Anda di halaman 1dari 6

PEMBINAAN KEPADA SUKU ANAK DALAM (SAD)

KABUPATEN DHARMASRAYA

Ada banyak cerita dan kajian yang menjelaskan tentang asal usul Suku Anak
Dalam, suku ini terbentuk ketika adanya perang antara Kerajaan Jambi yang
dipimpin Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim
Rangkayo Hitam. Konon, perselisihan ini semakin memanas, hingga akhirnya
didengar Raja Pagar Ruyung, yang notabene ayah dari Puti Selara Pinang Masak.

Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan


prajurit-prajurit terbaiknya untuk membantu Kerajaan Jambi guna menaklukan
Kerajaan Tanjung Jabung. Namun, saking jauhnya jarak kerajaan tersebut, para
prajurit yang menempuh medan pertempuran dengan berjalan kaki ini merasa
tidak sanggup lagi. Kondisi mereka mulai menurun, sedangkan persediaan bahan
makanan sudah habis dalam perjalanan yang memakan waktu berhari-hari di
hutan.

Singkat cerita para prajurit ini bermusyawarah, hingga memutuskan untuk


mempertahankan diri hidup dalam hutan dengan tujuan menghindarkan rasa malu
pada kerajaan, terutama pada Raja Pagar Ruyung. Lalu mereka mencari tempat
sepi yang jauh dari permukiman manusia. Lambat laun, keberadaannya makin
lama makin terpencil dan terisolasi dari dunia luar, hingga mereka dan
keturunannya menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Asal usul Suku Kubu memang masih dirundung misteri. Pasalnya, banyak versi
cerita dan kajian yang mendasari keberadaannya. Namun, Jatna Supriatna, biolog
dan pejuang konservasi, dalam bukunya Melestarikan Alam Indonesia,
menegaskan asal usul Suku Anak Dalam ini belum jelas. Hal senada juga
diucapkan Pandong Spenra, aktivis lingkungan yang telah membina Suku Anak
Dalam di Dharmasraya, Sumatera Barat sejak 2010.

Pandong mengungkapkan masyarakat Suku Anak Dalam memiliki kesamaan


dengan masyarakat Minangkabau. “Banyak orang bilang kalau orang Kubu itu
keturunan masyarakat Minang yang lari ke hutan, itu belum bisa dipastikan. Tapi,
orang Kubu asal Minang mungkin benar sepanjang pengamatan saya terhadap
tradisi mereka,” katanya.

Suku Anak Dalam juga mengikuti garis keturunan matrilineal (wanita atau ibu).
Sama dengan garis keturunan yang diterapkan masyarakat Minangkabau,
sementara di Indonesia satu-satunya masyarakat yang memakai paham garis
keturunan ibu hanya Minangkabau.
“Mereka sangat matrilineal. Perempuan diletakkan pada posisi seperti bundo
kanduang di Ranah Minang. Jadi besar kemungkinan mereka adalah bagian dari
Minangkabau,” ujarnya.

Dalam mengambil keputusan, perempuan di Suku Kubu mempunyai peranan


penting. Termasuk dalam mengelola harta, di sini kaum perempuan menjadi
tempat tertinggi untuk mengelola harta. Bahkan, laki-laki tidak memegang sedikit
pun dari harta yang berhasil mereka kumpulkan.

Selain itu, kesamaan lain dengan masyarakat Minangkabau, menurut Pandong,


mereka tidak mempunyai budaya perang. Kalau masyarakat Suku Kubu
bertengkar itu hanya sekadar berteriak-teriak sambil menghempaskan kaki ke
tanah atau memukul barang yang ada di sekitarnya.

“Melihat tradisi mereka, bisa saya pastikan kalau mereka merupakan bagian dari
Minangkabau. Tapi bagaimana proses sejarahnya saya tidak tahu,” pungkasnya.

Ragam Tradisi

Sama seperti suku pada umumnya, Suku Kubu juga memiliki beragam tradisi yang
terkait dengan adat istiadatnya. Berikut beberapa di antaranya.

Melangun

Hal ini terkait dengan kematian orang terdekatnya. Suku Kubu biasanya
menganggap hal ini merupakan kesedihan, terutama bagi keluarga yang
ditinggalkannya. Selain itu, kelompok yang berada di sekitar rumah kematian akan
pergi karena menganggap hal tersebut merupakan kesialan.

Tradisi ini juga kerap digunakan untuk melupakan kesedihan, dan uniknya dalam
tradisi ini mereka akan meninggalkan tempat tinggalnya dalam waktu cukup lama,
bahkan para leluhur Suku Kubu bisa pergi 10 sampai 12 tahun lamanya.

Besale
Kata Besale hingga saat ini belum diketahui artinya, namun secara harfiah dapat
diartikan sebagai kegiatan duduk bersama untuk memohon kepada Yang
Mahakuasa agar diberikan kesehatan, ketenteraman, dan dihindarkan dari
marabahaya. Tradisi besale dilaksanakan pada malam hari yang dipimpin seorang
tokoh yang disegani. Tokoh ini harus memiliki kemampuan lebih, terutama untuk
berkomunikasi dengan dunia gaib. Dalam tradisi ini biasanya orang Kubu akan
membuat bunyi-bunyian dari alat musik tradisional redab (Gendang Melayu) dan
tari-tarian khas yang bersifat sakral.

Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut Suku Kubu atau Orang Rimba ini adalah
salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, terutama di
daerah Palembang, Riau, dan Jambi. Namun, mayoritas keberadaan suku ini
banyak terdapat di wilayah Jambi.

Survei Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI), pada 2004, menyatakan jumlah


keseluruhan Suku Kubu ada sekitar 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang
kemudian dinyatakan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), terletak
di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan
Sarolangun.

Hingga 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Suku Kubu. Beberapa ada
yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya.
Namun, sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat
sebagaimana nenek moyang mereka.

Selain di TNBD, kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi
terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatra Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka
hidup di sepanjang aliran anak sungai seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai
Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang
anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo,
jumlahnya sekitar 1.200 orang. Lalu kelompok lainnya menempati Taman Nasional
Bukit Tigapuluh, tercatat sekitar 500 orang.

Kehidupan suku ini terkenal dengan kebiasaan hidup yang terisolasi dari dunia luar
sehingga dari segi budaya ataupun kebanyakan dari mereka masih sangat orisinal,
bahkan bisa dibilang primitif.

Selain itu, Suku Kubu yang menggantungkan hidupnya di hutan, kini


kelestariannya sedang terancam akibat maraknya pembukaan hutan untuk lahan
perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah tempat tinggalnya.

Tak Mau Disebut Orang Kubu, Karena Itu Menghina

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas


Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang
disebut orang terang. Suku Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka
senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap
merendahkan diri mereka.

Dalam percakapan antar warga masyarakat Jambi tentang orang Kubu tercermin
dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan,
misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. Sebutan lain
yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang
belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan
akrab ialah “nco” yang berarti kawan.
Namun sekarang suku anak dalam sudah bersosialisasi dengan masyarakat yang
ada di kabupaten dharmasraya. Dimana SAD yang sebelumnya tidak pakai Baju
sekarang sudah pakai baju bahkan sekarang sudah ikut Upacara Bendera dalam
rangka 17 Agustus 2017

SUKU ANAK DALAM KABUPATEN DHARMASRAYA

PELAYANAN KESEHATAN YANG DIBERIKAN OLE PUSKESMAS KEPADA SAD


SAD MENGIKUTI UPACARA BENDERA PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 2017 DI
KECAMATAN KOTO BESAR KABUPATEN DHARMASRAYA
CAMAT KOTO BESAR MEMBAGiKAN BUKU KEPADA ANAK SAD DALAM RANGKA
MENUMBUHKAN MINAT BACA

Anda mungkin juga menyukai