya, pantun
ini diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yaitu: Pantun Nasihat, Pantun
Berkasih Sayang, Pantun Suasana Hati, Pantun Pembangkit Semangat, Pantun
Kerendahan Hati, Pantun Pujian, Pantun Teka-teki, Pantun Terhadap
Perempuan, dan Pantun Jenaka.
Pantun juga berfungsi sebagai bentuk interaksi yang saling berbalas,
baik itu dilakukan pada situasi formal maupun informal. Pantun pada
masyarakat Melayu mengalir berdasarkan tema apa yang tengah
diperbincangkan. Ketika seseorang mulai memberikan pantun, maka rekan
lainnya berbalas dengan tetap menjaga tali perbincangan. Dalam interaksi
pantun berbalas ini berlatar belakang pada situasi formal maupun situasi
informal. Pada situasi formal semisal ketika meminang atau juga membuka
sebuah pidato, sedangkan pada situasi informal seperti perbincangan antar
rekan sebaya.
Pantun adalah genre sastra tradisional yang paling dinamis, karena
dapat digunakan pada situasi apapun. Sebagaimana dikatakan bahwa: “Di
mana orang berkampung disana pantun bersambung. Di mana ada nikah kawin
disana pantun dijalin. Di mana orang berunding di sana pantun bergandeng.
Dimana orang bermufakat di sana pantun diangkat. Di mana ada adat dibilang,
di sana pantun diulang. Di mana adat di bahas di sana pantun dilepas”. Karena
itu tidak pandang latar belakang apapun, pantun dapat digunakan baik untuk
anak-anak, orang muda maupun orang tua.
Adapun beberapa klasifikasi berbagai pantun antara lain berupa:
1. Pantun Nasihat
a. Pantun Nasihat agama
b. Pantun Nasihat adat
2. Pantun Berkasih Sayang
a. Pantun Berkenalan
b. Pantun Saling Berjanji
c. Pantun Perceraian/Perpisahan
d. Pantun Memendam Rindu
e. Pantun Putus Cinta
f. Pantun Kasih Tak Sampai
g. Pantun Berangan-angan
3. Pantun Suasana Hati
a. Pantun Sukacita
b. Pantun Dukacita
4. Pantun Pembangkit Semangat
a. Pantun Pembangkit Semangat
b. Pantun Pembangkit Keberanian
c. Pantun Pembangkit Semangat Hidup
5. Pantun Kerendahan Hati
a. Pantun Kerendahan Hati pada Ilmu Pengetahuan
b. Pantun Kerendahan Hati pada Harta
6. Pantun Pujian
a. Pantun Pujian Kepada Allah
b. Pantun Pujian Kepada Muhammad
c. Pantun Pujian Kepada Orang Tua
d. Pantun Pujian Kepada Pemimpin
7. Pantun Teka-Teki
a. Pantun Teka-Teki dengan Obyek Alam Sekitar
b. Pantun Teka-Teki Perangkat Pembantu Manusia
8. Pantun Terhadap Perempuan
a. Pantun Perempuan Bersimbol Bunga
b. Pantun Perempuan Bersimbol Burung
c. Pantun Perempuan Bersimbol Warna Kulit
d. Pantun Perempuan Bersimbol Batu Permata
e. Pantun Perempuan dalam Simbol Cakrawala
9. Pantun Jenaka
a. Pantun Sindir-Menyindir
b. Pantun Mengolok-olok Badan
c. Pantun Kepandiran dan Kegagapan Diri
d. Pantun Kelakar Terhadap Isteri
e. Pantun Kelakar Terhadap Suami
f. Pantun Kelakar Terhadap Mertua
g. Pantun Kelakar Terhadap Janda
10. Pantun Ajaran Budi Terhadap Perempuan
a. Pantun Isteri Salehah
b. Pantun Perempuan Menjaga Marwah
c. Pantun Perempuan Elok Luar Dalam
11. Pantun Terhadap Laki-Laki
a. Pantun Gagah Berani
b. Pantun Tidak Pendek Akal
c. Pantun Tidak Pengecut
d. Pantun Tidak Malas Bekerja
12. Pantun Kepemimpinan
a. Pantun Pemimpin Berpendirian Teguh
b. Pantun Pemimpin Menjadi Pelindung
c. Pantun Pemimpin Adil
d. Pantun Pemimpin Amanah
13. Pantun dalam Prosesi Pernikahan
a. Pantun untuk Merisik
b. Pantun untuk Meminang
c. Pantun dalam Prosesi Akad Nikah
d. Pantun di Hari Persandingan e. Pantun di Malam Pertama
4. Peribahasa
Peribahasa adalah ungkapan tradisional yang terdiri dari kalimat
ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup
ataupun aturan tingkah laku. Dalam ungkapan lain, Carvantes
mendefinisikannya sebagai kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman
yang panjang; Bertrand Russell mendefinisikannya sebagai kebijaksanaan
orang banyak, tapi kecerdasan seseorang. Biasanya, kelompok kata atau
kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan
merupakan kiasan terhadap maksud tertentu. Kalimat dalam peribahasa
biasanya mengesankan, dengan arti yang luas dan isi yang bijak. Dalam
peribahasa, tersirat unsur sistem budaya masyarakat yang berkaitan dengan
nilai-nilai, pandangan hidup, norma, petunjuk dan aturan yang menjadi acuan
bagi anggota masyarakat. Biasanya, peribahasa ini muncul dalam pembicaraan
sehari-hari, upacara adat, acara keramaian dll. Dalam kehidupan sehari-hari,
bisa dikatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu sarana enkulturasi
dalam proses penanaman nilai-nilai adat dari generasi ke generasi dalam
kebudayaan Melayu. Sebagai sastra lisan, maka perkembangannya sangat
dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di masyarakat pendukungnya. Setiap
perubahan di masyarakat, biasanya juga diiringi dengan lenyapnya peribahasa
yang tidak lagi sesuai dengan keadaan yang telah berubah. Ada dua jenis
peribahasa, yaitu peribahasa yang memiliki arti lugas dan yang memiliki arti
simbolis. Peribahasa yang berarti lugas ada dua: bidal dan pepatah, sedangkan
yang berarti simbolis adalah perumpamaan. Peribahasa jenis bidal memiliki
irama dan rima, sehingga sering juga digolongkan ke dalam bentuk puisi,
contohnya adalah: bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.
Peribahasa jenis pepatah mengandung isi yang ringkas, bijak, benar dan
seolah-olah dimaksudkan untuk mematahkan ucapan orang lain, contohnya:
biar lambat asal selamat; sedikit demi sedikit, lama lama jadi bukit. sebagai
kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang; Bertrand
Russell mendefinisikannya sebagai kebijaksanaan orang banyak, tapi
kecerdasan seseorang. Biasanya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa
memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap maksud
tertentu. Kalimat dalam peribahasa biasanya mengesankan, dengan arti yang
luas dan isi yang bijak. Dalam peribahasa, tersirat unsur sistem budaya
masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma,
petunjuk dan aturan yang menjadi acuan bagi anggota masyarakat. Biasanya,
peribahasa ini muncul dalam pembicaraan sehari-hari, upacara adat, acara
keramaian dll. Dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan bahwa peribahasa
merupakan salah satu sarana enkulturasi dalam proses penanaman nilai-nilai
adat dari generasi ke generasi dalam kebudayaan Melayu. Sebagai sastra
lisan, maka perkembangannya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi
di masyarakat pendukungnya. Setiap perubahan di masyarakat, biasanya juga
diiringi dengan lenyapnya peribahasa yang tidak lagi sesuai dengan keadaan
yang telah berubah. Ada dua jenis peribahasa, yaitu peribahasa yang memiliki
arti lugas dan yang memiliki arti simbolis. Peribahasa yang berarti lugas ada
dua: bidal dan pepatah, sedangkan yang berarti simbolis adalah perumpamaan.
Peribahasa jenis bidal memiliki irama dan rima, sehingga sering juga
digolongkan ke dalam bentuk puisi, contohnya adalah: bagai kerakap di atas
batu, hidup segan mati tak mau. Peribahasa jenis pepatah mengandung isi
yang ringkas, bijak, benar dan seolah-olah dimaksudkan untuk mematahkan
ucapan orang lain, contohnya: biar lambat asal selamat; sedikit demi sedikit,
lama lama jadi bukit.
5. Karmina
Populer disebut pantun kilat adalah pantun dua baris. Baris pertama
merupakan sampiran dan baris kedua langsung isi. Memiliki pola sajak lurus
(a-a). Biasanya dipakai untuk menyampaikan sindiran ataupun ungkapan
secara langsung.
3. Tunjuk Ajar Jati Diri Dalam Pergaulan Diluar Masyarakat Melayu
1. Jati Diri (Pakaian Diri, Adab, Perilaku Masyarakat Melayu Riau)
Jati Diri Melayu
Aspek Jati Diri
Orang Melayu ditandai dalam tiga aspek dasar yang menjadi pengekal dari
kemelayuannya, yaitu agama Islam, resam Melayu, dan berbahasa Melayu.
Dari ketiga aspek tersebut, agama Islam adalah hal yang paling mutlak dan
menjadi identitas kemelayuan.

a) Pakaian Diri
Tenas Effendy (2013: 95), menyebut pakaian diri dengan nilai-nilai
luhur yang diamalkan untuk manusia yang sempurna lahiriah dan batiniah,
yang dapat diwujudkan dalam Sifat yang Duapuluh Lima.

Hakikat pakaian pada dasarnya adalah menyeimbangkan kehidupan kekinian


dengan akhirat berdasarkan nilai-nilai asas yang berlaku di tengah masyarakat.
b) Adab & Perilaku
ADAB
Adab merupakan tingkah laku serta tutur kata yang halus atau sopan
untuk menunjukkan rasa hormat, kerendahan hati, penyerahan diri, dan
menjadi cermin kemuliaan orang yang menyandangnya. Adab menjadi sendi-
sendi kehidupan yang dipakai dalam hubungan sosial antara individu atau
antar kelompok, dalam beribadah kepada sang pencipta, dan untuk
kepentingan diri sendiri.
Perbuatan melanggar adab dianggap sebagai perilaku yang dapat merusak
keharmonisan hidup. Pelanggaran adab akan menimbulkan aib besar dan si
pelanggar dianggap tidak beradab

PERILAKU MASYARAKAT MELAYU


Masyarakat Melayu yang umumnya tinggal di pesisir Pulau Sumatera
juga memiliki sejumlah konsep budaya tertentu sebagai refleksi dari cara
pandang mereka terhadap alam sekitarnya. Para peneliti Eropa
menggambarkan budaya Melayu dengan nilai-nilai kehalusan budi, ramah-
tamah, dan sensitif.

Konsep malu merupakan konsep budaya yang mendasar dalam masyarakat


Melayu. Konsep ini berhubungan dengan konsep sosial "muruah" dan "harga
diri" dan mengandung nilai kesopanan, sejalan dengan norma perilaku
berkomunikasi orang Melayu, yaitu berbicara dengan cara yang sopan. Di
samping itu, ekspresi malu mengandung berbagai aspek sosial budaya,
terutama relasi sosial akrab dan tidak akrab di antara penutur dan petutur.
2. Adat Anak Dagang
Di dalam ungkapan adat disebutkan, dimana ranting di pipatah disitu air
diciduk, dimana bumi di pijak, di situlah langit dijunjung.

Maksudnya apabila seseorang mencari penghidupan dan bekerja di negeri


orang, hendaklah ikut membangun negeri tersebut, dan menghormati ada
istiadat yang berlaku.

Adat dagang tidak diperbolehkan seperti dalam pepatah, hidup bagai bayam
bertabur yang berarti hidup sesuka hati saja tanpa menghormati orang lain, dan
menjadi pantangan pada suatu negeri untuk membuat rumah dalam rumah,
yang berarti mendirikan adat yang di bawa dari luar ke dalam adat yang
berlaku di suatu daerah.
SUMBER

1. https://pt.scribd.com/document/478870066/Kearifan-Melayu-dalam-Pemanfaatan-
Alam
2. https://dli.ejournal.unri.ac.id/index.php/DL/article/download/
2808/2741#:~:text=Kearifan%20lingkungan%20orang%20Melayu%20dalam,tanah
%3B%20berkebun%20tidak%20merusak%20rimba.
3. https://www.riaumagz.com/2017/10/mantra-melayu-puisi-lama-berkekuatan.html
4. https://fkip.unri.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Karya-Sastra-Melayu-
Riau_v.2.2_13x19-pake-kertas-A52.pdf
5. https://www.riauonline.co.id/riau/read/2021/10/20/5-patung-dan-tugu-di-riau-yang-
fenomena
6. https://prezi.com/p/b0ggovplcw7i/tunjuk-ajar-melayu-mengenai-jati-diri-dalam-
pergaulan-di-luar-masyarakat-melayu/

Anda mungkin juga menyukai