Dirayati Fitril
21058066
dirayatifitril0712@gmail.com
Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. asal
usul Minangkabau sendiri dapat dilihat di dalam tambo. Tambo adalah karya sastra
sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal usul
suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Tambo Minangkabau ditulis
dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa. Menurut Mansoer (1987) yang ditulis
kembali oleh (Desman, 2019) mengatakan bahwa sejarah Minangkabau memang
banyak diliputi ketidakpastian, terutama waktu sebelum kedatangan Islam. Karena
sejarah hanya dituturkan secara turun temurun dalam bentuk cerita rakyat yang diduga
banyak mengandung unsur dongeng. Setelah cerita-cerita rakyat itu dibukukan, cerita
ini kemudian dikenal dengan istilah Tambo. Penulisan tambo terkadang disisipi pula
oleh pendapat pribadi penulisnya, atau pendapat umum yang berkembang saat
penulisan itu, sehingga muncullah berbagai macam versi tambo yang asalnya sama.
Tidak mengherankan pula kalau kemudian muncul penilaian bahwa hanya terdapat
2% fakta sejarah dalam tambo itu, sehingga selebihnya adalah mitos-mitos.
Minangkabau secara etimologi berasal dari dua kata yaitu minang dan kabau.
Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata
manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata
minangkabau berarti kerbau yang menang. Melirik sejarah singkat Minangkabau,
merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah
Datar, Sumatera Barat. Diceritakan oleh (Ahmal, 2015) cerita rakyat tesebut
menjelaskan bahwa disebutkan bahwa suatu masa, datanglah orang Jawa (Majapahit)
yang ingin menguasai wilayah (yang kemudian menjadi wilayah kebudayaan) orang
Minangkabau. Orang Jawa datang dengan bala tentara yang banyak dan kuat. Melihat
kondisi ini, orang (yang kemudian disebut orang Minangkabau dan menjadi nenek
moyang orang) Minangkabau mencari akal agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Kemudian muncullah gagasan untuk melakukan adu kerbau dan menawarkan kepada
orang Jawa. Orang Jawa yang ingin menguasai wilayah (yang kemudian menjadi
wilayah kebudayaan orang) Minangkabau, menyetujui tawaran tersebut. Konon
kabarnya nenek moyang tersebut adalah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih
Nan Sabatang. Adapun taruhan bagi pemenang adu kerbau ini adalah jika kerbau
pasukan Majapahit yang kalah, maka kapal dengan segala isinya milik masyarakat
Gunung Merapi, sedangkan jika kerbau orang Minangkabau yang kalah maka
kerajaan ke dua datuk tersebut menjadi milik Majapahit. Tak lama berselang
kemudian didatangkanlah kerbau besar dari tanah Jawa untuk diadu dengan kerbau
orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau. Melihat besarnya kerbau
orang Jawa, sementara kerbau orang-orang yang menjadi nenek moyang orang
Minangkabau tidak sebesar itu, timbullah kekawatiran pada waktu itu. Tapi, orang-
orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau tidak kehilangan akal.
Diadulah anak kerbau yang sedang menyusui dengan kerbau besar orang Jawa.
Strategi awal yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi nenek moyang
orang Minangkabau sebelum dilaksanakan adu kerbau adalah dengan memisahkan
anak kerbau dari induknya beberapa hari. Kemudian pada tanduknya dipasanglah taji
(semacam pisau kecil) sebelum adu kerbau dilaksanakan. Ketika pelaksanaaan adu
kerbau, hal yang terjadi adalah kerbau besar orang Jawa tidak melakukan reaksi apa-
apa terhadap anak kerbau itu. Mungkin sang kerbau besar beranggapan bahwa anak
kerbau bukan tandingannya. Sementara anak kerbau yang masih menyusui
beranggapan kerbau besar orang Jawa itu adalah induknya. Anak kerbau ketika
melihat kerbau besar langsung menyeruduk perut kerbau besar seperti ingin menyusu.
Alhasil tanduk anak kerbau telah dipasang taji, menyebabkan perut kerbau besar
menjadi robek. Setelah perut kerbau besar robek, sang kerbau besar kemudian berlari
meninggalkan gelanggang adu kerbau. Saat kerbau besar meninggalkan gelanggang,
orang-orang yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau bersorak-sorai dengan
menyebutkan kata-kata “ ... manang kabau... manang kabau ...”. Kemudian kata-kata
tersebut berubah menjadi Minangkabau. Secara sederhana dari versi sejarah ini yang
disebut orang Minangkabau, adalah orang-orang yang kerbaunya menang saat diadu
dengan kabau orang Jawa. Dan keturunannya juga disebut sebagai orang
Minangkabau.
Sosio-kultur Minangkabau
Budaya orang Minangkabau sangat unik karena banyak sekali tradisi yang
dijalankan memiliki makna atau filosofi tertentu terhadap kehidupan. Seperti sistem
keturunan dan kekerabatan, tradisi perkawinan, perantauan dan upacara adatnya.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga
keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan
ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling
melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat
Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Menurut tradisi dua suku induk dihubungkan dengan kedua pendiri dan
pembentuk adat Minangkabau. Koto Piliang dihubungkan dengan pendirinya
Datuk Ketemanggungan dan Bodi Caniago dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Kedua suku induk ini dibedakan dalam cara mengambil keputusan dan pemilihan
kepala adat disebut penghulu. Koto Piliang mengambil keputusan dalam
musyawarah yang di-tentukan tingkatan penghulu. Di antaranya ada seorang
penghulu pucuk atau andiko yang merupakan penghulu tertinggi dalam suku itu.
Adakalanya beberapa orang yang disebut datuk empat (Payakumbuh).
Pengambilan keputusan secara bertingkat disebutkan "berjenjang naik, bertangga
turun". Nampak adanya tingkatan kedudukan penghulu dalam adat Koto Piliang.
Berbeda dengan sistem mengambil keputusan pada Bodi Caniago. Pada dasarnya
kedudukan mereka sama, dikatakan "duduk sama rendah, tegak sama tinggi".
Namun demikian ada juga seorang penghulu yang dituakan berdasarkan
wibawanya disebut Pemuncak adat.
Prinsip keturunan diatur menurut garis ibu. Setiap individu akan melihat
dirinya sebagai keturunan ibu dan neneknya tanpa melihat pada keturunan
bapaknya. Hal ini akan menjadi jelas, kalau kita mengingat kembali pengertian
keluarga dalam masyarakat Minangkabau. Menurut ketentuan pranata adat maka
seseorang anak memakai suku ibunya. Garis keturunan ini juga mem-punyai arti
pada pewarisan harta pusaka. Seseorang akan menerima pusaka dari mamaknya
melalui garis ibu. Sebagai konsekwensinya maka dalam suatu keluarga, harta
warisan terutama barang tetap merupakan warisan turun-temurun, seperti sawah
dan ladang akan jatuh kepada anak perempuan. Prinsip matrilineal ini juga
menentukan pewarisan dalam gelar pusaka yang disebut "sako ", yaitu gelar
jabatan dalam keluarga. Seorang lelaki akan mendapat warisan gelar sesuai
dengan gelar mamaknya. Kalau ada orang mendapat gelar dari kerabat bapaknya,
disebut "meminjam gelar" dan tidak dapat diwariskan lagi. Gelar pinjaman ini
tidak mempunyai pengaruh terhadap pusaka.
2. Adat Perkawinan
3. Bahasa Minangkabau
Sosio-politik Minangkabau
Kesimpulan
Abu Nain, D. S., Rosnida, D., & Thaher, D. I. (2019). Kedudukan dan Peranan Wanita dalam
Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau. Angewandte Chemie International Edition,
6(11), 951–952., 2.
Ahmal. (2015). “ Kabau “ Dalam Kehidupan Masyarakat Minangkabau. Jurnal PPKN &
Hukum, 10(1), 21–39.
Desman, N. S. (2019). PEMBUATAN PURWARUPA SONGKET PAKAIAN ADAT
SILUNGKANG BARAT ( Studi Kasus : Pada Kerapatan Adat Nagari Silungkang dan
Kantor Disperindag Kota Sawahlunto ). September, 314–325.
Undri. (2014). ORANG MINANGKABAU DAN BUDAYA BERDEMOKRASI. Saluah, 14,
7823–7830.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Orang_Minangkabau