Anda di halaman 1dari 9

SUKU

KUBU / ANAK DALAM

Mapel : IPS TERPADU

Kelas : IX E

Kelompok 4:

 EREY ANDHAT R

 BRYAN VHIRGY

 ALFA ADRIAN

 MUH. RESKY

SMP NEGERI 1 MANGKUTANA


DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................................................1

Kata Pengantar........................................................................................................2

BAB 1 : PEMBAHASAN

A. Pengertian Suku Kubu.......................................................................................3

B. Sejarah Suku Kubu............................................................................................4

C. Mata Pencaharian..............................................................................................5

D. Kepercayaan Suku Kubu..................................................................................6

E. Kebiasaan Suku Kubu.......................................................................................7

F. Adat Istiadat Suku Kubu...................................................................................8

BAB 2 : PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................................9

B. Saran...............................................................................................................10
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengansebaik-

baiknya. Makalah tentang suku terasing di provinsi jambi sumatera selatan (suku kubu).

Demikian pula kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini kami masih banyak

kekurangan dan kesalahan baik dalam segi substansi maupun tata bahasa. Namun, kami tetap berharap

agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran dari

penulisan makalah ini sangat kami harapkan dengan harapan sebagai masukan dalam perbaikan dan

penyempurnaan pada makalah kami berikutnya. Untuk itu kami ucapkan terimakasih.
BAB 1
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SUKU KUBU

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam merupakan penyebutan untuk masyarakat
yang tinggal di kawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah khususnya Jambi. Penyebutan
ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu Orang Rimba dan Suku Batin Sembilan.
Kubu berasal dari kata ngubu atau ngubun dari bahasa Melayu yang berarti bersembunyi di dalam
hutan. Orang sekitar menyebut suku ini sebagai “Suku Kubu”. Namun, baik Orang Rimba maupun
Batin Sembilan tidak ada yang menyebut diri dan kelompok mereka sebagai Suku Kubu. Oleh
karena itu, panggilan ini kurang disukai karena bermakna peyorasi atau menghina.

B. SEJARAH SUKU KUBU / SUKU ANAK DALAM

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba
di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang
Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke
Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan
suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal. Kehidupan mereka seminomaden, dan
berkelompok dengan sebutan “Tubo” yang dipimpin oleh seorang “Tumenggung” dan terdiri dari
beberapa kepala keluarga. Biasanya pemilihan Tumenggung berdasarkan garis keturunan, tetapi
sekarang siapapun bisa dipilih sebagai Tumenggung asalkan dinilai punya kapasitas.

C. MATA PENCAHARIAN

Mata pencahariannya kebanyakan adalah meramu hasil hutan dan berburu. Senjata yang
digunakan antara lain lembing kayu, tombak bermata besi,dan parang, walaupun banyak yang dari
mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Untuk suku Anak Dalam Batin
Sembilan yang tinggal menetap di daerah Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi
lakitan, di sana banyak terdapat juga suku Anak Dalam yang menggantungkan hidup di persawitan,
bahkan ada yang ‘mencuri’ hasil perusahaan sawit sekitar. Mereka seperti itu karena memegang
prinsip dasar apa yang tumbuh dalam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak juga suku
Anak Dalam di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan
kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (kecepek).
D. KEPERCAYAAN

Mayoritas suku Anak Dalam menganut kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada agama
tradisional. Akan tetapi, beberapa keluarga khususnya kelompok yang hidup di kawasan jalan lintas
Sumatra telah beragama Kristen atau Islam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik provinsi Jambi
tahun 2010, dari 3.205 jiwa orang Rimba yang tercatat, sebanyak 2.761 jiwa atau 86,15% menganut
kepercayaan leluhur, kemudian sebanyak 333 jiwa (10,39%) menganut agama Kristen dan
sebanyak 111 jiwa (3,46%) menganut agama Islam.

E. KEBIASAAN

 Berburu

Kegiatan berburu adalah kegiatan mencari binatang buruan untuk pemenuhan konsumsi
protein, ini dilakukan secara bersama-sama atau juga dengan seorang diri. Dengan menggunakan
kujur, teruk, serampang orang rimba berjalan didalam hutan untuk mencari binatang buruan, yang
sering menjadi sasaran buruan adalah Babi atau kancil. Penggunaan kujur biasanya dilakukan
pada saat musim-musim hujan. Pada saat itu binatang-binatang buruan banyak yang bertedu
dibelukar yang membentuk seperti terowongan (Jermon). Pada saat itulah babi di tombak (di-
kujur). Kegiatan berburu tidak hanya dilakukan dengan membawa alat-alat berburu tetapi juga
dapat dengan membuat jerat (jorot) di dalam hutan yang dipandang banyak dilalui binatang
seperti babi maupun rusa..Kegiatan berburu tidak hanya dilakukan di dalam hutan tetapi juga
turun ke desa di dalam desa di antara tanaman sawit atau sungai-sungai besar di desa. Pada saat
ini kujur tidak lagi dipandang efektif dalam mendapatkan binatang buruan, kontak sosial yang
sering terjadi telah mengalihkan teknologi berburu kearah yang lebih efekttif. Senjata api rakitan
atau yang lebih dikenal kecepak lebih efektif untuk berburu babi, kijang atau kancil sebagai
pengganti dari kujur. Sementara alat yang masih tradisional yang sampai saat ini dipakai adalah
Teru untuk menangkap kura-kura, serampang untuk menombak ikan di sungai-sungai serta jenis-
jenis tuba tanaman yang digunakan untuk meracun ikan seperti tuba berisil (berupaka kulit
batang), tuba gantung (berupakulit batang) yang kesemuanya itu diperoleh dari jenis tanaman di
dalam hutan.

 Meramu

Meramu adalah aktifitas orang rimba dalam mencari berbagai jenis tanaman baik untuk obat-
obatan maupun untuk dikonsumsi atau dijual ke desa-desa sekitar hutan. Tanaman yang hanya
digunakan untuk konsumsi sendiri seperti mencari gadung (bahasa rimba gedung). Ini adalah
jenis tanaman umbi-umbian yang beracun. Dengan pengelolaan yang panjang rumit dan penuh ke
hati-hatian Gedung dapat dikonsumsi sendiri. Jenis tanaman lainya adalah tanaman-tanaman obat
seperti Pasak Bumi (Sempedu tano). Jenis tanaman ini berfungsi untuk mengobati penyakit
malaria maupun demam. Masih banyak tanaman obat lainnya yang diramu untuk dijadikan obat-
obatan di kalangan orang rimba. Orang rimba juga mencari mencari madu, rotan-rotan hutan dan
jernang, untuk dijual.
 Bercocok tanam

Walaupun orang rimba dikenal sebagai masyarakat dengan pola hidup yang nomaden, bertani
adalah bagian penting yang saat ini mereka kembangkan. Tentunya ada banyak yang melatar
belakangi lahirnya aktifitas pertanian mereka. Memang sejak nenek moyang orang rimba mereka
telah terbiasa dalam kegiatan pertanian dan ini dapat terlihat berbagai tabu yang dipantangkan
ketika aktifitas pertanian berlangsung. Tetapi itu hanya dalam sekala kecil. Untuk saat ini
pergerakkan perladangan dari dusun dengan cara pembukaan hutan dan maraknya illegal logging
yang berkembang pesat menyebabkan orang rimba lebih bersifat aktif dalam pemanfaatan hutan
yang intinya ditujukan untuk menghambat pergerakan perladangan dan illegal logging lebih jauh
ke dalam hutan. Kegiatan pertanian yang dilakukan saat ini adalah menanam padi, ubi, cabai
sebagai pemenuhan kebutuhan harian, dan juga Karet (parah) sebagai pemenuhan ekonomi
jangka panjang. Penanaman karet adalah sebagai hompongon yaitu pagar atau pembatas gerak
orang dusun merambah jauh ke dalam hutan dilakukan di kawasan-kawasan yang berbatasan
langsung dengan desa.

Karet yang ditanam adalah karet hutan atau karet kampung yang dipahami memiliki ketahanan
terhadap penyakit. Walaupun panen baru dapat dilakukan setelah usia karet mencapai 9 tahun
tetapi yang utama adalah pencegahan terhadap maraknya pembukaan dan bahkan penjualan lahan
hutan oleh masyarakat dusun secara besar-besaran terlebih lagi kuatnya arus illegal logging.
Seperti hasil-hasil hutan lainnya, getah karet juga dijual kepada toke-toke yang berada didesa.

F. ADAT ISTIADAT

o Belangun

Belangun adalah kebiasaan orang rimba pindah dari satu tempat ke tempat yang lain
dalam jarak relatif jauh yang dilakukan karena adanya kematian. Belangun dilakukan untuk
menghilangkan segala kenangan dengan si mati selama hidupnya. Dengan belangun ketempat
lain diharapkan hati yang sedih dapat terhibur dengan suasana yang baru. Terjadinya kematian
di lokasi pemukiman mereka (orang rimba) juga dipersepsikan tanah pemukiman tersebut
sebagai tanah yang tidak baik lagi untuk di pakai, karena akan memberikan kesialan selama
mereka bertahan menempatinya. Ketika belangun semua harta benda orang rimba akan dibawa
serta. Barang-barang ini akan ditempatkan dalam ambung. Di kalangan masyarakat Anak
Dalam di Air Hitam, sebelum Melangun dilakukan, mayat ditempatkan di atas beli berukuran
1×2 meter, disertai peralatan miliknya.[6]

o Bebalai

Bebalai adalah pesta adat perkawinan orang rimba. Acara ini dilakukan jauh di dalam
hutan, bersama para dukun dan penghulu adat ritual-ritual adat dilakukan. Acara bebalai ini
sangat tertutup bagi pihak luar. Biasanya pesta berlangsung 7 hari 7 malam dengan sajian
beragam buah-buahan hutan.
o Tarik rentok

Tarik rentok adalah adat perkawinan orang rimba yang dilakukan karena kedua pasangan
telah melanggar tabu adat. Tarik rentok juga dilakukan didalam hutan jauh dari pemukiman
kelompok. Ini dilakukan karena sang laki-laki (jenton) diketahui telah ‘mengambil’ berbagai
perhiasan (manik-manik, gelang dll) gadis rimba. Tarik rentok ini hanya dilakukan dalam
waktu satu hari saja, tanpa menggunakan pesta atau pertunjukkan yang begitu meriah seperti
pada pesat bebalai.

o Tari Elang

Tari ini merupakan tradisi yang ada dan menjadi milik Orang Rimba (Suku Anak Dalam)
yang hidup di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Tari ini diiringi dengan
dendangan berupa mantra untuk memanggil para Dewa. Tari dilakukan saat pelaksanaan
ritual/upacara pengobatan, perkawinan, ataupun bebalai lainnya. Dalam pertunjukannya, Tari
Elang menggunakan iringan musik berupa mantera-mantera yang dilantunkan atau
didendangkan oleh si penari. Penari menggunakan sehelai kain panjang sebagai perlengkapan
tari. Kain panjang dianggap sebagai simbol dari sayap burung Elang (menurut kepercayaannya
di dalam burung Elang bersemayang roh Dewa Elang).

o Cenenggo dan Sesandingon (Sakit dan mengasingkan diri)

Di dalam kehidupan orang rimba penyakit bisa disebabkan oleh banyak hal diantaranya
karena gangguan setan, seringnya melakukan perjalanan dan kontak dengan orang dusun
(orang terang), dan juga bisa disebabkan karena terlalu banyak memakan buah-buahan,
misalnya pada musim buah atau musim petahunan godong yang terjadi antara 2 – 3 tahun
sekali, pada saat itu buah dan madu hutan berlimpah, akibatnya adalah pola konsumsi buah
yang berlebihan asam-manis menyebabkan mereka terkena penyakit.

Orang yang sedang mengidap penyakit disebut dengan istilah Cenenggo atau ber-
cenengg. Istilah ini secara luas juga bisa diartikan sebagai kelompok yang terserang penyakit.
Penyakit yang kerap menyinggahi orang rimba cacar (cacar), batuk (betuk), batuk pilek (betuk
slemo), kolera (gelira). Namun orang rimba berkeyakinan penyakit ini berasal dari orang
terang atau dari hilir. Penyakit-penyakit ini dalam kehidupan orang rimba begitu ditakuti
karena dapat menyebabkan kematian. Untuk mengatasinya mereka selalu berhati-hati
melakukan kontak dengan siapa saja, baik dengan orang terang maupun dengan orang rimba
yang berasal dari kelompok lain ataupun yang baru melakukan kontak dengan orang dusun.

Untuk pencegahan terhadap penularan penyakit ada prilaku yang unik dan agaknya
berlebihan di lingkungan orang rimba, seperti berkomunikasi dalam jarak yang berjauhan + 10
meter dari masing-masing mereka, selain itu mereka yang merasakan dirinya sehat (bungaron)
sanggup untuk tidak melintasi jalan yang dilintasi orang yang bercinenggo demikian juga
sebaliknya, walaupun jalan di hutan hanya satu jalan, maka yang mereka lakukan adalah
menerobos menembus semak-belukar yang ada kalanya banyak ditumbuhi tanaman berduri
ataupun rawa, dengan bertelanjang kaki dan bercawat, mereka menembus belukar. Prilaku
seperti ini disebabkan adanya pandangan bahwa jalan-jalan yang dilintasi orang rimba yang
bercinenggo tersebut sudah dihinggapi oleh penyakitnya sehingga dapat menular kepada orang
yang melintas di atas jalan tersebut. Jalan akan dianggap steril dari penyakit dan dapat dilintasi
kembali setelah adanya hujan karena penyakit-penyakit tadi telah hanyut terbawa air ke hilir,
atau paling lambat adalah 5 hari setelah di lintasi orang yang bercinenggo .
Orang atau kelompok yang bercinenggo wajib memberitahukan kepada anggota
kelompoknya atau kepada orang rimba lain yang dikunjunginya, dengan harapan ia bisa
mendapatkan bantuan selama menjalani sakit, baik makanan ataupun pengobatan. Tidak ada
pemberian kabar tentang kondisinya yang sakit dianggap telah melanggar adat, dan kelak ada
yang tahu tentang kondisinya dan menyebabkan penularan kepada orang lain, maka ia
dihukum denda dengan membayar 2 keping kain panjang. atau akibat dari penularan
penyakitnya telah menyebabkan kematian maka di hukum denda sebanyak 500 keping/helai
kain panjang atau yang disebut dengan istilah bayar bangun.

Ketatnya aturan adat yang di miliki orang rimba secara tidak tertulis itu, ternyata
membuat orang rimba merasa takut untuk melanggarnya. Ketidak mampuan membayar
bangun dengan sejumlah kain yang di tetapkan adat bisa dilakukan dengan cara menggantikan
peranan si mati kepada keluarga yang ditinggalkan. Kalau yang mati tersebut adalah seorang
laki-laki maka ia harus mencari ganti dari pihak keluarganya yang juga harus laki-laki, atau
bila sumber penularannya berasal dari seorang laki-laki maka dirinya sendiri yang
menggantikan peran si mati di dalam keluarganya demikian pula sebaliknya. Kalau juga tidak
sanggup ini akan berakibat maut bagi si penular penyakit, artinya ia harus membayar dengan
nyawanya sendiri (di hukum mati) (selama Warsi melakukan pendampingan terhadap Orang
Rimba belum pernah ada sangsi ini dijatuhkan ke anggota kelompok) atau di usir dari
kelompoknya.

Untuk mencegah penularan maka orang atau kelompok yang bercenango harus
memisahkan diri dari kelompoknya maupun kelompok lain yang berdekatan. Istilah ini disebut
dengan istilah bersesandingon, atau dalam bahasa kita lebih dikenal dengan pengkarantinaan.
Jarak antara sedekat-dekatnya dalam jarak orang rimba sejauh suara dipantulkan, atau dalam
perkiraan saya sejauh + 500 meter dari pemukiman kelompok orang rimba. Tempat
bersesandingon harus berada jauh di dalam hutan diwilayah yang tidak pernah dilalui oleh
orang rimba. Selama melakukan bersesandingon orang rimba yang bercinenggo membuat
rumahnya dan mencari makannya sendiri di dalam hutan. Pertemuan dengan individu
kelompok masih boleh dilakukan dengan mengatur jarak dari masing-masing individu, tetapi
sangat dilarang untuk masuk kedalam kawasan pemukiman kelompok.

Selama bersesandingon tentunya jika tidak mendapatkan makanan atau binatang buruan,
ia boleh meminta kepada kelompoknya untuk diantarkan ke suatu tempat dan ia akan
menjemputnya. begitu sebaliknya orang yang bercinenggo boleh saja memberikan binatang
hasil buruannya kepada kelompoknya.
BAB 2
PENUTUP

A. KESIMPULAN

 Masyarakat tradisional adalah kelompok manusia yang menjalankan kehidupan berdasarkan


dengan adat dan kebiasaan, norma dan kepercayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu dan
diwariskan secara turun temurun tanpa terpengaruh faktor eksternal yang dapat merubah sistem
tersebut.

 Suku kubu di provinsi jambi ini merupakan salah satu contoh suku terasing atau suku tradisional
yang hidup di nusantara. Suku anak dalam memiliki kehidupan yang masih terikat kuat dengan
adat istiadat dan ketergantungan pada hasil hutan/alam dan binatang buruan. Ini membuat suku
anak dalam dikategorikan sebagai salah satu komunitas adat terpencil yang berada di jambi.

B. SARAN

 Makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kritik dan saran yang membangun tentu diperlukan
untuk perbaikan dikesempatan mendatang.

Anda mungkin juga menyukai