Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daya Dukung Lahan

Dalam studi kapasitas produktif di Cina, daya dukung lahan berarti


“kapasitas produktif sumber daya lahan dalam kondisi hidup tertentu dan
mendukung populasi di bwah standar hidup tertentu” itu berisi empat
komponen utama ; kondisi produksi, produktivitas lahan, standar hidup, dan
batas populasi yang didukung. Daya dukung (carrying capacity) adalah daya
tampung maksimum lingkungan untuk diberdayakan oleh manusia. Dengan
kata lain populasi yang dapat didukung dengan tak terbatas oleh suatu
ekosistem tanpa merusak ekosistem tertentu.

Carrying Capacity merupakan kemampuan optimum lingkungan


untuk memberikan kehidupan yang baik dan memenuhi syarat kehidupan
terhadap penduduk yang mendiami lingkungan tersebut. Apabila kemampuan
optimum telah terpenuhi, sedangkan populasi cenderung meningkat maka
akan terjadi persaingan dalam memperebutkan sumberdaya. Untuk
mengurangi disparitas pemenuhan kebutuhan masing-masing individu akan
sumberdaya maka diperlukan sebuah teknologi yang dapat membantu
memperbesar kapasitas sumberdaya. Adanya konsep Carrying Capacity
berdasarkan sebuah pemikiran bahwa lingkungan mempunyai batas kapasitas
maksimum guna mendukung pertumbuhan populasi penduduk yang
berbanding lurus dengan azas manfaatnya.

Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief,
tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Arsyad, 2006). Lahan diperlukan
sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang diperguinakan oleh
manusia untuk melakukan segala macam kegiatan. Lahan merupakan
sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik unik: (1) luas relatif
tetap karena peruahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses
artifisial (reklamasi) sangat kecil; (2) memiliki sifat fisik (jenis batuan,
kandungan mineral, topografi,dsb) dengan kesusaian dalam menampung

1
kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Oleh karena itu lahan perlu
diarahkan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan yang paling sesuai dengan sifat
fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang
terus berkembang (Dardak,2005).

2.2 Daya Tampung Lahan


Konsep daya tampung menggunakan perbandingan atau standar yang ada
tentang kebutuhan lahan. Menurut Yeates (1980) dalam Muta’Ali (2012) daya
dukung lahan dapat diidentifikasi dari daya tampung dan dihitung berdasarkan
luasan fungsi lahan dibagi dengan jumlah penduduk eksisting dihitung dari
kebutuhan lahan per kapita.

Konsep daya dukung lingkungan meliputi 3 (tiga) faktor utama, yaitu :


a) Kegiatan/aktivitas manusia
b) Sumberdaya alam dan
c) Lingkungan
Kualitas lingkungan dapat terjagadan terpelihara dengan baik apabila
manusia mengelola daya dukung pada batas antara minimum dan optimum.
Daya dukung lahan dihitung dari kebutuhan lahan per kapita. Daya dukung
lahan dapat diketahui melalui perhitungan daya tampung lahan. Nilai yang
didapat dari hasil perhitungan daya tampung dapat digunakan sebgai acuan
untuk mengetahui kawasan mana saja yang berada pada kondisi ambang batas
yang masih dapat dimanfaatkan. Daya tampung lahan dihitung dengan
menggunakan variabel luasan fungsi lahan dibagi dengan jumlah penduduk
eksisting, dengan rumus sebagai berikut :

A = L/P

A = Daya Tampung Lahan


L = Luas Lahan (ha)
P = Populasi Penduduk (jiwa)
Apabila nilai daya dukung lahan tersebut melebihi nilai yang ditentukan
maka dikatakan populasi penduduk pada wilayah tersebut sudah melebihi
daya dukung lingkungannya (di luar ambang batas). Carrying Capacity/CC
(kapasitas daya tampung) merupakan kemampuan optimum lingkungan untuk
2
memberikan kehidupan yang baik dan memenuhi syarat kehidupan terhadap
penduduk yang mendiami lingkungan tersebut. Apabila kemampuan optimum
telah terpenuhi, sedangkan populasi cenderung meningkat maka akan terjadi
persaingan dalam memperebutkan sumberdaya (SD). Untuk mengurangi
disparitas pemenuhan kebutuhan msing- masing individu akan sumberdaya
(SD) maka diperlukan sebuah teknologi yang dapat membantu memperbesar
kapasitas sumberdaya (SD). Adanya konsep Carrying Capacity (CC)
berdasarkan sebuah pemikiran bahwa lingkungan mempunyai batas kapasitas
maksimum guna mendukung pertumbuhan populasi penduduk yang
berbanding lurus dengan azas manfaatnya.

2.3 Evaluasi Lahan

Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan
potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non
pertanian (Djaenudin et al., 2000 dalam Muhamad Yusuf Hidayat, 2006).

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan yang akan
dicapai untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang
sudah teruji. Hasil dari evaluasi lahan akan memberikan informasi atau arahan
penggunaan sesuai dengan keperluan. Pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan
kemampuannya akan mengakibatkan kerusakan-kerusakan lahan. Selain itu,
kerusakan lahan akan berdampak negatif terhadap masalah budaya, sosial, dan
ekonomi masyarakat. Hal ini dapat terjadi, misalnya seperti yang pernah terjadi di
Babilonia dan Mesopotamia, Euphrat dan Tigris (Sarwono Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2011).

Evaluasi lahan dilakukan agar perencanaan tataguna lahan dapat tersusun


dengan baik. Dalam perencanaan tataguna lahan, perlu diketahui terlebih dahulu
potensi dan kesesuaian lahannya untuk berbagai jenis penggunaan lahannya. Maka
dari itu, dengan dilakukannya evaluasi lahan dapat diketahui potensi lahan atau
kelas kesesuaian lahan atau kemampuan lahan untuk penggunaan lahan tersebut.

2.4 Permukiman

Kota pada awalnya permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami


perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial
ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah
3
sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa
pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana
kota dan peningkatan pelayanan perkotaan, bahkan yang terjadi justru sebagai
kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan
permukiman kumuh sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari
penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prinsip mereka harus hemat
dalam arti yang luas,yaitu hemat mendapatkan lahan pembiayaan pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sistem
strukturnya (Sobirin, 2001; 41).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan


Pemukiman. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Kawasan Permukiman merupakan sebidang tanah/lahan yang


diperuntukkan bagi pengembangan permukiman. Selain itu, daerah tertentu
yang didominasi lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat
tinggal yang dilengkapi dengan sarana, prasarana daerah dan tempat kerja
yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja guna mendukung
penghidupan, perikehidupan sehingga fungsi kawasan dapat berdayaguna dan
berhasilguna (Adisasmita, 2010).

Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya


permukiman berasal dari kata dalam bahasa inggris yang artinya adalah
perumahan dan kata human settlement yang artinya adalah permukiman.
Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta
prasarana dan sarana lingkungan perumahan menitikberatkan pada fisik atau
benda mati, yaitu house and land settlement. Permukiman memberikan kesan
tentang permukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya
di dalam lingkungan sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu
yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan
demikian perumahan atau permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dan sangat erat hubungannya pada hakikatnya saling melengkapi

4
(Kurniasih, 2007).

2.5 Daya Dukung Lahan Permukiman

Daya dukung wilayah untuk permukiman, dapat diartikan sebagai


sebagai kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan lahan permukiman
guna menampung jumlah penduduk tertentu untuk bertempat tinggal secara
layak. Dalam menyusun formulasi daya dukung wilayah untuk permukiman,
selain diperlukan besaran luas lahan yang cocok dan layak untuk permukiman
tetapi juga dibutuhkan standard dan kriteria kebutuhan lahan tiap penduduk.
(Muta’ali L. 2015)
Luas lahan yang sesuai untuk permukiman dapat didekati dengan
meggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan tataruang dan pendekatan
kemampuan lahan. Dengan pendekatan tata ruang, maka lahan
permukiman adalah area yang ada di dalam suatu wilayah, diluar kawasan
lindung dan terbebas dari bahaya lingkungan seperti banjir, tanah longsor,
instrusi air tanah, dan abrasi, serta berbagai macam ancaman bahaya
geologi lainnya. Meskipun demikian tidak semua areal yang sesuai untuk
permukiman dapat dikembangkan secara keseluruhan, melainkan harus
disediakan ruang untuk penggunaan yang lainnya. Buku pedoman kawasan
budidaya menyebutkan penggunaan lahan untuk pengembangan
perumahan baru terdapat sekitar 40%-60% dari luas lahan yang ada, dan
untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan karakteristik serta
daya dukung lingkungan.
SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan, menyebutkan tentang kebutuhan layak
(minimum) lahan untuk bangunan rumah yaitu 9,6 m2/orang dewasa, 4,8
m2/anak-anak dan 100 m2/kavling untuk maksimal 5 orang. Dengan
asumsi kebutuhan 100 m2/kavling dan tambahan 30% (tiga puluh persen)
dari luasan tersebut untuk tambahan fasilitas lingkungan permukiman,
maka idealnya adalah 130 m2 untuk maksimal 5 orang, atau 26 m2 tiap
orang.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
11/PERMEN/M/2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan
dan Permukiman menyebutkan mengenai kebutuhan ruang maksimal
5
penduduk yang lebih bervariasi menurut zona kawasan. Semakin tinggi
karakter perkotaan dan tingkat kepadatan, semakin kecil kebutuhan ruang
per kapita. Sebagai contoh, untuk menciptakan kondisi lingkungan
permukiman yang serasi, untuk zona perdesaan dibutuhkan 133
m2/kapita, zona pinggiran kota 80 m2/kapita, dan zona perkotaan 26
m2/kapita.
Formula yang dapat digunakan untuk menghitung daya dukung
wilayah untuk permukiman (Muta’ali, 2012) yaitu sebagai berikut.

𝐿𝑃𝑚/𝐽𝑃
DDPm= 𝑎
Keterangan:
DDPm = daya dukung permukiman

JP = jumlah penduduk
𝛼 = koefisien luas kebutuhan ruang/kapita (m2/kapita), menurut
SNI 03-1733-2004 sebesar 26 m2
LPm = luas lahan yang layak untuk permukiman (m2), areal yang
layak untuk permukiman adalah di luar kawasan lindung dan
kawasan rawan bencana.
Kisaran nilai indeks daya dukung permukiman adalah:
- Apabila DDPm > 1, artinya bahwa daya dukung permukiman tinggi,
masih mampu menampung penduduk untuk bermukim (membangun
rumah) dalam wilayah tersebut.
- Apabila DDPm = 1, bermakna bahwa daya dukung permukiman
optimal, terjadi keseimbangan antara penduduk yang bermukim
(membangun rumah) dengan luas wilayah yang ada.
- Apabila DDPm < 1, berarti bahwa daya dukung permukiman rendah,
tidak mampu menampung penduduk untuk bermukim (membangun
rumah) dalam wilayah tersebut.

2.6 Kriteria dan Batasan Teknis Kawasan Permukiman

Kriteria dan batasan teknis pemanfaatan kawasan permukiman :


a) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari
luas lahan yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan
dengan karakteristik serta daya dukung lingkungan;

6
b) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan
tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan
utilitas umum yang memadai;

c) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan


peruntukan permukiman dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan
aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang
sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;

d) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:

- Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 tentang


Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;

- Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang


cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan. Saluran
pembuangan air hujan harus direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas
curah hujan 5 tahunan dan daya resap tanah. Saluran ini dapat berupa
saluran terbuka maupun tertutup. Dilengkapi juga dengan sumur resapan
air hujan mengikuti SNI 03-2453-2002 tentang Tata Cara Perencanaan
Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan dan penanaman
pohon;

- Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun


kualitasnya.

- Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60 liter/orang/hari dan


sambungan kran umum 30liter/orang/hari;

- Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994


tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.

e) Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan permukiman yang


berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk
pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian serta
lokasi;

f) Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan permukiman


7
yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk
pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta
lokasi;

g) Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olahraga


di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana
yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lahan minimal, radius
pencapaian, dan kriteria lokasi dan penyelesaian.

h) Penyediaan sarana perdagangan dan niaga di kawasan peruntukan


permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian,
serta lokasi dan penyelesaian.

i) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang


Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan
kepada Pemerintah Daerah;

j) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik,


perlu dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung
Kota.

2.7 Kesesuaian Lahan untuk Permukiman

Tejoyuwono (1991) dalam (Muta’ali, 2012) mengilustrasikan


kesesuaian lahan dalam pengertian daya dukung, dimana dari perbandigan
antara daya dukung lahan (supply) dan nilai kemanfaatannya (demand) dapat
dinilai kelayakannya. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara daya dukung
lahan dan kemanfaatannya maka dapat mengakibatkan ketidakefisienan yang
berarti daya dukung telah terlampaui atau tidak efektif, karena tingkat
pemanfaatan masih jauh di bawah kemampuan daya dukung lahannya.
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk kondisi saat
ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian
lahan potensial).

8
Lahan diperlukan sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang
dipergunakan oleh manusia untuk melakukan segala macam kegiatan. Dalam
rangka mengoptimalkan fungsi lahan maka diperlukan tata guna lahan, yaitu
pengarahan penggunaan lahan sesuai kebutuhan manusia dan atau kebijakan
untuk memperoleh manfaat yang optimal secara berkelanjutan. Dalam tata
guna lahan juga terkandung makna menempatkan tiap kegiatan pada bagian
lahan yang berkemampuan sesuai dengan kegiatan tersebut. Oleh karena itu
terdapat dua pengukuran penting dalam analisis sumberdaya lahan, yaitu
kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan merupakan
spesifikasi kemampuan lahan, khususnya kecocokan suatu jenis lahan tertentu
untuk suatu macam penggunaan tertentu pula (Muta’ali, 2012).

Kawasan peruntukan permukiman harus dilengkapi dengan prasarana


dan sarana lingkungan, serta tempat kerja yang memberikan pelayanan dan
kesempatan kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan
sehingga fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Kawasan peruntukan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan untuk permukiman diantaranya


yaitu:

a) Topografi datar sampai bergelombang (lereng 0-25%);

b) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air
antara 60 liter/orang/hari-100 liter/orang/hari;

c) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi,
tsunami);

d) Drainase baik sampai sedang;

e) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/ pantai/ waduk/ danau/


mata air/ saluran pengairan/ rel kereta api dan daerah aman

9
penerbangan;

f) Tidak berada pada kawasan lindung;

g) Tidak terletak pada kawasan lindung budidaya pertanian/penyangga;

h) Menghindari sawah irigasi teknis.

Dari aspek jenis tanah, dapat digunakan indikasi awal pemanfaatan


lahan untuk permukiman, diantaranya yang pernah dihasilkan BPN (1995)
sebagai berikut (Muta’ali, 2013):

Tabel 2.1 Kriteria Jenis Tanah untuk Permukiman


No. Jenis Tanah Keterangan Untuk Permukiman

1 Latosol coklat tua Kurang peka terhadap erosi


kemerahan dan Latosol
coklat

2 Alluvial Tidak peka terhadap erosi, harus diperhatikan bila


direncanakan untuk permukiman

3 Mediteranian Tidak peka terhadap erosi, harus diperhatikan bila


direncanakan untuk permukiman

4 Aluvial kelabu dan coklat Tidak peka terhadap erosi


kelabuan

5 Aluvial hidromorf Tidak peka terhadap erosi, sesuai untuk


permukiman

6 Grumosol tua maupun Peka terhadap erosi, tidak sesuai untuk


kelabu permukiman, laju erosi cukup besar
membahayakan ekosistem, mengurangi daya
dukung lingkungan

Sumber: Muta’Ali, 2013.

Salah satu pedoman yang banyak digunakan perencana kota dalam


mengukur kemampuan lahan berdasarkan kondisi topografi adalah klasifikasi
kesesuaian lahan berdasarkan kondisi topografi adalah kesesuaian yang
dibuat oleh Mabberry (1972) seperti pada tabel berikut.

10
11
Tabel 2.2 Peruntukan Lahan berdasarkan Kondisi Topografi (Lereng)
Sudut Lereng (%)

No. Peruntukan
0-3 3-5 5-10 10-15 15-30 30-70 >70

1 Rekreasi umum X X X X X X X

2 Bangunan terstruktur X X X X X X X

3 Perkotaan X X X X

4 Jalan umum X X X

5 Sistem septik X X

6 Perumahan X X X X

7 Pusat perdagangan X X

8 Jalan raya X X

9 Lapangan terbang X

10 Jalan kereta api X

Sumber: Mabbery (1972) dalam Muta’Ali (2012)


Keterangan: x = sesuai untuk dikembangkan

Berdasarkan kriteria kemampuan lahan di atas, maka pengembangan


pemanfaatan ruang perkotaan dapat berpedoman pada:
1) Lahan dengan kemiringan 0-15%, merupakan lahan yang sangat cocok
untuk dikembangkan sebagai kawasan perkotaan. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan struktur lapisan tanah stabil, artinya tidak terdapat
suatu kemungkinan pergerakan tanah (longsor) yang dapat merusak atau
mengganggu bangunan/lingkungan sekitarnya, dan aman terhadap
bencana alam.
2) Lahan dengan kemiringan 15-40%, kurang cocok dikembangkan
sebagai kawasan perkotaan, karena mempunyai tingkat kewaspadaan
yang cukup tinggi terhadap bencana alam (longsor). Menurut Mabbery,
lahan dengan kemiringan >15% hanya dapat dikembangkan untuk

12
rekreasi umum dan bangunan terstruktur.

13
3) Lahan dengan kemiringan >40%, sangat tidak layak untuk
dikembangkan untuk kegiatan perkotaan, karena kemiringannya yang
cukup curam maka struktur lapisan tanahnya sangat tidak stabil. Selain
itu juga sangat rawan terhadap bahaya longsor, hal ini disebabkan oleh
aliran air yang ditimbulkannya sangat deras dan mengikis lapisan tanah
yang ada di sekitarnya terutama pada musim hujan.

Dalam pengembangan wilayah perkotaan, perlu dipertimbangkan faktor-


faktor limitasi selain aspek fisik dasar dan kawasan lindung (daya dukung
lingkungan), yaitu menetapkan pembatasan dan penertiban bagi ijin untuk
pembangunan perumahan skala besar pada lahan sawah irigasi teknis, serta
penetapan kawasan ruang terbuka hijau. Dengan demikian kebutuhan dan
penyediaan bahan makanan (padi) dapat tetap dipertahankan dan daya dukung
serta kenyamanan lingkungan dapat terjaga dengan baik.

2.8 Sistem Informasi Geografis


Aronoff (dalam Prahasta, 2009) menjelaskan Sistem Informasi Geografis
(Geographic Information System) adalah sistem berbasis komputer yang
digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. GIS
dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek dan
fenomena di lokasi geografis yang merupakan karakteristik penting untuk analisis.
Dengan demikian, GIS adalah sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
dalam menangani data referensi geografis seperti input, manajemen data, analisis
dan manipulasi serta output.
GIS juga dapat menggabungkan data, mengelola data, dan melakukan
analisis data yang pada akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat
digunakan sebagai referensi dalam membuat keputusan tentang masalah yang
berkaitan dengan geografi. Berikut beberapa manfaat GIS :
1. Inventarisasi Sumber Daya Alam. Melalui penerapan GIS, dapat
diidentifikasi tentang potensi alam yang tersebar di suatu daerah.
Identifikasi ini akan memudahkan pengelolaan sumber daya alam
untuk kepentingan banyak orang.
2. Manajemen Bencana. Ini berarti bahwa aplikasi SIG dapat digunakan
untuk mengelola rehabilitasi pasca bencana. Misalnya, ketika bencana
14
tsunami melanda Aceh dan Nias, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) menggunakan GIS untuk memetakan
kondisi saat ini dan menentukan prioritas pembangunan di lokasi yang
rusak paling parah.
3. Untuk Perencanaan Tata Ruang & Pengembangan Infrastruktur.
Manfaat dari teknologi SIG ketiga ini dapat mengambil banyak bentuk.
Mulai dari untuk analisis dampak lingkungan, daerah penyerapan air,
kondisi tata ruang kota, dan banyak lagi. Perencanaan tata ruang
menggunakan SIG akan mencegah banjir, kemacetan, infrastruktur dan
transportasi, hingga pembangunan perumahan dan perkantoran.
4. GIS dapat digunakan sebagai alat, baik sebagai alat utama interaktif
dan menarik dan bahan tutorial dalam upaya untuk meningkatkan
pemahaman, pembelajaran dan mengenai pendidikan lokasi, tata ruang
/ spasial, populasi dan ide-ide atau konsep geografis yang terdapat di
permukaan bumi juga data atribut yang menyertainya

2.9 Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu Dan Sekitarnya


Berdasarkan peta zona rawan bencana (ZRB) kota palu ada berapa definisi
sebagai berikut :
Tabel 2.3 Zona Rawan Bencana (ZRB) Kota Palu
Arahan Spasial Pasca
Zona dan Tipologi Definisi/Kriteria Bencana (Ketentuan
Pemanfaatan Ruang)

ZRB 4 (ZONA 4 L : Zona likuifaksi masif 1. Dilarang pembangunan


TERLARANG)
pasca gempa (Seperti kembali dan pembangunan
Kawasan Petobo, Balaroa, baru. Unit hunian pada zona
Jono Oge, Lolu dan Sibalaya) ini direkomendasikan untuk
di relokasi.
4 T : Zona sempadan pantai
2. Diprioritaskan
rawan tsunami minimal 100 –
pemanfaatan ruang untuk
200 meter dari titik pasang
fungsi kawasan lindung,
tertinggi (sempadan 100 m
RTH, dan monumen.
untuk Teluk Palu, kecuali di
Kel. Lere, Besusu Barat, dan
Talise, ditetapkan 200 m)

4 S : Zona Sempadan Patahan

15
Aktif Palu-Koro 0-10 meter
(Zona Bahaya Deformasi
Sesar Aktif)

4 G : Zona Rawan Gerakan


Tanah Tinggi Pasca Gempa
bumi

Zona Rawan Gempa Bumi


Tinggi
ZRB 3 (ZONA TERBATAS) 3 S : Zona Sempadan Patahan 1. Dilarang pembangunan
Aktif Palu Koro pada 10-50 baru fungsi hunian serta
meter fasilitas penting dan berisiko
3 L : Zona Rawan Likuifaksi tinggi (sesuai SNI 1726,
Sangat Tinggi antara lain rumah sakit,
3 T : Zona Rawan Tsunami sekolah, gedung pertemuan,
Tinggi (KRB III) di luar stadion, pusat energi, pusat
sempadan pantai telekomunikasi)
3 G : Zona Rawan Gerakan
2. Pembangunan kembali
Tanah Tinggi
fungsi hunian diperkuat
Zona Rawan Gempabumi
sesuai standar yang berlaku
Tinggi
(SNI 1726)
3. Pada kawasan yang
belum terbangun dan berada
pada zona rawan likuifaksi
sangat tinggi maupun rawan
gerakan tanah tinggi,
diprioritaskan untuk fungsi
kawasan lindung atau
budidaya non-terbangun
(pertanian, perkebunan,
kehutanan)

16
ZRB 2 (ZONA 2 L : Zona Rawan Likuifaksi 1. Pembangunan baru harus
BERSYARAT) Tinggi mengikuti standar yang
berlaku (SNI 1726).
2 T : Zona Rawan Tsunami
2. Pada zona rawan tsunami
Menengah (KRB II)
dan rawan banjir, bangunan
2 G : Zona Rawan Gerakan
hunian disesuaikan dengan
Tanah Menengah
tingkat kerawanan
2 B : Zona Rawan Banjir
bencananya.
Tinggi
3. Intensitas pemanfaatan
Zona Rawan Gempabumi
ruang rendah
Tinggi
ZRB 1 (ZONA 1 L : Zona Rawan Likuifaksi 1. Pembangunan baru harus
PENGEMBANGAN) Sedang mengikuti standar yang
berlaku (SNI 1726).
1 T : Zona Rawan Tsunami
2. Intensitas pemanfaatan
Rendah (KRB I)
ruang rendah-sedang.

1 G : Zona Rawan Gerakan


Tanah Sangat Rendah dan
Rendah
1 B : Zona Rawan Banjir
Menengah dan Rendah
Zona Rawan Gempabumi
Tinggi

Sumber : Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu Dan Sekitarnya (Alternatif 1)

17
2.10 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian “Evaluasi Daya


Dukung dan Daya Tampung Lahan Permukiman Di Kecamatan Tawaeli
Pasca Bencana” antara lain yaitu :

Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu


Metode
No Nama penulis Judul penelitian Hasil
penelitian

1 (Bambang Evaluasi Daya Untuk mendapatkan kesesuain Metode


Suharto, Dukung Dan Daya lahan untuk permukiman, kuantitatif
Bambang Tampung Ruang sehingga dapat diketahui
Rahadi , Ari Permukiman Di Kota kesesuain lahan untuk
Sofiansyah, Kediri permukiman pada masing-
2016) masing area yang diidentifikasi
2 (Marsela Daya Dukung bertujuan menghitung daya Metode
Pantow, Permukiman Dalam dukunglingkungan Deskriptif
Ingerid Konsep permukiman dalam
Moniaga, Pengembangan perencanaan tata ruang yang
Esli Wilayah Di berorientasi pada masa yang
Takumnsan Kecamatan Langowan akan datang dengan
g, 2018) Timur memperhatikan kaidah-kaidah
lingkungan dan sumber daya
alam yang berkelanjutan.
3 (Kuswara, Daya Dukung Lahan untuk memberikan pemahaman Metode
2013) Untuk Pengembangan yang mendalam mengenai Kuantitati
Perumahan Di Pulau kondisi dan pengaruh f
Panggang, Pulau karakteristik daya dukung
Pramuka, Pulau lingkungan dalam mendukung
Kelapa Dan Pulau pembangunan di satu sisi
Tunda (Land Carrying namun menjadi faktor
Capacity for Housing pembatas untuk pembangunan
Development at itu sendiri pada sisi lainnya.
Panggang, Pramuka,
Kelapa and Tunda
Island)
4 (Runtukahu Daya Dukung dan Untuk mendapatkan Metode
Pricylia Daya Tampung Lahan peruntukan kawasan lahan Deskriptif
Maria, di Kecamatan yang efektif sehingga bisa di

18
Sangkrtadi, Malalayang Kota fungsikan sbagai kawasan
Suryadi Manado permukiman atau kawasan
Supardjo, budidaya untuk mendukung
2018) daya tampung yang semakin
padat.
Sumber : Penulis, 2021

19
2.11 Kerangka Pikir

Judul Penelitian

Evaluasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lahan


Permukiman di Kecamatan Tawaeli Pasca Bencana

Latar Belakang

Permukiman yang dibangun pada lahan yang tidak


sesuai dengan yang seharusnya dapat memunculkan
permasalahan terkait keseimbangan antara kebutuhan
dan ketersediaan lahan.

Permasalahan

1. Berapa luas lahan yang sesuai untuk dijadikan sebagai lahan


permukiman pasca bencana di Kecamatan Tawaeli?

2. Bagaimana daya dukung serta Daya Tampung untuk lahan


permukiman pasca bencana di Kecamatan Tawaeli?

Tujuan Penelitian

Mengetahui daya dukung untuk permukiman pasca


bencana di Kecamatan Mantikulore
Metode Penelitian

Kuantitatif Deskriptif

Analisis

Kesesuaian Lahan Proyeksi Penduduk

Hasil

Evaluasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lahan


Permukiman di Kecamatan Tawaeli Pasca Bencana

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian


Sumber : Hasil Analisis Penulis, 2021

20

Anda mungkin juga menyukai