MINANGKABAU
Pendahuluan
Nama Minangkabau berasal dari
kata manang yang berarti menang
dan kabau yang berarti kerbau.
Nama itu diketahui dari sejarah
yang ditulis di dalam Tambo.
Kisahnya berawal pada saat
kerajaan Pagaruyung yang dipimpin
raja Adityawarman, akan ditaklukan
oleh pasukan Majapahit.
● Sejarah Ringkas Minangkabau
● Hukum Adat dan Hukum Islam
Dalam Masyarakat Minangkabau
● Terbentuknya nagari di
Minangkabau
● Hukum Perkawinan Adat
Minangkabau
● Hukum Tanah Adat
Minangkabau
● Hukum Harta Kekayaan Adat
Minangkabau
● Hukum Waris Adat Minangkabau
Apa saja
topik yang
dibahas?
Singkat cerita, adu kerbau dimenangkan kerajaan Pagaruyung. Kemenangan tersebut pada
akhirnya menginspirasikan masyarakat memakai nama Minangkabau, kata yang berasal dari
ujaran “manangkabau” yang artinya kerbau yang menang. Untuk mengenang kemenangan
tersebut, masyarakat membuat sebuah rangkiang (Rumah Gadang) yang atapnya mengikuti
bentuk tanduk kerbau. Dalam sebuah hikayat tertulis bahwa kemenangan adu kerbau tersebut
menjadikan kawasan yang sebelumnya bernama Pariangan menjadi Minangkabau.
SejarahRingkas
Minangkabau
Hukum Adat dan Hukum Islam
Dalam Masyarakat Minangkabau
Akibat dari perkawinan exogamie semenda adalah anak-anak yang dilahirkan akan
mengikuti garis ibunya dan sedangkan si suami berada tetap pada garis ibunya. Namun,
walaupun konsep perkawinan exogamie semenda seperti itu, suami di dalam masyarakat
Minangkabau tetap dihormati karena masyarakat Minangkabau mayoritasnya beragama
Islam dimana di dalam agama Islam diajarkan bahwa istri wajib menghormati suami.
Prof. Hazairin pernah mengajarkan bahwa di Minangkabau ada 3 fase perkawinan yaitu:
1) Kawin Bertandang
Kedudukan suami hanya sebagai tamu di rumah tangganya karena di dalam fase ini
masih tinggal dalam satu rumah yang sama yaitu rumah gadang yang terdiri atas
banyak kamar-kamar. Pada fase ini, suami pada malam hari datang lalu pada saat
paginya si suami pergi ke rumah ibunya.
2) Kawin Menetap
Pada fase kawin menetap, mereka sudah tidak tinggal di rumah gadang lagi karena
sudah mempunyai rumah sendiri, tetapi rumahnya yang sendiri itu tidak jauh dari
rumah gadang. Selain itu, pada fase ini mereka sudah hidup bersama sebagai satu
keluarga yang terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak.
3) Kawin Bebas
Pada fase ini biasanya anggota keluarganya sudah keluar dari nilai-nilai adat karena
terjadinya perantauan ke kota-kota besar tetapi tidak meninggalkan prinsip
exogamie
semenda.
Hukum Tanah
Adat Minangkabau
Pola kepemilikan tanah di Minangkabau tidaklah bersifat individual,
melainkan milik komunal yaitu milik suku, kaum, dan nagari. Tanah ulayat adalah
pusaka yang diwariskan turun-temurun, yang haknya berada pada perempuan,
namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris.
Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat
didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al
menemukan bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit
dengan areal administratif Provinsi Sumatera Barat, merupakan "tanah ulayat"
dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian
penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat.
Hak ulayat merupakan hak tertinggi di Minangkabau yang terpegang dalam
tangan penghulu nagari, suku, kaum atau beberapa nagari. Tanah ulayat diwarisi
secara turun menurun, yang diwarisi dari nenek moyang ke generasi berikutnya
dalam keadaan utuh, tidak terbagi-bagi.
Ketentuan dari Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, Pasal 1 angka 7 menerangkan bahwa nagari
adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu,
dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi
Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah
Provinsi Sumatera Barat.
Setiap nagari di Sumatera Barat mempunyai ulayat dengan batas batas sesuai
situasi alam sekitarnya, seperti puncak bukit atau sungai. Luas wilayah nagari tidaklah
sama, tergantung pada kehadiran nagari yang menjadi tetangganya. Jika tidak ada
yang menjadi tetangganya, maka luasnya ditentukan batas kemampuan perjalanan
seseorang, mungkin sampai dipuncak bukit, tebing yang curam, sungai yang airnya
deras atau hutan lebat yang tidak dapat ditembus. Wilayah yang tidak dapat
ditembus itu disebut hutan lareh ( hutan lelas ), yang artinya hutan lepas yang tidak
ada penghuninya.
Hukum Harta Kekayaan
Adat Minangkabau
Menurut sistem kewarisan koletif, para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan hanya
untuk memakai, mengusahakan, dan menikmatihasil pengelolaannya. Di dalam masyarakat Minangkabau terdapat 2 jenis harta yaitu:
Harta Pusaka Tinggi adalah Harta yang diturunkan dari leluhurnya (nenek moyangnya) kepada ahli waris dimana harta pusaka tinggi
tersebut tidak boleh dibagi secara habis kepada masing-masing ahli waris tetapi harta pusaka tinggi tersebut boleh dipakai, diusahakan, dan
dinikmatihasilnya. Jadi, untuk harta pusaka tinggi menganut sistem kewarisan kolektif. Lalu, untuk mengurus harta pusaka tinggi maka
ditetapkanlah seorang mamak kepala waris yang merupakan seorang laki-laki dar garis keturunan ibu.
Harta Pusaka Rendah adalah harta yang dapat dibagi-bagikan secara habis untuk dimiliki masing-masing ahli waris
seperti income (pemasukkan keluarga). Pembagian harta pusaka rendah menggunakan hukum waris islam atau
hukum fara’id. Jadi, untuk harta pusaka rendah menganut sistem kewarisan individual.
Features of the Topic
Mars Venus
Despite being red, Venus has a beautiful
Mars is actually a name, but it’s terribly
cold place hot
Jupiter Neptune
It’s the biggest planet Neptune is the
in our Solar farthest planet from
System the Sun
4,498,300,00
0
Big numbers catch your audience’s attention
Hukum Waris Adat Minangkabau
Di dalam Rapat (orang) Empat Jenis (ninik mamak, imam-khotib, cerdik-pandai, mantidubalang) Alam
Minangkabau yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952 dan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang
diadakan di Padang bulan Juli 1968 dapat disimpulkan bahwa harta pusaka tinggi seperti rumah
gadang, sawah, tanah, bangunan, dan lain-lain nya yang merupakan milik leluhur menggunakan Hukum
Waris Adat Minangkabau dimana harta pusaka tinggi tersebut dapat diwariskan kepada anak laki-laki
maupun anak perempuan dari garis ibu namun untuk harta pusaka tinggi tidak boleh dibagi habis
kepada masing-masing ahli waris secara individual. Namun untuk harta pusaka tinggi, para ahli waris
dapat memakai, mengolah, lalu setelah pengolahannya mendapatkan hasil maka hasilnya
tersebut boleh dinikmati.
Sedangkan untuk Harta Pusaka Rendah seperti mata pencaharian atau income keluarga diwariskan
menurut Hukum Islam (hukum fara’id). Tentunya dalam pembagian harta pusaka rendah ini harus
berdasarkan pada Alquran, Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dan ra’yu (akal
pikiran) melalui ijtihad.
Thanks!