Anda di halaman 1dari 69

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Lahan dan Penggunaan Lahan

a. Lahan dan Tanah

Lahan merupakan salah satu modal dasar dalam sistem

produksi. Pada lahan dapat dibangun dan diusahakan berbagai

kegiatan sesuai dengan tujuan tertentu yang ingin dicapai guna

mencukupi kebutuhan hidup manusia. Foley et al. (2005)

menambahkan bahwa permukaan tanah merupakan sumber daya yang

terbatas dan merupakan pusat kesejahteraan manusia serta

berfungsinya sistem Bumi.

Jika menelusuri sejarah, pengolahan lahan secara serius mulai

ditekuni manusia ketika mulai memasuki era bercocok tanam. Era ini

terjadi setelah era berburu dan mengumpul yang mempunyai

perangkat sosial yang berbeda. Manusia mulai menyadari bahwa

menetap di suatu wilayah yang mencukupi kebutuhan hidup dengan

kegiatan bertani lebih menguntungkan dibandingkan dengan hidup

secara berpindah-pindah.

Seiring dengan perubahan cara hidup dari berburu mengumpul

ke bercocok tanam, maka berubah pula berbagai perangkat sosial yang

mengatur kehidupan manusia. Sistem pertanian mulai dikembangkan


17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan sistem perdagangan mulai diperkenalkan. Pada awalnya,

penggunaan lahan bersifat komunal, di mana satu kelompok manusia

mengolah lahan secara bersama di suatu wilayah. Produksi yang

dihasilkan juga dinikmati secara bersama-sama oleh komunitas

tersebut. Lahan pertanian ini diperoleh biasanya dari proses

pembukaan lahan hutan atau padang rumput. Sehingga manusia mulai

mengkoordinasi alam untuk bisa menyesuaikan dengan kepentingan

mereka (Harari, 2017).

Definsi tanah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Tanah

juga dapat diartikan dalam berbagai terminologi, seperti soil dalam

bahasa Inggris dan adama dalam bahasa Semit. Berbagai daerah di

Indonesia juga mempunyai terminologi masing-masing untuk

mengistilahkan tanah. Masyarakat Jawa biasa menyebut sawah

dengan siti, bhumi, dan lemah; masyarakat Bali menyebutnya dengan

palemah; masyarakat Sunda menyebutnya dengan taneuh, leumah;

masyarakat Dayak menyebutnya dengan bumi; dan masyarakat Tetum

menyebutnya dengan rai. Perbedaan istilah dalam penyebutan tanah

tersebut tidak boleh dipahami hanya sekedar perbedaan bahasa saja.

Lebih jauh, perbedaan istilah ini juga menunjukkan bagaimana

manusia yang menguasai atau mengolah dalam memaknai tanah

dalam sistem kehidupannya (Rosmidah, 2013).

Tanah dan lahan pada dasarnya memiliki pengertian yang

berbeda. Tanah lebih diasosiasikan secara fisiknya. Sedangkan lahan

meliputi pengertian yang lebih luas termasuk seluruh kegiatan

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

manusia yang berada di atasnya. Lahan yang sesuai fungsinya dapat

menyokong kebutuhan hidup manusia. Lahan yang difungsikan untuk

pendirian rumah dapat menjadi tempat berlindung keluarga yang

hidup di dalamnya. Lahan yang difungsikan sebagai lahan pertanian

dan perkebunan akan berguna menghasilkan hasil bumi dari panen

tanaman atau ternak yang dibudidayakan. Lahan yang digunakan

untuk taman akan berfungsi sebagai ruang terbuka hijau, dan lain

sebagainya.

Manfaat tanah bagi manusia meliputi banyak aspek baik dari

segi ekonomis, politis, kultural serta prestise sebagai bentuk

kehormatan/identitas/harga diri. Aspek ekonomi merujuk pada tanah

yang menjadi sarana produksi untuk memperoleh kesejahteraan.

Aspek politik merujuk pada tanah yang dapat menentukan posisi

seseorang dalam masyarakat, sehingga mempunyai andil dalam

pengambilan keputusan. Aspek kultural berkaitan dengan tanah yang

mampu menentukan tinggi rendahnya status sosial sang pemilik.

Tanah juga bermakna sakral, yang berkaitan dengan warisan dan

masalah-masalah transedental. Sehingga tanah tidak semata-mata

berarti benda dalam arti fisiknya melainkan di atas tanah tersebut

dibangun ruang sosial, berbagai hubungan dijalin, persaingan terjadi.

penguasaan dominan dan politik dikontestasikan (Nugroho, 2002;

Rosmidah, 2013).

Lahan merupakan sumber daya yang unik, ketersediaanya

relatif terbatas dan sangat sulit untuk menambahkan jumlahnya. Atau

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam kata lain, penawaran lahan tetap, sedangkan permintaan lahan

relatif meningkat. Dengan jumlahnya relatif tetap, maka seiring

kebutuhan yang semakin meningkat maka lahan akan terasa semakin

langka.

Kelangkaan ini membuat manusia harusnya semakin jeli

dalam menggunakan sumber daya lahan secara efektif. Sudut pandang

“efektif” ini juga menjadi persoalan. Bagi yang mendukung

pembangunan kawasan tempat tinggal yang layak dan penyediaan

fasilitas yang memadai, penggunaan lahan untuk kawasan perumahan

dan pengembangan perkotaan tentu efektif. Lain sisi dari pemerhati

bidang pertanian, lahan yang digunakan sebaik-baiknya untuk

produksi pertanian terutama tanaman pangan untuk menunjang

ketahanan pangan merupakan penggunaan lahan yang efektif.

Barangkali pihak pemerhati lingkungan akan berpendapat lain lagi.

Karena pembukaan lahan pertanian dari lahan natural, pertanian

intensif dengan penggunaan pupuk kimia, pengembangan kawasan

kota dan industri akan membawa dampak buruk bagi lingkungan.

Terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk

menggambarkan perubahan penggunaan lahan. Contohnya seperti

alih fungsi lahan, alih guna lahan, konversi lahan, land use change,

land use and cover change (LUCC), dan lain sebagainya. Istilah-

istilah tersebut merujuk pada satu pemahaman yang sama, yaitu

perubahan penggunaan lahan.

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Lahan Pertanian dan Non Pertanian

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo (2019)

menggunakan klasifikasi lahan sawah (wetland) dan non sawah untuk

membedakan penggunaan lahan. Lahan sawah diartikan sebagai lahan

peruntukan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang

(galengan) yaitu saluran yang digunakan untuk menahan/

menyalurkan air. Lahan sawah biasanya digunakan untuk menanam

padi sawah.

Lahan sawah dan non sawah ini kemudian dibedakan lagi

menjadi berbagai kategori sesuai dengan bagaimana lahan tersebut

dipergunakan. Klasifikasi ini dilakukan oleh Badan Pusat Statistik,

rincian selanjutnya adalah sebagai berikut (Badan Pusat Statistik

Kabupaten Sukoharjo, 2019):

1). Lahan sawah (wetland), menurut jenis pengairannya dibagi lagi

menjadi:

a) Lahan sawah dengan irigasi teknis.

b) Lahan sawah dengan irigasi non teknis.

c) Lahan sawah dengan irigasi sederhana.

d) Lahan sawah tanah hujan

2) Lahan bukan sawah, menurut status lahan dibagi menjadi:

a) Lahan pekarangan (yard)

b) Lahan tegal/kebun (dry filed/garden)

c) Lahan yang ditanami pohon/hutan rakyat (planted trees)

d) Lahan tambak/kolam/empang (fishpond)

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

e) Lahan hutan negara

f) Lahan PBS (Perkebunan Besar Swasta)/PBN (Perkebunan

Besar Negara)

g) Lahan untuk keperluan lainnya yang tidak disebutkan di atas.

3) Lahan bukan sawah, menurut jenis lahan dibagi menjadi:

a) Lahan tanah kering (dry soil)

b) Lahan hutan negara (state forest)

c) Lahan perkebunan negara (country estate)

c. Hak atas Tanah

Penggunaan tanah atau lahan serta fenomena konversi lahan

tentu tidak terlepas dari aturan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah

dalam hal ini mengacu pada pengaturan hukum dan kontrak atau adat

yang ada untuk menguasai tanah. Hal ini berkaitan dengan aturan dan

prosedur yang mengatur hak dan kewajiban dalam penggunaan dan

pengendalian sumber daya lahan (Masanja, 2003).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak atas tanah dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh perorangan baik sendiri maupun bersama-

sama serta pada badan-badan hukum (pasal 4). Wewenang atas tanah

tersebut dapat didayagunakan untuk keperluan dan kepentingan

pemilik hak asalkan tidak melanggar peraturan yang ada (pasal 2 ayat

3).

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa seseorang,

kelompok, maupun badan hukum yang memiliki hak atas tanah akan

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mempunyai kebebasan untuk mengelola tanah tersebut untuk berbagai

kebutuhan dengan batasan tidak melanggar peraturan yang ada.

Selanjutnya hak atas tanah sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa

bentuk seperti yang tercantum pada undang-undang. Hak atas tanah

dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Hak Milik

Hak milik merupakan hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh

yang dapat dimiliki sesorang atas tanah. Hak milik ini dapat

beralih atau dialihkan ke orang lain, atau dapat diperjualbelikan.

2) Hak Guna-usaha

Hak guna-usaha merupakan hak untuk mendayagunakan tanah

yang dikuasai langsung oleh negara dalam kurun kurun waktu

tertentu yaitu paling lama 25 tahun dengan luas minimal 5 hektar

dan jika luasnya lebih dari 25 hektar atau lebih harus

menggunakan investasi modal yang layak dengan pengelolaan

yang baik. Jangka waktu dapat diberikan pada perusahaan yang

memerlukan waktu lebih lama, yaitu paling lama 35 tahun. Lama

guna-usaha ini dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 25

tahun. Melalui hak ini, perusahaan dapat mendayagunakan tanah

dalam bidang pertanian, perikanan dan peternakan. Hak guna-

usaha ini dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Hak-Guna-Bangunan

Hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan

mempunyai bangunan yang didirikan di atas tanah yang bukan

kepemilikannya dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan

dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 20 tahun. Hak guna

bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.

4) Hak Pakai

Hak pakai merupakan hak yang diberikan untuk menggunakan

atau memanfaatkan hasil dari tanah milik negara atau orang yang

lain yang memberikan wewenang pada pemeroleh hak pakai

sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Hak pakai atas tanah

tidak dapat secara langsung dialihkan kepada pihak lain karena

harus melalui persetujuan sesuai perjanjian dengan pemilik tanah.

5) Hak Sewa

Hak sewa merupakan hak untuk mempergunakan tanah milik

orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar biaya

sewa. Pembayaran sewa tergantung dari kesepakatan yang

terjalin dari penyewa dan pemilik tanah.

6) Hak Membuka Tanah

Hak membuka tanah diberikan kepada orang dengan ditetapkan

dalam peraturan pemerintah.

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7) Hak Memungut Hasil Hutan

Hak memungut hasil hutan merupakan hak yang diberikan

kepada orang untuk memanfaatkan hasil hutan sesuai dengan

peraturan pemerintah.

8) Hak lain yang tidak disebutkan di atas yang ditetapkan dengan

peraturan lebih lanjut.

Meskipun pemilik hak atas tanah mendapat jaminan undang-

undang untuk dapat mengelola tanah yang menjadi haknya, tetapi

pemilik lahan juga harus memperhatikan kepentingan sosial, alih-alih

berfokus pada kepentingan pribadi dalam rangka mendayagunakan

tanah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria menjelaskan bahwa semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial (pasal 6). Oleh karena itu penguasaan atas

tanah yang didasari hak milik harus memberikan manfaat bagi

masyarakat dan tidak menimbulkan kerugian karena mengutamakan

kepentingan pribadi.

d. Tata Guna Lahan

Vink (1975) dalam Siswanto (2006) mengartikan penggunaan

lahan (land use) sebagai setiap bentuk campur tangan atau intervensi

manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan material dan

spiritual. Sehingga menurut pengertian ini, intervensi manusia pada

lahan merupakan suatu bentuk penggunaan lahan. Meskipun

demikian, lahan yang tidak terkena intervensi secara langsung oleh

manusia sebenarnya juga terkena dampak dari kegiatan manusia di

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lokasi lain. Misalnya industrialisasi suatu kawasan membawa dampak

lingkungan seperti pemanasan global, sehingga lokasi lain juga dapat

terkena dampaknya.

Penggunaan lahan sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor utama,

yaitu fisik dan biologis, pertimbangan ekonomi serta faktor institusi/

kelembagaan (Barlowe, 1986). Ketiga faktor tersebut dijelaskan lebih

lanjut sebagai berikut.

1) Faktor fisik dan biologis

Faktor ini mencakup bagaimana keadaan geologi, tanah, air,

iklim, flora, fauna dan demografi.

2) Faktor pertimbangan ekonomi

Faktor ini terkait dengan bagaimana tingkat sewa tanah, keadaan

pasar (permintaan dan penawaran tanah) dan biaya transportasi

yang menyangkut infrastruktur transportasi.

3) Faktor institusi

Faktor ini berkaitan dengan bagaimana keadaan hukum

pertanahan, keadaan politik, dan keadaan sosial.

Berkaitan dengan penggunaan lahan, meskipun sebelumnya

dijelaskan hak atas tanah, tetapi tentunya diperlukan pengaturan agar

penggunaan lahan tidak merugikan masyarakat, lingkungan, dan

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Penatagunaan lahan menurut Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah

diartikan sebagai pola pengelolaan tanah yang meliputi penguasaan,

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi

pemafaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan tanah terkait.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah, pada pasal 3 berisi

tentang empat tujuan dari dilakukannya penatagunaan lahan. Tujuan

dari penatagunaan lahan, yaitu pertama untuk mengatur penguasaan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan

pembangunan. Kedua, mewujudkan tujuan pada poin pertama agar

sesuai dengan arahan fungsi kawasan sebagaimana yang diatur dalam

Rencana Tata Ruang Wilayah. Ketiga, mewujudkan tertib pertanahan

termasuk pemeliharaan serta pemanfaatan tanah. Keempat, menjamin

kepatuhan hukum atas pemilikan dan penggunaan tanah.

Asas dalam penatagunaan lahan sebagaimana diatur Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Penatagunaan Tanah dalam pasal 2 dan penjelasannya adalah sebagai

berikut.

1) Asas Keterpaduan

Asas keterpaduan merupakan asas yang menjelaskan bahwa

penatagunaan tanah dilaksanakan sebagai upaya

mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah.

2) Asas Berdayaguna dan Berhasilguna

Asas berdayaguna dan berhasilguna merupakan asas yang

menjelaskan penatagunaan tanah dilakukan dengan tujuan untuk

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi

ruang.

3) Asas Serasi, Selaras, Seimbang

Asas serasi, selaras dan seimbang merupakan asas yang

menjelaskan bahwa penatagunaan tanah menjamin hak dan

kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau

kuasanya sehingga meminimalkan benturan kepentingan antar

penggunaan atau pemanfaatan tanah.

4) Asas Berkelanjutan

Asas berkelanjutan merupakan asas yang menjelaskan bahwa

penatagunaan tanah menjamin kelestarian fungsi tanah dengan

mempertimbangkan generasi berikutnya.

5) Asas Keterbukaan

Asas keterbukaan merupakan asas yang menjelaskan bahwa

masyarakat pada seluruh lapisan dapat mendapat informasi yang

sama mengenai penatagunaan tanah.

6) Asas Persamaan, Keadilan dan Perlindungan Hukum.

Asas persamaan, keadilan dan perlindungan hukum merupakan

asas yang menjelaskan bahwa adanya penatagunaan tanah tidak

mengakibatkan diskriminasi antar pemilik tanah sehingga ada

perlindungan hukum dalam menggunakan dan memanfaatkan

tanah.

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Alih Fungsi Lahan

Perubahan pada lahan terjadi karena perubahan penggunaannya.

Terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan

perubahan penggunaan lahan tersebut. Contohnya seperti alih fungsi

lahan, alih guna lahan, konversi lahan, land use change, land use and cover

change (LUCC), dan lain sebagainya. Kustiwan (1997) berpendapat

bahwa alih fungsi lahan berkaitan dengan transformasi dalam

pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan

lainnya.

Alih fungsi lahan pada akhirnya akan mempengaruhi kepemilikan

tanah (land ownership), hak milik (property rights regime) dan

penguasaan lahan (land tenure) (Wehrmann, 2008). Sehingga baik alasan

yang mendasari dan kemudian dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi

lahan mempunyai ketersalinghubungan dengan aspek-aspek lain.

a. Penyebab Alih Fungsi Lahan

Sebagai suatu bentuk tindakan manusia, perubahan

penggunaan lahan didasari atas berbagai alasan yang berpengaruh

secara langsung maupun tidak langsung. Dari berbagai literatur,

beberapa penelitian menyimpulkan terdapat faktor yang dibedakan

menjadi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan alih fungsi

lahan.

Ridwan (2009) berpendapat bahwa faktor internal yang

menyebabkan alih fungsi lahan meliputi faktor teknis, ekonomi, dan

sosial. Fadjarajani (2001) berdasarkan penelitiannya menunjukkan

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

faktor internal meliputi aspek lokasi lahan, guna lahan, ukuran lahan,

pendapatan rumah tangga, aspek kebijaksanaan yang berlaku, serta

aktor yang terlibat dalam proses alih fungsi lahan. Sedangkan

Kustiwan (1996, 1997) dalam penelitian yang lebih awal,

menunjukkan bahwa faktor internal dalam alih fungsi lahan berkaitan

dengan pertumbuhan rumah tangga petani dan perubahan luas

penggunaan lahan oleh rumah tangga petani.

Kemudian menurut Ridwan (2009), faktor eksternal meliputi

laju pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah daerah, dan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedangkan menurut

Kustiwan (1996, 1997) faktor eksternal meliputi tingkat urbanisasi

dan kondisi sosial ekonomi suatu wilayah. Kondisi tersebut juga

meliputi bagaimana perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan

penduduk serta pertumbuhan dan pergeseran struktur ekonomi.

Barlowe (1986) menjelaskan faktor yang berpengaruh pada

penawaran dan permintaan lahan. Penawaran lahan berkaitan dengan

karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, teknologi, dan

kelembagaan. Sedangkan permintaan lahan dipengaruhi oleh populasi

penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi,

pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan

tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh

perkembangan usia.

Melihat dari sudut pandang yang lain, Colby (1971) dalam

Galih (2015) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan dapat disebabkan

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

oleh gaya sentrifugal, gaya sentripetal, dan faktor lain. Penjabaran

ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut.

1) Gaya sentrifugal merupakan kekuatan yang mendorong suatu

kegiatan dari suatu kawasan ke kawasan lain. Rincian yang

termasuk dalam kategori ini antara lain.

a) Gaya ruang atau meningkatnya kemacetan.

b) Gaya tapak atau kerugian finansial.

c) Gaya situasioal atau penurunan kenyamanan lingkungan.

d) Gaya evolusi sosial atau tingginya nilai lahan, pajak, dan

keterbatasan berkembang.

e) Satus dan organisasi hunian atau berkurangnya fasilitas

pendukung.

2) Gaya Sentripetal merupakan gaya yang menahan fungsi-fungsi

tertentu atau menarik fungsi lain ke suatu kawasan. Rincian yang

termasuk dalam kategri ini antara lain.

a) Daya tarik fisik tapak atau kualitas landscape alami.

b) Kenyamanan fungsional atau aksesibilitas maksimum.

c) Daya tarik fungsional atau suatu fungsi yang menarik fungsi

lain.

d) Gengsi fungsional atau reputasi jalan atau lokasi fungsi

tertentu.

3) Fungsi lain meliputi persaingan antar kegiatan terhadap optimasi

nilai lahan, intervensi politik, bencana alam, dan lain sebagainya.

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tarik menarik antara gaya sentrifugal dan sentripetal serta

faktor lain yang terkait dapat berpengaruh pada keputusan untuk

melakukan alih fungsi penggunaan lahan. Perubahan penggunaan

lahan menurut Siswanto (2006) tidak dapat dihindari dan disebabkan

oleh peningkatan kebutuhan penduduk baik dari segi kuantitas dan

kualitas. Selain itu, Pierce (1981) mengungkapkan perubahan

penggunaan lahan yang merupakan perwujudan dari kekuatan aspek

demografis dan ekonomi. Pierce juga menjelaskan tujuh faktor yang

berpengaruh secara konseptual terhadap alih fungsi lahan antara lain

sebagai berikut:

1) Perubahan penduduk

2) Fungsi ekonomi yang dominan

3) Ukuran kota

4) Rata-rata nilai lahan permukiman

5) Tingkat kepadatan penduduk

6) Kondisi geografis

7) Potensi lahan untuk pertanian

Meskipun demikian, terdapat juga beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan tetapi sulit untuk dianalisis.

seperti Seto et al. (2011) yang mengakui dalam penelitiannya bahwa

alih fungsi lahan terkait dengan perluasan wilayah perkotaan. Serta

terkait dengan berbagai faktor yang sulit diamati secara komprehensif

dalam tingkat global seperti aliran modal internasional, ekonomi

informal, kebijakan penggunaan lahan, dan biaya transportasi umum.

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Irawan (2003) menyatakan jika alih fungsi lahan terjadi di

suatu kawasan, maka fenomena ini akan segera meluas ke lahan di

sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, pertama dengan alih

fungsi lahan untuk pembangunan perumahan atau industri, maka

aksesibilitas di kawasan tersebut akan semakin baik seiring

perkembangan sarana dan prasarana. Perbaikan ini justru mendorong

peningkatan permintaan lahan oleh investor atau spekulan lain

sehingga lahan di sekitar lahan yang teronversi akan semakin

meningkat harganya. Kedua, seiring peningkatan harga lahan, dapat

mendorong petani atau pemilik lahan di sekitarnya untuk menjual

lahannya. Dengan kata lain permintaan yang meningkat kemudian

meanaikkan harga lahan, dan kemudian ikut direson oleh peningkatan

penawaran lahan.

b. Teori Sewa Lahan (Land Rent)

Harga tanah terkait fungsinya memiliki dua jenis fungsi, yatu

fungsi alokatif dan fungsi distributif. Fungsi alokatif berkaitan dengan

nilai tanah bagi pemilik lahan dan bagaimana lahan tersebut

digunakan. Sedangkan fungsi distributif berkitan dengan

pengembalian yang diterima pemilik tanah karena tanah tersebut

disewakan atau apabila terjadi kenaikan nilai tanah (Ingram, 1998).

Keputusan penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan dan

nilai pengembalian serta manfaat yang diperoleh dengan alternatif

penggunaan lain (Lubowski et al., 2008). Pasandaran (2006)

berpendapat bahwa kelangkaan sumber daya, termasuk lahan, terjadi

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

karena meningkatnya persaingan dalam pemanfaatan sumber daya

akibat peningkatan nilai ekonomi.

Salah satu ahli ekonomi yang menjelaskan soal land rent atau

sewa lahan adalah David Ricardo. Teori David Ricardo tersebut

menjelaskan bahwa pertama, kota hanya mempunyai satu pusat.

Kedua, kota terletak pada daerah yang datar/daratan (flat feature less

plant). Ketiga, biaya transportasi sesuai dengan jarak yang ditempuh

menuju pusat kota. Keempat, lahan akan dijual kepada penawar

tertinggi. Teori tersebut menunjukkan kecenderungan kesempatan

yang sama dimiliki oleh semua pihak untuk memperoleh lahan. Selain

itu juga tidak ada campur tangan pemerintah dalam bentuk aturan

pembatasan seperti land use zoning. Oleh karena itu menurut Ricardo,

pasar persaingan sempurna dapat berjalan dengan baik (Setiyanto &

Irawan, 2015).

Barlowe (1986) menjelaskan nilai sewa (rent) sumber daya

lahan dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu contract rent, dan land

rent atau economic rent. Contract rent mengandung pengertian nilai

sewa lahan, yaitu nilai pembayaran atas penggunaan lahan dalam

waktu tertentu oleh penyewa kepada pemilik lahan. Economic rent

atau land rent mempunyai maksud economic surplus dan income

surplus di atas biaya atau harga input tanah yang dimanfaatkan dalam

proses produksi.

Mekanisme alokasi sumber daya lahan sering ditentukan oleh

nilai economic rent atau land rent dibandingkan dengan nilai sewa

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

atau contract rent. Konversi lahan akan terjadi dengan ditentukan oleh

besaran dari nilai economic rent atau land rent. Lahan yang

mempunyai nilai economic rent atau land rent lebih tinggi akan

menggusur penggunaan lahan dengan nilai economic rent dan land

rent yang lebih rendah. Pada umumnya, nilai land rent atau economic

rent yang terjadi dalam mekanisme pasar adalah Industri >

perdagangan > permukiman > pertanian intensif > pertanian ekstensif.

Sedangkan Anwar (1990) dalam Setiyanto & Irawan (2015)

mengungkapkan bahwa lahan mempunyai empat jenis rent, yaitu

ricardian rent yang menyangkut kualitas dan kelangkaan lahan,

locational rent yang menyangkut aksesbilitas lahan, ecological rent

yang menyangkut fungsi ekologi lahan, dan sosiological rent yang

menyangkut fungsi sosial lahan. Mekanisme pasar sendiri mencakup

ricardian rent dan locational rent, sedangkan ecological rent dan

sociological rent pada umumnya tidak tercakup dalam penghitungan

pasar. Selain proses alih fungsi lahan yang terjadi dari economic rent

yang lebih rendah ke lebih tinggi, Rustiadi (2001), menyatakan bahwa

alih fungsi lahan terjadi pada environment rent yang lebih tinggi ke

environment rent yang lebih rendah.

Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa nilai lahan

menjadi faktor penting dalam keputusan konversi lahan. Mahardika &

Muta’ali (2018) menunjukkan bahwa faktor utama alih fungsi lahan

adalah nilai atau harga jual lahan yang relatif tinggi. Tingginya harga

lahan ini karena letaknya yang strategis dan berdasarkan kebijakan

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

RTRW merupakan zona industri. Kemudian Saputra & Budhi (2015)

mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama

petani mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Begitu juga yang

disampaikan oleh Harini et al. (2012) bahwa petani cenderung

menjual tanah sawahnya karena harga tanah yang tinggi. Teori lokasi

mengungkap fenomena ini, di mana penggunaan lahan untuk

keperluan perkotaan mempunyai sewa (rent) lebih tinggi

dibandingkan dengan penggunaan untuk keperluan pedesaan, seperti

pertanian (Irwin & Bockstael, 2017; North, 1955).

c. Pola Alih Fungsi Lahan

Bentuk alih fungsi lahan di wilayah mana pun terjadi akibat

perubahan pada faktor alam dan sosial ekonomi serta eksploitasi yang

dilakukan manusia (Supriya et al., 2019). Sehingga tidak dapat

dipungkiri bahwa perubahan penggunaan lahan hampir selalu terkait

dengan aktivitas manusia. Pola yang umumnya terjadi adalah

perluasan atau ekspansi daerah perkotaan ke daerah pinggiran,

konversi lahan pertanian, dan lain sebagainya.

Penelitian Sihaloho (2004) di Kelurahan Mulyaharja,

Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat pada tahun 2004

mengemukakan tujuh pola atau tipologi dalam alih fungsi atau

konversi lahan. Ketujuh pola atau tipologi tersebut antara lain:

1) Konversi gradual berpola sporadic

Pola konversi lahan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu

lahan yang kurang produktif dan kondisi ekonomi pemilik lahan.

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kedua faktor tersebut mendorong pemilik lahan untuk menjual

atau mengkonversi lahan yang dimiliki untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga. Dengan langkah tersebut, pemilik

lahan merasa mendapat manfaat lebih dibandingkan tetap

mempertahankan lahan yang dimiliki pada bentuk semula.

2) Konversi sistematik berpola enclave

Pola konversi ini dilakukan secara serempak karena disadari

pemahaman bahwa lahan yang ada kurang produktif dan oleh

karena itu perlu difungsikan untuk kegiatan lain. Penggunaan

lahan dalam bentuk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai

tambah dan memberi keuntungan lebih bagi sekelompok pemilik

lahan. Konversi lahan jenis ini dicirikan dengan alih fungsi lahan

yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pemilik lahan

dan mencakup luasan tertentu.

3) Konversi adaptasi demografi

Pola konversi ini sering terjadi di wilayah sekitar perkotaan atau

wilayah peri urban. Konversi lahan ini merupakan respon atas

pertumbuhan penduduk. Penduduk yang bertambah memerlukan

lahan baru yang dapat difungsikan untuk pembangunan tempat

tinggal (population growth driven land conversion). Alasan

pembangunan hunian di wilayah peri urban adalah karena nilai

tanah di kawasan kota yang lebih mahal dibandingkan dengan

daerah pinggiran. Oleh karena itu, bagi golongan pekerja

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perkotaan, memiliki tempat tinggal di daerah peri urban

merupakan pilihan yang masuk akal.

4) Konversi akibat masalah sosial

Pola konversi ini disebabkan oleh keterdesakan ekonomi pemilik

lahan dan perubahan kesejahteraan mereka (social problem

driven land conversion).

5) Konversi tanpa beban

Pola konversi ini bermaksud menjelaskan faktor pendorong

konversi lahan dikarenakan pemilik lahan mempunyai keinginan

merubah hidup dan ingin keluar dari daerah tempat tinggal.

6) Konversi adaptasi agraris

Pola konversi ini bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian.

Peningkatan usaha tani dapat berupa ektensifikasi, yaitu dengan

membuka lahan baru atau intensifikasi yaitu mengoptimalkan

lahan yang ada dengan meningkatkan input produksi lain.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk

Pola konversi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

peruntukan lahan untuk perkantoran, sekolah, koperasi,

perdagangan, termasuk sistem waris. Pembangunan wilayah

perumahan di pinggiran kota misalnya, akan mendorong konversi

lahan lain untuk menunjang fasilitas perumahan tersebut.

d. Dampak Alih Fungsi Lahan

Perubahan penggunaan lahan, baik itu dari lahan natural,

pertanian, hutan, atau bentuk lahan lain tentunya akan mempengaruhi

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berbagai sektor. Tanah diketahui sebagai basis dari struktur ekosistem

darat, sehingga perubahan penggunaan lahan akan berdampak pada

berubahnya struktur dan fungsi dari ekosistem (Yuan et al., 2019).

Perubahan orientasi penggunaan lahan berpengaruh pada produksi,

kondisi sosial ekonomi, dan bahkan perubahan budaya masyarakat

agraris menjadi non agraris (Prihatin, 2015).

Penelitian Li et al. (2016) di Kota Wuhan, China menunjukkan

hasil penelitian bahwa konversi lahan untuk keperluan perluasan

perkotaan sebagian besar menggunakan lahan pertanian yang subur

untuk kemudian dikonversi menjadi lahan terbangun. Berkurangnya

lahan pertanian yang produktif ini tentunya akan berdampak pada

berkurangnya produktivitas sektor petanian. Selain itu, ketahanan

pangan menjadi isu lebih lanjut akibat dari berkurangnya

produktivitas di sektor pertanian. Wu (2008) menyatakan bahwa

konversi pada lahan pertanian dan kawasan hutan yang

dialihfungsikan untuk menunjang pembangunan perkotaan dapat

mengurangi jumlah lahan yang tersedia untuk keperluan produksi

pangan dan produksi kayu.

Dari segi lingkungan, khususnya perubahan penggunaan lahan

dari natural lands ke kawasan perkotaan dan lahan industri dapat

mempengaruhi siklus karbon, proses hidrologi, dan juga

keseimbangan energi dari ekosistem lahan (Kuang, 2012; McDonald

et al., 2011; Mitchell et al., 2001; Zhang et al., 2008). Siklus hidrologi

juga berubah untuk keperluan penyediaan air tawar untuk irigasi,

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

industri dan konsumsi domestik (Postel et al., 1996; Vörösmarty et

al., 2000). Keseimbangan air permukaan yang terganggu karena

perubahan penggunaan lahan seperti penebangan vegetasi alami

sebagai sumber serapan tanah (Costa et al., 2003; Sahin & Hall, 1996).

Keanekaragaman hayati juga terdampak melalui hilangnya habitat,

degradasi tanah dan air, dan eksploitasi berlebihan pada spesies

tertentu (Pimm & Raven, 2000).

Alih fungsi lahan pertanian menimbulkan dampak negatif

seperti investasi di sektor pertanian yang tidak dapat digunakan,

hilangnya mata pencaharian petani, berkurangnya produksi bahan

pangan, degradasi fungsi sawah, dan tercerabutnya sistem

kelembagaan pada masyarakat petani (Sumaryanto et al., 2002).

Investasi berupa saluran irigasi tentunya tidak dapat dimanfaatkan lagi

jika lahan sawah yang ada sudah dialihfungsikan. Padahal di sisi lain

pembangunan tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar.

Firman (1997) dalam Rohmadiani (2011) mengungkapkan

bahwa konversi yang terjadi pada lahan pertanian membawa dua

dampak yaitu yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak

langsung dari konversi lahan pertanian utamanya akan mempengaruhi

produksi pertanian dari lahan yang dikonversi. Selain itu berdampak

juga pada hilangnya pekerjaan bagi petani maupun penggarap,

hilangnya investasi pada infrastruktur pertanian, dan dampak negatif

akibat kerusakan lingkungan. Sedangkan dampak yang tidak langsung

terutama dengan perpindahan penduduk atau migrasi dari kota ke

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

daerah pinggiran di sekitar kota. Migrasi ini akan meningkatkan

permintaan akan perumahan dan kesempatan kerja. Hal ini dapat

merubah struktur sosial ekonomi yang terbangun di daerah pinggiran.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sumaryanto dan Suhaeti

(1999) dalam Nurmanaf et al. (2001) yang menegaskan dampak

negatif konversi lahan pertanian adalah hilangnya produksi pertanian

dan nilai tambahnya, berkurangnya pendapatan dari sektor pertanian,

hilangnya kesempatan kerja, irigasi lahan pertanian yang dibangun

dengan biaya besar tidak lagi dimanfaatkan secara optimal,

pencemaran dan degradasi lingkungan, dan rusaknya kelembagaan

lokal yang menunjang pembangunan pertanian. Selain itu, dampak

konversi lahan pertanian dapat berpengaruh pada terganggunya

ketahanan pangan (Azadi et al., 2011; Irawan, 2003; Li et al., 2016;

Wu, 2008).

e. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian terjadi karena persaingan

pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian.

Persaingan pemanfaatan lahan ini muncul akibat dari fenomena sosial

ekonomi berupa keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan

penduduk, dan pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2003). Pada akhirnya

perubahan orientasi penggunaan lahan berpengaruh pada produksi

untuk keperluan pangan, produksi kayu dari kawasan hutan, kondisi

sosial ekonomi, dan perubahan budaya masyarakat agraris menjadi

non agraris (Prihatin, 2015; J. Wu, 2008).

41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Brueckner & Fansler (1983) mengatakan bahwa tanah dengan

sewa pertanian yang tinggi akan menjadi pilihan terakhir untuk

dikonversi. Newburn & Berck (2016) mempunyai pendapat yang

berbeda dengan menduga bahwa lahan pertanian yang berada di dekat

perkotaan akan lebih cepat dikonversi untuk penggunaan lain yang

pada umumnya berupa penggunaan perumahan sebagai bentuk

pengembangan exurban (exurban development).

Li et al. (2016) menunjukkan bahwa konversi lahan untuk

keperluan perluasan perkotaan sebagian besar menggunakan lahan

pertanian yang subur untuk dikonversi menjadi lahan terbangun.

Kemudian Jiang & Zhang (2016) menunjukkan bahwa tingkat sewa

lahan perkotaan dan besaran upah perkotaan merupakan faktor

penting yang berpengaruh secara positif terhadap konversi lahan

pertanian. Konversi yang terjadi pada lahan pertanian untuk

penggunaan perkotaan juga melibatkan investasi dalam pembangunan

infrastruktur seperti jalan, saluran pembuangan, fasilitas pelayanan

publik, dan ruang terbuka (Mori, 1998).

Alih fungsi lahan dari lahan sawah ke non sawah menurut

Pakpahan et al. (1993) dalam Ashari (2003) dapat terjadi secara

langsung dan tidak langsung. Pertama adalah alih fungsi lahan secara

langsung yang menitikberatkan pada keputusan pemilik lahan sawah

untuk mendayagunakan lahan miliknya untuk kegiatan lain selain

budidaya tanaman di lahan sawah. Konversi ini didorong oleh motif

ekonomi dengan melihat perbedaan sewa tanah (land rent). Sewa

42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tanah akan lebih tinggi jika lahan dialihfungsikan, seperti untuk

keperluan perkantoran, penyediaan fasilitas, atau pertanian lahan

kering.

Kemudian, alih fungsi lahan secara tidak langsung. Alih fungsi

lahan ini terjadi karena menurunnya kualitas lahan dan demikian juga

dengan produktivitas lahan sawah ataupun makin rendahnya income

opportunity dari lahan sawah tersebut. Contoh yang terjadi seperti

terputusnya jaringan irigasi ke lahan sawah akibat konversi lahan

sawah di sekitar lahan sawah. Pada akhirnya lahan sawah tersebut juga

akan ikut terkonversi untuk penggunaan non pertanian karena

mengikuti lahan sawah yang lebih dulu terkonversi di sekitarnya.

Dalam bukunya, Umanailo (2016) menjelaskan faktor-faktor

internal yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi non

pertanian yaitu: pertama, faktor ekonomi di mana pendapatan sektor

usaha tani lebih rendah dibandingkan sektor non pertanian seperti

industri dan perumahan. Kedua, faktor demografi di mana

pertumbuhan penduduk mendorong naiknya kebutuhan akan tempat

tinggal. Ketiga, faktor pendidikan, yang menunjukkan minimnya

pengetahuan akan keberlajutan lingkungan cenderung membuat

masyarakat mengambil keputusan yang menguntungkan pada saat ini

dan tidak mempertimbangkan dampak kedepannya. Keempat, faktor

sosial seperti perubahan perilaku, dan faktor politik seperti efek dari

otonomi daerah.

43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Yunita (2018) berpendapat bahwa sektor pertanian

mempunyai kontribusi yang penting. Kontribusi sektor pertanian

terlihat pada komposisi pembentukan Pendapatan Domestik Bruto

(PDB), penyerapan tenaga kerja, serta penyedian pangan dan produk

pertanian lain. Faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian

ke non pertanian menurut Winoto (2005) adalah sebagai berikut.

1) Faktor kependudukan

Meningkatnya jumlah penduduk mendorong peningkatan pada

permintaan lahan. Perbaikan taraf hidup masyarakat juga ikut

mendorong meningkatnya permintaan lahan.

2) Faktor ekonomi

Adanya perbedaan land rent pada penggunaan pertanian dan non

pertanian. Penggunaan lahan untuk keperluan non pertanian

mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi dibandingkan

dengan yang diterima dari usaha tani. Rendahnya insentif usaha

tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi serta harga hasil

produksi pertanian yang fluktuatif dan bahkan rendah saat terjadi

panen raya. Selain itu, keinginan petani sendiri untuk memenuhi

kebutuhan hidup atau kebutuhan modal juga mendorong petani

untuk menjual lahan pertanian miliknya.

3) Faktor sosial budaya

Adanya sistem waris yang mengakibatnya lahan pertanian

terfragmentasi menjadi luasan yang semakin lama menjadi

semakin sempit. Lahan pertanian yang sempit, jika melihat tanah

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebagai salah satu faktor produksi maka berdampak pada tidak

tercapainya skala ekonomi yang menguntungkan petani.

4) Perilaku myopic

Perilaku ini dimaksudkan untuk menggambarkan kecenderungan

manusia untuk berorientasi pada pencarian keuntungan.

Keuntungan yang dimaksud adalah jangka pendek dengan kurang

memperhatikan dampak jangka panjang. Kurang panjangnya

pemilik lahan untuk memikirkan niali lahan di masa mendatang

juga dampak dari alih fungsi lahan adalah bentuk perilaku

myopic. Bagi pemilik lahan yang berperilaku demikian, yang

terpenting adalah mendapatkan keuntungan pada saat ini.

5) Lemahnya sistem perundangan dan penegakan hukum untuk

melindungi lahan pertanian dari ancaman konversi lahan ke

penggunaan non pertanian.

Pola konversi lahan pertanian menyangkut pola keruangan

atau di mana distribusinya. Selain itu juga mengikuti pola perubahan,

dari penggunaan apa menjadi penggunaan apa, atau untuk keperluan

lain. Intensitas konversi menjadi acuan kecepatan perubahan

penggunaan lahan yang terjadi dan diukur dalam satuan ha/tahun

(Hariyanto, 2010). Contoh pola perubahan yang di sudah

diklasifikasikan yaitu:

1) Sawah ke permukiman

Dari berbagai literatur, kasus ini terjadi utamanya di wilayah peri

urban seiring dengan ekspansi wilayah perkotaan dan

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

meningkatnya urbanisasi dari luar daerah. Nilai sewa (land rent)

sawah untuk kegiatan pertanian dinilai lebih rendah dibanding

untuk penggunaan perumahan. Perbedaan nilai ini mendorong

alih fungsi lahan dari penggunaan lahan dengan nilai land rent

rendah menuju penggunaan dengan land rent yang lebih tinggi.

2) Sawah ke tegalan

Tingginya biaya irigasi sawah menjadi salah satu alasan merubah

lahan sawah menjadi tegalan yang ditanami tanaman musiman

dan mengandalkan air hujan. Selain itu, dengan merubah menjadi

tanah tegalan, konversi menjadi penggunaan non pertanian

menjadi lebih mungkin karena tanahnya yang sudah keras.

3) Tegalan ke permukiman

Seperti penjelasan pada dua poin sebelumnya, konversi ini cukup

memungkinkan karena karakteristik tanah tegalan yang keras

sehingga lebih mudah untuk dikonversi menjadi lahan terbangun,

termasuk dalam bentuk perumahan.

4) Rawa-diurug-tanah kering

Merupakan area yang digenanangi air dan lumpur. Dengan

pengeringan, memungkinkan terjadinya perluasan wilayah.

Koversi lahan rawa dapat berdampak pada rusaknya ekosistem

alami, hilangnya sumber mata air, dan hilangnya pelindung dari

erosi terutama di daerah pesisir. Selain itu penggunaan lahan pada

kawasan rawa juga berpotensi terdampak banjir karena notabene

rawa berada di dataran rendah.

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Tambak ke sawah

Tambak merupakan tempat budidaya perikanan, termasuk

perikanan darat. Konversi dari tambak ke sawah dimungkinkan

karena pendapatan yang diterima dari sawah diduga lebih besar

dari usaha perikanan di tambak.

6) Tegalan ke tanah kering.

Konversi ke tanah kering yang digunakan untuk produksi

pertanian biasanya dikarenakan sumber daya air yang terbatas.

Usaha tani dengan pertanian lahan kering tidak membutuhkan

banyak air karena dapat memilih beberapa tanaman tertentu yang

tidak membutuhkan banyak air.

3. Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Regional

Pembangunan dapat diartikan sebagai perubahan. Apa yang

menjadi masalah dari pernyataan tersebut adalah apakah perubahan

mengarahkan pada kondisi yang lebih baik (progress) atau mengarah pada

kondisi kemunduran (regress) (Mashud, 2010).

Tejadinya distorsi pembangunan, salah satunya dibahas oleh

Dudley Seers dalam karyanya berjudul The Meaning of Development

(1969) dalam Mashud (2010). Melalui karya tersebut, Seers mengkritik

fenomena terjadinya distorsi pembangunan dengan menyebutnya sebagai

“The growth fetishism of development theory”, dan menyatakan bahwa

makna paling hakiki dari pembangunan bukanlah semata peningkatan

pendapatan per kapita, tetapi juga harus dapat mencapai pemerataan

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

distribusi, pendapatan, penurunan pengangguran, pembebasan

kemiskinan, dan penghapusan ketidakadilan, karena hal ini berkaitan erat

dengan harkat dan martabat manusia.

Pembangunan yang didefinisikan oleh Soemarwoto (2001) dalam

Yulifar (2010) yakni mempunyai tujuan untuk meningkatkan hidup dan

kesejahteraan rakyat serta mengandung makna untuk meningkatkan mutu

hidup rakyat. Mutu hidup yang berkaitan dengan derajat terpenuhinya

kebutuhan dasar mengindikasikan bahwa pembangunan merupakan upaya

memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik. Kebutuhan dasar

sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu, untuk kelangsungan hidup hayati,

untuk kelangsungan kehidupan yang manusiawi, dan derajat kebebasan

untuk memilih.

Yulifar (2010) berpendapat bahwa makhluk hidup berusaha untuk

menjaga kelangsungan hidupnya, tidak saja secara individu tetapi juga

sebagai jenis. Pada suatu kondisi, kelangsungan hidup sebagai jenis

bahkan memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan

individual. Maka dari itu, dapat timbulah perilaku altruism, yaitu

pengorbanan diri untuk mempertahankan kehidupan sejenis. Sehingga

terkadang, manusia memang terlihat mementingkan kepentungan umum

dibandingkan dengan kepentingan dirinya sendiri.

Chalid (2019) berpendapat bahwa aktivitas ekonomi tidaklah

berdiri sendiri, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh perilaku sosial yang

melingkupi terjadinya perilaku ekonomi. Pertukaran yang menjadi domain

bahasan ekonomi, meskipun sederhana tetapi dilakukan dengan dasar

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertimbangan rasional, sehingga masing-masing pihak akan merasakan

manfaat dari pertukaran yang dilakukan. Kalkulasi ekonomi seperti ini

berdampak pada tindakan sosial. Demikian juga dengan tindakan ekonomi

yang sering kali dipengaruhi oleh setting sosial di mana tindakan ekonomi

dilakukan.

Dalam pembangunan daerah, wilayah dapat dibedakan menjadi

daerah dengan ciri khas perkotaan (urban) dan pedesaan (rural).

Mahamud et al. (2016) menambahkan bahwa pembangunan masyarakat

menuju kehidupan perkotaan didorong oleh faktor landscape fisik, sosio

ekonomi, dan lingkungan.

Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian dan

pengenalan mekanisme pasar telah menjadikan lahan sebagai alat

kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

industrialisasi, dan urbanisasi (Shouying, 2019). Perbedaan penggunaan

lahan di pedesaan menimbulkan pertanyaan tentang apakah kekuatan

pendorong yang menyebabkan fenomena alih fungsi lahan di pedesaan.

Atau dalam bahasan ekonomi sering dibahas mengenai alasan perbedaan

tingkat pertumbuhan ekonomi antar daerah (Terluin, 2003). Produktivitas

pertanian juga akan terdampak akibat konversi lahan pertanian, terutama

yang berada di daerah peri urban (Hualou & Jian, 2010; Jiang et al., 2012;

Salvati et al., 2016).

a. Tahap Perkembangan Masyarakat

W.W. Rostow menuliskan karya besar dalam bukunya dengan

judul The Stages of Economic Growth yang diterbitkan oleh

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Cambridge University Press pada tahun 1960, yang menelaah tentang

perkembangan suatu masyarakat (negara). Berdasarkan analisisnya,

masyarakat dapat dikategorikan menjadi lima kategori berdasarkan

bagaimana dimensi ekonomi masyarakat tersebut. Kelima kategori

tersebut antara lain: masyarakat tradisional, prasyarat untuk take-off,

take-off, gerak menuju maturity (matang), dan zaman konsumsi

massal tinggi (high mass-consumtion). Kelima kategori ini merupakan

suatu tahapan-tahapan dimensi ekonomi masyarakat, dari yang paling

rendah adalah tahap masyarakat tradisional dan yang paling tinggi

adalah tahap high mass-consumtion.

1) Masyarakat Tradisional

Tahap pertama adalah masyarakat tradisional. Masyarakat

yang tradisional merupakan masyarakat yang strukturnya

berkembang dalam fungsi-fungsi produksi yang terbatas,

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sederhana.

Kesederhanaan ini dipakai dengan anggapan bahwa ilmu

pengetahuan yang dimiliki masyarakat, belum mencapai kondisi

di mana masyarakat memiliki kepercayaan bahwa dunia luar

tunduk dan berjalan sesuai pada beberapa hukum yang dapat

diketahui, dan bisa secara sistematis dapat digunakan secara

produktif.

Produksi masyarakat tradisional tidaklah berjalan statis, di

sana juga terjadi kenaikkan produksi yang diupayakan melalui

perluasan tanah produksi atau perbaikan tata kelola produksi.

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Meskipun demikian, masyarakat tradisional memiliki batasan

atas tingkat produksi yang bisa dicapai per kapita. Batasan ini

dimungkinkan karena tidak lancarnya ilmu pengetahuan dan

teknologi modern ataupun pengaplikasiannya yang tidak secara

sistematis digunakan dalam produksi.

Akibat terbatasnya produktivitas, maka sebagian tenaga

kerja harus diaokasikan ke sektor pertanian. Dari sistem kerja

sektor pertanian tersebut, maka terbentuklah struktur sosial yang

bertingkat-tingkat dengan bidang kerja yang relatif sempit.

Sehingga dalam organisasi sosial, keluarga-keluarga dan suku

memegang peranan besar. Kondisi ini mengarah pada apa yang

disebut dengan ‘fatalisme jangka panjang’, yang berarti bahwa

lapangan kerja yang mungkin tersedia bagi seseorang adalah

lapangan kerja yang sudah turun temurun dikerjakan oleh garis

keluarganya.

2) Prasyarat untuk Take-off

Tahap kedua pertumbuhan adalah prasyarat untuk take-off

atau masyarakat dalam proses peralihan. Proses peraliahan yang

dimaksud adalah proses merubah struktur masyarakat tradisional

dengan cara memasukkan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal ini bertujuan untuk mencegah menurunnya produktivitas dan

menikmati manfaat dari penerapan ilmu pengetahuan dan

teknologi ini.

51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sejarah sendiri mencatat bahwa tahap prasyarat ini bukan

terjadi secara endogen (dari dalam), melainkan dari pengaruh

masyarakat-masyarakat lain yang lebih maju. Masuknya

pengaruh dari masyarakat luar ini akan mengganggu atau bahkan

menghancurkan mayarakat tradisonal. Akan tetapi pengaruh ini

juga memupuk cita-cita dan sentimen-sentimen, yaitu

menggantikan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern

yang dibangun dari kebudayaan lama yang ada.

Harapan kemajuan ekonomi ini menjadi syarat penting

untuk mencapai tujuan lain yang bermanfaat bagi masyarakat,

seperti mengingkatkan prestise nasional, meningkatkan

keuntungan pribadi, meningkatnya kesejahteraan umum, dan

peningkatan pendidikan yang disesuaikan dengan keperluan

kegiatan ekonomi modern.

Kemajuan ekonomi juga mendorong penambahan

penanaman modal, terutama dalam pengangkutan, perhubungan,

dan perdagangan bahan mentah dengan negara lain. Hal ini

diikuti dengan perluasan bidang perdagangan, baik di dalam

negeri maupun luar negeri. Meskipun demikian, pada tahap ini,

semua kegiatan berlangsung dengan kecepatan terbatas dengan

ditandai pada cara-cara produksi yang masih tradisional beserta

nilai-nilai sosial yang lama dan oleh lembaga-lembaga politik

kedaerahan.

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Take-off

Tahap ketiga disebut dengan tahap take-off. Pada tahap

ini, penghalang dan rintangan untuk pertumbuhan menuju

ekonomi masyarakat modern telah dapat diatasi. Aspek-aspek

yang menuju ke arah kemajuan ekonomi semakin mendominasi

kehidupan masyarakat.

Selama masa take-off, industri-industri baru berkembang

secara cepat dan menghasilkan keuntungan yang sebagian besar

diinvestasikan lagi untuk mendirikan industri baru.

Perekonomian bergerak pada eksploitasi potensi-potensi

kekayaan alam dan inovasi cara produksi untuk meningkatkan

produktivitas.

Teknik-teknik baru dalam produksi, diperluas pada sektor

pertanian maupun industri. Karena pertanian menjadi sektor

perdagangan yang menguntungkan, maka semakin banyak

petani-petani yang bersedia menerima cara-cara baru dan

perubahan yang sampai pada nilai kehidupan. Perubahan dalam

sektor pertanian ini merupakan kondisi yang penting bagi tahap

take-off. Hal ini berkitan dengan modernisasi akan merubah

tingkat pengeluaran masyarakat untuk hasil-hasil pertanian,

sehingga dalam periode waktu sepuluh atau dua puluh tahun lagi,

struktur ekonomi, sosial dan politik masyarakat akan berubah.

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Gerak menuju Maturity (Keadaan Matang)

Tahap keempat adalah tahap keadaan matang, di mana

pertumbuhan ekonomi yang teratur, bergerak menuju perluasan

teknologi modern ke seluruh sendi kegiatan ekonomi. Pada tahap

ini juga terjadi peningkatan pendapatan nasional dan 10 persen-

20 persen dari pendapatan nasional secara tetap diinvestasikan

untuk menjaga keteraturan produksi. Bangunan ekonomi selalu

berubah, selagi terus terjadi perbaikan teknik produksi.

Peran perekonomian nasional dengan perdagangan

internasional menjadi semakin terarah. Berkembangnya industri-

industri baru dengan perkembangan teknologi, akan mendorong

produksi barang-barang yang dulunya diimpor dari negara lain,

dan menggerakkan produksi barang baru yang laku diekspor.

Meskipun juga terjadi kebutuhan baru yang mesti diimpor dari

luar negeri.

Masyarakat berkembang menuju kesesuian yang berdasar

pada syarat-syarat sesuai dengan keperluan produksi modern

yang efisien. Tumbuhnya nilai-nilai dan lembaga-lembaga baru

untuk menggantikan nilai dan lembaga lama. Sehingga nilai-nilai

dan lembaga-lembaga lama yang ada di masyarakat bukan lagi

menghambat, tetapi bagaimana caranya agar hal itu dapat

menyokong proses pertumbuhan.

Tahap keadaan matang ini pada umumnya dicapai sekitar

60 tahun setelah masa take-off atau sekitar 40 tahun dari akhir

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masa take-off. Perekonomian yang sebelumnya dipusatkan dalam

kompleks industri dan teknologi yang relatif sempit, kemudian

diperluas bidangnya ke dalam proses-proses yang lebih halus dan

secara teknologi menjadi lebih rumit.

Perekonian dalam tahap keadaan matang menunjukkan

kondisi perekonomian yang sanggup untuk bergerak melebihi

industri-industri yang menggerakkan masa take-off, dan untuk

mengolah secara efisien sebagian besar atau seluruh kekayaan

yang ada. Pada tahap ini, dengan keahlian dan teknologi yang ada,

perekonomian akan berusaha menghasilkan bukan saja

semuanya, tetapi apa saja yang dipilih untuk diproduksi.

Perekonomian mungkin saja akan kekurangan barang mentah

sebagai bahan baku produksi tertentu, akan tetapi ketergantungan

ini merupakan suatu pilihan ekonomi atau prioritas politik, dan

bukan suatu keperluan teknologi atau kelembagaan.

5) Zaman Konsumsi Massal

Tahap paling tinggi adalah tahap konsumsi massal tinggi

atau high mass-consumtion. Pada tahap ini, sektor-sektor utama

dalam perekonomian bergeser ke arah barang-barang konsumen

yang awet dan produksi jasa.

Setelah masa maturity, terjadi kondisi di mana

peningkatan pendapatan perkapita meningkat menuju suatu titik

di mana sebagian besar orang memiliki penguasaan atas

konsumsi melewati kebutuhan akan makanan pokok, perumahan

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan pakaian. Selain itu, struktur kekuatan pekerja berubah

menuju kondisi di mana meningkatnya proporsi pekerja yang

bekerja dalam kantor-kantor (formal) atau pekerjaan yang

menuntut keahlian tinggi.

Sehingga pada tahap ini, struktur perekonomian berubah

dalam berbagai bidang, terutama pada bidang produksi dan

konsumsi. Bidang produksi semakin mengarah pada produksi

jasa. Dan pada konsumsi semakin menguat dengan sokongan

pendapatan yang semakin meningkat.

Pertimbangan faktor lokasi, ketersediaan dan harga tanah

dapat menjadi pertimbangan penting dari otoritas untuk

melakukan perencanaan pembangunan wilayah (Purnomo et al.,

2014).

Dilihat dari sudut pandang ekonomi, ukuran spasial kota

ditentukan oleh proses pasar yang teratur dan secara tepat dapat

mengalokasikan penggunaan lahan untuk keperluan pertanian dan

perkotaan (Brueckner & Fansler, 1983). Perekembangan masyarakat

dari masyarakat pedesaan yang bercirikan agraris menuju perkotaan

yang berbasis industri dan kota sering terjadi akibat urbanisasi dan

ekspansi perkotaan yang merubah struktur penggunaan lahan di

wilayah peri urban. Sehingga dapat dipahami jika wilayah peri urban

merupakan transisi desa-kota yang menyangkut perubahan gaya hidup

dan transformasi mata pencaharian dari pertanian ke non pertanian

(Yesiana, 2014).

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Industrialisasi

Proses industrialisasi secara global diketahui terjadi dalam

beberapa tahap. Revolusi industri pertama berlangsung sekitar tahun

1760-1840 yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Kemudian diikuti

pembangunan industri kereta api, pengembangan industri tekstil,

sektor manufaktur, dan produksi bahan tambang. Era revolusi industri

pertama ini membawa manusia menuju era produksi mekanis, di mana

produksi dari sektor industri mulai menerapkan mekanisasi

(menggunakan mesin) untuk menggantikan tenaga otot yang

sebelumnya menjadi tumpuan utama.

Revolusi industri kedua, dimulai akhir abad ke 19 hingga akhir

abad ke 20 dengan pemicunya adalah penemuan listrik serta

berkembangnya sistem perakitan. Revolusi industri kedua, membawa

manusia pada era produksi massal, di mana industri mulai

memproduksi barang secara massal untuk menekan biaya produksi

serta efisiensi sumber daya produksi. Era ini juga memicu globalisasi

yang memungkinkan kaburnya batas-batas territorial antar negara.

Kemudian revolusi industri ketiga utamanya didorong oleh

penemuan komputer dan sistem digital. Era revolusi industri ini

membawa sistem industri menuju sistem digital dan otomatisasi.

Penemuan komputer bingkai utama ditemukan pada tahun 1960an,

lalu komputer pribadi pada tahun 1970an dan 1980an serta

disempurnakan dengan penemuan internet pada tahun 1990an.

Dengan adanya internet ini, sistem komputer sederhana mampu

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terhubung satu sama lain yang membantu sistem produksi sektor

industri.

Kemudian yang saat ini adalah revolusi industri keempat, di

mana internet of thing (IoT) mendorong berbagai temuan baru.

Contohnya adalah sistem kendaraan otonom (tanpa awak pengemudi),

mesin pencetakan 3D, robot tingkat lanjut yang terhubung dengan

sistem cloud, teknologi blockchain, sharing economy, big data dan

perbaikan bidang medis dengan integrasi pada sistem robotic.

Perkembangan tersebut juga menggambarkan transformasi

struktur ekonomi dari yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian

menuju industri dan jasa (Peniarti et al., 2018). Kemudian juga

perubahan dari corak masyarakat agraris atau pedesaan menuju ciri

masyarakat urban perkotaan. Adanya fenomena urbanisasi, ekspansi

perkotaan dan berkembangnya wilayah peri urban menjadi salah satu

indikator pergeseran masyarakat yang berimbas pada konversi lahan.

Penggunaan lahan dengan demikian juga ikut bertransformasi guna

mendukung kebutuhan masyarakat.

McGee (1991) dalam Sodik & Iskandar (2007)

mengungkapkan bahwa industrialisasi menjadi kekuatan utama

(driving force) yang mendorong ubanisasi di kawasan Asia sejak

tahun 1980-an. Persinggungan antara pertanian dan industri yang

menjurus pada perebutan lahan di sekitar pusat kota semakin membuat

perbedaan desa dan kota menjadi kabur. Kemudian peningkatan

kebutuhan lahan untuk permukiman, infrastruktur dan pengembangan

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kawasan industri pada akhirnya meningkatkan konversi lahan

(Sumaryanto et al., 2002).

Beberapa pandangan yang mengkritisi proses industrialisasi

yang menggerus sektor pertanian seperti yang dijelaskan Elizabeth

(2007). Lahan yang notabene merupakan faktor produksi penting

dalam pertanian, namun prioritas pembangunan justru mengarah pada

proses industrialisasi. Proses ini pada akhirnya yang menyebabkan

perubahan pada struktur pemilikan lahan pertanian, pola hubungan

kerja dan struktur pendapatan petani di pedesaan. Perbedaan

kepentingan dalam alih fungsi lahan menurut Putri et al. (2018)

menjadikan sentiment negatif, karena ketidakberimbangan antara

kepentingan pembangunan dan kepentingan petani kecil.

c. Aglomerasi

Agglomeration economies merupakan eksternalitas dari kedekatan

geografis dari kegiatan ekonomi. Sehingga pada intinya adalah pada adanya

konteks konsentrasi spasial yang mewujudkan tercapainya skala ekonomi

dalam produksi. Kemudian adanya aglomerasi ini mendongkrak laju

pertumbuhan ekonomi (Baldwin & Martin, 2004; Bradley & Gans, 1998;

Malmberg & Maskell, 1997; Martin & Ottaviano, 2001)

Aglomerasi menurut teori klasik Parera (2018) menyatakan bahwa

munculnya aglomerasi dikarenakan pelaku ekonomi berupaya mendapatkan

penghematan aglomerasi, baik karena penghematan lokalisasi atau

penghematan urbanisasi. Aglomerasi di mana industri-industri berada dalam

satu lokasi yang berdekatan mencerminkan adanya sistem interaksi antara

pelaku ekonomi yang sama. Kemudian pendekatan ini dikembangkan

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan melihat aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dan dikaitkan

dengan penghematan aglomerasi melalui konsep ekternalitas. Penghematan

ini dibedakan menjadi internal dan eksternal serta penghematan akibat skala

ekonomis dan cakupan ekonomis (Parera, 2018).

1) Penghematan Internal dan Eksternal

Penghematan internal (internal economies) menunjukkan pengurangan

biaya dalam proses produksi suatu perusahaan atau industri.

Penghematan internal dapat diupayakan melalui peningkatan efisiensi

dan memperluas produksi. Sedangkan penghematan eksternal (external

economies) merupakan pengurangan biaya produksi akibat aktivitas di

luar lingkup perusahaan. Penghematan eksternal dapat diupayakan

dengan melakukan aglomerasi secara spasial dengan perusahaan lain di

suatu lokasi.

2) Penghematan akibat skala ekonomi dan cakupan ekonomi

Penghematan akibat skala ekonomi (economies of scale) didapatkan

perusahaan dengan cara meningkatkan output produksi. Hal ini karena

dengan peningkatan output, biaya rata-rata prooduksi akan menurun.

Hal ini mendorong pelaku usaha untuk memperbesar perusahaannya.

Sedangkan penghematan akibat cakupan ekonomi (economies of scope)

menunjukkan menunjukkan biaya produksi akan semakin murah

apabila produsen memproduksi berbagai barang secara bersama-sama

dibandingkan dengan memproduksi tiap-tiap barang secara sendiri-

sendiri.

Aglomerasi industri cenderung terjadi pada daerah di mana

kebutuhan industri mampu disokong oleh potensi dan kemampuan daerah

tersebut. Dengan demikian timbul manfaat pada pengurangan biaya karena

lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Dua poin dalam menentukan


60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

inovasi dan daya saing lokasi adalah keterampilan teknis dan kelancaran

informasi, serta aksesibilitas yang baik (Malecki, 1991).

Munculnya disparitas dalam pertumbuhan ekonomi daerah satu

dengan yang lain disebabkan karena sumber daya yang persebarannya tidak

merata. Sehingga konsentrasi industri hanya terjadi di beberapa daerah dan

memperoleh manfaat agglomeration economies(Sodik & Iskandar, 2007).

d. Teori Lokasi

1) Teori Lokasi von Thunen

Ide pokok dari teori ini yang berkaitan dengan pertanian

adalah petani yang lokasinya jauh dari pusat pasar atau kota harus

menempuh jarak yang jauh untuk menjual hasil produksinya. Hal

ini mengindikasikan betapa mahal lahan dengan lokasi yang

berada di dekat kota sebagai pusat pasar.

Harga sewa lahan pertanian akan berbeda tergantung pada

tata guna lahan tersebut. Dikaitkan dengan lokasi, lahan yang

berdekatan dengan pusat pasar atau kota akan mempunyai nilai

yang lebih mahal dibandingkan lahan yang berada jauh dari pusat

pasar atau kota. Sebabnya adalah karena semakin jauh dari pusat

pasar atau kota, maka akan semakin meningkatkan biaya

transportasi yang harus dikeluarkan untuk mengangkut hasil

produksi sektor pertanian (Setiyanto & Irawan, 2015).

2) Teori Lokasi Alfred Weber

Weber berpendapat bahwa pemilihan lokasi untuk

peruntukan industri didasarkan pada prinsip minimalisasi biaya.

Lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan


61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tenaga kerja di mana total dari keduanya harus minimum.

Sehingga menurut Weber, tiga faktor yang mempengaruhi lokasi

industri adalah biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan

kekuatan aglomerasi (Setiyanto & Irawan, 2015). Ketiga faktor

yang mempengaruhi lokasi industri diuraikan lebih lanjut sebagai

berikut.

a) Biaya Transportasi

Perbedaan biaya transpotasi menunjukkan perilaku produsen

yang cenderung menentukan lokasi industri dengan

pertimbangan penghematan biaya transportasi. Biaya

transportasi merupakan salah satu beban biaya penting yang

krusial dalam sistem produksi. Sehingga dengan menekan

biaya transportasi akan mampu mendorong tercapainya

efisiensi dan efektivitas produksi yang memperbesar margin

keuntungan.

b) Biaya Upah

Perbedaan biaya upah menunjukkan perilaku produsen yang

cenderung mencari lokasi industri di mana tingkat upah

tenaga kerja masih rendah. Di lain sisi, tenaga kerja mencari

lokasi kerja yang memberikan upah lebih tinggi sehingga

daerah yang memiliki upah tenaga kerja tinggi cenderung

mendorong konsentrasi migrasi tenaga kerja dan

terkonsentrasi di daerah tersebut. Pola ini kerap terjadi di

62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

daerah peri urban yang dekat dengan pusat kota atau daerah

yang dirancang sebagai pusat industri.

c) Aglomerasi

Aglomerasi menunjukkan keuntungan yang dapat diperoleh

perusahaan dengan memanfaatkan konsentrasi industri

secara spasial. Dengan melakukan aglomerasi, industri akan

mendapat banyak keuntungan. terutama dalam transportasi,

penyediaan bahan baku, dan pangangkutan hasil produksi.

3) Central Place Model theory

Teori ini diperkenalkan oleh Christaller (1933) yang

menjelaskan bagaimana susunan besaran kota, jumlah kota, dan

distribusi di dalam satu wilayah. Daerah konsentris dengan

berbagai penggunaan lahan berkembang menjadi hirarki

perkotaan dan memiliki pusat kegiatan ekonomi perkotaan.

Dalam model itu, Christaller mengembangkan model heksagonal

yang berasal dari perpotongan area melingkar. Setiap area

heksagonal memiliki pusat kota tersendiri dan ukuran pusat kota

tersebut tergantung pada ukuran area heksagonal (Purnomo et al.,

2014).

Christaller melanjutkan bahwa tanah yang postif adalah

tanah yang mendukung pusat kota. Pusat kota sendiri ada karena

perannya dalam penyediaan berbagai jasa penting yang harus

disediakan untuk lingkungan sekitar. Teori Christaller sering

digunakan untuk menentukan intensitas orang berpergian dari

63
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

satu lokasi ke lokasi lain. Dan menurut teori ini, lokasi yang

menarik minat besar untuk dikunjungi adalah tingkat lokasi

dengan karakteristik aksesibilitas yang mudah (Setiyanto &

Irawan, 2015).

4. Demografi dan Sosio Ekonomi Masyarakat

a. Penduduk dan Tenaga Kerja

Penduduk

Penduduk Usia Penduduk Di


Kerja Luar Usia Kerja

Bukan Angkatan Di Bawah Usia


Angkatan Kerja
Kerja Kerja

Sekolah, Ibu RT, Di Atas Usia


Bekerja Mencari Kerja
dll Kerja

Bekerja Penuh

Setengah
Menganggur

Gambar 2 1. Klasifikasi Penduduk

Gambar 2.1 menunjukkan klasifikasi penduduk di Indonesia

yang digunakan sebagai acuan Badan Pusat Statistik. Deskripsi dari

gambar 2.1 di atas adalah sebagai berikut.

64
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) Penduduk (Population)

Penduduk diartikan Badan Pusat Statistik sebagai semua orang

yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia dalam

kurun waktu minimal 6 bulan dan/atau semua orang yang

berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi mempunyai tujuan untuk

menetap. Klasifikasi penduduk kemudian masih dibagi lagi

menjadi penduduk usia kerja dan penduduk yang berada di luar

usia kerja.

2) Penduduk Usia Kerja (Working Age Population)

Penduduk usia kerja diartikan sebagai semua penduduk yang

sudah berusia 15 tahun atau lebih. Beberapa literatur

menambahkan bahwa penduduk usia kerja merupakan penduduk

yang berada pada usia produktifnya, yaitu pada usia 15-64 tahun.

Penduduk usia kerja dibagi menjadi angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja.

3) Penduduk di Luar Usia Kerja (Non Working Age Population)

Penduduk di luar usia kerja merupakan klasifikasi untuk

menggolongkan penduduk yang berusia di bawah usia kerja, yaitu

dibawah 15 tahun dan penduduk yang berusia 65 tahun atau lebih.

Kategori ini mencakup anak-anak, remaja, dan lansia.

4) Angkatan Kerja (Labour Force)

Angkatan kerja merupakan penduduk yang berada pada usia kerja

yang sudah bekerja (employment) ataupun yang sedang mencari

65
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kerja (unemployment). Unemployment dibagi menjadi yang

bekerja penuh (full employment) dan setengah bekerja.

5) Bukan Angkatan Kerja (Non Labour Force)

Bukan angkatan kerja merujuk pada penduduk yang berada pada

usia kerja tetapi tidak berniat untuk bekerja dan mencari

pekerjaan. Hal ini karena penduduk bukan angkatan kerja sedang

terikat pada kedudukan tertentu misalnya sabagai siswa,

mahasiswa, ibu rumah tangga, dan lain sebagainya.

6) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

TPAK adalah ukuran proporsi penduduk usia kerja yang

terlibat secara aktif di pasar tenaga kerja, baik dengan bekerja,

mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha. Ukuran ini

merupakan indikasi relatif dari pasokan tenaga kerja yang terlibat

dalam produksi barang dan jasa. Semakin tinggi nilai TPAK

menunjukkan semakin tingginya jumlah penduduk yang terlibat

aktif dalam pasar tenaga kerja. TPAK dihitung dengan

menyatakan jumlah orang dalam angkatan kerja sebagai

presentase dari penduduk usia kerja (15 tahun ke atas).

Ukuran dan kepadatan populasi menjadi penting karena dapat

menentukan permintaan akan pangan. Pangan dapat dijadikan proksi

untuk mengukur produk pertanian primer. Tingkat ekspansi perkotaan

secara proporsional terkait dengan pertumbuhan populasi.

Ketersediaan tenaga kerja adalah fungsi dari ukuran dan kepadatan

populasi (Veldkamp & Fresco, 1996). Terkait dengan alih fungsi

66
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lahan terutama pada lahan pertanian, analisis pada demografi suatu

wilayah menjadi penting.

Selain itu, adanya alih fungsi lahan menjadi daerah industri

memberikan dampak pembukaan lowongan kerja baru seperti buruh

pabrik dan membuka wirausaha warung makan serta ruko yang

menunjang kebutuhan buruh pabrik (Mahardika & Muta’ali, 2018).

Hasil penelitian Handayani (2018) mengenai dampak alih

fungsi lahan sawah pada buruh tani dan penyakap di Kota Padang

Panjang menunjukkan perubahan pendapatan tergantung dari

kecakapan buruh tani atau penyakap dalam mengelola aset rumah

tangganya. Buruh tani dan penyakap yang tidak mampu mengelola

aset rumah tangganya mengarah pada pekerjaan di sektor pertanian

karena minimnya keahlian di bidang lain. Sedangkan buruh tani atau

penyakap yang mempunyai keahlian lain selain di sektor pertanian,

memilih beralih pekerjaan ke sektor non pertanian yang memberikan

pendapatan lebih tinggi.

Alih fungsi lahan berdampak pada struktur tenaga kerja suatu

wilayah. Perubahan landscap wilayah peri urban dari daerah pertanian

ke daerah perumahan dan industri berpengaruh juga pada tenaga kerja

dan kesempatan kerja yang tersedia.

b. Urbanisasi

Urbaniasasi didefinisikan sebagai proses intensifikasi

pemukiman manusia dan aktivitasnya. Kemudian urban diartikan

sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik kehidupan perkotaan.

67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Urbanisasi dengan demikian juga merujuk pada pengembangan dari

faktor-faktor perkotaan tersebut (Goswami, 2018). Menurut Kerckhof

et al. (2016), fenomena migrasi merupakan kombinasi dari aspek

lingkungan, sosial, dan ekonomi yang menjadi pendorong perubahan

penggunaan lahan.

Firman et al. (2007) menyatakan bahwa urbanisasi tidak hanya

ditekankan pada aspek demografi karena terjadi juga perubahan sosial

ekonomi masyarakat sebagai bentuk transformasi dari kehidupan

pertanian dan pedesaan menuju industri dan perkotaan. Oleh karena

itu urbanisasi tidak hanya disebabkan oleh peningkatan populasi,

tetapi juga oleh peningkatan ekspansi ekonomi di kawasan industri,

aspek sosial dan penggunaan sumber daya lahan secara intensif

(Karuga, 1993, dalam Supriya et al., 2019). Perluasan lahan perkotaan

sendiri juga dikaitkan dengan penurunan intensitas penggunaan lahan

pertanian (Jiang et al., 2013).

Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan

mempercepat peningkatan kebutuhan akan ketersediaan pangan,

peningkatan kemiskinan, dan degradasi lingkungan. Padahal wilayah

peri urban yang terletak di sekitar kota mempunyai peran penting

dalam mendukung ketahanan pangan dan pencegahan degradasi

lingkungan (McGee, 2010).

Urbanisasi merupakan salah satu pendorong perubahan

penggunaan lahan yang paling tidak dapat diubah dan dilembagakan.

Urbanisasi menghasilkan perubahan pada tutupan lahan, sistem

68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hidrologi, biogeokimia, iklim, dan keanekaragaman hayati (Grimm et

al., 2008).

Schneider & Woodcock (2008) dari hasil penelitiannya

menunjukkan urbanisasi sebagai faktor utama penyebab alih fungsi

lahan. Kemudian pertumbuhan daerah urban ini diklasifikasikan

menjadi empat pola, yaitu Designated Expansive Growth, Frantic-

Growth, High-Growth, dan Low-Growth Cities. Mayoritas dari daerah

yang diteliti termasuk pada pola high growth atau low growth dengan

tingkat alih fungsi lahan yang tinggi. Oleh karena itu, urbanisasi

menghadirkan banyak tantangan bagi petani yang berada di pinggiran

kota (urban fringe) (Wu, 2008).

Sebenarnya urbanisasi menurut National Research Council

(2009) dalam Seto et al. (2011) juga memberikan dampak positif

seperti efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Selain itu tata kota

yang baik yang disertai kepadatan perumahan penduduk dan lapangan

kerja yang meningkat dapat mengurangi konsumsi energi, jarak

tempuh kendaraan, dan emisi karbon dioksida.

c. Urban Sprawl

Pembahasan mengenai urbanisasi tidak terlepas dari istilah

urban sprawl. Urban sprawl sendiri berbeda dengan urbanisasi.

Urbanisasi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan

fenomena perpindahan penduduk atau migrasi dari daerah pedesaan

menuju perkotaan. Sedangkan definisi urban sprawl sendiri belum

mapan, berbagai literatur menjelaskan definisi yang berbeda. Akan

69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tetapi dapat dikatakan bahwa secara umum, urban sprawl merupakan

fenomena pengembangan atau ekspansi wilayah perkotaan ke daerah

pinggiran kota atau wilayah peri urban. Ekspansi ini guna menunjang

aktivitas perkotaan yang sudah tidak tertampung lagi di wilayah

perkotaan.

Urban sprawl merupakan gejala perkembangan kota dari

berbagai aspek seperti peningkatan jumlah penduduk, ketergantungan

pada transportasi kendaraan bermotor, perubahan penggunaan lahan,

gaya hidup, pembangunan industri, dan lain sebagainya (Pereira et al.,

2014; Solecka et al., 2017; Widiawaty et al., 2018). Fenomena ini juga

terjadi seiring dengan alih fungsi lahan yang terkadang tidak

terkendali serta terjadi di wilayah pinggiran kota (Mujiandari, 2014;

Owoeye & Popoola, 2017).

Fenomena urban sprawl menurut Frenkel & Ashkenazi (2008)

juga disebut sebagai suburbanisasi, di mana terjadi perpindahan

penduduk kota ke daerah pinggiran kota untuk membuka lahan guna

perumahan. Gerakan ini sudah terjadi bahkan sejak akhir era industri,

dan sampai saat ini fenomena yang sama juga terjadi di seluruh

negara. Frenkel & Ashkenazi (2008) melanjutkan bahwa mengukur

urban sprawl dapat dilihat dari beberapa kelompok indikator, yaitu

growth rates, density, spatial geometry, accessibility, dan aesthetic

measures.

70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Urban sprawl menurut Ewing (1994, 1997) dalam Frenkel &

Ashkenazi (2008) dijelaskan dalam lima karakteristik, antara lain

sebagai berikut.

1) A scattered and discontinuous pattern of development

Menunjukkan wilayah dengan pola pembangunan yang tersebar

dan terputus-putus. Di antara penggunaan lahan tersebut terdapat

sisa ruang-ruang yang tidak terbangun di antara area terbangun.

2) Development of residential areas with low densities

Menunjukkan pengembangan daerah perumahan dengan

kepadatan rendah. Kemudian terjadi perluasan dari hunian

dengan membangun halaman rumah sehingga mengurangi ruang

terbuka publik.

3) Commercial strip development alongside the main transportation

axes

Menunjukkan pembangunan wilayah perdagangan yang berada

mengikuti jalur transportasi utama wilayah tersebut.

4) Segregation of land uses

Menunjukkan pemisahan penggunaan lahan antara area

perumahan dengan penggunaan lahan lain yang bercirikan

perkotaan.

5) Low accessibility and high dependency on private vehicles

Menunjukkan tingkat aksesbilitas yang rendah dan

ketergantungan yang tinggi pada penggunaan kendaraan pribadi

sebagai alat transportasi utama.

71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Peri Urban

Wilayah peri urban didefiniskan secara spasial dan fungsional

dalam hubungannya dengan daerah metropolitan dan daerah pedesaan

(Buxton et al., 2006 dalam Ives & Kendal, 2013). Yunus (2008)

menjelaskan bahwa wilayah peri urban merupakan zona peralihan,

baik pada aspek pemanfaatan lahan, karakteristik sosial dan

karakteristik demografi.

Sebagai zona peralihan, peri urban merupakan wilayah yang

menjadi lokasi interaksi antara wilayah perdesaan dan perkotaan

(Huang et al., 2011). Wilayah peri-urban juga merupakan zona

urbanisasi yang paling aktif karena pengaruh dari inti perkotaan

(Douglas, 2012; Frenkel & Ashkenazi, 2008). Goswami (2018)

mengungkapkan ciri daerah peri urban adalah daerah dengan

perumahan yang padat, banyaknya daerah komersial dan industri,

pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan konversi lahan yang lebih

dinamis.

Dalam kaitannya dengan perpindahan penduduk atau migrasi,

sebenarnya wilayah peri urban menghadapai dua kejadian sekaligus.

Pertama, urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari wilayah

pedesaan menuju perkotaan. Migrasi ini didasari atas berbagai alasan

seperti mencari pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Mereka

yang bermigrasi ke kota, akan cenderung memilih tinggal di wilayah

peri urban atau daerah pinggiran kota karena biaya tempat tinggal

yang lebih murah dan aksesibilitas yang baik menuju daerah kota.

72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Selain itu, migrasi juga bisa bertujuan untuk mencari penghidupan di

wilayah peri urban karena wilayah ini cenderung berkembang dan

penduduknya mulai padat. Kedua, wilayah peri urban juga

menghadapi masalah urban sprawl atau ekspansi wilayah perkotaan.

Pengembangan perkotaan ke daerah pinggiran sudah banyak terjadi di

berbagai kota di dunia. Ekspansi ini berkaitan dengan tingginya alih

fungsi lahan terutama lahan pertanian di wilayah peri urban untuk

menunjang pembangunan perumahan dan fasilitas penunjangnya,

daerah industri, dan lain sebagainya.

Yunus (2008) mengungkapkan bahwa wilayah peri urban

berada di antara the real urban dan the real rural urban, sehingga

terjadi percampuran dalam pemanfaatan lahan dengan ciri kota di

salah satu sisi dan ciri agraris di sisi yang lain. Sebagai wilayah

transisi desa-kota, wilayah peri urban menyangkut perubahan gaya

hidup dan transformasi mata pencaharian dari pertanian ke non

pertanian. Hal ini diduga dapat menurunkan produktivitas pertanian

akibat pergeseran mata pencaharian dan penggunaan lahan (Yesiana,

2014).

Teori Asiatica Euphoria oleh McGee (1991) dalam Yesiana

(2014) menjelaskan struktur tata ruang kota yang berada di Asia.

McGee kemudian membaginya menjadi enam komponen utama.

Komponen tersebut antara lain:

1) Major cities

2) Urban peripheries

73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Rural-urban

4) Dense populated rural

5) Sparsely populated frontier

6) Smaller cities and towns.

Berdasarkan perspektif lingkungan, wilayah peri urban

dicirikan oleh ekosistem yang heterogen yang terdiri atas natural

ecosystem, agro ecosystem, dan urban ecosystem. Selain itu juga

dipengaruhi oleh aliran sumber daya dan energi untuk keperluan

sistem kehidupan perkotaan dan pedesaan (Allen, 2003).

Sedangkan dari sudut pandang sosio ekonomi, wilayah peri

urban menurut Allen (2003) menunjukkan fenomena urbanisasi yang

berkesinambungan tetapi tidak merata persebarannya. Kemudian

disertai dengan munculnya spekulasi tanah dengan maksud

menggeser penggunaan tanah dengan produktivitas yang rendah

menuju penggunaan tanah dengan produktivitas yang lebih tinggi.

Komposisi sosial masyarakat peri urban sangat heterogen dan

cenderung dinamis yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Petani

kecil, pemukim informal, pengusaha industri dan penglaju kelas

menengah semuanya dapat hidup berdampingan di wilayah yang

sama, tetapi dengan minat, praktik, dan persepsi yang berbeda dan

seringkali bersaing.

Uraian di atas menjelaskan wilayah peri urban merupakan

pergeseran dari wilayah pedesaan menuju perkotaan. Sehingga peri

urban yang awalnya bercirikan daerah rural kemudian bergeser

74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menuju kehidupan urban. Lebih lanjut, karakteristik wilayah peri

urban yang telah dideskripsikan oleh Goswami (2018) yaitu sebagai

berikut.

1) Kerentanan lingkungan (Environmental vulnerability)

2) Pertumbuhan yang tidak terencana (Unplanned growth)

3) Perubahan penggunaan lahan (Land use land cover alteration)

4) Pergeseran mata pencaharian (Shifting of livelihoods)

5) Perubahan struktur sosial (Alteration of social structure)

6) Migrasi (Migration)

7) Kelalaian dalam administrasi (Neglect by administration)

8) Kurangnya kebijakan khusus (Lack of special policy)

Wilayah peri urban yang terletak di pinggiran kota dengan

lahan pertanian yang tersegmentasi dapat menyediakan banyak

manfaat bagi wilayah urban. Manfaat tersebut seperti water retention

capability, micro-climate control, conservation of visual quality, and

the supply of safe, fresh food (McGee, 2010; Yokohari et al., 2000).

Manfaat lain dari wilayah peri urban seperti mereduksi resiko

banjir (Malaque III & Yokohari, 2007; Yokohari et al., 2000), sebagai

daerah terbuka hijau (Ives & Kendal, 2013; Tassinari et al., 2013;

Zasada, 2011), dan sebagai sumber pendapatan bagi beberapa

lapangan pekerjaan khususnya bagi orang miskin (Bryld, 2003; Zezza

& Tasciotti, 2010). Sehingga dari segi lingkungan, wilayah ini sebagai

penyeimbang dari tren degradasi lingkungan yang pada umumnya

75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menjadi masalah utama dan sulit untuk ditangani di wilayah urban

(Douglass, 1998).

Selain itu, wilayah peri urban juga dapat menjadi kawasan

untuk rekreasi masyarakat perkotaan. Seiring dengan meningkatnya

leisure time, masyarakat perkotaan memilih menggunakan pedesaan

di sekitarnya untuk berbagai kegiatan, seperti lokasi rekreasi. Lokasi

rekreasi ini menjadi penting bagi masyarakat urban guna melepaskan

diri dari kepenatan dan meningkatkan kesehatan. Selain itu, area peri

urban juga sebagai area hijau yang menghasilkan udara segar (Antrop,

2004; Bell et al., 2007; de Vries et al., 2003; Zasada, 2011).

Pergeseran sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi di

wilayah peri urban tentu membawa dampak. Isu utama dalam wilayah

peri urban khususnya di negara-negara berkembang adalah adanya

alih fungsi lahan, perubahan tutupan lahan, dan hilangnya lahan sektor

pertanian (Simon, 2008). Permintaan lahan yang tinggi di wilayah peri

urban akan bedampak pada meningkatnya alih fungsi lahan (Malaque

III & Yokohari, 2007).

Penelitian Pribadi & Pauleit (2015) menunjukkan bahwa

meningkatnya permintaan akan perumahan di daerah pinggiran kota

mengakibatkan meningkatnya nilai lahan untuk kegiatan non

pertanian. Hal ini kemudian direspon dengan alih fungsi lahan

pertanian ke sekor non pertanian yang lebih menguntungkan, dan

terbentuklah wilayah peri urban.

76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian Rondhi et al. (2018) mencoba membandingkan nilai

ekonomi tanah di daerah pedesaan dan daerah perkotaan di Jawa

Timur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di daerah

pedesaan, lahan yang digunakan untuk pertanian menciptakan nilai

yang lebih tinggi, sedangkan di daerah peri-urban lahan akan

mencapai nilai tinggi jika digunakan untuk perumahan. Akan tetapi,

ketimpangan terjadi ketika lahan pertanian di pedesaan hanya

memiliki nilai 19 persen lebih tinggi dibandingkan perumahan,

sedangkan di wilayah peri-urban, perumahan mempunyai 790 persen

nilai yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan untuk pertanian. Hal

ini memberikan tekanan kuat pada lahan pertanian di pinggiran kota

untuk lebih cepat terkonversi menjadi non pertanian, karena memang

lebih menguntungkan.

5. Kebijakan Alih Fungsi Lahan

Sebagai sumber daya yang terbatas dan mempunyai peran vital

dalam kehidupan masyarakat, penggunaan lahan harus diatur dengan

kebijakan yang di keluarkan oleh otoritas berwenang. Meskpun hak

kepemilikan tanah dimiliki secara privat, tetapi penggunaannya harus

diatur agar tidak menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat

kebanyakan.

Menurut Lubowski et al. (2008) kebijakan publik berpengaruh

pada pemanfaatan lahan baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Konversi lahan pertanian pada umumnya menggunakan dasar

77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertimbangan ekonomis karena lebih menguntungkan. Regulasi dan

penerapan aturan konversi lahan seharusnya menjadi pedoman utama

untuk mencegah konversi lahan yang lebih besar (Prajanti, 2014).

Struktur politik menurut Veldkamp & Fresco (1996) mempunyai

peran yang sangat menentukan dalam penyusunan strategi penggunaan

lahan yang diterapkan pada suatu wilayah. Sehingga penyusunan

kebijakan diperlukan untuk menghindari perubahan penggunaan lahan

yang tidak diinginkan, terutama karena adanya tekanan pada

pembangunan infrastruktur yang dapat berdampak pada kerusakan

lingkungan (Goswami, 2018). Sehingga penerbitan kebijakan terkait

penggunaan lahan merupakan hal yang penting.

Cabanillas et al. (2012) menyarankan bahwa dalam penelitian

mengenai perubahan penggunahan lahan, peneliti harus dapat

mengeksplorasi bagaimana sistem agrarian yang ada dapat dipengaruhi

oleh sejarah kepemilikan tanah. Penelitian Lawry et al. (2017)

menyebutkan bahwa hak kepemilikan lahan meningkatkan produktivitas

pertanian dan pendapatan yang signifikan. Alih fungsi lahan dipengaruhi

oleh kepemilikan property right yang oleh Ojanen et al. (2017) disebutkan

antara lain seperti open access, public, private, atau community rights.

Berdasarkan penelitian, kepemilikan hak tersebut diduga mengarah pada

terjadinya deforestasi yang berdampak pada degradasi lingkungan dan

berkurangnya produktivitas hasil hutan. Akan tetapi, itu juga tergantung

dengan bagaimana kondisi ekonomi, lingkungan, politik dan sosial

masyarakat.

78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kebijakan penggunaan lahan dapat diwujudkan dalam berbagai

skema kebijakan. Robinson et al. (2005) menyatakan bahwa kebijakan

penggunaan lahan dalam bentuk zonasi, master plan, maupun batas

pertumbuhan (growth boundaries) dapat membantu menentukan bentuk

perkotaan dan juga menganalisa dampak selanjutnya. Tetapi, kebijakan

dalam bentuk penentuan batas pertumbuhan (growth boundaries) ternyata

tidak berjalan sesuai harapan seperti yang di tunjukkan di wilayah Seattle.

Batas pertumbuhan perumahan yang diterapkan pemerintah, ternyata

justru mempunyai konsekuensi yaitu mendorong pernyebaran perumahan

ke daerah pedesaan secara tidak teratur di luar wilayah yang telah

ditentukan.

Contoh kebijakan dalam pengelolaan lahan seperti di China dengan

penerapan Sloping Land Conversion Program (SLCP). Program ini

merupakan inisiasi pemerintah dengan kebijakan bersifat top down dan

mulai dijalankan pada tahun 1999. Program ini bermaksud untuk

mengurangi dampak degradasi lingkungan seperti erosi air dan tanah,

meningkatkan tutupan hutan, serta meningkatkan sektor pertanian dengan

konversi lahan curam ke pertanian produktif (Bennett, 2008).

Perubahan struktur perekonomian negara dari perencanaan terpusat

menuju ekonomi pasar sosial (social market economy) pada tahun 1990an,

mempercepat proses urbanisasi dan industrialisasi di China (Gu & Shen,

2003). Setelah itu berdasarkan penelitian Kuang et al. (2016), perluasan

wilayah perkotaan dan industri dipercepat dan merambah daerah sekitar

perkotaan. Daerah sekitar kota sendiri kebanyakan merupakan daerah

79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertanian yang produktif. Alih fungsi pada lahan pertanian produktif tentu

berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian. Penelitian Forleo et

al. (2017) menunjukkan di daerah Mt. Matese Area , Italia, konversi lahan

terjadi karena perubahan sistem pertanian.

Guna melindungi investasi pertanian yang sudah dikeluarkan

akibat konversi lahan pertanian, contohnya seperti penyusunan kebijakan

zonasi di kawasan urban fringe kota Metro Manila, Filipina. Kebijakan

tersebut mengatur kawasan barat laut sebagai zona pertanian karena nilai

lahan yang tinggi dan sistem irigasi yang baik. Sedangkan pengembangan

perumahan dan industri dijalankan di wilayah tenggara kota karena nilai

lahan pertanian yang rendah ( Malaque III & Yokohari, 2007). Sehingga

kebijakan yang diterbitkan juga perlu melihat bagaimana kondisi suatu

wilayah. Pemangku kebijakan perlu melalukan kajian yang mendalam

mengenai bagaimana potensi dan produksi utama dari daerah tersebut.

Kehilangan lahan pertanian yang produktif akibat alih fungsi lahan

merupakan fakta yang cukup merugikan. Selain kehilangan lahan

produktif tersebut, alih fungsi lahan pertanian produktif akan

menyebabkan hilangnya infrastruktur irigasi yang mempunyai nilai

investasi besar.

Kebijakan penggunaan lahan yang ada di Indonesia salah satunya

dengan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah

menjelaskan bahwa pemegang hak atas tanah wajib menggunakan dan

dapat memanfaatkan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),

80
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

serta memelihara tanah dan mencegah kerusakan tanah. Sehingga setiap

penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan harus mengikuti baku

standar yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) regional tersebut.

B. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu


No Peneliti, Tahun Judul Metode Analisis Hasil Penelitian
1. Purnomo, Factors and Spatial Pola Spasial dari
Sabekti, & Sari Spatial Pattern autocorrelation. harga tanah
(2014) Analysis of berdasarkan harga
Land Price pasar dan nilai
NJOP
menunjukkan pola
kluster di mana
polanya memiliki
autokorelasi positif.
Penelitian ini
mengkonfirmasi
bahwa faktor
aksesibilitas,
infrastuktur dan
fasilitas
mempengaruhi
harga tanah.
2. Rondhi et al. Agricultural Penghitungan Lahan pertanian
(2018) Land Land Economic menghasilkan
Conversion, Value (LEV) manfaat ekonomi di
Land Economic untuk sektor daerah pedesaan.
Value, and pertanian dan Di sisi lain
Sustainable non pertanian dibandingkan lahan
Agriculture: A pertanian,
Case Study in peruntukkan
East Java, perumahan di
Indonesia daerah urban
menghasilkan
mempunyai
manfaat yang lebih
tinggi. Lahan
pertanian akan
lebih
menguntungkan
jika dikonversi

81
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk penggunaan
non pertanian.
3. Mahardika & Dampak Alih Analisis statistik Faktor utama
Muta’ali (2018) Fungsi Lahan deskriptif penyebab alih
Pertanian kuantitatif fungsi lahan adalah
Menjadi Lahan harga jual yang
Terbangun tinggi. Naiknya
untuk Industri pendapatan
Terhadap masyarakat setelah
Kondisi Sosial menjual lahan
Ekonomi berbanding lurus
Masyarakat dengan
Sebagian bertambahnya
Wilayah pengeluaran
Kecamatan kebutuhan rumah
Ceper tangga. Perubahan
kondisi sosial
berupa tingkat
kerawanan
kecelakaan lalu
lintas bertambah
besar setelah terjadi
alih fungsi lahan.
4. Prasada & Rosa The Impact of Metode Alih fungsi lahan
(2018) Wetland surplus/deficit sawah
Conversion on pangan dan menyebabkan
Food Security in analisis stastistik hilangnya produksi
Daerah uji paired beras sebesar
Istimewa sample t test 18.359,27 ton
Yogyakarta selama periode
tahun 2006-2015.
Akan tetapi,
ketahanan pangan
penduduk tetap
terjaga meskipun
terjadi alih fungsi
lahan sawah. Uji t
menunjukkan
terdapat beda
signifikan tingkat
ketahanan pangan
penduduk antara
sebelum dan
sesudah terjadinya
alih fungsi lahan
sawah.
5. Widiawaty et al. Urban Sprawl Analisis Selama kurun
(2018) Typology identifikasi, waktu 13 tahun,
Analysis in karakteristik, kecenderungan
Bandung City dan klasifikasi urban sprawl
using dengan SIG meningkat ke
Geographic bagian timur Kota

82
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Information Bandung, karena


System memiliki kondisi
geografis yang
datar dan terdapat
CBD Jatinangor.
6. Cahya et al. Urbanization Deskriptif Pengaruh
(2018) and Land Use kuantitatif urbanisasi terhadap
Changes in Peri- dengan analisis perubahan
Urban Area spasial. penggunaan lahan
using Spatial di Wilayah Urban
Analysis Ciawi dari tahun
Methods (Case 2013 hingga 2015
Study: Ciawi adalah signifikan.
Urban Areas, Pengurangan lahan
Bogor Regency) pertanian sekitar -
4,00 persen dan
lahan basah sekitar
- 2,51 persen.
Meningkatnya area
untuk hotel / villa /
resort sekitar 3,10
persen.

83
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Berpikir

Fenomema Alih Fungsi Lahan di


Kabupaten Sukoharjo

Deskripsi dan interpretasi pola alih


fungsi lahan

Analisis penyebab terjadinya alih Analisis dampak dari alih fungsi


fungsi lahan lahan

Driving
Dampak
force 1
sektor 1

Driving
Dampak
force 2
sektor 2

Driving
Dampak
force 3
sektor 3

Driving Dampak
force dst sektor dst

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir

Penelitian ini berawal dari fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di

Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah yang terjadi secara masif akibat

dari perkembangan wilayah sebagaimana yang diuraikan dalam latar belakang.

Untuk mengetahui komponen alih fungsi lahan yang terjadi secara lebih luas

dan mendalam, maka diperlukan analisis untuk dapat membentuk pola dan

mendeskripsikannya guna memberi penjelasan tentang fenomena alih fungsi

lahan yang terjadi. Kemudian, selain pola, perlu diketahui juga alasan apa yang

84
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mendasari terjadinya alih fungsi lahan di Kabupaten Sukoharjo. Faktor yang

mendasari tentu jamak dan tidak hanya satu, maka diperlukan deskripsi dan

interpretasi untuk menjelaskan faktor yang mendasari alih fungsi lahan.

Selanjutnya diperlukan juga deskrpisi dan interpretasi atas dampak yang

ditimbulkan dari masifnya alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten

Sukoharjo.

85

Anda mungkin juga menyukai