Anda di halaman 1dari 8

ALAM MINANGKABAU

Dirayati Fitril
21058066
dirayatifitril0712@gmail.com

Asal usul Minangkabau

Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. asal
usul Minangkabau sendiri dapat dilihat di dalam tambo. Tambo adalah karya sastra
sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal usul
suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Tambo Minangkabau ditulis
dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa. Menurut Mansoer (1987) yang ditulis
kembali oleh (Desman, 2019) mengatakan bahwa sejarah Minangkabau memang
banyak diliputi ketidakpastian, terutama waktu sebelum kedatangan Islam. Karena
sejarah hanya dituturkan secara turun temurun dalam bentuk cerita rakyat yang diduga
banyak mengandung unsur dongeng. Setelah cerita-cerita rakyat itu dibukukan, cerita
ini kemudian dikenal dengan istilah Tambo. Penulisan tambo terkadang disisipi pula
oleh pendapat pribadi penulisnya, atau pendapat umum yang berkembang saat
penulisan itu, sehingga muncullah berbagai macam versi tambo yang asalnya sama.
Tidak mengherankan pula kalau kemudian muncul penilaian bahwa hanya terdapat
2% fakta sejarah dalam tambo itu, sehingga selebihnya adalah mitos-mitos.

Minangkabau secara etimologi berasal dari dua kata yaitu minang dan kabau.
Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata
manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata
minangkabau berarti kerbau yang menang. Melirik sejarah singkat Minangkabau,
merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah
Datar, Sumatera Barat. Diceritakan oleh (Ahmal, 2015) cerita rakyat tesebut
menjelaskan bahwa disebutkan bahwa suatu masa, datanglah orang Jawa (Majapahit)
yang ingin menguasai wilayah (yang kemudian menjadi wilayah kebudayaan) orang
Minangkabau. Orang Jawa datang dengan bala tentara yang banyak dan kuat. Melihat
kondisi ini, orang (yang kemudian disebut orang Minangkabau dan menjadi nenek
moyang orang) Minangkabau mencari akal agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Kemudian muncullah gagasan untuk melakukan adu kerbau dan menawarkan kepada
orang Jawa. Orang Jawa yang ingin menguasai wilayah (yang kemudian menjadi
wilayah kebudayaan orang) Minangkabau, menyetujui tawaran tersebut. Konon
kabarnya nenek moyang tersebut adalah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih
Nan Sabatang. Adapun taruhan bagi pemenang adu kerbau ini adalah jika kerbau
pasukan Majapahit yang kalah, maka kapal dengan segala isinya milik masyarakat
Gunung Merapi, sedangkan jika kerbau orang Minangkabau yang kalah maka
kerajaan ke dua datuk tersebut menjadi milik Majapahit. Tak lama berselang
kemudian didatangkanlah kerbau besar dari tanah Jawa untuk diadu dengan kerbau
orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau. Melihat besarnya kerbau
orang Jawa, sementara kerbau orang-orang yang menjadi nenek moyang orang
Minangkabau tidak sebesar itu, timbullah kekawatiran pada waktu itu. Tapi, orang-
orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau tidak kehilangan akal.
Diadulah anak kerbau yang sedang menyusui dengan kerbau besar orang Jawa.

Strategi awal yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi nenek moyang
orang Minangkabau sebelum dilaksanakan adu kerbau adalah dengan memisahkan
anak kerbau dari induknya beberapa hari. Kemudian pada tanduknya dipasanglah taji
(semacam pisau kecil) sebelum adu kerbau dilaksanakan. Ketika pelaksanaaan adu
kerbau, hal yang terjadi adalah kerbau besar orang Jawa tidak melakukan reaksi apa-
apa terhadap anak kerbau itu. Mungkin sang kerbau besar beranggapan bahwa anak
kerbau bukan tandingannya. Sementara anak kerbau yang masih menyusui
beranggapan kerbau besar orang Jawa itu adalah induknya. Anak kerbau ketika
melihat kerbau besar langsung menyeruduk perut kerbau besar seperti ingin menyusu.
Alhasil tanduk anak kerbau telah dipasang taji, menyebabkan perut kerbau besar
menjadi robek. Setelah perut kerbau besar robek, sang kerbau besar kemudian berlari
meninggalkan gelanggang adu kerbau. Saat kerbau besar meninggalkan gelanggang,
orang-orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau bersorak-sorai dengan
menyebutkan kata-kata “ ... manang kabau... manang kabau ...”. Kemudian kata-kata
tersebut berubah menjadi Minangkabau. Secara sederhana dari versi sejarah ini yang
disebut orang Minangkabau, adalah orang-orang yang kerbaunya menang saat diadu
dengan kabau orang Jawa. Dan keturunannya juga disebut sebagai orang
Minangkabau.

Dikutip dari Ensiklopedia Dunia “Orang Minangkabau” disebut bahwa, dari


tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang
mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak
tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung
kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun
kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang
juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk
menjadi raja mereka. Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat
Austronesia yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatra
sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk
dari arah timur pulau Sumatra, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran
tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.
Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang
dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan
Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah
teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang
oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak. Sementara seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau
menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu
menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu
kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi
sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau
dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur)
dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat). Pada awalnya penyebutan orang
Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan
Minang dan Melayu mulai digunakan untuk membedakan budaya matrilineal yang
tetap bertahan pada etnis Minang, berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat
Melayu pada umumnya.

Sosio-kultur Minangkabau

Budaya orang Minangkabau sangat unik karena banyak sekali tradisi yang
dijalankan memiliki makna atau filosofi tertentu terhadap kehidupan. Seperti sistem
keturunan dan kekerabatan, tradisi perkawinan, perantauan dan upacara adatnya.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga
keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan
ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling
melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat
Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

1. Sistem Keturunan dan Kekerabatan

Dalam (Abu Nain et al., 2019) mengatakan bahwa orang Minangkabau


menghitung garis keturunannya berdasarkan garis keibuan (matrilineal), dengan
pengertian bahwa keturunan dan harta warisan diturunkan kepada anak-anak
melalui ibu. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang
istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh
kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak
ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan
perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar
utama rumah). Masyarakat Minangkabau juga hidup berdasarkan "suku" yang
mula-mula dikenal dua suku induk menurut tradisi Kato Piliang dan Bodi Caniago
kemudian pecah menjadi bermacam-macam suku. Mereka yang termasuk ke
dalam suatu suku merupakan sekelompok orang dari keturunan dan bertali darah,
kesatuan genealogis. Suku atau matriclan adalah unit utama dari struktur
masyarakat Minangkabau. Seseorarig tidak dapat dipandang sebagai orang
Minangkabau, kalau ia tidak mempunyai suku. Suku sifat-nya exogami, kecuali
kalau tidak dapat lagi ditelusuri lagi hubungan keluarga antara dua suku yang
sama.

Menurut tradisi dua suku induk dihubungkan dengan kedua pendiri dan
pembentuk adat Minangkabau. Koto Piliang dihubungkan dengan pendirinya
Datuk Ketemanggungan dan Bodi Caniago dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Kedua suku induk ini dibedakan dalam cara mengambil keputusan dan pemilihan
kepala adat disebut penghulu. Koto Piliang mengambil keputusan dalam
musyawarah yang di-tentukan tingkatan penghulu. Di antaranya ada seorang
penghulu pucuk atau andiko yang merupakan penghulu tertinggi dalam suku itu.
Adakalanya beberapa orang yang disebut datuk empat (Payakumbuh).
Pengambilan keputusan secara bertingkat disebutkan "berjenjang naik, bertangga
turun". Nampak adanya tingkatan kedudukan penghulu dalam adat Koto Piliang.
Berbeda dengan sistem mengambil keputusan pada Bodi Caniago. Pada dasarnya
kedudukan mereka sama, dikatakan "duduk sama rendah, tegak sama tinggi".
Namun demikian ada juga seorang penghulu yang dituakan berdasarkan
wibawanya disebut Pemuncak adat.

Prinsip keturunan diatur menurut garis ibu. Setiap individu akan melihat
dirinya sebagai keturunan ibu dan neneknya tanpa melihat pada keturunan
bapaknya. Hal ini akan menjadi jelas, kalau kita mengingat kembali pengertian
keluarga dalam masyarakat Minangkabau. Menurut ketentuan pranata adat maka
seseorang anak memakai suku ibunya. Garis keturunan ini juga mem-punyai arti
pada pewarisan harta pusaka. Seseorang akan menerima pusaka dari mamaknya
melalui garis ibu. Sebagai konsekwensinya maka dalam suatu keluarga, harta
warisan terutama barang tetap merupakan warisan turun-temurun, seperti sawah
dan ladang akan jatuh kepada anak perempuan. Prinsip matrilineal ini juga
menentukan pewarisan dalam gelar pusaka yang disebut "sako ", yaitu gelar
jabatan dalam keluarga. Seorang lelaki akan mendapat warisan gelar sesuai
dengan gelar mamaknya. Kalau ada orang mendapat gelar dari kerabat bapaknya,
disebut "meminjam gelar" dan tidak dapat diwariskan lagi. Gelar pinjaman ini
tidak mempunyai pengaruh terhadap pusaka.

Pengertian "keluarga" di Minangkabau adalah kerabat terdiri dari nenek


perempuan dan saudara-saudaranya, anak laki-laki dan perempuan dari nenek
perempuan terdiri dari ibu dan saudara laki-laki dan perempuan dan seluruh anak
ibu dan anak saudara-saudaranya yang perempuan. Keluarga adalah kesatuan
terkecil dalam unit kekerabatan menurut garis keibuan. Untuk memudahkan
pengertian selanjutnya keluarga kita sebut kerabat ibu. Kerabat ayah berarti
keluarga ayah bersama saudara-saudara, ibu dan kemenakannya. Karena
perkawinan bersifat matrilokal, maka seorang ayah bertempat tinggal di rumah
istrinya. Demikian juga halnya dengan mamak, karena perkawinan ia akan
bertempat tingal di rumah istrinya pula. Selanjutnya seluruh laki-laki dari kerabat
ibu berada di rumah istrinya masing-masing.

2. Adat Perkawinan

Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu


peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang
sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut
keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk
lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak
istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah
Gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai
basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul
kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian
dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid,
sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah
ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar
baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar
akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya
bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai.

3. Bahasa Minangkabau

Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa


Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu. Namun, juga terdapat anggapan yang
meyakini bahwa bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek
Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya.
Sementara itu, yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri
yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau
merupakan bahasa Proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa
Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada
daerahnya masing-masing. Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa
Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata
Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah
ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa,
dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong
masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti
dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga
menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas.
Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam
bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama.
Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan
pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata
bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran
agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada
awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di
wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap
sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun
kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah
ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
4. Kesenian Minangkabau
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian,
seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan.
Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan. Tarian ini merupakan
tarian yang dipertunjukkan untuk memberikan ucapan selamat datang ataupun
ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya
tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya
sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi
dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional
khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya
diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan
Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang
bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasanya diiringi
oleh nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario. Selain itu, Minangkabau juga menonjol
dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah,
lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan
aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

Sosio-politik Minangkabau

Disebutkan dalam (Undri, 2014) bahwa menelusuri tentang persoalan budaya


demokrasi bagi orang Minangkabau disintak lebih jauh kepada persoalan dua
kelarasan yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Disebutkan dalam tambo, dua
orang keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan dan saudara lain ibu,
Datuk Perpatih nan Sabatang, menyusun bentuk pemerintahan adat di alam
Minangkabau yang akhirnya menimbulkan konflik antara dua saudara ini, Abdullah
(1966: 6-7) menjelaskan:

Telah menimbulkan konflik kelembagaan yang permanen di antara keturunan


mereka, Koto Piliang (Datuk Katumanggungan) dan Bodi Caniago (Datuk Perpatih
Nan Sabatang). Sistem politik Bodi Caniago berdasarkan pada prinsip-prinsip
“egalitarian”, dalam arti nagari diperintah oleh sekelompok penghulu yang merupakan
representasi dari suku masing-masing. Sementara itu, Koto Piliang mengenal adanya
jabatan puncak ketua sebagai primus inter pares, dan oleh karena itu dianggap lebih
otokratik.

Ketegangan di antara kedua kubu tradisi menyangkut sistem pemerintahan itu


merupakan salah-satu dikotomi yang memelihara ketegangan yang seimbang dalam
masyarakat. Musyawarah untuk menemukan mufakat menjadi salah-satu solusi
terpenting dalam adat Minangkabau. Artinya pola umum ini jelas terlihat dan
teraplikasi pada masyarakat di nagari Koto Piliang maupun di nagari Bodi Caniago.
Ini diungkapkan dalam pepatahnya yang mengatakan : basilang kayu dalam tungku
mangko api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku makanya api hidup), yang artinya
bahwa setiap persoalan justru dapat terpecahkan dengan adanya silang pendapat
dalam setiap musyawarah.
Berbeda pendapat dibenarkan oleh ajaran adat Minangkabau, suatu pertanda
dinamika manusia di dalam berpikir. Maka dilarang oleh adat adalah berpecah-pecah.
Jadi, sebelum diambil keputusan, terlebih dahulu dimufakatkan. Ini ciri khas dari
demokrasi di Minangkabau, tidak titik dari atas, tetapi timbul dari bawah. Segala
sesuatu bukan perintah dari pimpinan atau pemimpin, tetapi kehendak dari anak-
kemenakan, kemauan dari rakyat. Sesudah sama dipertimbangkan buruk-baik dalam
satu persoalan, sasudah ditungkuik di talantangkan, lah dikana awa jo akhia lah
dikana mudarat jo mufakat nan buruak dibuang nan baiak dipakai, sehingga dapat
diperoleh kata sepakat. Sewaktu mengadakan soal-jawab mempertimbangkan
sesuatunya tidak luput dari ingatan, bahwa keputusan yang akan diambil nantinya itu,
bukan saja ada faedahnya bagi orang yang membicarakan, juga memberi manfaat
untuk orang lain.

Dalam kepemimpinan nagari ada unsur lain yang melengkapi konfigurasi


kepemimpinan nagari, yaitu ulama dan cendikiawan, tetapi kedudukan mereka dalam
Kerapatan Adat Nagari sangat “situasional’, namun fungsional bagi kehidupan
masyarakat nagari. Kerapatan Adat Nagari merupakan salah satu bentuknya. Dimana
dalam prosesnya Kerapatan Adat Nagari meneruskan yurisdiksi sesuai dengan adat.
Pengadilan-pengadilan resmi membiarkan keadaan ini, Guyt, seorang hakim landraad,
menyatakan bahwa pengadilan pemerintah sangat menghargai keputusan-keputusan
para penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian mengenai Alam Minangkabau tersebut dapat kita simpulkan


bahwa Minangkabau merupakan suatu suku bangsa yang sangat kompolek di
dalamnya. Di mana di dalamnya terdapat sejarah penamaan minangkabau, asal usul
masyarakatnya dan bagaimana kehidupan sosio-kultur dan sosio-politiknya yang
sangat unik berberda dari suku bangsa lainnya. Banyak makna dan pesan yang dapat
diambil di dalamnya seperti prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah
yang mana artinya kehidupan antara adat dan agama saling berkaitan dan beriringan.
Serta segala sesuatu dalam hidup akan berhubungan dengan alam, hidup bersama
alam dan belajar dari alam. Tidak hanya itu saja kehidupan musyawarah untuk
mufakat oleh orang Minangkabau juga sangat dijunjung tinggi, salah satu bentuknya
adalah dengan adanya organisasi adat “Kerapatan Adat Nagari” dimana tempat inilah
yang akan digunakan sebagai tempat berunding dan bermusyawarah oleh orang
Minangkabau secara bersama yang dipimpin oleh niniak mamak. Untuk itu sebagai
orang Minangkabau hendaknya kita tetap mempelajari segala hal yang berhubungan
dengan suku bangsa kita ini agar kehidupan sebagai orang beragama dan beradat
dapat terjaga.
Sumber Bacaan

Abu Nain, D. S., Rosnida, D., & Thaher, D. I. (2019). Kedudukan dan Peranan Wanita dalam
Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau. Angewandte Chemie International Edition,
6(11), 951–952., 2.
Ahmal. (2015). “ Kabau “ Dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau. Jurnal PPKN &
Hukum, 10(1), 21–39.
Desman, N. S. (2019). PEMBUATAN PURWARUPA SONGKET PAKAIAN ADAT
SILUNGKANG BARAT ( Studi Kasus : Pada Kerapatan Adat Nagari Silungkang dan
Kantor Disperindag Kota Sawahlunto ). September, 314–325.
Undri. (2014). ORANG MINANGKABAU DAN BUDAYA BERDEMOKRASI. Saluah, 14,
7823–7830.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Orang_Minangkabau

Anda mungkin juga menyukai