NIM: N1A117119
Kelas: 6K
Gambaran Umum SAD
Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu etnik tradisional yang ada di
Indonesia; merupakan sebutan bagi komunitas adat terpencil yang hidup dan tersebar dalam
hutan di provinsi Jambi dan provinsi Sumatera Selatan. Sebutan ini menginterpretasikan situasi
dari kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) yang sejak nenek moyangnya menggantungkan hidup
pada berbagai hasil dan manfaat hutan.
Suku Anak Dalam (SAD) bermukim di berbagai kawasan hutan provinsi Jambi yang
pada saat ini terutama pada kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Bukit Tigapuluh.
Suku Anak Dalam atau Orang Rimba asal Jambi tersebar dikawasan Taman Nasional Bukit Dua
Belas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar,9 yang telah dilindungi dan ditetapkan sebagai
kawasan hidup Orang Rimba melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No 522/51/1973/1984.
Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas meliputi tiga kabupaten: kabupaten Batanghari,
kabupaten Tebo dan kabupaten Sarolangun. Tempat hidup SAD tersebar di daerah sungai
Sarolangun, sungai Terap, sungai Kejasung Besar dan Kejasung Kecil, sungai Makekal dan
sungai Sukalado.
Sejarah SAD
Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu suku asli yang ada di Propinsi
Jambi,keterangan yang pasti asal usul kedatangan nenek moyang suku ini belum ditemui secara
tertulis,pendapat para ahli dan sejarahwan ada yang menyebutkan bahwa suku ini berasal dari
peercampuran antara suku Wedda dan suku Negrito yang kemudian disebut suku
Weddoid,pendapat ini didasarkan pada cirri-ciri pisik suku anak dalam yang memiliki kesamaan
dengan suku Negrito dan Weddoid,ciri yang bersamaan itu antara lain Kepala berbentuk
sedang(kecil),posisi mata agak menjorok kebelakang,kulit sawo matang dan umumnya warga
suku anak dalam berambut keriring (ikal,berombak dan hitam legam).
Hingga kini, tidak diketahui secara pasti asal muasal Suku Anak Dalam. Versi
Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku
Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang
sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air
Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat
anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka
yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning
dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan
pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang,
rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan
negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Cerita yang dituturkan dari mulut kemulut dan dipercayai oleh sebagian besar suku anak
dalam di pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas dan suku anak dalam yang hidup
dikawasan Hutan Kabupaten Merangin, Bungo,Tebo dan sebagian suku anak dalam yang
bermukim di kawasan Bathin VIII, Sarolangun menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari
Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat.Dikisahkan pada zaman dahulu kerajaan Pagaruyung
mengirimkan tentara bala bantuan untuk kerajaan Melayu Jambi yang saat itu sedang mendapat
ancaman dari temtara kerajaan lain.
Sehingga seperti yang telah dijelaskan diatas, asal usul atau sejarah Komunitas Adat
Terpencil Suku Anak Dalam (SAD) berasal dari tiga keturunan dari Sumatera Selatan, dari
Minang Kabau dan keturunan dari Jambi asli yang berdomisili di daerah Air Hitam Kabupaten
Sarolangun Bangko.
Hutan adalah habitat Suku Anak Dalam (SAD). Hutan merupakan rumah, sumber
penghidupan dan perlindungan bagi Suku Anak Dalam (SAD). Hutan adalah tempat Anak –
Anak Rimbo tumbuh berkembang menjadi manusia yang arif terhadap alam. Dalam keteduhan
pepohonan, Suku Anak Dalam (SAD) menganyam kehidupan mereka.
Sebagai masyarakat hutan, Suku Anak Dalam (SAD) sejak dulu sudah membedakan
berbagai area hutan yang memiliki nilai kemanfaatan berbeda, misalnya ada area yang
dinamakan halom bungaron, yaitu kawasan hutan yang masih utuh dan memiliki kerapatan
vegetasi yang tinggi. Area ini nyaris tidak dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam (SAD). Lalu
ada halom balolo dan ranah yang merupakan kawasan dimana Suku Anak Dalam (SAD) biasa
berburu dan mengambil berbagai hasil hutan. Kemudian ada area halom benuaron dan humo
yang dimanfaatkan untuk berladang.
Hutan merupakan habitat bagi Suku Anak Dalam, Rumah tempat mereka tinggal yang
biasa disebut sudung, hanya terdiri dari atap rumbia, dengan lantai anak kayu, dan tanpa dinding.
Di sudung inilah mereka berkumpul bersama keluarga, bahkan dengan hewan-hewan piaraan
pula.
Pola hidup Suku Anak Dalam (SAD) pada umumnya adalah berkelompok dengan satu
pemimpin suku yang bergelar Temenggung dan satu wakil yang disebut dengan Depati yang
bertugas mewakili Temenggung ketika yang bersangkutan berhalangan hadir dalam acara-acara
penting suku mereka.
Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum
dan keadilan. Strata sosial lainnya yang terdapat dalam susunan kepemimpinan suku Rimba
adalah adanya seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan
masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu
tertentu.
Pengulu adalah sebuah institusi sosial yang mengurus dan memimpin masyarakat orang
Rimba. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alim yang mengawasi dan
melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan
sebagainya.
Seorang pemimpin atau Temenggung sendiri dalam masyarakat Rimbo dan Batin
Sembilan dapat dikenali dengan bentuk rumahnya yaitu seorang Temenggung mendiami sebuah
rumah yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Kediaman Temenggung ini memiliki
dinding kayu, atapnya dari daun dengan lantai yang kira-kira 2 meter lebih tinggi dari tanah.
Rumah ini oleh masyarakat Suku Rimba disebut dengan Bubangan. Sedangkan rumah warga
biasa yang disebut sampaeon lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah meter tingginya
dari tanah. Lantai dibuat dari batang kecil kayu bulat dan atapnya dibuat dari plastik hitam.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan, yaitu
mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat
meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya
mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di
daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung,
gadung, enau, dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk
mata pencaharian lainnya.
Sedangkan kondisi social dan kebudayaan suku anak dalam yang hidup diluar hutan saat
ini telah mengalami perubahan dan peregeseran dari kebudayaan tradisional memasuki
peradaban baru, beberapa warga telah menikah dengan masyarakat di luar kelompok mereka,
warga suku anak dalam juga telah mengenal dunia modern dan teknologi informasi.
Pemberdayaan KAT
Data Bappeda Jambi menyebutkan populasi KAT yang sudah dibina dan yang belum
dibina dari tahun 1973 sampai tahun 2010 sebanyak 6.773 KK / 28.883 Jiwa yang tersebar di 8
(delapan) Kabupaten. Pemberdayaan yang sedang berlangsung 2 (dua) tahun terakhir meliputi
sejumlah 82 KK/328 Jiwa dan pada pemberdayaan tahap I tahun 2010 sebanyak 32 KK/128
Jiwa, dan untuk Tahun ke III 50 KK/205. Pemberdayaan KAT di Jambi tahun 2013 dilakukan di
tujuh lokasi di tiga kabupaten yaitu Batanghari, Sarolangun, dan Merangin.