Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, semboyan Bhineka


Tunggal Ika merupakan potret realitas kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang heterogen. 
Keanekaragaman Indonesia tidak hanya tentang flora dan fauna,
nasionalisme, adat istiadat dan semua aspek demografi dan sosial budaya.
Perbedaan adat istiadat, tata krama, bahasa dan kepercayaan tercermin dalam
kehidupan antar suku dan antar pulau.  Keberagaman ini mempengaruhi pluralitas
di bidang hukum. Setidaknya dikenal tiga hukum yang keberadaannya diakui dan
berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Barat, Hukum Agama dan Hukum Adat. 
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih banyak yang
menggunakan hukum adat untuk mengatur kegiatannya, termasuk untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, seperti masalah pewarisan harta
dalam keluarga.
Di Sumatera Barat dikenal suatu suku atau kelompok etnik nusantara yang
bernama Minangkabau. Orang Minangkabau atau Minang adalah kumpulan etnik
Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Sistem hukum adat Minangkabau bercorak matrilineal dan berfalsafah adat
“basandi syara dan syara basandi kitabullah”.1 Falsafah tersebut dapat diartikan
bahwa adat yang berlaku atau kebiasaan-kebiasaan yang hidup ditengah
masyarakat seperti jual beli, perkawinan, pembagian waris, dan yang lain-lain
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah disyari’atkan dalam Islam.
Konsekuensinya segala sesuatu tindakan masyarakat di Ranah Minang yang
dijadikan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam tidak bisa disebut adat. 2
1
Falsafah ini lahir dari proses konflik antara kaum adat dan kaum agama yang bermuara pada adanya
kesepakatan pada akhir masa perang paderi (1825-1831). Kemenangan nampaknya berpihak pada kaum
agama, meskipun pada akhirnya persoalan keadatan tetap juga harus dipertahankan dengan dialektika
keagamaan. Falsafah ini benar-benar telah memposisikan Minangkabau sebagai wilayah yang dipandang
sarat dan kental nuansa keislamannya dan seakan telah merasuk dalam setiap lini kehidupannya. (Versi
lengkap sejarah perang paderi dapat dilihat dalam Wikipedia, Ensiklopedia Bebas dengan alamat
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri).
2
Muhammad Rajab, Sistem Kekerabatan Minangkabau, Center of Minangkabau Studies, 1969, h. 15.

1
Hukum adat Minangkabau yang menurut pendukungnya sejalan dengan
hukum Islam, saat ini masih menjadi sorotan dari berbagai kalangan, baik
kalangan akademisi, hukum dan sosial, pakar hukum di tanah air, bahkan peneliti
dari negara asing pun ikut mempelajari keunikan hukum adat Minangkabau. 3
Diantaranya mengenai adat pewarisan harta dalam keluarga Minang.
Ketentuan kewarisan dalam adat Minangkabau tampaknya berbeda dengan
ketentuan kewarisan dalam Islam, terlebih dalam warisan harta pusaka tinggi.
Secara umum kewarisan itu adalah peralihan harta dari yang telah meninggal
kepada ahli waris yang masih hidup. Akan tetapi dalam ketentuan hukum adat
Minangkabau kewarisan harta pusaka itu bukanlah peralihan kepemilikan harta
dan pembagian harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada yang hidup,
melainkan peralihan fungsi dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan dan
pengawasan harta dari generasi yang sudah meninggal kepada generasi yang
masih hidup.4 Sebagaimana pepatah Adat Minangkabau “Biriek-biriek turun ka
samak, dari samak ka halaman. Dari Niniek turun ka mamak, dari mamak ka
kamanakan”,5 yang berarti bahwa harta pusaka diwariskan ke keturunan menurut
garis keturunan ibu (matrilineal). Namun untuk pewarisan harta pencarian tetap
dibagi menurut hukum waris Islam.6
Hal lain yang juga tampak berbeda adalah mengenai asas kewarisan itu
sendiri. Kewarisan harta dalam adat Minangkabau menganut asas kolektif atau
komunal yang berarti kepemilikan bersama. Harta pusaka milik kaum secara
bersama-sama dan bukan milik orang secara perorangan. 7 Selain itu, masyarakat
adat Minangkabau, juga tidak menganut asas bilateral, 8 tetapi kewarisan yang
3
Sebagaimana diungkap dalam tesis: Linda Firdawaty dan Ahmad Mulyono, SH., MH, Hukum Kewarisan
Adat Minangkabau Menurut Pemikiran Hazairin Dan Amir Syarifuddin, dalam ASAS: Jurnal Hukum Ekonomi
Syari’ah, Vol 10 No.01 (2018), h.157, http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/3268/
pdf.
4
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994) h. 117
5
Amir MS, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, (Jakarta: Citra Harta Prima, 2011), hal. 3;
6
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, op. cit.
7
Berbeda dengan asas kewarisan Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Hazairin, bahwa kewarisan Islam
menganut azaz individual yang berarti setiap orang berhak memilikinya secara perorangan tanpa terikat
dengan orang lain. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‘an dan Hadits, (Penerbit:
Tintamas, Jakarta, 1982), hal. 16.
8
Islam menganut asas kewarisan bilateral, yaitu masing-masing dari keluarga (ayah dan ibu) atau dari
keturunan laki-laki dan perempuan berhak menerima warisan dengan sebab-sebab yang telah ditentukan,

2
mengenal ahli waris hanya dari keturunan ibu atau keturunan perempuan saja. Hal
ini karena Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu keturunan
yang diambil dari garis ibu.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, penulis memandang perlu
untuk mengangkat tulisan ini untuk menggali lebih dalam bagaimana kontruksi
adat pewarisan harta dalam masyarakat adat Minangkabau agar dapat
memberikan pemahaman yang mendalam tentang hukum waris yang sebenarnya
berlaku dalam masyarakat adat Minangkabau itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, fokus tulisan ini adalah:
1. Sejarah Minangkabau
2. Terminologi Kewarisan dalam Islam dan Asas-asasnya
3. Konstruksi Adat Pewarisan Harta di Minangkabau

PEMBAHASAN
Konstruksi Adat Pewarisan Harta di Minangkabau

A. Sejarah Minangkabau
yaitu kekerabatan, hubungan pernikahan dan wala’. Hal ini dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili di dalam
Kitabnya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 10 Bab VI tentang Warisan.

3
Minangkabau atau disingkat Minang merupakan suku pribumi Nusantara
yang menghuni Sumatera Bagian Tengah Indonesia. Secara geografis, suku
Minangkabau tersebar di seluruh daratan Sumatera Barat, separuh daratan Riau,
pada bagian utara Bengkulu, pada bagian barat Jambi, pada pantai barat
Sumatera Utara, pada pantai barat daya Aceh dan Negeri Sembilan di Malaysia. 9
 Orang Minang juga sering kali disamakan sebagai “orang Padang”, merujuk
pada nama ibu kota provinsi Sumatra Barat, yaitu Kota Padang. Mereka juga
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan Urang Awak. Awak itu
sendiri berarti saya, aku atau kita dalam percakapan keseharian orang Minang.
Suku ini merupakan salah satu suku yang terkenal dengan cerita rakyatnya
yang sangat melegenda di seluruh tanah air.
Sejarah bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh
penting di Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja,
pernah memerintah di Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau.
Adityawarman adalah seoranga Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi
alam Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang memperkenalkan
sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak pemerintahan Raja Adityawarman
tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar
khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui
kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang
menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Agama Islam
sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-
angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya didominasi
agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir
pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun
kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.

9
Bedasarkan penelitian Patrick Edward de Josselin de Jong (seorang professor antropologi budaya di
Universitas Leiden salaam lebih dari 30 tahun) dalam bukunya Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-
Political Structure in Indonesia. Dikutip dari Wikipedia Ensikopedia bebas pada alamat web:
https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau.

4
Dari tambo10 yang diterima secara turun temurun, diceritakan bahwa asal
usul Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan
Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya
merupakan tanah lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa
Kerajaan Pagaruyung akan di serang kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa maka
terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut
mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil
memenangkan perkelahian maka muncul kata manang kabau yang selanjutnya di
jadikan nama Nagari atau desa tersebut. 11 Upaya penduduk setempat mengenang
peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah
loteng (rangkiang) dimana atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut
sejarah, rumah tersebut didirikan di batas tempat bertemunya pasukan Majapahit
yang di jamu dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat
saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan
mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa pernyataan timbul bahwa alat
transportasi yang digunakan untuk menelusuri dataran tinggi Minangkabau adalah
kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena agama yang dipercaya pada waktu
itu di ajarkan untuk menyayangi binatang gajah, kerbau, dan lembu.
Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima
puluh Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang
Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana
transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan
berlayar melalui rute ini dan sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan
peradabannya di sekitar Lima puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera
Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang
oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang
semakin bertambah menyebabkan persebaran penduduk ke berbagai lokasi

10
Tambo berasal dari Bahasa Sanskerta, tambay yang berarti bermula, kata ini berkerabat dengan kata
tembey dalam Bahasa Sunda. Di dalam tradisi masyarakat adat Minangkabau, tambo merupakan suatu
warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo itu sendiri dapat juga
bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Wikipedia, op.cit.
11
Lihat: Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau. (Jakarta: Balai Pustaka, 1991). hlm. 220–221. 

5
Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian ke bagian barat
Sumatera.
Jatuhnya kerajaan Pagaruyung dan terlibatnya negara Belanda di Perang
Padri, menjadikan daerah pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax
Nederlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian daerah Minangkabau di
bagi menjadi Residentie Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden. Pada
zaman VOC, Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust merupakan sebutan untuk
wilayah pesisir barat Sumatera. Hingga abad ke-18, Provinsi Sumatera Barat
semakin terkena pengaruh politik dan ekonomi akhirnya kawasan ini mencakup
daerah pantai barat Sumatera. Kemudian mengikuti perkembangan administratif
pemerintahan Belanda, kawasan ini masuk dalam Pemerintahan Sumatra's
Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan Singkil dan Tapanuli. Pada 1905,
wilayah Singkil dialihkan ke Residen Aceh, dan Tapanuli dijadikan residen
Tapanuli. Memasuki tahun 1914, pemerintahan Sumatera’s Westkust statusnya
diturunkan menjadi Residen Sumatera’s Westkust. Kemudian wilayah Mentawai di
tambahkan di Samudera Hindia menjadi bagian dari Residen Sumatera. 21 tahun
berikutnya tepatnya 1935 kawasan Kerinci dimasukkan juga ke bagian Residen
Sumatera. Setelah perpecahan pemerintahan Sumatra’s Ootkust, kedua wilayah
yaitu Kuantan Singingi dan Rokan Hulu dimasukkan ke Residen Riouw, dan
dengan waktu yang hampir sama dibentuk Residen Djambi.
Selanjutnya masa pendudukan Jepang di kawan ini, Residen Sumatera’s
Westkust berganti nama dengan bahasa Jepang yaitu Sumatora Nishi Kaigan
Shu. Karena alasan strategi militer, wilayah Kampar akhirnya dikeluarkan dari
Residen Sumatera’s Westkust atau Sumatora Nishi Kaigan Shu kemudian
digabung ke wilayah Rhio Shu. Sampai awal kemerdekaan negara Indonesia
tahun 1945, daerah Sumatera Barat digabungkan dalam Provinsi Sumatera yang
berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Provinsi Sumatera mengalami perpecahan
menjadi 3 kawasan, yakni provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan
Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Di masa PRRI, provinsi Sumatera Tengah mengalami perpecahan yang di
sebabkan adanya peraturan perundangan nomor 19 tahun 1957. Sumatera

6
Tengah di jadikan 3 provinsi yaitu Riau, Jambi, dan Provinsi Sumatera Barat.
Kerinci yang sebelumnya masuk dalam bagian Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci,
dimasukkan ke dalam Provinsi Jambi menjadi kabupaten sendiri. Untuk wilayah
Rokan Hulu, Kampar, dan Kuantan Singingi digabungkan ke wilayah Riau. Bahasa
yang umumnya di gunakan bagi penduduk Sumatera Barat adalah bahasa
Minangkabau. Bahasa tersebut dipakai dalam percakapan sehari-hari yang
memiliki dialek seperti, dialek Pariaman, dialek Payakumbuh, dialaek Pesisir
Selatan, dan dialek Bukittinggi. Sementara itu bahasa Mentawai mayoritas
digunakan di kepulauan Mentawai juga. Bahasa batak yang berdialek Mandailing
digunakan di wilayah Pasaman Barat dan Pasaman perbatasan Sumatera Utara.
Berdasarkan keputusan Gubernur Sumatera Barat tahun 1958, ibu kota Sumatera
Barat yang dulunya di Bukittinggi kemudian dipindahkan ke daerah Padang. Saat
ini Sumatera Barat atau Minangkabau terdiri dari 19 kota dan kabupaten, dimana
setiap daerah mempunyai ciri khas masing-masing. Namun, Minangkabau tetap
pada pepatahnya “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” atau “Adat
yang didasari oleh hukum Islam, dan mengacu kepada Kitabullah”.12

B. Terminologi Kewarisan dalam Islam dan Asas-asasnya


Kewarisan dalam Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini
disebut dengan berbagai nama, dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa
istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti Faraaidh, Fiqh al-Waris,
dan Hukm al-Waris.13
Faraaidh sendiri diartikan oleh Syekh Wahbah Al-Zuhaili 14 sebagai
masalah-masalah pembagian warisan. Sebab, faraaidh adalah bentuk jamak dari
fariidhah, yang diambil dari kata fardhu yang berarti “penentuan”, dan fariidhah
bermakna “yang ditentukan”, karena di dalamnya ada bagian-bagian yang telah
ditetapkan. Jadi Al-Faraaidh menurut beliau adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan. Karena itu, kata al-faraaidh lebih banyak digunakan dalam menamai

12
Lihat: Wikipedia bahasa Indonesia, op. cit.
13
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013), h. 100.
14
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2007) Juz 10, h.340.

7
ilmu waris. Beliau melanjutkan bahwa pengkhususan istilah ini karena Allah Swt
menamakannya dengan nama demikian. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
٦٠ ... ِۗ ‫ض ٗة م َِّن ٱهَّلل‬
َ ‫ َف ِري‬...
“…sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah… (QS: at-Taubah (9):60)
Sedangkan ilmu Miraats adalah kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang
dengannya diketahui bagian setiap ahli waris dari peninggalan si mayit.
Pengarang kitab al-Dur al-Mukhtaar wa Raad al-Muhtaar sebagaimana dikutip
oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan ilmu miraats adalah ilmu tentang
pokok-pokok fiqh dan hisab yang memberi pengertian tentang hak masing-masing
ahli waris berupa peninggalan dan hak-hak mayit. 15
Penggunaan kata mawaarits lebih melihat kepada objek waris, yaitu perihal
harta yang beralih dari pewaris kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata
mawaarits merupakan bentuk plural dari kata miraats yang berarti mauruts, “harta
yang ditinggalkan”. Dengan demikian, kata waarits lebih banyak digunakan
merujuk kepada orang yang menerima harta warisan, karena waarits diartikan
dengan “yang menerima warisan”.16
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni al-Miraats adalah berpindahnya hak
kepemilikan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau tanah, atau apa saja
yang berupa hak milik secara syar’i.17
Untuk hukum kewarisan sendiri secara terminologi dijelaskan oleh TM.
Hasby al-Shiddieqy adalah ilmu yang apabila mempelajarinya dapat mengetahui
berhak atau tidak berhak untuk mendapatkan warisan, serta ketentuannya yang
berlaku bagi tiap-tiap ahli waris dan penyelesaian pembagiannya. 18
Selanjutnya, sebagai hukum Islam yang bersumber kepada Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai
asas dan ketentuan. Berikut merupakan asas-asas dalam hukum kewarisan Islam:
1. Asas Ijbari

15
Ibid.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. II. Jakarta: Prenada Media, 2015, h. 6
17
Muhammad Ali al-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Fathan Prima Media, 2013), h. 32
18
TM. Hasby al-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.18.

8
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia
kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari
yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan
harta seperti ini disebut secara ijbari.19 Hukum kewarisan Islam menjalankan
asas ijbari berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak
Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur
paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli
waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya
sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Unsur ijbari dalam kewarisan ini
dapat dilihat dari firman Allah dalam surah al-Nisaa’ [4] ayat 7.
2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti bahwa seseorang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis
keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini
secara nyata dapat dilihat dari firman Allah dalam surat al-Nisaa’ [4] ayat 7,
11, 12, dan 176.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti
bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan.
Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin
dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris
yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Setiap ahli waris berhak
atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Hal ini
didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, atau dalam
istilah ushul fiqh disebut dengan ahliyah al-wujub.20
4. Asas Keadilan Berimbang

19
Kata ijbari yang berasal dari kata jabbar secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu
melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Lihat: Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h.18.
20
Amir Syarifuddin, op.cit, h. 25-26.

9
Asas keadilan berimbang dalam kewarisan menjelaskan bahwa baik laki-laki
maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, mewarisi
harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris. 21
5. Asas Semata Akibat Kematian
Asas semata akibat kematian berarti peralihan peninggalan atau harta
seseorang kepada orang lain dengan status kewarisan berlaku sesudah
meninggalnya pewaris.22 Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat
beralih kepada orang lain dengan sistem waris selama pemilik harta masih
hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang
masih hidup baik secara langsung maupun setelah dia meninggal dunia tidak
termasuk ke dalam istilah warisan dalam sistem hukum Islam.

C. Konstruksi Adat tentang Pewarisan Harta dalam Keluarga Minang


Dalam sejarah tradisional adat Minangkabau disebutkan bahwa dengan
prinsip garis keturunan ibu (matriarchaat), satu payung, satu nenek, satu perut,
nenek moyang mereka dahulu membuka tanah dengan cara “mencancang
melateh, membuka kampung dan halaman” lalu dengan semakin banyaknya
jumlah anak keturunan mereka, nagari pun diperluas (bakalebaran). Sejak saat
itu, muncul istilah suku yang tidak bisa dipisahkan dengan sako (gelar
kesukuan).23 Dan, untuk menjamin kehidupan anak sukunya, mereka menetapkan
adanya pusako (harta pusaka) dengan prinsip pemilikan komunal. 24
Setiap suku di Minangkabau pasti mengenal istilah sako, pusako, dan
sangsoko sebagai gambaran utuh konsep adat tentang harta yang mereka jadikan
praktek kehidupan beradat. Sako adalah gelar kebesaran adat yang diberikan
21
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 2011), h. 142.
22
Ibid, h. 143
23
Lihat: Mohamad Sabri bin Haron Iza Hanifuddin, Harta Dalam Konsepsi Adat Minangkabau, Jurnal Article
Juris, Volume 11 Nomor 1 (Juni 2012), h.2 dalam situs https://media.neliti.com/media/publications/270206-
harta-dalam-konsepsi-adat-minangkabau.
24
Pada harta pusako berupa tanah ditetapkan tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan, dengan
ungkapan, “dijual indak dimakan bali, digadai indak dimakan sandera”. Mamak (saudara ibu yang laki-laki)
sebagai penjaga tanah wilayah (ulayat), ibu sebagai pemegang kunci ampang puruik dan lumbung (tempat
cadangan harta dan bahan makan) yang tidak boleh dibuka kecuali dalam keadaan yang diakui secara adat
dapat dibenarkan, yaitu rumah gadang katirisan (bocor), adat pusaka tidak berdiri, mayat terbujur di
tengah rumah, dan gadis besar belum berlaki. Lihat: Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2006), h. 98-99.

10
kepada keturunan yang mengikut pada tali darah matrilineal (dalam ungkapan
adat disebutkan “adat sako turun temurun”). Pusako ialah harta pusaka adat yang
terdiri dari harta kekayaan dan harta kekuasaan adat. Harta kekayaan yaitu
berupa emas, perak, dan ternak peliharaan, sedangkan harta kekuasaan adat
adalah berupa wilayah teritorial (ulayat) yang berupa hutan tanah, sawah ladang,
pandam pakuburan, lebuh tapian (pemandian), rumah tangga, dan korong
kampung dan isinya yang dibatasi oleh kawasan batas tanah. 25 Sementara
sangsoko atau sangsako ialah gelar kehormatan yang diberikan berdasarkan
persetujuan para penghulu dalam kerapatan adat kepada seseorang karena jasa
dan peranan besar yang diberikan kepada suku atau kaum. 26
Yang dapat dikategorikan sebagai sako adalah sebagai berikut:
a. gelar penghulu yang diwariskan kepada kamanakan (anak saudara yang
berjenis kelamin) laki-laki secara turun temurun,
b. garis keturunan matrilineal (suku indu) yang diwariskan kepada perempuan,
c. pepatah petitih,
d. hukum adat,
e. tatakrama, dan
f. sopan santun yang diwariskan kepada seluruh warga adat, anak
kamanakan seluruh nagari di seluruh ranah Minang.27
Dalam adat Minangkabau, harta pusaka akan diturunkan atau dipusakakan
kepada anak perempuan menurut garis keturunan ibu, sedangkan sako (gelaran
adat) akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua juga dalam garis keturunan ibu
(matrilineal).
Harta pusaka (pusako) ialah sesuatu yang bersifat material (benda) yang
ada pada seseorang yang mati dan dapat beralih kepada orang lain disebabkan
kematiannya. Dikatakan bersifat material juga karena terdapat sako yang dapat
dipindahkan dari orang yang mati kepada yang hidup. Sako ini bukan bersifat
25
Hamka menyebut harta jenis ini dengan istilah harta tua. Lihat: Hamka, ibid, h. 126.
26
Ketentuan adat menyebutkan adat sangsako pakai mamakai, manurut barih balabeh, serta mungkin dan
patut, maksudnya gelar ini hanya dapat diberikan kepada orang yang secara adat dipandang patut dan layak
(Lihat: Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minaangkabau, (Padang: Andalas
University Press, 1982) h. 41 dan 64
27
Amir, M. S. Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2003), h. 92

11
benda, tapi berupa gelar yang dipusakai. Dikatakan dengan sebab kematian bisa
berlakunya perpindahan harta pusaka, maka gelar pusaka juga turut berpindah
kepada waris, tetapi semasa hidup. 28
Dalam berbagai buku dan pembicaraan sehari-hari banyak dijumpai
perkataan “sako” ini disebut dengan “gelar pusako”, itulah sebabnya kenapa
antara sako dengan pusako tidak dapat dipisahkan dan berlaku ketentuan adat
hak berpunya (sako), harta bermilik (pusako). Dalam ungkapan lain juga
disebutkan hak bapunyo, harato bamilik, ganggam bauntuk. Pemegang gelar
kebesaran adat (sako) akan diserahkan amanat untuk menjaga dan
mempertahankan keutuhan dan sifat komunalistik harta pusako untuk selamanya,
terus menerus, dan turun temurun yang diistilahkan dengan pusako bersalin.29
Dulu, adat Minangkabau hanya mengenal istilah harta pusaka saja, tidak
ada yang lain. Pusaka dimaksudkan ialah barang sako dan harta pusako tersebut.
Akhir-akhir ini, terjadi perkembangan harta pusaka. Harta pusaka pun
kemudiannya dibagi menjadi dua, yaitu pusako tinggi (pusaka tinggi) dan pusako
randah (pusaka rendah).30
Pusaka tinggi adalah semua harta pusaka yang sudah lama diwarisi, salin
bersalin, turun temurun dalam keadaan yang sama, yaitu diturunkan daripada
mamak kepada kamanakan (anak-anak dari saudara perempuan), sebagaimana
disampaikan dalam banyak ungkapan adat, yaitu: “Birik-birik tabang ka sasak, dari
sasak turun ke halaman, dari ninik turun ka mamak, dari mamak ka kamenakan”.31
Harta pusaka tinggi juga disebut dengan istilah harta bersalin karena
diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Pusaka tinggi
diperoleh melalui cara tembilang besi (iron spade), yaitu melalui cara membuka

28
Amir Syarifuddin, loc.cit, h. 212
29
Amir M.S., 2003, h. 93.
30
Pembagian harta menjadi dua jenis ini sangat mungkin dipengaruhi oleh Islam sebagai suatu ruang
masuknya doktrin waris Islam yang akan memperkuat kedudukan laki-laki di mana diketahui selama ini laki-
laki tidak memiliki kekuasaan atas harta di Minangkabau. Dalam berbagai sumber awal disebutkan bahwa
hanya ada harta pusaka di Minangkabau yang secara hukum disebut sebagai tanah ulayat. Nampaknya apa
yang berlaku di sini adalah adanya gerakan gender yang tidak selalu dimaksudkan untuk memperjuangkan
hak-hak perempuan, tetapi justru untuk memperjuangkan laki-laki Minangkabau yang tidak mendapat
tempat dalam harta adat Minangkabau. Lihat: Mohamad Sabri, op.cit, h.5
31
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau, (Bukittinggi: NV Nusantara, 1967)
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sabri, loc.cit, h. 4

12
hutan oleh orang-orang tua dahulu, sedangkan pusaka rendah diperoleh melalui
cara tembilang emas (golden spade), yaitu dengan cara membeli atau menggadai
sawah.32
Pusaka tinggi berupa harta pusaka berupa tanah ulayat, sawah, ladang,
tanah kuburan, dan rumah gadang yang diwarisi dan dimiliki secara bersama oleh
beberapa keluarga dalam satu satu garis kekeluargaan sebuah kaum atau suku
dalam garis matrilineal.33 Dalam harta pusaka ini biasanya berlaku ketentuan tidak
dapat dipindahkan kepemilikannya dengan cara apa pun, tidak terdapat pemilikan
peribadi, ia berlaku pada barang yang tak bergerak, dikuasai dan diatur oleh
tungganai atau mamak rumah (laki-laki tertua dalam rumah gadang), 34 hak
pemanfaatan melalui ganggam bauntuak (genggam beruntuk bagi masing-masing
keluarga seperut), rumah adat dan kolam ikan termasuk dalam kategori harta
pusaka. Hal lain juga dapat dilihat bahwa harta pusaka tersebut dikuasai oleh
penghulu, dimiliki oleh masyarakat adat, dan semua masyarakat boleh mengambil
manfaatnya.35
Kedudukan pusaka tinggi sangat kuat dan tidak dapat berubah menjadi
pusaka rendah hal mana sangat jarang sekali terjadi, yaitu dengan sebab
terkikisnya adat sedikit demi sedikit. Harta pusaka tinggi tidak dapat dipengaruhi
oleh perkawinan, baik orang dalam ataupun orang luar suku Minangkabau
sekalipun. Semua harta tersebut berada di bawah kuasa kesukuan perempuan,
yaitu pihak istri.

32
Oleh A.A. Navis disebutkan bahwa ada beberapa cara untuk mendapatkan harta dalam alam pikiran
Minangkabau melalui pusako, yaitu menerima warisan (pusaka) dari mamak kepada kamanakan, tembilang
besi, yaitu mencari tanah dengan cara manaruko atau menerokai sawah dan mencancang melateh
(menebas) hutan dengan usaha dan tenaga sendiri, tembilang emas, yaitu mencari harta dengan cara
membeli yang pelaksanaannya melalui cara praktek pagang gadai karena tanah di Minangkabau tidak boleh
dijualbeli dan hibah. Lihat: A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau,
(Jakarta: PT Pustaka Grafiti Pers, 1986) h. 158
33
Amir, M. S., Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2007),
h.1.
34
Tungganai berasal dari kata tunggak dan ai yang dalam penuturan orang Minangkabau menjadi
tungganai maksudnya adalah laki-laki tertua atau yang dituakan dalam sebuah rumah gadang (saparuik)
dalam satu unit yang disebut sebagai samande. terdiri dari nenek, ibu, saudara ibu baik perempuan maupun
laki-laki, dan anak-anak. Suami dianggap bukan sesuku di mana biasa disebut dengan istilah sumando (yang
datang melalui ikatan perkawinan). Lihat: A. A. Navis, 1986, h.131
35
Amir Syarifuddin, op.cit, h. 215

13
Harta pusaka tinggi di Minangkabau menempati posisi yang sangat tinggi.
Harta pusaka tinggi ini hanya bisa bertambah dan tidak bisa berkurang, kecuali
apabila terjadi 4 hal sebagai berikut: 36
a. Untuk memperbaiki rumah gadang, maksudnya apabila rumah gadang
perlu diperbaiki tapi tidak memiliki biaya yang cukup, maka boleh
menggadaikan harta pusaka tinggi.
b. Gadih besar belum bersuami, artinya untuk menikahkan perempuan yang
telah cukup dewasa namun belum juga kawin, maka untuk menutup malu
dan kekurangan tersebut segala daya dan dana diusahakan dari harta
pusaka tinggi.
c. Biaya mayat terbujur di tengah rumah gadang, artinya biaya pengurusan
jenazah dan segala sesuatu yang menyangkut dengan peristiwa kematian,
maka harta pusaka tinggi boleh digadaikan apabila benar-benar tidak ada
biaya untuk penyelenggaraan jenazah.
d. Pembangkit batang tarandam, artinya untuk menegakkan penghulu karena
penghulu sebelumnya telah meninggal dan jabatannya sudah lama
ditangguhkan. Dalam adat Minangkabau acara bertagak penghulu
membutuhkan biaya yang besar. Syarat mutlak untuk terlaksananya adalah
kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan pusaka
tersebut.
Adapun pusako randah (pusaka rendah) adalah segala harta pusaka yang
diterima oleh kamanakan dari mamak kandung (tungganai) rumah disebabkan dari
pekerjaannya, bukan hasil dari pusaka tinggi. 37
Dalam perkembangannya, pusaka rendah diartikan sebagai harta yang
diberikan melalui cara hibah, pewarisan oleh orang tua kepada anak-anaknya dari
harta perkawinan atau sepencarian kedua orang tua. Harta sepencarian suami
istri ini dapat berbentuk sawah ladang yang dibeli atau hasil tebusan tanah adat

36
Idrus Hamkimy DT. Rajo Pangulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (PT. Remaja Rosda
karya, 2004), h. 129.
37
Lihat: A. A. Navis, op.cit, h. 131.

14
yang tak mampu ditebus oleh kaumnya, rumah, kedai, pabrik, kendaraan, dan
sebagainya.38
Dalam istilah adat, semua pusaka rendah itu disebut sebagai tembilang
emas (golden spade). Sawah ladang hasil pembukaan hutan ulayat kaum yang
kemudian ditaruko termasuk kategori harta pusaka rendah dalam masa yang tidak
lama, karena setelah diwariskan dalam dua keturunan harta tersebut akan
berubah menjadi pusaka tinggi kembali.39
Hakekatnya, di dalam adat Minangkabau hanya mengenal harta pusaka
saja yang dimiliki secara bersama oleh kaum dalam adat matrilineal dan tidak
mengenal istilah harta sepencarian. Istilah harta sepencarian munculnya berawal
dari hubungan dagang yang semakin erat antara orang Minangkabau dengan
saudagar India di kawasan pesisir barat Sumatera Barat pada abad ke-17. Pada
tahun 1761, ajaran Islam yang dianut oleh orang-orang pesisir mulai digunakan
untuk menyelesaikan masalah waris berkaitan harta perniagaan ini.
Menurut A. A. Navis, harta sepencarian bukanlah produk lembaga adat
Minangkabau. Praktek ini mulai dikenal di Minangkabau sejak hadirnya ekonomi
uang yang ada melalui perniagaan dan jasa perburuhan. Akibatnya, hubungan
kekerabatan pun terjadi perubahan. Hubungan ayah-anak pada masa ini menjadi
rapat dalam sistem keluarga inti. Dimana-mana timbul keinginan ayah untuk
mewariskan harta sepencariannya ini kepada anak dan istri, bukan kepada
kamanakan. Perubahan sosial inilah yang akhirnya menimbulkan perselisihan
intern yang cukup lama karena fenomena ini dirasakan oleh banyak tokoh adat
dan agama.40
Harta pusaka rendah boleh menjadi harato susuak (harta penambah) jika
suatu ketika nanti dijadikan sebagai penambah harta pusaka tinggi, hal mana
dianjurkan oleh adat agar harta pusaka tinggi selalu ditambah menurut
kemampuan mamak. Menurut Datuk B. Nurdin Yacub, pusaka rendah akan

38
Julius Dt. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya Mewariskan dan Melestarikan
Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa. Bandung: Citra Umbara, 2007, h.119.
39
Lihat: ibid, h. 117.
40
A. A. Navis, 1986, h. 164

15
berubah menjadi pusaka tinggi jika diwariskan menurut garis keturunan kaum
(pihak ibu) secara terus menerus.41
Jadi, ada kalanya harta pusaka tinggi juga berasal dari harta pusaka rendah
yang dimanfaatkan secara turun-temurun, asal usulnya tidak dipersoalkan lagi.
Sekali ia diwariskan secara adat, maka ia menjadi harta pusaka tinggi. Inilah yang
banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat adat Minangkabau sekarang.
Demikian juga yang dipaparkan oleh Hamka bahwa pusaka rendah dapat menjadi
pusaka tinggi, sedangkan pusaka tinggi tidak dapat menjadi pusaka rendah,
kecuali bila adat tidak berdiri lagi. 42 Karena pada dasarnya harta pusaka tinggi
tidak dapat dibagi-bagi, tetapi diwariskan secara turun temurun kepada anak kaum
(suku) tersebut. Kaum hanya dapat mengambil manfaat dan hasil saja dari harta
tersebut.
Harta pusaka rendah yang merupakan hasil pencaharian suami isteri
diwariskan kepada anak sesuai dengan ketentuan syarak, yaitu hukum faraaidh.
Kongres Tungku Sajarangan yang dilangsungkan pada tahun 1952 sepakat
mengatakan bahwa harta pusaka tinggi jatuh ke kemenakan, sedangkan harta
pusaka rendah diwariskan menurut hukum faraidh. 43 Akan tetapi, untuk harta
pusaka rendah yang tidak dibagi dan sudah menjadi harta pusaka tinggi maka
diwariskan menurut ketentuan pewarisan harta pusaka tinggi, yaitu kepada
kemenakan menurut sistem matrilineal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam adat Minangakabau konsep
pewarisan harta yang berlaku adalah kewarisan kelembagaan atau kolektif,
dimana suatu harta diturunkan kepada keturunan dalam garis matrilineal secara
kolektif yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota kaum. Setelah
41
Dt. B. Nurdin Yakub, Minangkabau Tanah Pusaka: Tambo Minangkabau. (Bukittinggi: CV. Pustaka
Indonesia, 1989.) Buku 2. Meski demikian Norhalim Ibrahim berpendapat bahwa harta pusaka rendah yang
diusahakan oleh sebuah keluarga dan dijadikan sepencarian suami istri untuk bekal hidup berumahtangga
pada dasarnya masih tergolong dalam kategori pusaka tinggi karena harta-harta lain pasti ada dan
diusahakan di atas tanah pusaka tinggi oleh sebuah keluarga tersebut. Harta pusaka rendah yang dihasilkan
dari harta pusaka tinggi ini sering diakui sebagai harta sepencarian. Padahal, maksud harta sepencarian
sendiri ialah harta yang diperoleh oleh suami istri selama masa perkawinan, bukannya dari hasil tanah
pusaka tinggi. Lihat Norhalim Ibrahim. Adat Perpatih, Perbezaan dan Persamaannya dengan Adat
Temenggung, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, Sdn. Bhd., 1993), h. 53
42
Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, h. 96
43
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, (Padang: Sako Batuah, 2002), h.
70.

16
perkembangan Islam, barulah adat Minangkabau mengalami perubahan dalam
sistem kewarisannya, yaitu berlakunya faraaidh terhadap harta pusaka rendah.
Maknanya, dalam adat Minangkabau kewarisan harta pusaka itu bukanlah
peralihan kepemilikan harta dan pembagian harta dari orang yang telah meninggal
dunia kepada yang hidup, melainkan peralihan fungsi dan tanggung jawab
pengelolaan, pengurusan dan pengawasan harta dari generasi yang sudah
meninggal kepada generasi yang masih hidup. Tetapi untuk pewarisan harta
pencarian tetap dibagi menurut hukum faraidh.
Selanjutnya, kewarisan adat Minangkabau dalam hal pemilikan harta, adat
Minangkabau menganut asas kolektif atau komunal yang berarti kepemilikan
bersama. Harta pusaka milik kaum secara bersama-sama dan bukan milik orang
secara perorangan.
Terakhir, dalam adat Minangkabau, tidak menganut asas bilateral, tetapi
kewarisan yang mengenal ahli waris hanya dari keturunan ibu atau keturunan
perempuan saja, karena Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal,
yaitu keturunan yang diambil dari garis ibu.

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
1. Dengan prinsip garis keturunan ibu (matriarchaat), satu payung, satu
nenek, satu perut, nenek moyang orang Minangkabau dahulu membuka
tanah dengan cara “mencancang melateh, membuka kampung dan
halaman” lalu dengan semakin banyaknya jumlah anak keturunan mereka,
kampung pun diperluas, dan untuk menjamin kehidupan anak sukunya,
mereka menetapkan adanya harta pusaka (pusako).
2. Dahulunya, adat Minangkabau hanya mengenal istilah harta pusaka saja,
tidak ada yang lain. Selanjutnya terjadi perkembangan terhadap harta
pusaka, sehingga harta pusaka tersebut kemudian dibagi menjadi dua,
yaitu pusako tinggi (pusaka tinggi) dan pusako randah (pusaka rendah).
3. Pusaka tinggi adalah semua harta pusaka yang sudah lama diwarisi, turun
temurun dalam keadaan yang sama, yaitu diturunkan dari mamak kepada
kamanakan (anak-anak dari saudara perempuan). Adapun pusaka rendah
adalah segala harta pusaka yang diterima oleh kamanakan dari mamak
kandung (tungganai) rumah disebabkan dari pekerjaannya, bukan hasil
dari pusaka tinggi. Akan tetapi, dalam perkembangannya, pusaka rendah
ini diartikan sebagai harta yang diberikan melalui cara hibah, pewarisan
oleh orang tua kepada anak-anaknya yang disebabkan dari harta
perkawinan atau sepencarian kedua orang tua.
4. Dalam adat Minangkabau kewarisan harta pusaka (dalam hal ini pusaka
tinggi) bukanlah peralihan kepemilikan harta dan pembagian harta dari
orang yang telah meninggal dunia kepada yang hidup, melainkan
peralihan fungsi dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan dan
pengawasan harta dari generasi yang sudah meninggal kepada generasi
yang masih hidup.
5. Dalam kewarisan adat Minangkabau juga ditentukan bahwa dalam hal
pemilikan harta, menganut asas kolektif atau komunal yang berarti
kepemilikan bersama. Harta pusaka milik kaum secara bersama-sama
dan bukan milik orang secara perorangan. Dan, dalam kewarisan adat
Minangkabau tidak menganut asas bilateral, tetapi kewarisan yang mengenal
ahli waris hanya dari keturunan ibu atau keturunan perempuan saja, karena

18
Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yaitu keturunan yang
diambil dari garis ibu.
6. Adapun untuk pewarisan harta pencarian tetap dibagi menurut hukum
faraidh.
B. Saran
Dengan mengetahui rekontruksi adat pewarisan harta di Minangkabau,
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pewarisan harta yang
berlaku dalam Masyarakat adat Minangkabau yang juga merupakan bagian dari
keluarga Islam melayu di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas dengan alamat
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri).
2. Linda Firdawaty dan Ahmad Mulyono, SH., MH, Hukum Kewarisan Adat
Minangkabau Menurut Pemikiran Hazairin Dan Amir Syarifuddin, Jurnal
Hukum Ekonomi Syari’ah, Vol 10 No.01 (2018),
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/3268/pdf.
3. Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau. (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
4. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‘an dan Hadits, (Penerbit:
Tintamas, Jakarta, 1982)
5. Muhammad Rajab, Sistem Kekerabatan Minangkabau, Center of
Minangkabau Studies, 1969,
6. Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan
Teks dan Konteks, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),
7. Muhammad Ali al-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok: Fathan
Prima Media, 2013)
8. Wahbah Al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr,
2007) Juz 10,
9. TM. Hasby al-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
10. Amir MS, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, (Jakarta:
Citra Harta Prima, 2011),
11. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. II. Jakarta: Prenada Media,
2015,
12. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982),
13. Amir, M. S. Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang,
(Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2003),
14. Amir, M. S., Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah. (Jakarta: PT.
Mutiara Sumber Widya, 2007),
15. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2011),

20
16. Mohamad Sabri bin Haron Iza Hanifuddin, Harta Dalam Konsepsi Adat
Minangkabau, Jurnal Article Juris, Volume 11 Nomor 1 (Juni 2012), h.2
dalam situs https://media.neliti.com/media/publications/270206-harta-
dalam-konsepsi-adat-minangkabau.
17. Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2006),
18. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam
Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
19. Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu di Minaangkabau,
(Padang: Andalas University Press, 1982)
20. Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau,
(Bukittinggi: NV Nusantara, 1967
21. A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, (Jakarta: PT Pustaka Grafiti Pers, 1986)
22. Julius Dt. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam
Upaya Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi
Modernisasi Kehidupan Bangsa. (Bandung: Citra Umbara. 2007),
23. Dt. B. Nurdin Yakub, Minangkabau Tanah Pusaka: Tambo Minangkabau.
(Bukittinggi: CV. Pustaka Indonesia, 1989.) Buku 2.
24. Norhalim Ibrahim. Adat Perpatih, Perbezaan dan Persamaannya dengan
Adat Temenggung, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, Sdn. Bhd., 1993),
25. LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
(Padang: Sako Batuah, 2002),

21

Anda mungkin juga menyukai