Anda di halaman 1dari 25

I

Pendahuluan

Masyarakat Melayu seperti Deli, Langkat,


Asahan, Batubara, Tanjung Balai dan lainnya yang
tersebar dan mendiami Sumatera Utara memiliki
rangkaian tradisi atau upacara tradisional yang sering
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu
upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup,
keagamaan, maupun upacara tradisional lainnya yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Kebiasaan dan ketetapan corak kehidupan
kelompok manusia tidak hanya ditentukan oleh sifat
saling respons sesama mereka saja, tetapi juga
ditentukan oleh kesatuan dengan alam atau kebiasaan
sikap terhadap alam di tempat manusia itu tinggal dan
berusaha mencari kehidupan. 1 Dalam hal ini alam
beserta isinya merupakan sumber kehidupan bagi
manusia, dan dituntut untuk terus berusaha dan
berupaya memanfaatkannya serta mengolahnya sebagai

1
Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” Kepimpinan Adat Perkawinan
Melayu Melaka. (Melaka : Seni Institut Melaka).

1
kebutuhan hidup sehari-hari. Pengolahan hasil alam
tersebut tentunya berdasarkan pada kebiasaan/tradisi
yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat.
Tradisi yang berkembang dalam suatu kelompok
masyarakat akan dipengaruhi oleh lingkungan sebagai
tempat suatu kelompok masyarakat itu menetap dan
menjalankan kehidupannya. Jika suatu kelompok
masyarakat yang tinggal sekitar laut (masyarakat
pesisir), maka masyarakat tersebut akan
menggantungkan hidupnya kepada laut artinya sumber
mata pencaharian meraka adalah nelayan, sehingga
dalam kesehariannya masyarakat tersebut akan
berhubungan dengan aktivitas kenelayanan yaitu:
menangkap ikan, mengolah ikan dan sebagainya,
tentunya berdasarkan pada adat dan tradisi-tradisi yang
ada dalam masyarakat setempat.
Sama juga halnya dengan masyarakat yang
tinggal di daratan atau di sekitar hutan atau
pegunungan, tentunya masyarakat akan
menggantungkan hidupnya pada sawah, ladang,
hutan/pegunungan dengan segala kekayaannya
sehingga mereka bermata pencaharian sebagai petani.

2
Dalam kesehariannya, masyarakat tersebut akan
bercocok tanam, baik itu di sawah maupun di ladang
bahkan hutan sekaligus dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan segala aktivitas
bertaninya, masyarakat juga akan berpedoman pada
tradisi yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, baik masyarakat
nelayan atau pun masyarakat petani memiliki beberapa
tradisi atau adat yang berlaku dalam kehidupannya.
Dalam melaut, terdapat adat dan tradisi yang
berhubungan dengan laut, seperti jamu laut dan adat
kelautan lainnya. Begitu juga halnya dengan
masyarakat petani, memiliki tradisi yang berhubungan
dengan bertani, seperti upacara membuka lahan/hutan,
upacara turun sawah, hingga upacara panen dengan
mengandalkan pengetahuan lokal dari suatu kelompok
masyarakat tertentu.
Pengetahuan lokal adalah konsep-konsep yang
bersumber dari fakta-fakta dan hukum-hukum sosial
yang diwariskan secara kultural membentuk perilaku.
Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman adaptasi
secara aktif diwariskan secara turun temurun menjadi

3
kearifan lingkungan yang terbukti secara efisien dalam
pelestarian fungsi lingkungan dan penciptaan
keserasian sosial. Kearifan tentang lingkungan tersebut
diwujudkan dalam bentuk ide (norma, nilai, mitologi,
dan cerita rakyat), aktivitas sosial (interaksi sosial,
upacara adat keagamaan, pola permukiman) dan
teknologi pengelolaan lingkungan yang berupa
peralatan. 2
Masyarakat Langkat merupakan salah satu
masyarakat yang berhubungan dengan keduanya
(nelayan dan petani) yang dalam prosesnya
berpedoman pada pengetahuan lokal yang dimilikinya.
Salah satu tradisi yang pernah berkembang dalam
masyarakat Langkat yang berhubungan dengan bertani
dan bercocok tanam adalah tradisi Mulaka Ngerbah.
Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang
berkembang dan dilakukan oleh masyarakat Melayu
khususnya di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera

2
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. (Yogyakarta. Penerbit KANISIUS
(Anggota IKAPI).1992:

4
Utara yang berkaitan dengan mata pencaharian dalam
upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

5
II
Tradisi Mulaka Ngerbah (membuka lahan)

a. Mengenal Tradisi Mulaka Ngerbah


Manusia merupakan mahkluk yang mulia, yang
dianugerahi akal dan pikiran oleh Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga dengan akal dan pikiran tersebut manusia
dapat menjalankan kehidupannya. Manusia
menggunakan akalnya untuk berpikir bagaimana dia
bertahan hidup dan apa yang harus dilakukannya untuk
dapat mejalankan kehidupannya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia akan mengandalkan kemampuan yang
dimiliki, manusia akan menjadikan alam sebagai
sumber kehidupannya. Dengan demikian manusia akan
menggatungkan kehidupannya pada sumber daya alam
yang ada disekelilingnya. Manusia akan bekerja dan
berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, salah satunya adalah bercocok tanam.
Alam dengan segala ketentuannya memiliki
beberapa musim yaitu musim panas dan musim hujan.
Kondisi seperti ini membuat perilaku manusia dalam
menetapkan perilakunya dalam hal bercocok tanam.
6
Untuk itu manusia akan berpedoman pada tradisi yang
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat yang
merupakan warisan dari leluhurnya.
Tradisi dalam pengertian yang paling sederhana
adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah. 3
Berkaitan dengan hal tersebut, masyarakat
Melayu memiliki rangkaian tradisi dalam upaya
pemenuhan kebutuhan hidupnya dan dalam hal ini
adalah bertani sebagai sumber mata pencahariaannya.
Selain sebagai nelayan, masyarakat Melayu juga
bermatapencaharian sebagai petani. Sehingga terdapat
tradisi yang berlaku, yang dipedomani oleh masyarakat
Melayu.

7
Salah satu tradisi yang dahulu sering dilakukan
oleh masyarakat tersebut yaitu tradisi Mulaka Ngerbah,
sebuah tradisi yang dilakukan untuk membuka hutan
sebagai lahan pertanian yang digunakan untuk bercocok
tanam dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Secara bahasa, Mulaka dapat diartikan memulai,
permulaan sedangkan ngerbah berasal dari kata
rebah/merebahkan badan/tiduran. Secara harfiah
mulaka ngerbah mengandung arti permulaan
merebahkan pohon-pohon dihutan atau menebang kayu
membuka hutan untuk dijadikan sebagai area
perladangan/persawahan.
Orang-orang yang terlibat dalam tradisi ini adalah
penghulu desa/ketua adat, pawang dan masyarakat yang
terdiri satu kelompok masyarakat yang akan membuka
hutan tersebut. penghulu berperan untuk memberikan
petuah dan nasehat supaya masyarakat yang hendak
membuka hutan tersebut tetap bekerja sesuai dengan
adat dan budaya yang berlaku, pawang berperan untuk
memimpin upacara membuka hutan dengan segala
ketentuannya dan masyarakat adalah sekelompok orang

8
yang bekerja membersihkan hutan untuk dijadikan
lahan pertanian.
Menurut salah satu narasumber menyebutkan
bahwa:4
“Luas dari area hutan yang akan dijadikan
lahan pertanian adalah sekitar emapat sampai dengan
lima rantai, satu rantai memiliki ukuran sekitar 25 x 25
meter. Dan satu hal yang unik dalam upacara ini yaitu
ketika membersihkan hutan terdapat tikus-tikus yang
menetap di area hutan dan tikus-tikus tersebut tidak
dibunuh, melainkan ditangkap dan dibisikkan dengan
kata-kata sebagai berikut: tanah ini akan ditanami
tanaman, jangan diganggu ya, cari makan ditempat
lain saja, nanti akan ada kami tinggalkan jatah
untukmu” dan hal tersebut terbukti tikus-tikus tersebut
akan pergi tanpa mengganggu tanaman ditanami oleh
para petani tersebut”.

Dalam tradisi mulaka ngerbah ini terdapat dua


tahapan yang harus dilakukan oleh para petani, yaitu:5
1. Njamu tanah berarti memberikan persembahan
kepada penguasa hutan jembalang tanah. tahapan
njamu tanah, merupakan tahapan pemberian
persembahan kepada kepada para penguasa hutan
atau dalam istilah lokal disebut dengan jembalang

4
Hasil wawancara dengan budaywan Langkat tahun 2019.
5
Zainal Arifin Aka, 2009. Adat Budaya resam Melayu Langkat. (Medan.
Mitra Medan). Hlm 89.
9
tanah. Biasanya masyarakat yang akan membuka
hutan yang unutk dijadikan sebagai ladang
bercocok tanam akan menyembelih ayam,
kambing atau kerbau sesuai dengan kemampuan
dari masyarakat yang akan melakukan tradisi
tersebut.
2. Ngerbah hutan, berarti merebahkan/ menebang
pohon dalam hutan serta membersihkan areanya
untuk dijadikan lahan pertanian yang dilakukan
oleh sekelompok masyarakat.
Dalam pelaksanaan tradisi tersebut, masyarakat
harus menyiapkan beberapa peralatan yang dibutuhkan
seperti: Kayu simpur (bulat), tempurung agam (batok
kelapa), kain bekas perahu, paku dan labu air yang
sudah kering ( untuk dijadikan sebagai wadah air). Dan
bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan tradisi ini
adalah sebagai berikut: ayam/kambing, pulut kuning,
telur ayam kemiri, sirih, abu dapur, kemenyan dan daun
tepung tawar.6

6
Dokumentasi Warisan Budaya Tak Benda Suku Melayu BPNB Aceh
tahun 2013.
10
Setelah peralatan tersedia, maka proses
pelaksanaan upacara tersebut dapat segera dilakukan
yang dipimpin oleh seorang pawang. Upacara dimulai
dengan memotong seekor ayam jantan atau kambing
(sesuai kemampuan masyarakat) yang sebelumnya
sudah disiapkan sebuah lubang untuk menampung
darah hewan sembelihan dan menanam kepala, kaki,
buntut dan isi perut hewan yang disembelih. Kayu
simpur ditancapkan ke tanah dekat dengan lubang
penyembelihan tadi dan digunakan sebagai tempat
untuk menggantungkan telur dan pulut kuning yang
sudah dibungkus dengan kain dan abu dapur yang
sudah ditaruh dalam tempurung untuk dibakar dan
diikat dibawah bungkusan telur tadi (sebagai
persembahan unutk Jembalang sang penunggu hutan).
Setiap yang hadir dalam upacara terebut melakukan
tepung tawar dan pawang mengunyah sirih yang
kemudian disemburkan ke kiri, kanan dan depan sambil
membacakan mantera, seperti: 7

7
Ibid, Hlm 90.
11
Assalammualaikum, alaikumsalam
sedang tetap, sedang mukmin
sedang osali, sedang olias, hai siti Fatimah
Siti salamah, Siti Saodah, Siti Aisyah
aku mau buka hutan ini, tolong peliharakanlah,
Allah berkat.

Bismillahirahmanirahim
Tepung tawar siteping hati
Tepung tawar terletak disini
Tepung tawar sudah menjadi
Berkat Nabi Allah Sulaiman

Selain bacaan mantra, dalam tradisi tersebut


terdapat juga syair dedeng yang dikenal dengan Dedeng
Padang Reba seperti berikut ini:8
Kalau hutan ini boleh kami jadikan tempat
perladangan kami, tolong diberi tanda supaya kami
tidak mendapat halangan, perkenankan kami mencari
nafkah di tempat ini dan berikan rezeki, maka pertanda
kampak ini tetap berada di kayu ini. Tetapi seandainya
pohon ini tidak boleh kami tebang, berilah tanda
kepada kami supaya kami berpindah ke tempat lain,
pertanda parang atau kampak ini lepas dari pohon
kayu ini.

Selanjutnya dilakukan tahapan kedua yaitu


ngerbah hutan. Dalam tahapan ini seklompok

8
https://media.neliti.com/media/publications/178248-ID-dedeng-
nyanyian-upacara-turun-ke-ladang.pdf, diunggah 15 April 2020.
12
masyarakat secara bergotong royong melakukan
penebangan pohon-pohon di area yang telah dipilih
untuk dijadikan lahan pertanian. Kegiatan tersebut
dilkuakn lebih kuran sekitar satu minggu hingga lahan
tersebut dapat ditanami tanaman khususnya tanaman
padi.
Setelah rangkaian pelaksanaan tradisi mulaka
ngerbah selesai dilaksanakan, akan dilanjutkan dengan
tradisi berikutnya yaitu proses pembibitan yang dikenal
dengan upacara turun bibit (mulaka nukal). Kemudian
dilanjutkan dengan Jamu Ladang dan upacara
mengetam/mengirik padi dengan tahapan
pelaksanaannya yang berbeda pula.

13
b. Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mulaka
Ngerbah.
Tradisi merupakan warisan budaya yang berupa
kebiasaan suatu kelompok masyarakat yang diwariskan
secara turun teurun oleh para leluhurnya. Baik itu yang
masih dilaksnakan, yang sudah jarang dilaksanakan
bahkan yang sudah tidak pernah dilakukan lagi.
Keberadaan sebuah tradisi dalam suatu kelompok
masyarakat dapat kita lihat dari nilai yang terkandung
dalam tradisi itu sendiri. Sehingga tradisi menjadi
pedoman bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas
hidupnya.
Melihat dari proses dan tujuan yang ada dalam
tradisi mulaka ngerbah, terdapat beberapa nilai
didalamnya yaitu:
1. Nilai Gotong Royong, yaitu merupakan
kepribadian dan budaya masyarakat Indonesia
yang sudah mengakar dalam kehidupan
masyarakatnya. Gotong royong sudah mendarah
daging dalam sendi kehidupan masyarakat
Indonesia pada umumnya, begitu juga halnya
dengan masyarakat Langkat. Dalam kehidupan

14
masyarakat Langkat. Dalam beraktivitas baik itu
untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan
dilakukan secara gotong royong, seperti
malaksanakan suatu hajatan, membangun rumah,
menjaga lingkungan, bertani dan kegiatan
kemasyarakatan lainnya. Seperti yang terjadi
dalam masyarakat Langkat yaitu dalam hal
membuka lahan pertanian yang nantiya akan
digunakan sebagai lahan untuk bercocok tanam.
Banyak hal yang dilakukan dalam aktivitas
tersebut, mulai dari menyiapkan upacaranya
hingga membersihkan hutan yang dilakukan
secara bergotong royong. Gotong royong
menjadikan suatu hal menjadi lebih ringan dan
cepat selesai untuk suatu pekerjaan. Gotong
royong menjadikan sebuah hubungan yang
harmonis, penuh dengan kebersamaan. Gotong
royong ini masih dipertahankan oleh masyarakat
karena selain menguntungkan bagi suatu
kelompok masyarakat juga menumbuhkan rasa
persaudaraan yang senasib dan sepenanggungan.
Tradisi mulaka ngerbah yang berkembang dalam

15
masyarakat Langkat, dilakukan secara gotong
royong, yaitu mulai dari menyiapkan bahan
upacara, hingga proses menebang pohon atau
membersihkan hutan hingga bisa digunakan
sebagai lahan untuk bercocok tanam.
2. Nilai Spiritual; yaitu adanya kepercayaan
masyarakat terhadap segala sesuatu yang terjadi
dalam kehidupannya adalah campur tangan dari
Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan kehendak-
Nya segala sesuatu di dunia akan terjadi. Seperti
yang terdapat dalam tradisi Mulaka Ngerbah ini.
Masyarakat melakukan suatu upacara dengan
beberapa rangkaian tahapan pelaksanaannya
sebagai upaya pengharapan kepada Sang Pencipta
untuk diberikan segala kemudahan dan
kelancaran dan dijauhkan dari segala malapetaka,
gangguan dan ancaman lainnya, sehingga usaha
yang dilakukan membuahkan hasil yang
maksimal, dalam hal ini hasil panen yang
berlimpah. Seperti yang terdapat dalam mantera
Mulaka Ngerbah ini.

16
3. Nilai Kepercayaan Masyarakat Terhadap
Pengetahuan Kosmik, yaitu: dahulu para leluhur
kita masih percaya dengan adanya dunia kosmik,
masyarakat masih percaya selain dengan
kehidupan dunia yang fana ini, kita juga hidup
berdampingan dengan mahkluk lainnya yang
tidak nampak oleh kasat mata. Seperti yang
terdapat dalam tradisi Mulaka Ngerbah, di mana
dalam tradisi tersebut terdapat kepercayaan
masyarakat akan adanya makhluk lain yang hidup
berdampingan dengan kehidupan mereka. hal ini
terlihat adanya persembahan yang disajikan untuk
penunggu hutan (jembalang) yang dianggap ada
oleh masyarakat setempat supaya proses
membuka hutan berjalan lancar, dan jembalang
yang hidup di hutan tersebut dapat pergi dan
menetap di hutan lainnya. Masyarakat tersebut
percaya adanya makhluk lainnya yang ikut
menjaga keseimbangan alam. Dengan adanyanya
kepercayaan tersebut, masyarakat tidak
sembarangan menebang hutan karena takut
dengan keberadaan mahkluk tersebut yang akan

17
murka ketika kehidupannya diusik. Dengan
demikian hutan beserta isinya akan tetap terjaga
dan hasilnya dapat dimanfaatkan untuk
kelangsungan hidup masyarakat banyak.
4. Nilai Saling Menghormati; dalam tradisi tersebut
juga terdapat nilai saling menghormati, baik itu
dengan sesama manusia maupun dengan mahkluk
lainnya. Setiap orang yang terlibat dalam tradisi
ini sudah sepantasnya untuk saling menghormati,
baik itu antara masyarakat dengan penghulu/ketua
adat, pawang dan lainnya yang hadir dalam
upacara tersebut, supaya kegiatan dapat berjalan
dengan lancar. Begitu juga halnya dengan
makhluk di dunia lain yang dianggap ada dan
hidup berdampingan dengan manusia. Saling
menghargai tersebut dapat dilihat dari perlakuan
masyarakat terhadap makhluk lainnya yang
menghuni sebuah hutan yang akan di tebang
untuk dijadikan lahan pertanian. Cara
menghormatinya yaitu dengan cara memberikan
persembahan yang dianggap mampu mengusir

18
makhluk lain tersebut dan bisa menetap di hutan
lainnya.
5. Nilai Menjaga Lingkungan, yaitu tradisi tersebut
memberikan pemahaman bagaimana sebaiknya
dalam memperlakukan alam dan pemanfaatannya,
sehingga keberadaan dan kelestarian hutan tetap
terjaga.

19
III
Penutup

Kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan


berkembang dalam suatu kelompok masyarakat yang
kemudian menjadi suatu tradisi bagi masyarakat itu
sendiri, karena dilakukan secara terus menuerus dan
juga memberikan dampak yang baik bagi
perkembangan kehidupan masyarakat pemilik suatu
tradisi.
Suatu tradisi muncul dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat biasanya dipengaruhi oleh faktor
alam dan lingkungan hidup dan juga ketergantungan
masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hidup adalah
bertani. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat
Langkat yang melakukan suatu tradisi, yang dipercaya
memberikan hasil yang memuaskan bagi masyarakat
petani yaitu tradisi Mulaka Ngerbah.
Tradisi tersebut sebagai sebuah tradisi yang
dahulu kerap dilakukan oleh masyarakat Langkat dalam
membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian dengan
beberapa tahapan upacara yaitu Njamu Tanah dan
20
Ngerbah Hutan. Tradisi tersebut dilakukan untuk
memberikan penghormatan kepada sang Jembalang
sebagai penjaga hutan supaya kegiatan yang dilakukan
tidak mendapat gangguan dari penjaga hutan yang
dianggap ada oleh masyarakat setempat.
Tradisi mulaka ngerbah sebagai warisan budaya
masyarakat Langkat mengandung nilai yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Langkat,
diantaranya adalah nilai gotong royong, nilai spiritual,
kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu yang kosmik,
saling menghargai serta menjaga kelestarian alam
lingkungan. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai
pedoman bagi masyarakat dalam bertindak dan
berperilaku, baik terhadap sesamanya maupun dengan
lingkungannya.
Saat ini tradisi tersebut sudah jarang
dilaksanakan, bahkan sudah tidak pernah dilakukan
lagi. Hal tersebut dikarenakan karena sudah banyaknya
lahan pertanian (hutan yang dibuka sebagai lahan)
akibat dari pembukaan hutan sebelumnya, juga karena
faktor lainnya seperti perkembangan teknologi yang

21
dengan kecanggihannya memperlancar kegiatan
menggarap dan bercocok tanam.
Walaupun tradisi ini sudah jarang dilakukan,
namun nilai yang terkandung di dalamnya harus tetap
diterapkan dalam kehidupan masyarakat, supaya
masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menjaga dan
melestarikan alam lingkungan-nya, sehingga dapat
meminimalkan terjadinya bencana alam.

22
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Clifford, Geertz, 1992. Tafsir Kebudayaan.


(Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI).

Muhammad Syukri Albani, dkk. 2015. Ilmu Sosial


Budaya Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.)
Zainal Arifin Aka, 2009. Adat Budaya resam Melayu
Langkat. (Medan. Mitra Medan).

Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” Kepimpinan Adat


Perkawinan Melayu Melaka. (Melaka : Seni Institut
Melaka).

Dokumentasi:

Dokumentasi Warisan Budaya Tak Benda Suku Melayu


BPNB Aceh tahun 2013

Wawancara:

Hasil wawancara dengan budayawan Langkat (Zainal


Arifin AKA tahun 2019.

Internet:

https://media.neliti.com/media/publications/178248-ID-
dedeng-nyanyian-upacara-turun-ke-ladang.pdf,
diunggah 15 April 2020.

23
24
25

Anda mungkin juga menyukai