PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
De Jong, P.E de Josselin Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in
Indonesia. (Jakarta: Bhartara, 1960),h. 12
2
Kingsbury, D.; Aveling, H.. Autonomy and Disintegration in Indonesia. Routledge. ISBN 0-
415-29737-0, (2003), h. 37
3
Navis, A.A). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. (Jakarta:
Grafiti Pers, 1984),h.78
1
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai
profesional, dan intelektual. Mereka merupakan pewaris dari tradisi lama Kerajaan
Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Lebih dari separuh jumlah
keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Diaspora Minang pada
umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan,
Batam, Palembang, Bandar Lampung, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis
Minang terkonsentrasi di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney, dan
Melbourne. Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan
sebutan masakan Padang yang sangat digemari di Indonesia bahkan mancanegara.4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
4
Ramli, Andriati Masakan Padang: Populer & Lezat. Niaga Swadaya. ISBN 978-979-1477-09-
3(2008), h. 67
2
PEMBAHASAN
A. Asal-usul Suku Minangkabau
Nama Minangkabau berasal dari dua kata yaitu, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut,
konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit)
yang datang dari laut dan akan melakukan penaklukkan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan
asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif,
sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang masih
menyusui. Dalam pertempuran, anak kerbau yang masih menyusui tersebut
menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya.
Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga
mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan
masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, 5 yang berasal dari ucapan
"Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam
Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan
negeri yang sebelumnya bernama Pariangan menggunakan nama tersebut.
Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah
nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di Kecamatan Sungayang,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk
beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat
Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.
Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
5
Djamaris, Edwar, Tambo Minangkabau. (Jakarta: Balai Pustaka, (1991).) h. 220–221.
3
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia
(kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
2. Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas
masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk
kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut
oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam
keluarga.
6
Westenenk, L.C.De Minangkabausche Nagari.( Weltevreden: Visser 1918),h. 59.
4
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga
dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam
posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu
(kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang
disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). 7 Walau
kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum
lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau
memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
3. Kesenian Adat
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian,
seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di
antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang
dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat
kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan
bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada
telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh
talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas
suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan
di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu
bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur
dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau
7
Koning, Juliette Women and Households in Indonesia, Cultural Notions and Social Practices.
Routledge. (2000), h.34
5
disebut juga dengan sijobang.Dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting)
berdasarkan skenario.8
Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga
genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat
dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran,
kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan
senjata dan kontak fisik.
4. Merantau
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup
di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan
pesan nenek moyang karatau madang di hulu babuah babungo balun (anjuran
merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus
dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud satinggi-tinggi
tabangnyo bangau baliaknyo ka kubangan juo. Ungkapan ini ditujukan agar urang
Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses
interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan
sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung
halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki
tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di
Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi.
merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu
agama.9
8
Pauka, K. Theater and Martial Arts in West Sumatra, Randai and Silek of the Minangkabau.
(Ohio University Press. 1998),H.67
6
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik
sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat
Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai
kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu
pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-
tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian
hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga,
yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan,
atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga
dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun
pematang sawah.
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah
sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang
oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu,
setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya,
karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan
anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan
pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para
perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari
kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu
diperolok-olok oleh teman-temannya.10 Hal inilah yang menyebabkan kaum pria
9
Bonner, Robert Johnson, Aspects of Athenian Democracy Vol. 11. University of California
Press. 1933), h. 25–86.
10
Radjab, Muhammad, Semasa Ketjil di Kampung Autobiografi Seorang Anak Minangkabau.
(Jakarta: Balai Pustaka,1950), H.88
7
Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim
merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang,
meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama Minangkabau berasal dari dua kata yaitu, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut,
8
konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit)
yang datang dari laut dan akan melakukan penaklukkan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan
asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif,
sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang masih
menyusui.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk
beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat
Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.
Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia
(kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
DAFTAR PUSTAKA
9
Kingsbury, D. Aveling, H.. Autonomy and Disintegration in Indonesia.
Routledge.
Pauka, K. Theater and Martial Arts in West Sumatra, Randai and Silek of the
Minangkabau. (Ohio University Press. 1998).
10