Anda di halaman 1dari 42

keperawatan transkultural suku minang

RANCANGAN MODEL KEPERAWATAN TRANSKULTURAL


PADA SUKU MINGAKABAU
RANCANGAN MODEL KEPERAWATAN TRANSKULTURAL
PADA SUKU MINGAKABAU

Kebudayaan adalah pondasi penting untuk kesehatan. Kebudayaan memberikan kontribusi


penuh dalam tindakan keperawatan. Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus
dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam hal kepercayaan.
Di Indonesia, seperti suku Minang mempunyai pola makan yang khas. Suku Minang
cenderung lebih mengonsumsi protein hewani dan santan yang lebih banyak, tetapi kurang
mengonsumsi sayur-sayuran. Pola makan yang khas itu diduga menyebabkan tingkat proporsi
penyakit jantung koroner pada suku Minang lebih tinggi dibandingkan suku –suku lainnya.
Oleh sebab itu, gaya hidup sehat merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi.
Untuk mengatasi hal ini, kita sebagai perawat dapat menerapkan konsep model keperawatan
transkultural Leininger yang terkenal dengan sunrise model. Rancangan model keperawatan
transkulturan pada suku Minangkabau ini dilakukan mulai pengkajian hingga evaluasi sesuai
sunrise model.

A. Asal usul suku minangkabau


Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal
dari Provinsi Sumatera Barat. Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-
suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan
ini terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau sudah menganut sistem garis
keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang
ini walau orang-orang Minangkabau sangat kuat memeluk agama Islam. Kekhasan lain yang
sangat penting adalah bahwa suku Minangkabau merata dipakai oleh setiap orang di seluruh
pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu
terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan
semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah
nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Banyak ahli
telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan
pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode
kesejarahan, Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman
kerajaan Pagaruyung (Abidin, 2008).
Suku Minangkabau merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).
Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minangkabau menyebar ke daerah pesisir
(pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci
di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal
dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat
Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka ketika kerajaan tersebut
jatuh ke tangan Portugis (Akauts, 2008).
Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia. Menurut Amir (2003) sifat dasar
masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama” (komunal bezit). Tiap individu menjadi
milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya, tiap kelompok itu (suku) menjadi milik semua
individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari
timbulnya rasa setia kawan yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa tolong menolong.

B. Etimologi suku Minangkabau


Menurut Hidayah (1997) asal-usul nama Minangkabau sangat beragam, nama Minangkabau
secara umum diambil dari kata manang kabau (menang kerbau) karena adanya kebiasaan atau
adat dalam suatu perayaan diadakan suatu pertandingan adu kerbau. Namun ada juga yang
beranggapan bahwa kata Minangkabau diambil dari nama sebuah senjata tajam yang
dipasang pada tanduk kerbau. Ada pula yang membantah bahwa asal nama itu bukan dari adu
kerbau, tapi sudah ada sejak dulu. Yang jelas bangunan rumah adat Minangkabau mencirikan
tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara untuk dipelihara dan untuk korban upacara
adat. Orang Minangkabau lebih suka menyebut daerah mereka Ranah Minang (Tanah
Minang) bukan Ranah Kabau (Tanah Kerbau). Dalam pergaulan antar suku bangsa orang
Minangkabau dengan sesamanya, mereka menyebut diri mereka Urang Awak (Urang Kita).
Orang Minangkabau menggunakan satu bahasa yang sama, yaitu bahasa Minangkabau,
sebuah bahasa yang erat hubungannya dengan bahasa Melayu (Sudiharto, 2007).
Beberapa sumber lain yang menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum
peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah
Minangkabau kabwa, Minangkabau akamwa, Minangkabau atamwan dan Phinangkabhu.
Istilah Minangkabau atamwa atau Minangkabau kamba berarti Minangkabau (sungai)
Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar
Kanan. Sedangkan istilah Minangkabauatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar
memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri
Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu
Sungai Kampar (Minangkabauatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.
C. Pengkajian Transcultural Nursing
Pengkajian transcultural nursing didasarkan pada tujuh komponen yang terdapat pada
“Sunrise Model” yaitu:
1. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau contohnya yaitu bentuk desadan
bentuk tempat tinggal. Desa mereka disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari
terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari adalah daerah kediaman
utama yang dianggap pusat sebuah desa. Berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai
daerah hutan dan ladang. Di dalam nagari biasanya terdapat sebuah masjid, sebuah balai adat,
dan pasar. Mesjid merupakan tempat untuk beribadah, balai adat merupakan tempat sidang-
sidang adat diadakan. Sedangkan pasar dan kantor kepala nagari terletak pada pusat desa atau
pada pertengahan sebuah jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman di sebelah kiri
dan kanannya. Rumah adat Minangkabau biasa disebut rumah gadang dan merupakan
rumahpanggung. Bentuknya memanjang dengan atap menyerupai tanduk kerbau. Ukuran
rumah juga didasarkan kepada perhitungan jumlah ruang yang terdapat dalam rumah itu.
Sebuah rumah gadang terdiri dari jumlah ruangan dalam bilangan yang ganjil, mulai dari tiga.
Jumlah ruangan yang biasa adalah tujuh, namun ada sebuah rumah gadang yang mempunyai
tujuh belas ruangan. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan
sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa
rumah gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang
ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat kehormatan.
Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh sikap tenaga kesehatan, kebutuhan, serta
permintaan masyarakat. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan ini, perawat
perlu mengkaji persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari bantuan kesehatan, persepsi sehat
sakit, kebiasaan berobat, atau mengatasi masalah kesehatan.
Pusat kebudayaan Minangkabau berada di suatu desa yang terletak di daerah darek atau darat
di kaki gunung Merapi. Mata pencaharian penduduk terutama berusaha di bidang pertanian.
Pengolahan pertanian umumnya dilakukan secara tradisional. Artinya, penduduk
menggunakan peralatan sederhana dengan menggunakan tenaga manusia dan hewan.
Penggunaan teknologi modern dalam pengolahan tanah belum begitu tinggi frekuensinya.
Zaman dulu sebelum orang-orang mengenal mobil, kendaraan pribadi adalah bendi.
Mempunyai bendipribadi sudah setara dengan mempunyai mobil pribadi. Sampai sekarang
alat transport yang digerakkan oleh tenaga kuda ini masih mempunyai pelanggan setia
ditengah maraknya transportasi modern yang tentunya lebih cepat.
2. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Di masyarakat minang mayoritas semua beragama islam sehingga jika ada masyarakat yang
tidak beragama islam berarti dia telah menyalahi prinsip adat minangkabau dan dengan
sendirinya dia dianngap bukan orang minangkabau. Masyarakat minangkabau merupakan
penganut agama islam yang taat. Mereka bisa dikatakan tidak mengenal unsur-unsur
kepercayaan lain. Berikut ini merupakan contoh dari beberapa kesamaan faham Islam dan
Minangkabau:
a. Faham Islam: Menimba ilmu adalah wajib, Faham Minangkabau: Anak-anak lelaki harus
meninggalkan rumah mereka untuktinggal dan belajar di surau (langgar, masjid).
b. Faham Islam: Mengembara adalah kewajiban untuk mempelajari tamadun-tamadunyang
kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah sedangkan Faham Minangkabau:
Para remaja harus merantau (meninggalkan kampunghalaman) untuk menimba ilmu dan
bertemu dengan orang dari berbagai tempatuntuk mencapai kebijaksanaan, dan untuk
mencari penghidupan yang lebih baik.Falsafah merantau juga berarti melatih orang
Minangkabau untuk hidup mandiri,kerana ketika seorang pemuda Minangkabau berniat
merantau meninggalkankampungnya, dia hanya membawa bekal seadanya.
c. Faham Islam: Tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk menikah dengan lelaki yang
tidak dia cintai, Faham Minangkabau: Wanita yang menentukan dengan siapa yang ia ingin
menikah.
d. Faham Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih tinggi daripada bapak sedangkan Faham
Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di Rumah Gadang.
Upacara-upacara adalah kegiatan ibadah yang berkaitan dengan hari raya Idul Fitri, hari raya
kurban dan bulan ramadhan. Disamping itu, upacara-upacara lainnya adalah upacara upacara
peringatan kematian Hasan dan Husain di Padang Karabela (Tabuik), upacara Kitan dan
Katam berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti upacara Turun Tanah/Turun
Mandi adalah upacara bayi menyentuh tanah pertama kali,upacara Kekah adalah upacara
memotong rambut bayi pertama kali, upacara selamatan orang meninggal pada hari ke-7, ke-
40, ke-100, dan ke-1000, dan lain-lain.
Dalam kebudayaan minangkabau, karena menjaga prinsipnya maka dalam pemilihan jodoh
masyarakat sangat hati-hati, umumnya yang menjadi syarat utamanya adalah harus beragama
islam. Seorang calon bayi yang masih berupa janin di kandungan ibu selalu di doakan oleh
kedua orang tuanya. Sebagai usaha agar anak yang baru lahir nantinya menjadi anak yang
sholeh, juga di kebudayaan minang seorang ayah berkewajiban untuk mendengarkan adzan
ke telinga bayi laki-laki dan iqamat pada bayi perempuan ketika bayi baru lahir. Kemudian
ketika anak berumur 5 tahun, umumnya anak di ajari perilaku agama seperti sholat, membaca
al-quran, berpuasa, dan doa-doa pendek. Karena pada dasarnya anak balita selalu meniru apa
yang diperbuat oleh orang tua dan keluarga lainnya.
Di masyarakat minangkabau pemberian ajaran islam selalu dilakukan malam hari setelah
makan malam, karena pada saat ini hampir seluruh anggota keluarga berada di rumah setelah
melakukan pekerjaan rutin seharian. Dalam kebudayaan masyarakat minang bila dalam usia 5
tahun atau lebih, si anak tidak mau diajari dengan nilai-nilai agama islam, maka menurut
tradisi yang berlaku si anak akan diberikan sanksi berupa dimarahi dengan kata-kata sampai
si anak mau belajar. Dengan arti kata si anak berkewajiban menuruti perintah orang tuanya.
Tahap selanjutnya pendidikan agama di keluarga minang diperoleh dari aktvitasnya dalam
berinteraksi di tengah masyarakat dengan serangkaian kegiatan agama yang dilakukan,
contohnya sholat berjamaah di masjid setiap awal waktu. Saat anak berusia 7 tahun orang tua
berkewajiban memperhatikan anak apakah ia telah mulai sholat. Bila si anak belum
melakukannya, maka orang tua berkewajiban memarahi dan kalau perlu mereka akan
memukul si anak dengan sapu lidi, sehingga menjadi jera dan tidak mau melakukannya lagi.
Pada masyarakat minangkabau tidak dijumpai anak yang berusia diatas 15 tahun belum
dikhitan, bila hal itu ditemui maka secara tidak langsung masyarakat akan memberikan sanksi
pada orang tua si anak karena dianggap tidak bertanggung jawab.
3. Faktor sosial dan kekerabatan keluarga (kinship and social factors),
Dalam adat Minangkabau ada suatu adat yang penerapannya meluas dalam keluarga adalah
baso-basi, sejak anak-anak harus dibiasakan menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi
mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan
memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus (interaksi sosial)
sehingga orang Minang mempunyai ajaran tidak boleh individualistis dalam kehidupannya.
Pada kebudayaan Minangkabau di dapatkan bahwa sistem keluarga yang dianut adalah sistem
keluarga dalam keturunan garis ibunya atau matrilineal yang menempatkan pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu
yang dikenal dengan Samande (seibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat
dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Keturunan
keluarga dalam masyarakat minangkabau terdiri dari tiga macam kesatuan kekerabatan, yaitu
paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari
keluarga tersebut yang bertindak sebagai niniek mamak. Selain itu juga, jodoh harus dipilih
dari luar suku (eksogami).
Dalam prosesi perkawinan adat minangkabau disebut baralek yang mempunyai beberapa
tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput oengantin pria), sampai bersandiang (bersanding di pelaminan).
Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan).
Setelah maminang dan pernikahan secara islam yang biasa dilakukan di mesjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab didepan penghulu
atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan pengganti nama
kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut.
Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir
pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku. Dalam
adat diharapkan adanya oerkawinan dengan anak perempuan mamaknya. Perkawinan tidak
mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan yaitu pemberian sejumlah iang dan
barang kepada keluarga mempelai pria. Sesudah upacara perkawinan mempelai tinggal di
rumah istrinya (matrilokal).
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa di keluarga seperti
dalam peran sentral untuk menentukan pendidikan, pengamanan dan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga. Akibat menganut sistem keluarga matrilineal, tidak dapat mempunyai
keluarga inti (nuclear family) yang dibentuk akibat adanya perkawinan karena suami atau
isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing.
Pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit
tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena mereka selalu
terpusat oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Akibatnya, anak-anak dihitung
sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu
serta anggota-anggota lainnya dalam berdampak pada, adanya ikatan yang lemah atau
kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan peran ayah dalam rumah tangga serta
kurannya kekuasaaan ayah dalam mengatur selalu menjadi akibat dari sistem ini. Adanya hal
tersebut kesenjangan antara keluarga dari garis keturunan laki-laki dapat terlihat apabila
ketika lelaki tidak dilarang berpoligami, bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih jarang
bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan itu tambah berkurang lagi bila perceraian terjadi,
dalam keadaan mana dia jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya. Akhirnya anak tidak
mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak menjadi jauh
dengan ayahnya.
Peran keluarga Minangkabau dalam membesarkan anak yang masih balita pada masa-masa
menjelang taun pertama bayi, amat dekat dengan ibunya, karena ibulah yang selalu
menyusui. Ayah lebih banyak mengawasi dan bercanda dengan sang anak. Apalagi keluarga
Minang suami istri biasanya aktif bekerja di ladang jadi seringkali sang anak biasanya setelah
umur 1-1,5 tahun di bawa oleh ibunya di bawa ke ladang, dan seringnya anak dititipkan oleh
tetangga dan kerabat terdekat atau diasuh kakaknya.
Pemberian ASI umumnya masih mengikuti pola tradisional, yaitu kapan bayi menangis atau
sewaktu bangun tidur. Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah
usia 5 bulan, ASI di berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah,
biasanya ASI hanya di berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika
ASI pada siang hari. Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke
ladang. Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini
anak sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka
beranggapan ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap dapat
mendatangkan penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja.
4. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways),
Dalam membesarkan anak atau mengasuh anak keluarga Minangkabau mempunyai beberapa
tradisi , antara lain:
a. Upacara kehamilan, ketika janin berusia 16 minggu, maka disaat inilah bebera kalangan
masyarakat mengharapkan doa dari kerabatnya. Pengertian kerabat disini terdirin dari para
ipar dan besan dari masing-masing pasangan isteri untuk membangun kehidupan baru
menjadi pasangan keluarga sakinah ma waddah wa rahmah memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar awal kehidupan janin membawa harapan yang dicita-citakan.
b. Upacara Karek Pusek (Kerat pusat), upacara pada saat dilakukan pemotongan tali pusat.
c. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah), memberikan sesuatu kepada sang bayi sebagai
wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga muda. Umumnya Induk bako
dan kerabatnya akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi laki-laki atau gelang bagi
bayi perempuan serta pemberian lainnya.
d. Upacara Sunat Rasul, bagi anak laki-laki telah cukup umur dan berkat dorongan kedua
orang tuanya, maka seorang anak akan menjalani khitanan yang di Ranah Minang disebut
Sunat Rasul. Sunah rasul mengandung pengharapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-
lakinya itu menjadi anak yang dicita-citakan serta berbakti kepada kedua orang tua. Anak
laki-laki yang sudah dikhitankan itu didudukkan di sebuah pelaminan seperti pengantin.
Dalam keluarga Minang biasanya ibu memasak banyak ragam makanan yang lezat untuk
kelurganya yaitu makanan berat yang banyak menggunakan hasil ladang yaitu kelapa seperti
rendang Darek, rendang Paku, rendang Padang, gulai Paku/pakis, singgang ayam, gulai
kambing, katupek gulai, sate, dan apik ayam.

5. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kepala suku masyarakat Minangkabau disebut penghulu, dubalang, dan manti. Dubalang
bertugas menjaga keamanan kampung, sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas
keamanan. Kesatuan dari beberapa kampung disebut nagari. Sistem pemerintahannya
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a. Laras Bodi-Caniago berhubungan dengan tokoh Datuek Parapatiek nan Sabatang.
b. Laras Koto-Piliang berhubungan dengan tokoh Datuek Katumenggungan.
Dalam sistem pemerintahan Laras Bodi-Caniago menunjukkan sistem yang demokratis,
karena musyawarah selalu diutamakan.
Berdasarkan Kesepakatan Bersama Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 Nomor: Kes-
01/Kkm/8/2010 Tentang Ajaran, Kelembagaan, Akhlak, Dan Kebijakan Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi
Guru Untuk Seluruh Keluarga Besar Minangkabau Di Ranah Minang Dan Di Rantau Dalam
Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada bagian pertama BAB 3 pasal 6 yaitu
tolak ukur lahiriah antara lain:
a. Tolok ukur terwujudnya Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah pada sisi
lahiriah adalah:
1) Tercapainya taraf hidup yang sejahtera, baik lahir maupun bathin, baik
secara umum bagi seluruh warga masyarakat Minangkabau, maupun secara khusus untuk
anak-anak, pemuda, kaum perempuan, penyandang cacat, dan orang tua.
2) Terbebasnya masyarakat dari berbagai ancaman penyakit masyarakat, khususnya narkotika
, pornografi, pornoaksi, dan kejahatan lainnya.
3) Terbebasnya masyarakat dari korupsi dan jeratan hutang piutang berkepanjangan.
b. Untuk mencapai taraf hidup yang sejahtera lahir dan bathin tersebut di atas, perlu
dimanfaatkan berbagai program pembangunan, baik yang bersifat lokal, nasional maupun
internasional.
c. Untuk jangka menengah sampai tahun 2015, Tungku Tigo Sajarangan, Bundo Kanduang
dan Kaum Muda sebagai kepemimpinan sosial masyarakat Minangkabau bekerjasama
dengan para penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan delapan
Sasaran Pembangunan Millenium 2015, yang terdiri dari :
1) Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan.
2) Mewujudkan terpenuhinya pendidikan dasar.
3) Mendorong pemberdayaan kaum perempuan.
4) Mengurangi angka kematian anak.
5) Memperbaiki kesehatan kaum ibu.
6) Menanggulangi penyakit HIV/AIDS , malaria, dan penyakit-penyakit lainnya.
7) Menjamin kelestarian lingkungan.
8) Mengembangkan kerjasama sejagat untuk pembangunan.
Pada bagian ketiga bab X pasasal 26 mengenai akhlak ibu anatara lain:
a. Ibu memegang peran sentral dalam hubungan kekerabatan Minangkabau, oleh karena di
bawah pembinaan dan kasih sayang Ibu diletakkan dan dikembangkan dasar-dasar
kepribadian serta landasan moral seorang anak, yang akan menentukan jalan hidupnya kelak.
b. Kepribadian seorang anak diarahkan untuk tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan
bakat kemanusiaannya sesuai dengan ajaran Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah
dan kaidah-kaidah umum pembinaan kepribadian sesuai dengan perkembangan zaman.
c. Masyarakat perlu membantu pengembangan kemampuan setiap perempuan untuk memikul
tanggung jawab keibuannya dengan sebaik-baiknya.

Pada bagian ketiga BAB X pasal 26 mengenai akhlak anak antara lain:
a. Sebagai generasi muda pemilik masa depan, setiap anak harus mempersiapkan diri dengan
sungguh-sungguh dan secara jujur agar mampu memanfaatkan peluang serta menjawab
tantangan masa depan sehingga ia dapat menjadi warga masyarakat yang berguna, baik bagi
dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi suku, bagi masyarakat, dan bagi bangsanya.
b. Setiap anak Minangkabau harus berjuang sehingga selain mempunyai kemampuan
minimal yang setara dengan anak-anak lainnya di dunia, juga mampu bersaing dalam
mencapai kebaikan (fastabiqul khairaat).
Pada bagian ketiga BAB XII pasal 34 mengenai pendidikan dan pelatihan calon ibu dan calon
bapak antara lain:
a. Agar dapat menunaikan tugas pokoknya dengan sebaik-baiknya sebagai Ibu dan Bapak
dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, diadakan pendidikan dan pelatihan.
b. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap calon ibu dan calon bapak menjadi
tanggung jawab dari keluarga dan suku masing-masing, dengan bantuan instansi yang
berwenang.
c. Pokok-pokok yang harus disampaikan kepada para calon ibu dan calon bapak adalah:
pendalaman rukun iman dan rukun islam, sistem kekerabatan berdasar ABS SBK, akhlak,
kematangan pribadi, ekonomi rumah tangga, keluarga berencana, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
d. Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan calon ibu dan calon bapak, diadakan ujian
oleh Forum Adat dan Syarak/Forum Tungku Tigo Sajarangan, dan mereka yang lulus
diberikan sertifikat
6. Faktor ekonomi (economical factors)
Pada kebudayaan Minangkabau diketahui bahwa pekerjaan di daerah sumatera barat rata-rata
mengacu pada pertanian sawah dan ladang. Strategi yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga rata-rata memanfaatkan jumlah tanah yang ada dengan menanam
berbagai macam tanaman pangan seperti cabe, umbi jalar, dll. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang meningkat dengan pesat laki-laki cenderung mengerjakan tindakan berat
seperti mencangkul, membajak, dan sebagainya. Sedangkan para perempuan cenderung ke
hal-hal yang ringan seperti penanaman, penyiraman, dan lain-lain. Anak yang sudah dewasa
bisa membantu pekerjaan orang tuanya di ladang untuk menambah keuangan keluarga.
Mata pencaharian utama masyarakat minangkabau bagi yang tinggal di pinggir laut adalah
menangkap ikan. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak masyarakat minangkabau
yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Selain itu juga, Masyarakat Minangkabau juga
banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan
tersebut merupakan cenderamata khas dari Minangkabau.
7. Faktor pendidikan (educational factors)
Pendidikan pada kenyataannya telah membagi dua kelompok masyarakat didesa ini. Pertama
adalah kelompok yang mengenyam bangku pendidikan formal dan kedua kelompok
intelektual yang berpendidikan cukup tinggi. Kelompok pertama adalah yang terbesar, yaitu
mereka yang terlibat sebagai petani, pedagang kecil, tukang, yang sebagian besarnya adalah
orang-orang tua. Kelompok kedua jumlahnya jauh lebih kecil, dan jarang tinggal di desa.
Mereka adalah pemuda yang biasanya tinggal di kota terdekat dan di rantau. Kelompok
pertama lebih mementingkan tata tertib, nilai, norma dan agama yang berorientasi tradisi.
Kelompok kedua lebih mementingkan ilmu pengetahuan dan kerja, walaupun demikian
mereka tidak mengabaikan tata tertib dan agama, terutama sekali bila mereka pulang ke desa.
Dapat bertahannya serangkaian nilai etika dan agama pada kelompok kedua diduga amat
berkaitan dengan proses sosialisasi di masa lampau di mana berbagai aturan, nilai, norma dan
agama telah terinternalisasi dalam si anak. Kekuatan ini pada gilirannya tetap mampu
mempertemukan dan menyelaraskan hubungan antara kelompok pertama dan kedua, karena
harus disadari bahwa hubungan ini juga melibatkan kepentingan kekerabatan, kekeluargaan,
serta emosi kedaerahan sebagai warga yang berasal dari daerah yang sama.
Proses saling membantu dan hubungan baik tetap terwujud dalam keluarga. Misalnya bagi
anak-anak yang telah sukses akan membantu adik-adiknya mengikuti jejaknya atau menolong
orang tua dengan membuatkan rumah, membelikan ternak atau sawah. Pengabdian anak lebih
banyak didasarkan pada bantuan material, karena memang itulah yang menjadi kendala di
desa ini. Namun akibatnya tidak tanggung-tanggung, karena bantuan tersebut juga bersifat
fungsional, yaitu mengangkat status dan harga diri suatu keluarga. Dan selanjutnya
pendidikan dianggap menjadi tulang punggung untuk sebuah kesuksesan.
8. Ekspresi, Pola, dan Praktik Keperawatan
Pengertian sehat-sakit menurut masyarakat suku Minang tidak terlepas dari tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pada umumnya, masyarakat
menganggap bahwa seseorang dikatakan sehat adalah seseorang yang memiliki jasmani dan
rohani yang sehat, serta dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sedangkan untuk masalah
sakit, sebagian masyarakat Minang masih ada yang mempercayai bahwa selain disebabkan
karena penyebab fisik, juga disebabkan karena adanya gangguan roh-roh halus. Bagi
masyarakat Minang, dikatakan sakit, jika seseorang tersebut tidak dapat melakukan
aktivitasnya sehari-hari seperti berdagang, bekerja di kantor, berladang dan lainlain.
Walaupun seseorang tersebut tersebut sudah memiliki gejala sakit seperti sakit kepala, flu
ataupun masuk angin namun masih dapat beraktivitas belum diartikan sebagai sakit. Dan
jikalau kepala keluarga sakit, maka secara tidak langsung semua anggota keluarga yang ada
di dalam keluarga tersebut akan sakit.
a. Tradisi Pemeliharaan Kesehatan
Praktik-praktik kesehatan keluarga Minangkabau dipengaruhi oleh nilai-nilaiajaran agama
Islam. Sebagai contoh, kelahiran bayi dibantu oleh dukun/bidan dan ditunggui oleh ibu
mertua. Setelah bayi lahir, plasenta bayi tersebut dimasukkan ke dalam periuk tanah dan
ditutup dengan kain putih. Penguburan plasenta dilakukan oleh orang yang dianggap
terpandang dalam lingkungan keluarga. Pada zaman dahulu, keluarga Minangkabau lebih
memilih melahirkan dengan dibantu dukun beranak daripada pergi ke pusat kesehatan.
Mereka beranggapan bahwa melahirkan dibantu dukun beranak atau paraji biayanya lebih
murah. Namun sekarang ini sesuai dengan perkembangan zaman, keluarga Minang lebih
memilih melahirkan di bidan atau Puskesmas. Mungkin hanya sebagian saja yang masih
melahirkan dibantu oleh dukun beranak, khususnya masyarakat yang masih tinggal di daerah
terpencil dan tenaga kesehatannnya terbatas. Keluarga Minangkabau pada kelas sosial yang
rendah mempunyai pola perilaku mencari bantuan pertolongan kesehatan keluarga yang
sederhana, yaitu dengan pergi ke dukun.
Dalam hal perawatan orang sakit, seiring dengan perkembangan teknologi dan tingginya
tingkat pengetahuan, keluarga/masyarakat Minang lebih memilih untuk meneruskan
pengobatan yang didapat dari petugas kesehatan. Namun adakalanya, keluarga memberikan
perawatan-perawatan sederhana seperti jika seseorang demam hanya dikompres dengan
daun-daun yang sifatnya dingin (kembang semangkok, daun jarak), jika batuk diberikan air
daun kacang tujuh yang telah diremas, ibu postpartum biasanya diberikan tambahan seperti
minum jamu ataupun ramuan-ramuan tertentu.
b. Sikap fatalisme yang mempengaruhi status kesehatan
Sikap fatalisme yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan, beberapa anggota masyarakat
Minang di kalangan kelompok yang beragama Islam percaya bahwa anak adalah titipan
Tuhan, dan sakit atau mati itu adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit, atau menyelamatkan seseorang
dari kematian.
Sejalan dengan aktivitas ekonomi di pedesaan, banyak warung yang menjual obat sampai ke
pelosok. Oleh karena itu bila mereka sakit, biasanya mereka hanya berobat ke warung.
Resiko yang dapat terjadi dengan pola mencari bantuan kesehatan seperti ini adalah terjadi
komplikasi atau sakitnya semakin parah.
c. Nilai atau norma yang mempengaruhi status kesehatan
Nilai yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. nilai-nilai
tersebut ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehatan. Beberapa nilai yang
merugikan kesehatan misalnya adalah Pemberian nutrisi pada bayi baru lahir. Ada suatu
kebiasaan yang ada pada masyarakat daerah ini yang kurang baik untuk nutrisi bayi, yaitu ibu
bayi tidak langsung memberikan ASInya pada bayi tapi ibu bayi membuang ASI yang
pertama kali keluar. Padahal ASI yang pertama kali keluar mangandung colostrums yang
sangat berperan dalam kekebalan tubuh bayi. Masyarakat ini menganggap colostrums sebagai
ASI yang sudah rusak karena warnanya yang kekuningan. Selain itu, colostrums juga
dianggap dapat menyebakan diare, muntah, dan masuk angin pada bayi.
9. Kesehatan secara Holistik
Kebudayaan adalah pondasi penting untuk kesehatan. Kebudayaan memberikan kontribusi
penuh dalam tindakan keperawatan. Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus
dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam hal kepercayaan. Di
Indonesia, seperti suku Minang mempunyai pola makan yang khas. Suku Minang cenderung
lebih mengonsumsi protein hewani dan santan yang lebih banyak, tetapi kurang
mengonsumsi sayur-sayuran. Pola makan yang khas itu diduga menyebabkan tingkat proporsi
kesehatan pada suku Minang lebih tinggi dibandingkan suku –suku lainnya.
Makanan pokok orang Minangkabau adalah nasi. Nasi diperoleh dari beras (oryza sativa
varindicus) yang telah dimasak dengan direbus. Suatu ungkapan yang sering didengar adalah
bialah makan samba lado asal nasinyo lamak (artinya: biarlah makan dengan sambal asal
nasinya enak). Pernyataan ini menunjukkan begitu pentingnya nasi bagi orang Minangkabau.
Nasi dimakan dengan berbagai makanan lauk-pauk seperti ikan, daging, sayur dan buah.
Daging yang sering dikomsumsi yaitu daging sapi dan kambing termasuk hati, otak, isi perut,
kulit, dan urat kaki sapi (tunjang). Jenis sayuran yang sering dikomsumsi yaitu timun, terong,
daun singkong, bayam, buncis, petai, dan jengkol. Selain itu juga memakan ikan, ikan kering
dan ikan hasil olahan seperti sarden. Makanan selingan biasanya dikomsumsi di luar waktu
makan. Makanan selingan orang Minangkabau memiliki rasa manis dan pedas. Makanan
selingan ini biasanya dimakan pada pagi dan sore sebagai teman minum teh atau kopi.
Makanan selingan dapat dibeli di warung, pasar atau penjual jajanan keliling. Makanan yang
dipandang sebagai makanan selingan seperti kacang-kacangan, biskuit, gorengan (ubi,
pisang, tempe, roti, risoles, tempe), keripik, peyek, kue-kue kering, kue basah seperti kue
paniaram (kue cucur), kue lemper; lapek, lemang, kolak pisang dan ubi, siomai, martabak,
bubur kacang hijau, bubur ketan, bakso, dan gado-gado.
Salah satu makanan khas Minang ialah Masakan Padang. Masakan Padang dikenal dengan
masakan yang berbumbu tajam karena banyak menggunakan rempa-rempah dan cabai,
bersantan dan juga tinggi lemak. Selain masakannya, cara penyajiannya pun berbeda dari
warung makan lainnya dan juga warung makan yang berbentuk rumah adat Padang. Dengan
berkembangnya jaman, banyak orang yang tidak sempat memasak sendiri. Sebab itu banyak
orang yang memilih masakan Padang, karena masakan Padang memiliki hal yang diinginkan
oleh orang-orang yang tidak sempat memasak sendiri di rumah. Contoh masakan Padang
antara lain rendang, ayam pop, paru goreng, gulai banding, teri balado, sate Padang, gulai
cincang kambing / sapi, dan masih banyak lagi. Komposisi zat gizi yang terkandung di dalam
masakan Padang sebenarnya lengkap, dari segi kalori, protein namun banyak mengandung
tinggi lemak jenuh, karena masakan Padang banyak menggunakan santan dan lemak. Lemak
merupakan sumber energi yang dipadatkan. Tiap gram lemak menghasilkan 9 kalori, 1 gram
karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kalori. Pencernaan lemak dalam tubuh dibantu
dengan bantuan empedu. Yaitu lemak yang belum teremulsi, dalam lambung dengan bantuan
empedu diubah menjadi lemak yang sudah teremulsi dan selanjutnya bersama-sama dengan
lemak yang memang teremulsi akan masuk kedalam usus halus. Di dalam usus halus lemak-
lemak yang teremulsi tadi dengan bantuan enzim intestinal lipase dan pencreatik lipase akan
diubah kedalam 3 struktur yang lebih sederhana. Fungsi lemak yaitu antara lain sebagai
penghasil energi, pembentuk susunan tubuh, menghemat protein, penghasil asam lemak
esensial, pelarut vitamin, sebagai pelumas diantara persediaan dan masih banyak lagi. Pada
masakan Padang, lemak berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan citarasa bahan makanan
juga sebagai penghantar panas. Selain itu merupakan ciri khas masakan Padang. Namun jika
mengkonsumsi lemak secara berlebihan maka akan menyebabkan penyakit bahkan dapat
menimbulkan kematian. Salah satu contoh penyakit seperti Penyakit Jantung Koroner,
obesitas dan masih banyak lagi.
Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai yaitu
sayuran dan makanan yang hambar. Selain itu beberapa orang diantaranya tidak suka
mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau ikan kering. Hal ini disebabkan karena tidak
dibiasakan dari kecil untuk mengkonsumsi ikan. Ikan merupakan makanan yang baik bagi
kesehatan karena mengandung asam omega tiga, bahkan dapat mengikat lemak dalam tubuh.
Pilihan-pilihan terhadap makanan berdasarkan kesukaan dan ketidak sukaan tidak hanya
dilakukan di rumah akan tetapi juga ketika menghadiri upacara atau pesta perkawinan.
Biasanya orang Minang yang mengadakan pesta, selalu menonjolkan menu makanan khas
Minang yang sering disebut makanan Padang.
Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi yaitu
19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya. Angka penderita hipertensi di Sumatera
Barat dinyatakan tertinggi di Indonesia dan di dunia, karena rata-rata di dunia yang
mengalami hipertensi hanya sekitar 10 persen. Karena tidak memiliki gejala awal tetapi dapat
menyebabkan penyakit jangka panjang dan komplikasi yang berakibat fatal. Kebanyakan
masyarakat Minangkabau masih menganggap hipertensi adalah hal yang sepele, padahal
melihat komplikasinya jika terjadi penyakit tekanan darah tinggi pada seseorang bisa
berujung pada kematian. Orang yang dinyatakan menderita penyakit hipertensi biasanya
makanan yang dikonsumsi haruslah dijaga atau mengikuti diet tertentu seperti mengurangi
asupan garam, dan makanan yang berlemak tinggi. Penderita hipertensi dianjurkan untuk
banyak mengkonsumsi makanan yang berserat tinggi sayuran dan buah-buahan.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama pada usia 35-44 tahun.
Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan pola
makan tinggi lemak hewani, kurang sayur dan buah yang merupakan sumber antioksidan dan
serat. Etnik Minang mempunyai rata-rata kadar kolesterol plasma total lebih tinggi dibanding
etnik Sunda, Jawa dan Bugis. Minyak kelapa sawit dan santan merupakan sumber asam
lemak utama yang dikonsumsi etnik ini. Proses pengolahan makanan dapat mempengaruhi
komposisi asam lemak yang terdapat dalam makanan. Proses penggorengan dan membuat
gulai merupakan cara pengolahan yang paling sering dilakukan oleh etnik Minang. Kedua
proses tersebut biasanya menggabungkan bahan makanan sumber asam lemak jenuh dengan
bahan makanan sumber kolesterol.
Ragam masakan Masyarakat Minang yang banyak berbahan santan dan daging membuat
asupan lemak jenuh mereka lebih tinggi. Rasio asupan lemak yang sehat adalah satu banding
satu antara asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA), asam lemak tak jenuh jamak
(polyunsaturated fatty acid/PUFA), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty
acid/MUFA). Dalam kombinasi yang tepat yakni 1:1:1. Kelebihan asam lemak jenuh akan
meningkatkan berbagai resiko kesehatan.
Berbagai usaha untuk mengurangi resiko yaitu pertama, merubah cara pengolahan makanan.
Biasanya mengolah bahan makanan dengan cara gulai dengan santan kental. Maka setelah
sakit memasak gulai dengan santan yang tidak terlalu kental. Menurut mereka cara ini lebih
baik daripada tidak ada usaha sama sekali. Namun, tidak semua jenis masakan yang dapat
dikurangi santannya. Untuk rendang dan kalio santannya selalu kental, sedangkan gulai ikan
atau sayuran santan dikurangi. Untuk pengolahan yang biasa dilakukan dengan cara digoreng,
mereka menggunakan minyak goreng yang rendah kolesterol. Jenis sayuran masak dengan
cara merebus. Kedua, mengurangi porsi konsumsi daging. Apabila masak rendang daging
membatasi masakannya cukup untuk makan satu hari saja. Sebelumnya masak daging dua
kilo sehingga dapat mereka konsumsi untuk dua atau tiga hari. Ketiga, mereka yang
menyukai makan daging beralih ke ikan sebagai lauk sehari-hari. Ada berbagai macam jenis
ikan yang dapat mereka konsumsi seperti ikan tongkol, kerang, cumi-cumi, udang dan
sebagainya. Ikan dapat digulai atau digoreng. Sehingga tidak menimbulkan rasa bosan
terhadap lauk ikan apabila dimakan setiap hari.
Kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi budaya juga dapat mempengaruhi
kesehatan. Budaya Minang yang biasa mengkonsumsi makanan pedas dan berminyak,
misalnya gulai. Pada setiap acara yang dilakukan, gulai selalu dijadikan sebagai menu utama.
Karena itulah banyak orang Minang yang terkena Penyakit Jantung Koroner (PJK). Untuk
penanggulangan masalah Penyakit Jantung Koroner pada etnik Minang, dapat dianjurkan
untuk mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur, mengubah cara pengolahan bahan
makanan, dan mengurangi atau mengganti bahan makanan hewani sumber kolesterol yang
digabungkan atau diolah menggunakan sumber asam lemak jenuh seperti santan. Selain itu
dalam memasak kita juga harus memperhatikan bahan yang di gunakan. Jangan
menggunakan bahan yang memiliki kandungan yang sama, seperti yang dilakukan pada etnik
Minang. Jika mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan maka akan merusak sistem tubuh kita.

D. Diagnosa Transcultural Nursing


1. Rumusan masalah keperawatan transkultural
No. Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS:
1. Kurang minat dalam meningkatkan perilaku sehat

DO:
1. Menunjukkan kurang pengetahuan tentang praktik dasar kesehatan
2. Riwayat kurang perilaku sehat
3. Terbatasnya tindakan pencegahan dalam kesehatan Adanya keyakinan pada budaya suku
Minangkabau bahwa sakit tidak hanya dari fisik namun juga dari gangguan roh-roh halus.
Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan
2. DS:
1. Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai yaitu
sayuran dan makanan yang hambar.
2. Beberapa orang diantaranya tidak suka mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau ikan
kering.
DO:
1. Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi yaitu
19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya.
2. Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi Kebiasaan suku Minangkabau yang suka
makanan dari protein hewani dan makanan bersantan Tingginya penyakit: hipertensi, PKJ,
obesitas, dll
3. DO:
1. anak tidak mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak
menjadi jauh dengan ayahnya
DS:
1. adanya ikatan yang lemah atau kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan peran
ayah dalam rumah tangga serta kurannya kekuasaaan ayah dalam mengatur keluarga
2. memperlihatkan gangguan pada rutinitas keluarga Struktur sosial Minangkabaun selalu
terpusat oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat Ketidakmampuan menjadi menjadi
orang tua (ayah)
4. DS:
1. persepsi suplai ASI yang tidak adekuat
DO:
1. Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI di
berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah, biasanya ASI hanya di
berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika ASI pada siang hari.
Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke ladang.
2. Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini anak
sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka beranggapan
ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap dapat mendatangkan
penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja. Kurang pengetahuan
Ketidak efektifan pemberian ASI

2. Diagnosa Keperawatan
a. Tingginya penyakit: hipertensi, PKJ, obesitas, dll pada masyarakat suku Minangkabau
berhubungan dengan kebiasaan suku Minangkabau yang suka makanan dari protein hewani
dan makanan bersantan yang ditandai dengan:
1) Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai yaitu
sayuran dan makanan yang hambar.
2) Beberapa orang diantaranya tidak suka mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau ikan
kering.
3) Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi yaitu
19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya.
4) Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi.
b. Ketidak efektifan pemberian ASI pada masyarakat suku Minangkabau berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan masyarakat suku Minangkabau tentang pemberian ASI
ditandai dengan:
1) persepsi suplai ASI yang tidak adekuat
2) Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI di
berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah, biasanya ASI hanya di
berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika ASI pada siang hari.
Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke ladang.
3) Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini anak
sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka beranggapan
ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap dapat mendatangkan
penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja.
c. Ketidakmampuan menjadi menjadi orang tua (ayah) pada masyarakat suku Minangkabau
berhubungan dengan struktur sosial Minangkabaun selalu terpusat oleh sistem garis
keturunan ibu yang lebih kuat ditandai dengan:
1) anak tidak mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak
menjadi jauh dengan ayahnya.
2) adanya ikatan yang lemah atau kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan peran
ayah dalam rumah tangga serta kurannya kekuasaaan ayah dalam mengatur keluarga.
3) memperlihatkan gangguan pada rutinitas keluarga.

E. Perencanaan Transcultural Nursing


Peran perawat pada keperawatan transkultural yaitu sebagai jembatan antara sistem
perawatan yang dilakukan pada masyarakat awam dengan sistem perawatan professional
melalui asuhan keperawatan. Fokus layanan dalam keperawatan transkultural tersebut
meliputi layanan pada individu, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi pada berbagai
konteks kehidupan.
Gambar. Peran perawat dalam keperawatan transkultural

Pada masyarakat suku Minangkabau mempunyai pola makan yang khas. Suku Minangkabau
lebih suka mengkonsumsi protein hewani dan makanan yang mengandung banyak santan,
tetapi masih kurang dalam mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Oleh karena itu,
masyarakat suku Minangkabau memiliki prevalensi penyakit jantung koroner tinggi
dibandingkan dengan suku-suku lainnya, diduga karena hal tersebut.
Proses penggorengan dan pembuatan gulai merupakan cara pengolahan makanan yang sering
dilakukan oleh masyarakat suku Minangkabau yang keduanya menggabungkan bahan
makanan sumber asam lemak jenuh dengan bahan makanan sumber kolesterol. Contoh
makanan berat: rendang darek, rendang paku, rendang padang, sambal balado, kalio, gulai
cancang, sambal lado tanak, gulai itik, gulai kepala ikan kakap merah, sate padang, soto
padang dan asam padeh. Contoh makanan ringan: lamang tapai, bubur kampiun, es tebak,
keripik jangek, keripik balado, keripik sanjai, dakak-dakak, galamai, amping badadih,
nagasari dan kacang tojin (Sudiharto, 2007).
Perilaku praktik kesehatan pada keluarga Minangkabau masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
ajaran agama islam, contohnya pada kelahiran bayi, mereka lebih memilih untuk dibantu oleh
dukun atau bidan dan ditunggui oleh ibu mertua karena menganggap biayanya lebih murah,
tanpa meminta bantuan ke puskesmas. Namun sekarang mulai mengikuti perkembangan
zaman, keluarga suku Minangkabau memilih untuk melahirkan di bidan atau puskesmas,
hanya sebagian masyarakat saja yang masih pergi dukun beranak terutama masyarakat daerah
terpencil dengan tenaga kesehatan yang terbatas.
Sesuai dengan ekonomi yang ada di pedesaan, masih banyak warung-warung yang menjual
obat. Sehingga apabila masyarakat sakit biasanya mereka hanya membeli obat di warung saja
yang beresiko bertambah parahnya penyakit. Dampak yang lebih luas lagi apabila datang ke
rumah sakit dan tidak tertolong, masyarakat suku Minangkabau menganggap bahwa tenaga
kesehatan di rumah sakit tidak professional. Namun apabila masyarakat suku Minangkabau
datang ke dukun dan nyawa keluarga mereka tidak tertolong, mereka menganggap belum
berjodoh dengan alternatif dukun (Sudiharto, 2007).
Pengertian sakit menurut masyarakat suku Minangkabau adalah ketika mereka sudah tidak
dapat melakukan aktifitas seperti biasanya seperti bekerja, berdagang, pergi ke ladang dan
lain-lain. Apabila mereka masih mampu melakukan aktifitas tersebut, mereka menganggap
bahwa mereka tidak sakit walaupun sudah memiliki gejala seperti flu, demam, sakit kepala
dan lain-lain. Ada beberapa jenis penyakit yang menurut masyarakat suku Minangkabau tidak
dapat dibawa ke rumah sakit seperti busung, kusta atau biriang dan patah tulang yang hanya
akan dibawa ke dukun patah (sangkal putung; bahasa jawa). Menurut masyarakat suku
Minangkabau penyakit seperti busung dan kusta terjadi disebabkan karena guna-guna (ulah
seseorang) atau kutukan karena telah melakukan larangan.
Beberapa upacara tradisi yang dipraktikan oleh masyarakat suku Minangkabau diantaranya:
1. Upacara Kehamilan
Ketika roh ditiupkan ke dalam seorang ibu pada janinnya yang berusia 16 minggu dengan
meminta doa kerabat dan besan dari masing-masing pasangan suami istri. Bagi masyarakat
suku Minangkabau, bayi perempuan dianggap sebagai pelanjut dari paruik atau kaum
sedangkan bayi laki-laki kelak diharapkan sebagai penunjang nama kerbat separuiknya dan
menjadi pembela kaum wanita dalam klennya.
2. Upacara Karek pusek (kerak pusat)
Tidak ada tujuan khusus dilakukannya upacara pemotongan tali pusat karena merupakan
upaya dari kalangan medis untuk memisahkan tali pusat dari plsenta ibunya.
3. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
Upacara ini sering dilakukan dengan tradisi tertentu diantara ipar dengan besan dan indul
bako dari pihak bayi. Induk bako bayi akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi
laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan dan barang-barang lainnya sebagai wujud kasih
sayang.
4. Upacara Sunat Rasul
Seorang anak laki-laki akan menjalani sunat atau khitan yang dalam istilah kesehatan disebut
dengan sirkumsisi ketika usianya sudah dianggap mencukupi. Hal ini mengandung sebuah
harapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-laki mereka mejadi anak yang dicita-citakan
serta berbakti kepada kedua orang tua.
Melihat beberapa hal yang menjadi tradisi ataupun kebiasaan pada masyarakat suku
Minangkabau, ada beberapa tradisi atau kepercayaan yang mungkin perlu diubah, salah satu
diantaranya yaitu kepercayaan mereka terhadap dukun yang dapat mengobati penyakit serta
menganggap bahwa beberapa penyakit seperti busung dan kusta merupakan akibat dari guna-
guna seseorang. Sebagai tenaga kesehatan, perawat berperan dalam hal ini, yaitu mengubah
persepsi masyarakat dengan mulai mengenalkan mengenai konsep penyakit-penyakit tersebut
dan dampak lanjutan jika tanpa ada penanganan medis.
Selain itu, ada beberapa tradisi masyarakat suku Minangkabau yang dapat dilestarikan seperti
upacara-upacara yang biasa dilakukan sebagai adat sesuai dengan agama mereka, dalam
batasan hal itu tidak menyimpang dan mengganggu atau bahkan membahayakan kesehatan
mereka.
1. Pendekatan atau Teknik Transkultural Nursing
Dalam melakukan pendekatan dengan teknik transkultural nursing ini, perlu diperhatikan
beberapa aspek yaitu:
a. Komunikasi
Perbedaan bahasa dan tutur bahasa yang digunakan antara Suku Minangkabau dengan
seorang perawat transkultural mungkin menjadi salah satu kendala terbesar terkait aspek
komunikasi ini. Perlunya memahami budaya dan suku tersebut sebelum kita turun langsung
ke daerahnya sangat diperlukan. Selain itu jika memang tidak atau kurang berhasil, kita dapat
menggunakan bantuan orang ketiga untuk menghubungkan dan menyampaikan maksud dari
tindakan yang hendak kita lakukan. Dengan penddikan masyarakat suku tersebut rendah
maka perawat tidak dapat menggunakan komunikasi dengan tulisan.
b. Strata Sosial
Dalam kaitannya dengan pendekatan ke strata sosial ini, perawat transkultural bisa
melakukan pendekatan kepada orang-orang yang berpengaruh disana seperti kepala sukunya
atau tetua-tetua suku yang mereka percaya. Sehingga kita nantinya dapat dibanntu paling
tidak untuk diterima terlebih dahulu oleh masyarakat suku minangkabau. Dengan adanya
sikap saling percaya diharapkan nantinya terjalin kerjasama yang baik antara perawat
transkultural dengan masyarakat suku minangkabau.

2. Peran perawat
Perawat memiliki peran aktif untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebu terkait
dengan kearifan lokal yang sudah menjadi tradisi adat istiadat suku tersebut. Peran perawat
dalam layanan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain:
a. Cara I : Mempertahankan budaya
Perawatan ibu postpartum menurut budaya Minang meliputi minum telur dan kopi,
penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata (duduk di atas batu
bata), meletakkan bahan-bahan alami di atas perut ibu (tapal), minum jamu dari bahan
rempah-rempah, dan membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.
b. Cara II : Negosiasi budaya
Memodifikasi menu makanan agar lebih berfariasi. Tingginya penyakit seperti hipertensi,
PJK, diabetes dan lain sebagainya sangat berbahaya. Sehingga perlu ada perubahan pola
makan dan menu makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat suku Minang. Seperti protein
dari daging di variasi dengan protein dari ikan laut, menambahkan menu sayuran yang cocok
untuk lidah masyarakat suku Minang.
c. Cara III : Restrukturisasi budaya
Budaya suku Minang yang perlu dilakukan rekonstruksi adalah perlunya keseimbangan peran
ayah dan ibu dalam pengasuhan anak. Sehingga anak dapat mendapat kasih sayang dari
kedua orang tua dan anak pun bisa memahami bagaimana sosok ayah dan sosok ibu dalam
satu keluarga.

No. Diagnosa Tujuan Perencanaan


1. Tingginya penyakit: hipertensi, PKJ, obesitas, dll pada masyarakat suku Minangkabau
berhubungan dengan kebiasaan suku Minangkabau yang suka makanan dari protein hewani
dan makanan bersantan yang ditandai dengan:
1) Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai yaitu
sayuran dan makanan yang hambar.
2) Beberapa orang diantaranya tidak suka mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau ikan
kering.
3) Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi yaitu
19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya.
4) Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi. 1. Berkurangnya gejala penyakit
hipertensi, PJK, obesitas dll pada masyarakat suku Minangkabau
2. Menurunnya frekuensi penderita hipertensi, PJK, obesitas, dll pada masyarakat suku
Minangkabau.
3. Pola dan menu makan masyarakat suku Minangkabau membaik.
4. Masyarakat suku Minangkabau memahami bahaya penyakit yang diakibatkan dari pola dan
menu makanan yang selalu mereka makan. 1. Kaji perilaku makan dan kebiasaan masyarakat
suku Minangkabau yang berisiko pada kesehatan
2. Pendidikan kesehatan tentang makanan sehat dan resiko kesehatan dari kebiasaan
masyarakat suku Minangkabau.
3. Modifikasi menu makanan yang bisa masyarakat suku Minang makan namun tetap
mengurangi resiko kesehatan.
4. Pantau tingkat kesehatan masyarakat suku Minang melalui fasilitas layanan kesehatan yang
tersedia di masyarakat
2. Ketidak efektifan pemberian ASI pada masyarakat suku Minangkabau berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan masyarakat suku Minangkabau tentang pemberian ASI
ditandai dengan:
1) persepsi suplai ASI yang tidak adekuat
2) Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI di
berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah, biasanya ASI hanya di
berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika ASI pada siang hari.
Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke ladang.
3) Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini anak
sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka beranggapan
ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap dapat mendatangkan
penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja. 1. Ibu dan bayi mengalami
keefektifan pemberian ASI yang ditunjukkan oleh:
a. Pengetahuan pemberian ASI
b. Kemantapan pemberian ASI: Bayi/Ibu
c. Pemeliharaan pemberian ASI
2. Ibu mengenali isyarat lapar dari byai dengan segera.
3. Ibu mengenali tanda-tanda penurunan suplai ASI 1. Konseling laktasi: menggunakan
proses bantuan interaktif untuk membantu mempertahankan keberhasilan menyusui
2. Amati sesi menyusui penuh.
3. Pendidikan kesehatan pada ibu dan keluarga tentang pemberian ASI pada anak.
4. Libatkan keluarga untuk mengingatkan, mengawasi ibu dalam pemberian ASI.
3. Ketidakmampuan menjadi menjadi orang tua (ayah) pada masyarakat suku Minangkabau
berhubungan dengan struktur sosial Minangkabaun selalu terpusat oleh sistem garis
keturunan ibu yang lebih kuat ditandai dengan:
1) anak tidak mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak
menjadi jauh dengan ayahnya.
2) adanya ikatan yang lemah atau kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan peran
ayah dalam rumah tangga serta kurangnya kekuasaaan ayah dalam mengatur keluarga.
3) memperlihatkan gangguan pada rutinitas keluarga. 1. Menunjukkan performa menjadi
orang tua (terutama ayah)
2. Ayah akan mengidentifikasi faktor risiko pada dirinya, yang mengakibatkan
ketidakefektifan menjadi orang tua
3. Ayah akan melaporakan mempunyai hubungan interpersonal yang positif 1. Kaji
pengetahuan orang tua dalam peran mereka sebagai orang tua bagi anak mereka.
2. Promosi pelekatan: memfasilitasi perkembangan orang tua (terutama ayah) dengan anak
3. Promosi integrasi keluarga: meningkatkan persatuan dan kesatuan keluarga.
4. Observasi perilaku orang tua terhadap perilaku kurangnya pelekatan

F. Evaluasi Transcultural Nursing

No. Diagnosa Evaluasi


1. I S: beberapa masyarakat suku Minang mulai menyukai sayur
O: frekuensi penyakit hipertensi dll berkurang
A: tujuan tercapai sebagian
P: intervensi dilanjutkan
2. II S: Ibu mengetahui isyarat bayi lapar dengan segera.
O: Ibu mau menyusui bayinya hingga bayinya berusia 2 tahun
A: tujuan tercapai
P: Intervensi dihentikan
3. III S: Anak belum memahami peran seorang ayah, ikatan ayah dan anak masih lemah.
O: Ayah tidak menunjukkan pelekatan kepada anak, peran ibu masih mendominasi dalam
keluarga
A: tujuan tidak tercapai
P: intervensi dirubah
1. Lakukan pendekatan melalui nilai-nilai agama yang dianut
SOAL

1. Masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan…


a. Matrilokal
b. Patrilokal
c. Matrilineal
d. Patrilineal
e. Leluhur
2. Kesehatan tidak hanya dipengaruhi lingkungan tetapi budaya juga dapat mempengaruhi.
Budaya minang sangat khas dengan masakan padang. Menu utama makanan orang minang
yaitu masakan Padang. Masakan Padang yang pedas, bersantan dan berminyak bisa membuat
kondisi tubuh tidak baik. Bila terlalu banyak mengkonsumsi makanan bersantan dan
berminyak bisa mengakibatkan penyakit hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner.
Bagaimana peran perawat untuk mengatasi kesehatannya ?
a. Membiarkan karena setiap suku mempunyai ciri kebudayaan sendiri-sendiri
b. Hanya memberi saran dan tidak melakukan intervensi
c. Memberikan penyuluhan kesehatan dan cara pengelolahan makanan
d. Memberikan saran untuk sering mengkonsumsi makanan pedas dan bersantan
e. Menyalahkan suku minang karena tidak bisa mengelola makanan dengan baik dan
pengetahuan tentang penyakit yang kurang
3. Upacara tradisi memutus tali pusat pada bayi pada suku minangkabau adalah…
a. Upacara Kehamilan
b. Upacara Karek pusek (kerak pusat)
c. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
d. Upacara Sunat Rasul
e. Upacara Siraman

4. Dalam prosesi perkawinan adat minangkabau disebut…

a. Baralek
b. Paralek
c. Karalek
d. Garalek
e. Maralek

5. Budaya suku minangkabau yang masih bisa diterima oleh ilmu kesehatan adalah…
a. Peran ibu mendominasi dalam keluarga
b. Suka makan makanan bersantan
c. Suka makan makanan perdas
d. Menganggap enteng penyakit hipertensi
e. Meminum jamu pada ibu baru melahirkan

DAFTAR PUSTAKA

Arif. 2007. Pengobatan Tradisional Melayu. Diambil tanggal 2 Mei 2015 dari
www.melayuonline.com
Efendi, Ferry, dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
https://www.scribd.com/doc/122742492/Unsur-Unsur-Kebudayaan-Suku-Minangkabau
(diakses tanggal 25 april 2015, pukul 16.23)
Potter, dan Perry. (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika.
Sudiharjo. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan
Transkultural. Jakarta: EGC.
RANCANGAN MODEL KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

PADA SUKU MINGAKABAU

Oleh:

Aditya Wahyu K.

PROGRMA STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015

RANCANGAN MODEL KEPERAWATAN TRANSKULTURAL


PADA SUKU MINGAKABAU

Kebudayaan adalah pondasi penting untuk kesehatan. Kebudayaan memberikan kontribusi


penuh dalam tindakan keperawatan. Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus
dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam hal kepercayaan.

Di Indonesia, seperti suku Minang mempunyai pola makan yang khas. Suku Minang
cenderung lebih mengonsumsi protein hewani dan santan yang lebih banyak, tetapi kurang
mengonsumsi sayur-sayuran. Pola makan yang khas itu diduga menyebabkan tingkat proporsi
penyakit jantung koroner pada suku Minang lebih tinggi dibandingkan suku –suku lainnya.
Oleh sebab itu, gaya hidup sehat merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi.

Untuk mengatasi hal ini, kita sebagai perawat dapat menerapkan konsep model keperawatan
transkultural Leininger yang terkenal dengan sunrise model. Rancangan model keperawatan
transkulturan pada suku Minangkabau ini dilakukan mulai pengkajian hingga evaluasi sesuai
sunrise model.

1. Asal usul suku minangkabau

Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal
dari Provinsi Sumatera Barat. Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-
suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan
ini terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau sudah menganut sistem garis
keturunan menurut Ibu, matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang
ini walau orang-orang Minangkabau sangat kuat memeluk agama Islam. Kekhasan lain yang
sangat penting adalah bahwa suku Minangkabau merata dipakai oleh setiap orang di seluruh
pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu
terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan
semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah
nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Banyak ahli
telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan
pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode
kesejarahan, Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman
kerajaan Pagaruyung (Abidin, 2008).

Suku Minangkabau merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).
Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minangkabau menyebar ke daerah pesisir
(pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci
di selatan. Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal
dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat
Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka ketika kerajaan tersebut
jatuh ke tangan Portugis (Akauts, 2008).

Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia. Menurut Amir (2003) sifat dasar
masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama” (komunal bezit). Tiap individu menjadi
milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya, tiap kelompok itu (suku) menjadi milik semua
individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari
timbulnya rasa setia kawan yang tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa tolong menolong.

1. Etimologi suku Minangkabau

Menurut Hidayah (1997) asal-usul nama Minangkabau sangat beragam, nama Minangkabau
secara umum diambil dari kata manang kabau (menang kerbau) karena adanya kebiasaan atau
adat dalam suatu perayaan diadakan suatu pertandingan adu kerbau. Namun ada juga yang
beranggapan bahwa kata Minangkabau diambil dari nama sebuah senjata tajam yang
dipasang pada tanduk kerbau. Ada pula yang membantah bahwa asal nama itu bukan dari adu
kerbau, tapi sudah ada sejak dulu. Yang jelas bangunan rumah adat Minangkabau mencirikan
tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara untuk dipelihara dan untuk korban upacara
adat. Orang Minangkabau lebih suka menyebut daerah mereka Ranah Minang (Tanah
Minang) bukan Ranah Kabau (Tanah Kerbau). Dalam pergaulan antar suku bangsa orang
Minangkabau dengan sesamanya, mereka menyebut diri mereka Urang Awak (Urang Kita).
Orang Minangkabau menggunakan satu bahasa yang sama, yaitu bahasa Minangkabau,
sebuah bahasa yang erat hubungannya dengan bahasa Melayu (Sudiharto, 2007).

Beberapa sumber lain yang menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum
peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah
Minangkabau kabwa, Minangkabau akamwa, Minangkabau atamwan dan Phinangkabhu.
Istilah Minangkabau atamwa atau Minangkabau kamba berarti Minangkabau (sungai)
Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar
Kanan. Sedangkan istilah Minangkabauatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar
memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana disitu disebutkan bahwa Pendiri
Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu
Sungai Kampar (Minangkabauatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.

1. Pengkajian Transcultural Nursing

Pengkajian transcultural nursing didasarkan pada tujuh komponen yang terdapat pada
“Sunrise Model” yaitu:

1. Faktor teknologi (tecnological factors)

Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau contohnya yaitu bentuk desadan
bentuk tempat tinggal. Desa mereka disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari
terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari adalah daerah kediaman
utama yang dianggap pusat sebuah desa. Berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai
daerah hutan dan ladang. Di dalam nagari biasanya terdapat sebuah masjid, sebuah balai adat,
dan pasar. Mesjid merupakan tempat untuk beribadah, balai adat merupakan tempat sidang-
sidang adat diadakan. Sedangkan pasar dan kantor kepala nagari terletak pada pusat desa atau
pada pertengahan sebuah jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman di sebelah kiri
dan kanannya. Rumah adat Minangkabau biasa disebut rumah gadang dan merupakan
rumahpanggung. Bentuknya memanjang dengan atap menyerupai tanduk kerbau. Ukuran
rumah juga didasarkan kepada perhitungan jumlah ruang yang terdapat dalam rumah itu.
Sebuah rumah gadang terdiri dari jumlah ruangan dalam bilangan yang ganjil, mulai dari tiga.
Jumlah ruangan yang biasa adalah tujuh, namun ada sebuah rumah gadang yang mempunyai
tujuh belas ruangan. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan
sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa
rumah gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang
ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat kehormatan.

Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh sikap tenaga kesehatan, kebutuhan, serta
permintaan masyarakat. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan ini, perawat
perlu mengkaji persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan saat ini, alasan mencari bantuan kesehatan, persepsi sehat
sakit, kebiasaan berobat, atau mengatasi masalah kesehatan.

Pusat kebudayaan Minangkabau berada di suatu desa yang terletak di daerah darek atau darat
di kaki gunung Merapi. Mata pencaharian penduduk terutama berusaha di bidang pertanian.
Pengolahan pertanian umumnya dilakukan secara tradisional. Artinya, penduduk
menggunakan peralatan sederhana dengan menggunakan tenaga manusia dan hewan.
Penggunaan teknologi modern dalam pengolahan tanah belum begitu tinggi frekuensinya.

Zaman dulu sebelum orang-orang mengenal mobil, kendaraan pribadi adalah bendi.
Mempunyai bendipribadi sudah setara dengan mempunyai mobil pribadi. Sampai sekarang
alat transport yang digerakkan oleh tenaga kuda ini masih mempunyai pelanggan setia
ditengah maraknya transportasi modern yang tentunya lebih cepat.

2. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)

Di masyarakat minang mayoritas semua beragama islam sehingga jika ada masyarakat yang
tidak beragama islam berarti dia telah menyalahi prinsip adat minangkabau dan dengan
sendirinya dia dianngap bukan orang minangkabau. Masyarakat minangkabau merupakan
penganut agama islam yang taat. Mereka bisa dikatakan tidak mengenal unsur-unsur
kepercayaan lain. Berikut ini merupakan contoh dari beberapa kesamaan faham Islam dan
Minangkabau:

1. Faham Islam: Menimba ilmu adalah wajib, Faham Minangkabau: Anak-anak lelaki
harus meninggalkan rumah mereka untuktinggal dan belajar di surau (langgar,
masjid).
2. Faham Islam: Mengembara adalah kewajiban untuk mempelajari tamadun-
tamadunyang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah sedangkan
Faham Minangkabau: Para remaja harus merantau (meninggalkan kampunghalaman)
untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempatuntuk mencapai
kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik.Falsafah merantau
juga berarti melatih orang Minangkabau untuk hidup mandiri,kerana ketika seorang
pemuda Minangkabau berniat merantau meninggalkankampungnya, dia hanya
membawa bekal seadanya.
3. Faham Islam: Tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk menikah dengan lelaki yang
tidak dia cintai, Faham Minangkabau: Wanita yang menentukan dengan siapa yang ia
ingin menikah.
4. Faham Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih tinggi daripada bapak sedangkan
Faham Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di
Rumah Gadang.

Upacara-upacara adalah kegiatan ibadah yang berkaitan dengan hari raya Idul Fitri, hari raya
kurban dan bulan ramadhan. Disamping itu, upacara-upacara lainnya adalah upacara upacara
peringatan kematian Hasan dan Husain di Padang Karabela (Tabuik), upacara Kitan dan
Katam berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti upacara Turun Tanah/Turun
Mandi adalah upacara bayi menyentuh tanah pertama kali,upacara Kekah adalah upacara
memotong rambut bayi pertama kali, upacara selamatan orang meninggal pada hari ke-7, ke-
40, ke-100, dan ke-1000, dan lain-lain.

Dalam kebudayaan minangkabau, karena menjaga prinsipnya maka dalam pemilihan jodoh
masyarakat sangat hati-hati, umumnya yang menjadi syarat utamanya adalah harus beragama
islam. Seorang calon bayi yang masih berupa janin di kandungan ibu selalu di doakan oleh
kedua orang tuanya. Sebagai usaha agar anak yang baru lahir nantinya menjadi anak yang
sholeh, juga di kebudayaan minang seorang ayah berkewajiban untuk mendengarkan adzan
ke telinga bayi laki-laki dan iqamat pada bayi perempuan ketika bayi baru lahir. Kemudian
ketika anak berumur 5 tahun, umumnya anak di ajari perilaku agama seperti sholat, membaca
al-quran, berpuasa, dan doa-doa pendek. Karena pada dasarnya anak balita selalu meniru apa
yang diperbuat oleh orang tua dan keluarga lainnya.

Di masyarakat minangkabau pemberian ajaran islam selalu dilakukan malam hari setelah
makan malam, karena pada saat ini hampir seluruh anggota keluarga berada di rumah setelah
melakukan pekerjaan rutin seharian. Dalam kebudayaan masyarakat minang bila dalam usia 5
tahun atau lebih, si anak tidak mau diajari dengan nilai-nilai agama islam, maka menurut
tradisi yang berlaku si anak akan diberikan sanksi berupa dimarahi dengan kata-kata sampai
si anak mau belajar. Dengan arti kata si anak berkewajiban menuruti perintah orang tuanya.
Tahap selanjutnya pendidikan agama di keluarga minang diperoleh dari aktvitasnya dalam
berinteraksi di tengah masyarakat dengan serangkaian kegiatan agama yang dilakukan,
contohnya sholat berjamaah di masjid setiap awal waktu. Saat anak berusia 7 tahun orang tua
berkewajiban memperhatikan anak apakah ia telah mulai sholat. Bila si anak belum
melakukannya, maka orang tua berkewajiban memarahi dan kalau perlu mereka akan
memukul si anak dengan sapu lidi, sehingga menjadi jera dan tidak mau melakukannya lagi.
Pada masyarakat minangkabau tidak dijumpai anak yang berusia diatas 15 tahun belum
dikhitan, bila hal itu ditemui maka secara tidak langsung masyarakat akan memberikan sanksi
pada orang tua si anak karena dianggap tidak bertanggung jawab.

3. Faktor sosial dan kekerabatan keluarga (kinship and social factors),

Dalam adat Minangkabau ada suatu adat yang penerapannya meluas dalam keluarga adalah
baso-basi, sejak anak-anak harus dibiasakan menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi
mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan
memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus (interaksi sosial)
sehingga orang Minang mempunyai ajaran tidak boleh individualistis dalam kehidupannya.

Pada kebudayaan Minangkabau di dapatkan bahwa sistem keluarga yang dianut adalah sistem
keluarga dalam keturunan garis ibunya atau matrilineal yang menempatkan pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu
yang dikenal dengan Samande (seibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat
dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Keturunan
keluarga dalam masyarakat minangkabau terdiri dari tiga macam kesatuan kekerabatan, yaitu
paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari
keluarga tersebut yang bertindak sebagai niniek mamak. Selain itu juga, jodoh harus dipilih
dari luar suku (eksogami).

Dalam prosesi perkawinan adat minangkabau disebut baralek yang mempunyai beberapa
tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput oengantin pria), sampai bersandiang (bersanding di pelaminan).
Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan).
Setelah maminang dan pernikahan secara islam yang biasa dilakukan di mesjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab didepan penghulu
atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan pengganti nama
kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut.
Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir
pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku. Dalam
adat diharapkan adanya oerkawinan dengan anak perempuan mamaknya. Perkawinan tidak
mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan yaitu pemberian sejumlah iang dan
barang kepada keluarga mempelai pria. Sesudah upacara perkawinan mempelai tinggal di
rumah istrinya (matrilokal).

Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa di keluarga seperti


dalam peran sentral untuk menentukan pendidikan, pengamanan dan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga. Akibat menganut sistem keluarga matrilineal, tidak dapat mempunyai
keluarga inti (nuclear family) yang dibentuk akibat adanya perkawinan karena suami atau
isteri masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing.
Pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit
tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau oleh karena mereka selalu
terpusat oleh sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat. Akibatnya, anak-anak dihitung
sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri kepada sang ibu
serta anggota-anggota lainnya dalam berdampak pada, adanya ikatan yang lemah atau
kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan peran ayah dalam rumah tangga serta
kurannya kekuasaaan ayah dalam mengatur selalu menjadi akibat dari sistem ini. Adanya hal
tersebut kesenjangan antara keluarga dari garis keturunan laki-laki dapat terlihat apabila
ketika lelaki tidak dilarang berpoligami, bergilir mengunjungi istrinya, dan lebih jarang
bertemu dengan anak-anaknya. Ikatan itu tambah berkurang lagi bila perceraian terjadi,
dalam keadaan mana dia jarang sekali bertemu dengan anak-anaknya. Akhirnya anak tidak
mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak menjadi jauh
dengan ayahnya.

Peran keluarga Minangkabau dalam membesarkan anak yang masih balita pada masa-masa
menjelang taun pertama bayi, amat dekat dengan ibunya, karena ibulah yang selalu
menyusui. Ayah lebih banyak mengawasi dan bercanda dengan sang anak. Apalagi keluarga
Minang suami istri biasanya aktif bekerja di ladang jadi seringkali sang anak biasanya setelah
umur 1-1,5 tahun di bawa oleh ibunya di bawa ke ladang, dan seringnya anak dititipkan oleh
tetangga dan kerabat terdekat atau diasuh kakaknya.

Pemberian ASI umumnya masih mengikuti pola tradisional, yaitu kapan bayi menangis atau
sewaktu bangun tidur. Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah
usia 5 bulan, ASI di berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah,
biasanya ASI hanya di berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika
ASI pada siang hari. Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke
ladang. Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini
anak sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka
beranggapan ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap dapat
mendatangkan penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan manja.

4. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways),

Dalam membesarkan anak atau mengasuh anak keluarga Minangkabau mempunyai beberapa
tradisi , antara lain:

1. Upacara kehamilan, ketika janin berusia 16 minggu, maka disaat inilah bebera
kalangan masyarakat mengharapkan doa dari kerabatnya. Pengertian kerabat disini
terdirin dari para ipar dan besan dari masing-masing pasangan isteri untuk
membangun kehidupan baru menjadi pasangan keluarga sakinah ma waddah wa
rahmah memohon kepada Yang Maha Kuasa agar awal kehidupan janin membawa
harapan yang dicita-citakan.
2. Upacara Karek Pusek (Kerat pusat), upacara pada saat dilakukan pemotongan tali
pusat.
3. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah), memberikan sesuatu kepada sang bayi
sebagai wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga muda.
Umumnya Induk bako dan kerabatnya akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi
bayi laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan serta pemberian lainnya.
4. Upacara Sunat Rasul, bagi anak laki-laki telah cukup umur dan berkat dorongan
kedua orang tuanya, maka seorang anak akan menjalani khitanan yang di Ranah
Minang disebut Sunat Rasul. Sunah rasul mengandung pengharapan dari kedua orang
tuanya agar anak laki-lakinya itu menjadi anak yang dicita-citakan serta berbakti
kepada kedua orang tua. Anak laki-laki yang sudah dikhitankan itu didudukkan di
sebuah pelaminan seperti pengantin. Dalam keluarga Minang biasanya ibu memasak
banyak ragam makanan yang lezat untuk kelurganya yaitu makanan berat yang
banyak menggunakan hasil ladang yaitu kelapa seperti rendang Darek, rendang Paku,
rendang Padang, gulai Paku/pakis, singgang ayam, gulai kambing, katupek gulai, sate,
dan apik ayam.

5. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)

Kepala suku masyarakat Minangkabau disebut penghulu, dubalang, dan manti. Dubalang
bertugas menjaga keamanan kampung, sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas
keamanan. Kesatuan dari beberapa kampung disebut nagari. Sistem pemerintahannya
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1. Laras Bodi-Caniago berhubungan dengan tokoh Datuek Parapatiek nan Sabatang.


2. Laras Koto-Piliang berhubungan dengan tokoh Datuek Katumenggungan.

Dalam sistem pemerintahan Laras Bodi-Caniago menunjukkan sistem yang demokratis,


karena musyawarah selalu diutamakan.
Berdasarkan Kesepakatan Bersama Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 Nomor: Kes-
01/Kkm/8/2010 Tentang Ajaran, Kelembagaan, Akhlak, Dan Kebijakan Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi
Guru Untuk Seluruh Keluarga Besar Minangkabau Di Ranah Minang Dan Di Rantau Dalam
Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada bagian pertama BAB 3 pasal 6 yaitu
tolak ukur lahiriah antara lain:

1. Tolok ukur terwujudnya Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
pada sisi lahiriah adalah:
o Tercapainya taraf hidup yang sejahtera, baik lahir maupun bathin, baik

secara umum bagi seluruh warga masyarakat Minangkabau, maupun secara khusus untuk
anak-anak, pemuda, kaum perempuan, penyandang cacat, dan orang tua.

 Terbebasnya masyarakat dari berbagai ancaman penyakit masyarakat, khususnya


narkotika , pornografi, pornoaksi, dan kejahatan lainnya.
 Terbebasnya masyarakat dari korupsi dan jeratan hutang piutang berkepanjangan.

1. Untuk mencapai taraf hidup yang sejahtera lahir dan bathin tersebut di atas, perlu
dimanfaatkan berbagai program pembangunan, baik yang bersifat lokal, nasional
maupun internasional.
2. Untuk jangka menengah sampai tahun 2015, Tungku Tigo Sajarangan, Bundo
Kanduang dan Kaum Muda sebagai kepemimpinan sosial masyarakat Minangkabau
bekerjasama dengan para penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
mewujudkan delapan Sasaran Pembangunan Millenium 2015, yang terdiri dari :
o Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan.
o Mewujudkan terpenuhinya pendidikan dasar.
o Mendorong pemberdayaan kaum perempuan.
o Mengurangi angka kematian anak.
o Memperbaiki kesehatan kaum ibu.
o Menanggulangi penyakit HIV/AIDS , malaria, dan penyakit-penyakit lainnya.
o Menjamin kelestarian lingkungan.
o Mengembangkan kerjasama sejagat untuk pembangunan.

Pada bagian ketiga bab X pasasal 26 mengenai akhlak ibu anatara lain:

1. Ibu memegang peran sentral dalam hubungan kekerabatan Minangkabau, oleh karena
di bawah pembinaan dan kasih sayang Ibu diletakkan dan dikembangkan dasar-dasar
kepribadian serta landasan moral seorang anak, yang akan menentukan jalan hidupnya
kelak.
2. Kepribadian seorang anak diarahkan untuk tumbuh dan berkembangnya kemampuan
dan bakat kemanusiaannya sesuai dengan ajaran Adat Basandi Syarak Syarak Basandi
Kitabullah dan kaidah-kaidah umum pembinaan kepribadian sesuai dengan
perkembangan zaman.
3. Masyarakat perlu membantu pengembangan kemampuan setiap perempuan untuk
memikul tanggung jawab keibuannya dengan sebaik-baiknya.
Pada bagian ketiga BAB X pasal 26 mengenai akhlak anak antara lain:

1. Sebagai generasi muda pemilik masa depan, setiap anak harus mempersiapkan diri
dengan sungguh-sungguh dan secara jujur agar mampu memanfaatkan peluang serta
menjawab tantangan masa depan sehingga ia dapat menjadi warga masyarakat yang
berguna, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi suku, bagi masyarakat, dan
bagi bangsanya.
2. Setiap anak Minangkabau harus berjuang sehingga selain mempunyai kemampuan
minimal yang setara dengan anak-anak lainnya di dunia, juga mampu bersaing dalam
mencapai kebaikan (fastabiqul khairaat).

Pada bagian ketiga BAB XII pasal 34 mengenai pendidikan dan pelatihan calon ibu dan calon
bapak antara lain:

1. Agar dapat menunaikan tugas pokoknya dengan sebaik-baiknya sebagai Ibu dan
Bapak dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, diadakan pendidikan dan
pelatihan.
2. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan terhadap calon ibu dan calon bapak menjadi
tanggung jawab dari keluarga dan suku masing-masing, dengan bantuan instansi yang
berwenang.
3. Pokok-pokok yang harus disampaikan kepada para calon ibu dan calon bapak adalah:
pendalaman rukun iman dan rukun islam, sistem kekerabatan berdasar ABS SBK,
akhlak, kematangan pribadi, ekonomi rumah tangga, keluarga berencana, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4. Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan calon ibu dan calon bapak, diadakan
ujian oleh Forum Adat dan Syarak/Forum Tungku Tigo Sajarangan, dan mereka yang
lulus diberikan sertifikat
5. Faktor ekonomi (economical factors)

Pada kebudayaan Minangkabau diketahui bahwa pekerjaan di daerah sumatera barat rata-rata
mengacu pada pertanian sawah dan ladang. Strategi yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga rata-rata memanfaatkan jumlah tanah yang ada dengan menanam
berbagai macam tanaman pangan seperti cabe, umbi jalar, dll. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang meningkat dengan pesat laki-laki cenderung mengerjakan tindakan berat
seperti mencangkul, membajak, dan sebagainya. Sedangkan para perempuan cenderung ke
hal-hal yang ringan seperti penanaman, penyiraman, dan lain-lain. Anak yang sudah dewasa
bisa membantu pekerjaan orang tuanya di ladang untuk menambah keuangan keluarga.

Mata pencaharian utama masyarakat minangkabau bagi yang tinggal di pinggir laut adalah
menangkap ikan. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak masyarakat minangkabau
yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Selain itu juga, Masyarakat Minangkabau juga
banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan
tersebut merupakan cenderamata khas dari Minangkabau.

7. Faktor pendidikan (educational factors)


Pendidikan pada kenyataannya telah membagi dua kelompok masyarakat didesa ini. Pertama
adalah kelompok yang mengenyam bangku pendidikan formal dan kedua kelompok
intelektual yang berpendidikan cukup tinggi. Kelompok pertama adalah yang terbesar, yaitu
mereka yang terlibat sebagai petani, pedagang kecil, tukang, yang sebagian besarnya adalah
orang-orang tua. Kelompok kedua jumlahnya jauh lebih kecil, dan jarang tinggal di desa.
Mereka adalah pemuda yang biasanya tinggal di kota terdekat dan di rantau. Kelompok
pertama lebih mementingkan tata tertib, nilai, norma dan agama yang berorientasi tradisi.
Kelompok kedua lebih mementingkan ilmu pengetahuan dan kerja, walaupun demikian
mereka tidak mengabaikan tata tertib dan agama, terutama sekali bila mereka pulang ke desa.
Dapat bertahannya serangkaian nilai etika dan agama pada kelompok kedua diduga amat
berkaitan dengan proses sosialisasi di masa lampau di mana berbagai aturan, nilai, norma dan
agama telah terinternalisasi dalam si anak. Kekuatan ini pada gilirannya tetap mampu
mempertemukan dan menyelaraskan hubungan antara kelompok pertama dan kedua, karena
harus disadari bahwa hubungan ini juga melibatkan kepentingan kekerabatan, kekeluargaan,
serta emosi kedaerahan sebagai warga yang berasal dari daerah yang sama.

Proses saling membantu dan hubungan baik tetap terwujud dalam keluarga. Misalnya bagi
anak-anak yang telah sukses akan membantu adik-adiknya mengikuti jejaknya atau menolong
orang tua dengan membuatkan rumah, membelikan ternak atau sawah. Pengabdian anak lebih
banyak didasarkan pada bantuan material, karena memang itulah yang menjadi kendala di
desa ini. Namun akibatnya tidak tanggung-tanggung, karena bantuan tersebut juga bersifat
fungsional, yaitu mengangkat status dan harga diri suatu keluarga. Dan selanjutnya
pendidikan dianggap menjadi tulang punggung untuk sebuah kesuksesan.

8. Ekspresi, Pola, dan Praktik Keperawatan

Pengertian sehat-sakit menurut masyarakat suku Minang tidak terlepas dari tingkat
pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pada umumnya, masyarakat
menganggap bahwa seseorang dikatakan sehat adalah seseorang yang memiliki jasmani dan
rohani yang sehat, serta dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari. Sedangkan untuk masalah
sakit, sebagian masyarakat Minang masih ada yang mempercayai bahwa selain disebabkan
karena penyebab fisik, juga disebabkan karena adanya gangguan roh-roh halus. Bagi
masyarakat Minang, dikatakan sakit, jika seseorang tersebut tidak dapat melakukan
aktivitasnya sehari-hari seperti berdagang, bekerja di kantor, berladang dan lainlain.
Walaupun seseorang tersebut tersebut sudah memiliki gejala sakit seperti sakit kepala, flu
ataupun masuk angin namun masih dapat beraktivitas belum diartikan sebagai sakit. Dan
jikalau kepala keluarga sakit, maka secara tidak langsung semua anggota keluarga yang ada
di dalam keluarga tersebut akan sakit.

1. Tradisi Pemeliharaan Kesehatan

Praktik-praktik kesehatan keluarga Minangkabau dipengaruhi oleh nilai-nilaiajaran agama


Islam. Sebagai contoh, kelahiran bayi dibantu oleh dukun/bidan dan ditunggui oleh ibu
mertua. Setelah bayi lahir, plasenta bayi tersebut dimasukkan ke dalam periuk tanah dan
ditutup dengan kain putih. Penguburan plasenta dilakukan oleh orang yang dianggap
terpandang dalam lingkungan keluarga. Pada zaman dahulu, keluarga Minangkabau lebih
memilih melahirkan dengan dibantu dukun beranak daripada pergi ke pusat kesehatan.

Mereka beranggapan bahwa melahirkan dibantu dukun beranak atau paraji biayanya lebih
murah. Namun sekarang ini sesuai dengan perkembangan zaman, keluarga Minang lebih
memilih melahirkan di bidan atau Puskesmas. Mungkin hanya sebagian saja yang masih
melahirkan dibantu oleh dukun beranak, khususnya masyarakat yang masih tinggal di daerah
terpencil dan tenaga kesehatannnya terbatas. Keluarga Minangkabau pada kelas sosial yang
rendah mempunyai pola perilaku mencari bantuan pertolongan kesehatan keluarga yang
sederhana, yaitu dengan pergi ke dukun.

Dalam hal perawatan orang sakit, seiring dengan perkembangan teknologi dan tingginya
tingkat pengetahuan, keluarga/masyarakat Minang lebih memilih untuk meneruskan
pengobatan yang didapat dari petugas kesehatan. Namun adakalanya, keluarga memberikan
perawatan-perawatan sederhana seperti jika seseorang demam hanya dikompres dengan
daun-daun yang sifatnya dingin (kembang semangkok, daun jarak), jika batuk diberikan air
daun kacang tujuh yang telah diremas, ibu postpartum biasanya diberikan tambahan seperti
minum jamu ataupun ramuan-ramuan tertentu.

1. Sikap fatalisme yang mempengaruhi status kesehatan

Sikap fatalisme yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan, beberapa anggota masyarakat
Minang di kalangan kelompok yang beragama Islam percaya bahwa anak adalah titipan
Tuhan, dan sakit atau mati itu adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit, atau menyelamatkan seseorang
dari kematian.

Sejalan dengan aktivitas ekonomi di pedesaan, banyak warung yang menjual obat sampai ke
pelosok. Oleh karena itu bila mereka sakit, biasanya mereka hanya berobat ke warung.
Resiko yang dapat terjadi dengan pola mencari bantuan kesehatan seperti ini adalah terjadi
komplikasi atau sakitnya semakin parah.

1. Nilai atau norma yang mempengaruhi status kesehatan

Nilai yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. nilai-nilai
tersebut ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehatan. Beberapa nilai yang
merugikan kesehatan misalnya adalah Pemberian nutrisi pada bayi baru lahir. Ada suatu
kebiasaan yang ada pada masyarakat daerah ini yang kurang baik untuk nutrisi bayi, yaitu ibu
bayi tidak langsung memberikan ASInya pada bayi tapi ibu bayi membuang ASI yang
pertama kali keluar. Padahal ASI yang pertama kali keluar mangandung colostrums yang
sangat berperan dalam kekebalan tubuh bayi. Masyarakat ini menganggap colostrums sebagai
ASI yang sudah rusak karena warnanya yang kekuningan. Selain itu, colostrums juga
dianggap dapat menyebakan diare, muntah, dan masuk angin pada bayi.

9. Kesehatan secara Holistik

Kebudayaan adalah pondasi penting untuk kesehatan. Kebudayaan memberikan kontribusi


penuh dalam tindakan keperawatan. Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus
dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam hal kepercayaan. Di
Indonesia, seperti suku Minang mempunyai pola makan yang khas. Suku Minang cenderung
lebih mengonsumsi protein hewani dan santan yang lebih banyak, tetapi kurang
mengonsumsi sayur-sayuran. Pola makan yang khas itu diduga menyebabkan tingkat proporsi
kesehatan pada suku Minang lebih tinggi dibandingkan suku –suku lainnya.
Makanan pokok orang Minangkabau adalah nasi. Nasi diperoleh dari beras (oryza sativa
varindicus) yang telah dimasak dengan direbus. Suatu ungkapan yang sering didengar adalah
bialah makan samba lado asal nasinyo lamak (artinya: biarlah makan dengan sambal asal
nasinya enak). Pernyataan ini menunjukkan begitu pentingnya nasi bagi orang Minangkabau.
Nasi dimakan dengan berbagai makanan lauk-pauk seperti ikan, daging, sayur dan buah.
Daging yang sering dikomsumsi yaitu daging sapi dan kambing termasuk hati, otak, isi perut,
kulit, dan urat kaki sapi (tunjang). Jenis sayuran yang sering dikomsumsi yaitu timun, terong,
daun singkong, bayam, buncis, petai, dan jengkol. Selain itu juga memakan ikan, ikan kering
dan ikan hasil olahan seperti sarden. Makanan selingan biasanya dikomsumsi di luar waktu
makan. Makanan selingan orang Minangkabau memiliki rasa manis dan pedas. Makanan
selingan ini biasanya dimakan pada pagi dan sore sebagai teman minum teh atau kopi.
Makanan selingan dapat dibeli di warung, pasar atau penjual jajanan keliling. Makanan yang
dipandang sebagai makanan selingan seperti kacang-kacangan, biskuit, gorengan (ubi,
pisang, tempe, roti, risoles, tempe), keripik, peyek, kue-kue kering, kue basah seperti kue
paniaram (kue cucur), kue lemper; lapek, lemang, kolak pisang dan ubi, siomai, martabak,
bubur kacang hijau, bubur ketan, bakso, dan gado-gado.

Salah satu makanan khas Minang ialah Masakan Padang. Masakan Padang dikenal dengan
masakan yang berbumbu tajam karena banyak menggunakan rempa-rempah dan cabai,
bersantan dan juga tinggi lemak. Selain masakannya, cara penyajiannya pun berbeda dari
warung makan lainnya dan juga warung makan yang berbentuk rumah adat Padang. Dengan
berkembangnya jaman, banyak orang yang tidak sempat memasak sendiri. Sebab itu banyak
orang yang memilih masakan Padang, karena masakan Padang memiliki hal yang diinginkan
oleh orang-orang yang tidak sempat memasak sendiri di rumah. Contoh masakan Padang
antara lain rendang, ayam pop, paru goreng, gulai banding, teri balado, sate Padang, gulai
cincang kambing / sapi, dan masih banyak lagi. Komposisi zat gizi yang terkandung di dalam
masakan Padang sebenarnya lengkap, dari segi kalori, protein namun banyak mengandung
tinggi lemak jenuh, karena masakan Padang banyak menggunakan santan dan lemak. Lemak
merupakan sumber energi yang dipadatkan. Tiap gram lemak menghasilkan 9 kalori, 1 gram
karbohidrat dan protein menghasilkan 4 kalori. Pencernaan lemak dalam tubuh dibantu
dengan bantuan empedu. Yaitu lemak yang belum teremulsi, dalam lambung dengan bantuan
empedu diubah menjadi lemak yang sudah teremulsi dan selanjutnya bersama-sama dengan
lemak yang memang teremulsi akan masuk kedalam usus halus. Di dalam usus halus lemak-
lemak yang teremulsi tadi dengan bantuan enzim intestinal lipase dan pencreatik lipase akan
diubah kedalam 3 struktur yang lebih sederhana. Fungsi lemak yaitu antara lain sebagai
penghasil energi, pembentuk susunan tubuh, menghemat protein, penghasil asam lemak
esensial, pelarut vitamin, sebagai pelumas diantara persediaan dan masih banyak lagi. Pada
masakan Padang, lemak berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan citarasa bahan makanan
juga sebagai penghantar panas. Selain itu merupakan ciri khas masakan Padang. Namun jika
mengkonsumsi lemak secara berlebihan maka akan menyebabkan penyakit bahkan dapat
menimbulkan kematian. Salah satu contoh penyakit seperti Penyakit Jantung Koroner,
obesitas dan masih banyak lagi.

Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai yaitu
sayuran dan makanan yang hambar. Selain itu beberapa orang diantaranya tidak suka
mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau ikan kering. Hal ini disebabkan karena tidak
dibiasakan dari kecil untuk mengkonsumsi ikan. Ikan merupakan makanan yang baik bagi
kesehatan karena mengandung asam omega tiga, bahkan dapat mengikat lemak dalam tubuh.
Pilihan-pilihan terhadap makanan berdasarkan kesukaan dan ketidak sukaan tidak hanya
dilakukan di rumah akan tetapi juga ketika menghadiri upacara atau pesta perkawinan.
Biasanya orang Minang yang mengadakan pesta, selalu menonjolkan menu makanan khas
Minang yang sering disebut makanan Padang.

Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi yaitu
19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya. Angka penderita hipertensi di Sumatera
Barat dinyatakan tertinggi di Indonesia dan di dunia, karena rata-rata di dunia yang
mengalami hipertensi hanya sekitar 10 persen. Karena tidak memiliki gejala awal tetapi dapat
menyebabkan penyakit jangka panjang dan komplikasi yang berakibat fatal. Kebanyakan
masyarakat Minangkabau masih menganggap hipertensi adalah hal yang sepele, padahal
melihat komplikasinya jika terjadi penyakit tekanan darah tinggi pada seseorang bisa
berujung pada kematian. Orang yang dinyatakan menderita penyakit hipertensi biasanya
makanan yang dikonsumsi haruslah dijaga atau mengikuti diet tertentu seperti mengurangi
asupan garam, dan makanan yang berlemak tinggi. Penderita hipertensi dianjurkan untuk
banyak mengkonsumsi makanan yang berserat tinggi sayuran dan buah-buahan.

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama pada usia 35-44 tahun.
Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan pola
makan tinggi lemak hewani, kurang sayur dan buah yang merupakan sumber antioksidan dan
serat. Etnik Minang mempunyai rata-rata kadar kolesterol plasma total lebih tinggi dibanding
etnik Sunda, Jawa dan Bugis. Minyak kelapa sawit dan santan merupakan sumber asam
lemak utama yang dikonsumsi etnik ini. Proses pengolahan makanan dapat mempengaruhi
komposisi asam lemak yang terdapat dalam makanan. Proses penggorengan dan membuat
gulai merupakan cara pengolahan yang paling sering dilakukan oleh etnik Minang. Kedua
proses tersebut biasanya menggabungkan bahan makanan sumber asam lemak jenuh dengan
bahan makanan sumber kolesterol.

Ragam masakan Masyarakat Minang yang banyak berbahan santan dan daging membuat
asupan lemak jenuh mereka lebih tinggi. Rasio asupan lemak yang sehat adalah satu banding
satu antara asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA), asam lemak tak jenuh jamak
(polyunsaturated fatty acid/PUFA), asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty
acid/MUFA). Dalam kombinasi yang tepat yakni 1:1:1. Kelebihan asam lemak jenuh akan
meningkatkan berbagai resiko kesehatan.

Berbagai usaha untuk mengurangi resiko yaitu pertama, merubah cara pengolahan makanan.
Biasanya mengolah bahan makanan dengan cara gulai dengan santan kental. Maka setelah
sakit memasak gulai dengan santan yang tidak terlalu kental. Menurut mereka cara ini lebih
baik daripada tidak ada usaha sama sekali. Namun, tidak semua jenis masakan yang dapat
dikurangi santannya. Untuk rendang dan kalio santannya selalu kental, sedangkan gulai ikan
atau sayuran santan dikurangi. Untuk pengolahan yang biasa dilakukan dengan cara digoreng,
mereka menggunakan minyak goreng yang rendah kolesterol. Jenis sayuran masak dengan
cara merebus. Kedua, mengurangi porsi konsumsi daging. Apabila masak rendang daging
membatasi masakannya cukup untuk makan satu hari saja. Sebelumnya masak daging dua
kilo sehingga dapat mereka konsumsi untuk dua atau tiga hari. Ketiga, mereka yang
menyukai makan daging beralih ke ikan sebagai lauk sehari-hari. Ada berbagai macam jenis
ikan yang dapat mereka konsumsi seperti ikan tongkol, kerang, cumi-cumi, udang dan
sebagainya. Ikan dapat digulai atau digoreng. Sehingga tidak menimbulkan rasa bosan
terhadap lauk ikan apabila dimakan setiap hari.

Kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi budaya juga dapat mempengaruhi
kesehatan. Budaya Minang yang biasa mengkonsumsi makanan pedas dan berminyak,
misalnya gulai. Pada setiap acara yang dilakukan, gulai selalu dijadikan sebagai menu utama.
Karena itulah banyak orang Minang yang terkena Penyakit Jantung Koroner (PJK). Untuk
penanggulangan masalah Penyakit Jantung Koroner pada etnik Minang, dapat dianjurkan
untuk mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur, mengubah cara pengolahan bahan
makanan, dan mengurangi atau mengganti bahan makanan hewani sumber kolesterol yang
digabungkan atau diolah menggunakan sumber asam lemak jenuh seperti santan. Selain itu
dalam memasak kita juga harus memperhatikan bahan yang di gunakan. Jangan
menggunakan bahan yang memiliki kandungan yang sama, seperti yang dilakukan pada etnik
Minang. Jika mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan maka akan merusak sistem tubuh kita.

1. Diagnosa Transcultural Nursing


2. Rumusan masalah keperawatan transkultural

No. Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS:

1. Kurang minat dalam


meningkatkan perilaku sehat

Adanya keyakinan pada


DO:
budaya suku Minangkabau
Ketidakefektifan
1. bahwa sakit tidak hanya dari
1. Menunjukkan kurang pemeliharaan kesehatan
fisik namun juga dari
pengetahuan tentang praktik dasar
gangguan roh-roh halus.
kesehatan

2. Riwayat kurang perilaku


sehat

3. Terbatasnya tindakan
pencegahan dalam kesehatan
DS:

1. Sebagian besar suku


Minangkabau menyatakan bahwa
makanan yang kurang disukai
yaitu sayuran dan makanan yang
Kebiasaan suku
hambar. Tingginya penyakit:
Minangkabau yang suka
2. hipertensi, PKJ,
makanan dari protein hewani
2. Beberapa orang diantaranya obesitas, dll
dan makanan bersantan
tidak suka mengkonsumsi ikan,
kecuali ikan teri atau ikan kering.

DO:

1. Daerah Sumatera Barat


berdasarkan hasil prevalensi
penyakit hipertensi sangat tinggi
yaitu 19,4% dibandingkan dengan
suku suku lainnya.

2. Prevalensi PJK pada etnik


Minang sangat tinggi
DO:

1. anak tidak mengetahui dan


memahami peran seorang ayah
dalam keluarga dan anak menjadi
jauh dengan ayahnya

DS: Struktur sosial


Ketidakmampuan
Minangkabaun selalu terpusat
3. menjadi menjadi orang
1. adanya ikatan yang lemah oleh sistem garis keturunan
tua (ayah)
atau kerenggangan dan ibu yang lebih kuat
ketidakjelasan hubungan ayah dan
peran ayah dalam rumah tangga
serta kurannya kekuasaaan ayah
dalam mengatur keluarga

2. memperlihatkan gangguan
pada rutinitas keluarga
DS:

1. persepsi suplai ASI yang


tidak adekuat

DO:

1. Bagi ibu yang tetap di


rumah atau bayi masih terlalu
kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI
di berikan sekali selama 3 jam.
Sedangkan ibu yang sibuk di Ketidak efektifan
4. Kurang pengetahuan
sawah, biasanya ASI hanya di pemberian ASI
berikan sebelum mereka pergi
bekerja. Kemudian kembali di
berika ASI pada siang hari.
Namun bila si Bayi dianggap kuat
maka merekapun membawanya
ke ladang.

2. Sebagian besar ibu


menyusukan anaknya hingga
sekitar 1 tahun, karena pada usia
ini anak sudah mulai makan
bubur, sehingga tidak merlu
menyusu lama karena mereka
beranggapan ketika umur 2 tahun
anak sudah di anggap terlalu lama
dan dianggap dapat
mendatangkan penyakit dan anak
tersebut kelak dapat menjadi
bodoh dan manja.

2. Diagnosa Keperawatan
3. Tingginya penyakit: hipertensi, PKJ, obesitas, dll pada masyarakat suku Minangkabau
berhubungan dengan kebiasaan suku Minangkabau yang suka makanan dari protein
hewani dan makanan bersantan yang ditandai dengan:

 Sebagian besar suku Minangkabau menyatakan bahwa makanan yang kurang disukai
yaitu sayuran dan makanan yang hambar.
 Beberapa orang diantaranya tidak suka mengkonsumsi ikan, kecuali ikan teri atau
ikan kering.
 Daerah Sumatera Barat berdasarkan hasil prevalensi penyakit hipertensi sangat tinggi
yaitu 19,4% dibandingkan dengan suku suku lainnya.
 Prevalensi PJK pada etnik Minang sangat tinggi.

1. Ketidak efektifan pemberian ASI pada masyarakat suku Minangkabau berhubungan


dengan kurangnya pengetahuan masyarakat suku Minangkabau tentang pemberian
ASI ditandai dengan:

 persepsi suplai ASI yang tidak adekuat


 Bagi ibu yang tetap di rumah atau bayi masih terlalu kecil, dibawah usia 5 bulan, ASI
di berikan sekali selama 3 jam. Sedangkan ibu yang sibuk di sawah, biasanya ASI
hanya di berikan sebelum mereka pergi bekerja. Kemudian kembali di berika ASI
pada siang hari. Namun bila si Bayi dianggap kuat maka merekapun membawanya ke
ladang.
 Sebagian besar ibu menyusukan anaknya hingga sekitar 1 tahun, karena pada usia ini
anak sudah mulai makan bubur, sehingga tidak merlu menyusu lama karena mereka
beranggapan ketika umur 2 tahun anak sudah di anggap terlalu lama dan dianggap
dapat mendatangkan penyakit dan anak tersebut kelak dapat menjadi bodoh dan
manja.

1. Ketidakmampuan menjadi menjadi orang tua (ayah) pada masyarakat suku


Minangkabau berhubungan dengan struktur sosial Minangkabaun selalu terpusat oleh
sistem garis keturunan ibu yang lebih kuat ditandai dengan:

 anak tidak mengetahui dan memahami peran seorang ayah dalam keluarga dan anak
menjadi jauh dengan ayahnya.
 adanya ikatan yang lemah atau kerenggangan dan ketidakjelasan hubungan ayah dan
peran ayah dalam rumah tangga serta kurannya kekuasaaan ayah dalam mengatur
keluarga.
 memperlihatkan gangguan pada rutinitas keluarga.
1. Perencanaan Transcultural Nursing

Peran perawat pada keperawatan transkultural yaitu sebagai jembatan antara sistem
perawatan yang dilakukan pada masyarakat awam dengan sistem perawatan professional
melalui asuhan keperawatan. Fokus layanan dalam keperawatan transkultural tersebut
meliputi layanan pada individu, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi pada berbagai
konteks kehidupan.

Gambar. Peran perawat dalam keperawatan transkultural

Pada masyarakat suku Minangkabau mempunyai pola makan yang khas. Suku Minangkabau
lebih suka mengkonsumsi protein hewani dan makanan yang mengandung banyak santan,
tetapi masih kurang dalam mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Oleh karena itu,
masyarakat suku Minangkabau memiliki prevalensi penyakit jantung koroner tinggi
dibandingkan dengan suku-suku lainnya, diduga karena hal tersebut.

Proses penggorengan dan pembuatan gulai merupakan cara pengolahan makanan yang sering
dilakukan oleh masyarakat suku Minangkabau yang keduanya menggabungkan bahan
makanan sumber asam lemak jenuh dengan bahan makanan sumber kolesterol. Contoh
makanan berat: rendang darek, rendang paku, rendang padang, sambal balado, kalio, gulai
cancang, sambal lado tanak, gulai itik, gulai kepala ikan kakap merah, sate padang, soto
padang dan asam padeh. Contoh makanan ringan: lamang tapai, bubur kampiun, es tebak,
keripik jangek, keripik balado, keripik sanjai, dakak-dakak, galamai, amping badadih,
nagasari dan kacang tojin (Sudiharto, 2007).

Perilaku praktik kesehatan pada keluarga Minangkabau masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
ajaran agama islam, contohnya pada kelahiran bayi, mereka lebih memilih untuk dibantu oleh
dukun atau bidan dan ditunggui oleh ibu mertua karena menganggap biayanya lebih murah,
tanpa meminta bantuan ke puskesmas. Namun sekarang mulai mengikuti perkembangan
zaman, keluarga suku Minangkabau memilih untuk melahirkan di bidan atau puskesmas,
hanya sebagian masyarakat saja yang masih pergi dukun beranak terutama masyarakat daerah
terpencil dengan tenaga kesehatan yang terbatas.

Sesuai dengan ekonomi yang ada di pedesaan, masih banyak warung-warung yang menjual
obat. Sehingga apabila masyarakat sakit biasanya mereka hanya membeli obat di warung saja
yang beresiko bertambah parahnya penyakit. Dampak yang lebih luas lagi apabila datang ke
rumah sakit dan tidak tertolong, masyarakat suku Minangkabau menganggap bahwa tenaga
kesehatan di rumah sakit tidak professional. Namun apabila masyarakat suku Minangkabau
datang ke dukun dan nyawa keluarga mereka tidak tertolong, mereka menganggap belum
berjodoh dengan alternatif dukun (Sudiharto, 2007).

Pengertian sakit menurut masyarakat suku Minangkabau adalah ketika mereka sudah tidak
dapat melakukan aktifitas seperti biasanya seperti bekerja, berdagang, pergi ke ladang dan
lain-lain. Apabila mereka masih mampu melakukan aktifitas tersebut, mereka menganggap
bahwa mereka tidak sakit walaupun sudah memiliki gejala seperti flu, demam, sakit kepala
dan lain-lain. Ada beberapa jenis penyakit yang menurut masyarakat suku Minangkabau tidak
dapat dibawa ke rumah sakit seperti busung, kusta atau biriang dan patah tulang yang hanya
akan dibawa ke dukun patah (sangkal putung; bahasa jawa). Menurut masyarakat suku
Minangkabau penyakit seperti busung dan kusta terjadi disebabkan karena guna-guna (ulah
seseorang) atau kutukan karena telah melakukan larangan.

Beberapa upacara tradisi yang dipraktikan oleh masyarakat suku Minangkabau diantaranya:

1. Upacara Kehamilan

Ketika roh ditiupkan ke dalam seorang ibu pada janinnya yang berusia 16 minggu dengan
meminta doa kerabat dan besan dari masing-masing pasangan suami istri. Bagi masyarakat
suku Minangkabau, bayi perempuan dianggap sebagai pelanjut dari paruik atau kaum
sedangkan bayi laki-laki kelak diharapkan sebagai penunjang nama kerbat separuiknya dan
menjadi pembela kaum wanita dalam klennya.

2. Upacara Karek pusek (kerak pusat)

Tidak ada tujuan khusus dilakukannya upacara pemotongan tali pusat karena merupakan
upaya dari kalangan medis untuk memisahkan tali pusat dari plsenta ibunya.

3. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)

Upacara ini sering dilakukan dengan tradisi tertentu diantara ipar dengan besan dan indul
bako dari pihak bayi. Induk bako bayi akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi
laki-laki atau gelang bagi bayi perempuan dan barang-barang lainnya sebagai wujud kasih
sayang.

4. Upacara Sunat Rasul

Seorang anak laki-laki akan menjalani sunat atau khitan yang dalam istilah kesehatan disebut
dengan sirkumsisi ketika usianya sudah dianggap mencukupi. Hal ini mengandung sebuah
harapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-laki mereka mejadi anak yang dicita-citakan
serta berbakti kepada kedua orang tua.

Melihat beberapa hal yang menjadi tradisi ataupun kebiasaan pada masyarakat suku
Minangkabau, ada beberapa tradisi atau kepercayaan yang mungkin perlu diubah, salah satu
diantaranya yaitu kepercayaan mereka terhadap dukun yang dapat mengobati penyakit serta
menganggap bahwa beberapa penyakit seperti busung dan kusta merupakan akibat dari guna-
guna seseorang. Sebagai tenaga kesehatan, perawat berperan dalam hal ini, yaitu mengubah
persepsi masyarakat dengan mulai mengenalkan mengenai konsep penyakit-penyakit tersebut
dan dampak lanjutan jika tanpa ada penanganan medis.

Selain itu, ada beberapa tradisi masyarakat suku Minangkabau yang dapat dilestarikan seperti
upacara-upacara yang biasa dilakukan sebagai adat sesuai dengan agama mereka, dalam
batasan hal itu tidak menyimpang dan mengganggu atau bahkan membahayakan kesehatan
mereka.

1. Pendekatan atau Teknik Transkultural Nursing


Dalam melakukan pendekatan dengan teknik transkultural nursing ini, perlu diperhatikan
beberapa aspek yaitu:

1. Komunikasi

Perbedaan bahasa dan tutur bahasa yang digunakan antara Suku Minangkabau dengan
seorang perawat transkultural mungkin menjadi salah satu kendala terbesar terkait aspek
komunikasi ini. Perlunya memahami budaya dan suku tersebut sebelum kita turun langsung
ke daerahnya sangat diperlukan. Selain itu jika memang tidak atau kurang berhasil, kita dapat
menggunakan bantuan orang ketiga untuk menghubungkan dan menyampaikan maksud dari
tindakan yang hendak kita lakukan. Dengan penddikan masyarakat suku tersebut rendah
maka perawat tidak dapat menggunakan komunikasi dengan tulisan.

1. Strata Sosial

Dalam kaitannya dengan pendekatan ke strata sosial ini, perawat transkultural bisa
melakukan pendekatan kepada orang-orang yang berpengaruh disana seperti kepala sukunya
atau tetua-tetua suku yang mereka percaya. Sehingga kita nantinya dapat dibanntu paling
tidak untuk diterima terlebih dahulu oleh masyarakat suku minangkabau. Dengan adanya
sikap saling percaya diharapkan nantinya terjalin kerjasama yang baik antara perawat
transkultural dengan masyarakat suku minangkabau.

2. Peran perawat

Perawat memiliki peran aktif untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebu terkait
dengan kearifan lokal yang sudah menjadi tradisi adat istiadat suku tersebut. Peran perawat
dalam layanan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain:

1. Cara I : Mempertahankan budaya

Perawatan ibu postpartum menurut budaya Minang meliputi minum telur dan kopi,
penguapan dari bahan rempah-rempah (betangeh), pemanasan batu bata (duduk di atas batu
bata), meletakkan bahan-bahan alami di atas perut ibu (tapal), minum jamu dari bahan
rempah-rempah, dan membersihkan alat kelamin dengan air rebusan daun sirih.

1. Cara II : Negosiasi budaya

Memodifikasi menu makanan agar lebih berfariasi. Tingginya penyakit seperti hipertensi,
PJK, diabetes dan lain sebagainya sangat berbahaya. Sehingga perlu ada perubahan pola
makan dan menu makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat suku Minang. Seperti protein
dari daging di variasi dengan protein dari ikan laut, menambahkan menu sayuran yang cocok
untuk lidah masyarakat suku Minang.

1. Cara III : Restrukturisasi budaya

Budaya suku Minang yang perlu dilakukan rekonstruksi adalah perlunya keseimbangan peran
ayah dan ibu dalam pengasuhan anak. Sehingga anak dapat mendapat kasih sayang dari
kedua orang tua dan anak pun bisa memahami bagaimana sosok ayah dan sosok ibu dalam
satu keluarga.

No. Diagnosa Tujuan Perencanaan


Tingginya penyakit:
hipertensi, PKJ, obesitas, dll
pada masyarakat suku
Minangkabau berhubungan
1. Kaji perilaku makan
dengan kebiasaan suku
dan kebiasaan masyarakat
Minangkabau yang suka 1. Berkurangnya gejala
suku Minangkabau yang
makanan dari protein hewani penyakit hipertensi, PJK,
berisiko pada kesehatan
dan makanan bersantan yang obesitas dll pada masyarakat
ditandai dengan: suku Minangkabau
2. Pendidikan kesehatan
tentang makanan sehat dan
1) Sebagian besar suku 2. Menurunnya frekuensi
resiko kesehatan dari
Minangkabau menyatakan penderita hipertensi, PJK,
kebiasaan masyarakat suku
bahwa makanan yang kurang obesitas, dll pada masyarakat
Minangkabau.
disukai yaitu sayuran dan suku Minangkabau.
makanan yang hambar.
1. 3. Modifikasi menu
3. Pola dan menu makan
makanan yang bisa
2) Beberapa orang masyarakat suku Minangkabau
masyarakat suku Minang
diantaranya tidak suka membaik.
makan namun tetap
mengkonsumsi ikan, kecuali
mengurangi resiko
ikan teri atau ikan kering. 4. Masyarakat suku
kesehatan.
Minangkabau memahami
3) Daerah Sumatera Barat bahaya penyakit yang
4. Pantau tingkat
berdasarkan hasil prevalensi diakibatkan dari pola dan menu
kesehatan masyarakat suku
penyakit hipertensi sangat makanan yang selalu mereka
Minang melalui fasilitas
tinggi yaitu 19,4% makan.
layanan kesehatan yang
dibandingkan dengan suku
tersedia di masyarakat
suku lainnya.

4) Prevalensi PJK pada


etnik Minang sangat tinggi.
Ketidak efektifan pemberian 1. Ibu dan bayi mengalami 1. Konseling laktasi:
ASI pada masyarakat suku keefektifan pemberian ASI menggunakan proses
2. Minangkabau berhubungan yang ditunjukkan oleh: bantuan interaktif untuk
dengan kurangnya membantu mempertahankan
pengetahuan masyarakat suku 1. Pengetahuan pemberian keberhasilan menyusui
Minangkabau tentang ASI
pemberian ASI ditandai 2. Kemantapan pemberian 2. Amati sesi menyusui
dengan: ASI: Bayi/Ibu penuh.
3. Pemeliharaan
1) persepsi suplai ASI pemberian ASI 3. Pendidikan kesehatan
yang tidak adekuat pada ibu dan keluarga
2. Ibu mengenali isyarat tentang pemberian ASI pada
2) Bagi ibu yang tetap di lapar dari byai dengan segera. anak.
rumah atau bayi masih terlalu
kecil, dibawah usia 5 bulan, 3. Ibu mengenali tanda- 4. Libatkan keluarga
ASI di berikan sekali selama tanda penurunan suplai ASI untuk mengingatkan,
3 jam. Sedangkan ibu yang mengawasi ibu dalam
sibuk di sawah, biasanya ASI pemberian ASI.
hanya di berikan sebelum
mereka pergi bekerja.
Kemudian kembali di berika
ASI pada siang hari. Namun
bila si Bayi dianggap kuat
maka merekapun
membawanya ke ladang.

3) Sebagian besar ibu


menyusukan anaknya hingga
sekitar 1 tahun, karena pada
usia ini anak sudah mulai
makan bubur, sehingga tidak
merlu menyusu lama karena
mereka beranggapan ketika
umur 2 tahun anak sudah di
anggap terlalu lama dan
dianggap dapat
mendatangkan penyakit dan
anak tersebut kelak dapat
menjadi bodoh dan manja.
Ketidakmampuan menjadi 1. Kaji pengetahuan
menjadi orang tua (ayah) 1. Menunjukkan performa orang tua dalam peran
pada masyarakat suku menjadi orang tua (terutama mereka sebagai orang tua
Minangkabau berhubungan ayah) bagi anak mereka.
dengan struktur sosial
Minangkabaun selalu terpusat 2. Ayah akan 2. Promosi pelekatan:
oleh sistem garis keturunan mengidentifikasi faktor risiko memfasilitasi
ibu yang lebih kuat ditandai pada dirinya, yang perkembangan orang tua
3.
dengan: mengakibatkan (terutama ayah) dengan
ketidakefektifan menjadi orang anak
1) anak tidak mengetahui tua
dan memahami peran seorang 3. Promosi integrasi
ayah dalam keluarga dan 3. Ayah akan melaporakan keluarga: meningkatkan
anak menjadi jauh dengan mempunyai hubungan persatuan dan kesatuan
ayahnya. interpersonal yang positif keluarga.
2) adanya ikatan yang 4. Observasi perilaku
lemah atau kerenggangan dan orang tua terhadap perilaku
ketidakjelasan hubungan kurangnya pelekatan
ayah dan peran ayah dalam
rumah tangga serta
kurangnya kekuasaaan ayah
dalam mengatur keluarga.

3) memperlihatkan
gangguan pada rutinitas
keluarga.

1. Evaluasi Transcultural Nursing

No. Diagnosa Evaluasi


S: beberapa masyarakat suku Minang mulai
menyukai sayur

O: frekuensi penyakit hipertensi dll


1. I berkurang

A: tujuan tercapai sebagian

P: intervensi dilanjutkan
S: Ibu mengetahui isyarat bayi lapar dengan
segera.

O: Ibu mau menyusui bayinya hingga


2. II bayinya berusia 2 tahun

A: tujuan tercapai

P: Intervensi dihentikan
S: Anak belum memahami peran seorang
ayah, ikatan ayah dan anak masih lemah.

O: Ayah tidak menunjukkan pelekatan


kepada anak, peran ibu masih mendominasi
dalam keluarga
3. III
A: tujuan tidak tercapai

P: intervensi dirubah

1. Lakukan pendekatan melalui nilai-nilai


agama yang dianut

SOAL

1. Masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan…

1. Matrilokal
2. Patrilokal
3. Matrilineal
4. Patrilineal
5. Leluhur

2. Kesehatan tidak hanya dipengaruhi lingkungan tetapi budaya juga dapat


mempengaruhi. Budaya minang sangat khas dengan masakan padang. Menu utama
makanan orang minang yaitu masakan Padang. Masakan Padang yang pedas,
bersantan dan berminyak bisa membuat kondisi tubuh tidak baik. Bila terlalu banyak
mengkonsumsi makanan bersantan dan berminyak bisa mengakibatkan penyakit
hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner. Bagaimana peran perawat untuk mengatasi
kesehatannya ?
3. Membiarkan karena setiap suku mempunyai ciri kebudayaan sendiri-sendiri
4. Hanya memberi saran dan tidak melakukan intervensi
5. Memberikan penyuluhan kesehatan dan cara pengelolahan makanan
6. Memberikan saran untuk sering mengkonsumsi makanan pedas dan bersantan
7. Menyalahkan suku minang karena tidak bisa mengelola makanan dengan baik dan
pengetahuan tentang penyakit yang kurang
8. Upacara tradisi memutus tali pusat pada bayi pada suku minangkabau adalah…
9. Upacara Kehamilan
10. Upacara Karek pusek (kerak pusat)
11. Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
12. Upacara Sunat Rasul
13. Upacara Siraman

4. Dalam prosesi perkawinan adat minangkabau disebut…

1. Baralek
2. Paralek
3. Karalek
4. Garalek
5. Maralek

5. Budaya suku minangkabau yang masih bisa diterima oleh ilmu kesehatan adalah…
6. Peran ibu mendominasi dalam keluarga
7. Suka makan makanan bersantan
8. Suka makan makanan perdas
9. Menganggap enteng penyakit hipertensi
10. Meminum jamu pada ibu baru melahirkan

DAFTAR PUSTAKA

1. http://adityawahyu.web.unej.ac.id/2015/05/07/keperawatan-transkultural-
suku-minang/ OLEHAditya Wahyu K.

Arif. 2007. Pengobatan Tradisional Melayu. Diambil tanggal 2 Mei 2015 dari
www.melayuonline.com

Efendi, Ferry, dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

https://www.scribd.com/doc/122742492/Unsur-Unsur-Kebudayaan-Suku-Minangkabau
(diakses tanggal 25 april 2015, pukul 16.23)

Potter, dan Perry. (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika.

Sudiharjo. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan


Transkultural. Jakarta: EGC.

+
This entry was posted in Uncategorized.

Post navigation
← Hello world!
Beberapa Hal Yang Dapat Mengganggu Daya Tahan Tubuh →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
Name *

Email *

Website

Search

Recent Posts
 Penyakit HIV/AIDS
 Pengantar Promosi Kesehatan
 cara cepat turunkan berat badan
 Rawat Gigi dan Mulut Sehat dengan Benar
 8 Kecerdasan Manusia Selain IQ

Recent Comments
 Anonymous on Hello world!

Archives
 May 2015
 April 2015

Categories
 Uncategorized

Meta
 Log in
 Entries RSS
 Comments RSS
 WordPress.org

Anda mungkin juga menyukai