Anda di halaman 1dari 39

NGAHUMA

SISTEM PERTANIAN
MASYARAKAT SUNDA
Pola pertanian berladang yang di daerah tatar
sunda dikenal dengan istilah ngahuma rupanya
sudah dikenal sejak zaman Neolitihicum, ketika
manusia masih menggunakan alat untuk
keperluan hidupnya terbuat dari batu yang
telah diasah. Perkakas itu umumnya berupa
kapak batu dan sejenisnya.
Food gethering
Food Producting
Revolusi industri
Daerah tatar Sunda yang beriklim antara tropis dan
subtropis merupakan daerah agraris yang subur.
Dahulu daerah ini, terutama daerah pedalaman,
memiliki banyak hutan lebat serta daerah rawa.
Keadaan ini memungkinkan timbulnya cara-cara
bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat
yang tinggal di daerah pedalaman berupa pertanian
di ladang yang disebut ngahuma dan pola pertanian
menetap, yaitu bersawah. Hingga sekarang pola
pertanian sawah merupakan mata pencaharian
utama bagi masyarakat tatar Sunda, khususnya di
daerah pedesaan
Dalam hubungan dengan masalah mata
pencaharian masyarakat di Indonesia, Wertheim
membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga
pola mata pencaharian utama, yaitu masyarakat
pantai, masyarakat ladang, dan masyarakat
sawah. Contoh umum masyarakat ladang ialah
masyarakat di daerah pedalaman Sumatra dan
daerah pedalaman Jawa Barat (tatar Sunda)
sedangkan masyarakat pedalaman Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Bali oleh Wertheim dimasukkan
ke dalam pola masyarakat sawah.
Bahwa di tatar Sunda sejak dulu sudah dikenal
sistem bercocok tanam dengan pola pertanian
ngahuma (berladang) dan bersawah,
ditunjukkan oleh naskah-naskah lama tentang
Jawa Barat. Dalam naskah Carita Parahyangan
dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan
pekerjaan di ladang. Naskah ini menyebutkan
lahirnya lima orang titisan Panca Kusika, yaitu
Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang
Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang
Wretikandayun.
... Sang Mangukuhan njieun maneh pa(ng)huma, Sang
Karungkalah njieun maneh panggerek, Sang
Katu(ng)maralah njieun maneh panjadap, Sang
Sandanggreba njieun maneh padagang(Atja, 1968 :17,
43).
Terjemahannya :
... Sang Mangukuhan menjadi tukang ngahuma
(peladang), Sang Karungkalah menjadi tukang berburu
(pemburu), Sang Katungmaralah menjadi tukang sadap
(pembuat gula merah dari nira enau), Sang Sandanggreba
menjadi pedagang.
Kutipan ini menunjukkan, bahwa ngahuma, berburu, dan
nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang.
Wawacan Sulanjana
Wawacan Sulanjana pun mengungkapkan
bahwa di tatar Sunda sejak dulu telah ada
pertanian berladang. Hal itu tercermin dari
cerita dalam wawacan tersebut. Diceritakan
bahwa pada kuburan Pohaci (Dewi Padi) lambat-
laun tumbuh berbagai jenis tanaman.
Dalam hal ini, Kuntjaraningrat menyatakan,
bahwa perkembangan pengetahuan tentang
bercocok tanam itu terjadi sebagai akibat
observasi manusia terhadap biji atau
batang yang jatuh ke tanah dan proses
tumbuhnya batang-batang pepohonan yang
ditancapkan di tanah. Peningkatan dalam
mengolah tanah ladang terjadi sebagai
akibat perkembangan pengetahuan
manusia akan alat untuk keperluan
mempertahankan dan memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Terhadap bercocok tanam di ladang para ahli
menyebutnya dengan berbagai macam istilah,
antara lain shipting cultivation, slash and burn
agriculture, dan ada pula yang menyebut
swidden agriculture. Istilah-istilah itu semuanya
menunjukkan tentang teknik/cara manusia
melakukan bercocok tanam di ladang. Cara
bercocok tanam di ladang ternyata terdapat
perbedaan di kalangan masyarakat peladang di
daerah sabana dan daerah tropis. Demikian pula
alat-alat/ perkakas yang digunakannya.
Di Jawa Barat pola pertanian ngahuma masih
dapat kita lihat di daerah Banten dan di
beberapa daerah Jawa Barat bagian selatan.
Ciri-ciri yang masih jelas dari pola kehidupan
ngahuma dapat kita saksikan pada masyarakat
Baduy di Banten Selatan. Bentuk rumah yang
sederhana terbuat dari bambu dan kayu,
beratap ijuk atau alang-alang dan hanya
diperkuat dengan ikatan tali bambu atauijuk,
menunjukkan bahwa pahuma (peladang) sering
berpindah-pindah mengikuti pindahnya
huma(ladang) mereka.
Secara umum dan garis besar,
tahapan kerja bercocok tanam di
ladang adalah sebagai berikut:

Pertama, suatu areal hutan yang akan dibuka


terlebih dahulu dibersihkan semak belukarnya.
Di tatar Sunda pekerjaan ini disebut nyacar dan
biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa
dengan menggunakan alat, antara lain golok
dan parang. Pekerjaan itu ada kalanya dibantu
pula oleh wanita dewasa.
Kedua, setelah hutan dibersihkan, kemudian
dilakukan penebangan pohon-pohon besar
dengan menggunakan kapak, patik atau baliung
(sejenis kapak besar). Selanjutnya ranting-
ranting kayu dibakar. Pembakaran hutan yang
sudah ditebang pada dasarnya adalah cara
untuk mempercepat proses pembusukan
Ketiga, tahap berikutnya adalah
penanaman benih berupa padi-padian dan
biji-bijian lainnya. Kegiatan ini dilakukan
oleh laki-laki dan wanita. Di tatar Sunda
pekerjaan ini disebut ngaseuk, yaitu
melobangi tanah untuk menanam benih
dengan aseuk. Selain padi, di tanah huma
ditanam pula kacang-kacangan dan biji-
bijian,
Keempat, selama menunggu masa panen (3-4
bulan), huma perlu dibersihkan dari rumput-
rumputan yang tumbuh di sekitar tanaman.
Pekerjaan ini di Jawa Barat disebut ngoyos
(menyiangi). Pada perkembangan selanjutnya,
dalam pekerjaan ngaseuk dan ngoyos
digunakan peralatan berupa cangkul dan kored
(sejenis cangkul kecil).
Tahap kelima adalah masa panen. Pekerjaan
panen biasanya dilakukan oleh wanita secara
gotong-royong, sedangkan laki-laki bertugas
mengangkut hasil panen ke rumah masing-
masing. Pada setiap kegiatan panen selalu
disertai dengan upacara selamatan agar usaha
pertanian itu tidak mengalami ganggguan atau
diserang hama. Upacara itu merupakan
perwujudan dari kepercayaan terhadap alam
gaib dalam kehidupan manusia, sebagai bagian
dari budaya animisme dan dinamisme.

Macam-macam tanaman huma
Tanaman pokok

1. Pare huma
sagi

Sampora

Umluk

Cere

2. Hanjeuli
3. Wijen
4. Jagong huma

. Hanjeuli
. Wijen
Jagong huma

Macam-macam tanaman huma


sambilan

1. Taleus
2. Hui
3. Sampeu
4. Gadung
5. Suweg
6. Ganyol
Talas
Ubi
Singkong
Gadung
Suweg
ganyol
Masyarakat Baduy
mempertahankan berladang Huma
Dalam hubungan ini masyarakat Baduy di Banten Selatan
tetap mempertahankan mata pencaharian ngahuma,
karena hingga kini mereka masih tetap tabu/pamali
(dilarang secara adat) untuk mengolah tanah pertanian
mereka dengan pola pertanian sawah. Bila dianalisis lebih
jauh, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tanah pertanian masyarakat Badui terletak
diperbukitan sehingga sulit dibuatkan irigasi. Kedua, di balik
tabu itu terkandung makna, bahwa mereka--mungkin
secara tidak disadari--sebenarnya telah merasakan manfaat
ekosistem. Itulah sebabnya huma di daerah Badui ditanami
pula dengan tanaman keras sebagai pelindung tanah,
sehingga tanah pertanian mereka tetap subur. Ketiga,
mereka sangat percaya terhadap alam/kekuatan gaib.
Suatu areal huma biasanya diolah selama satu sampai tiga
tahun. Setelah itu huma dibiarkan menjadi hutan kembali.
Di Jawa Barat, khususnya di daerah Banten, huma yang
telah menjadi hutan kembali disebut leuweung. Tanah
huma yang dibiarkan dan ditumbuhi dengan semak belukar
disebut reuma atau reuma kolot. Pembukaan kembali huma
baru tidak langsung ditanami, melainkan dibiarkan selama
satu tahun. Proses tenggang waktu itu disebut ngajami dan
pembukaan reuma menjadi huma disebut ngareuma. Pada
masyarakat huma biasanya bentuk hak milik atas tanah
huma bersifat longgar dan tidak ada tradisi huma
diwarsikan. Dengan demikian, hak milik menjadi samar-
samar (kabur). Meski pun di daerah Badui dikenal istilah
guriang(semacam tuan tanah), tetapi hal itu bukan
menunjukkan adanya hak milik tanah, melainkan
penguasaan tanah secara berlebihan akibat sistem
ngahuma yang berpindah-pindah dan karena pertumbuhan
penduduk terus meningkat, sehingga timbul kekhawatiran
akan kehabisan tanah.
Masyarakat Baduy membawa
hasil huma
Perkampungan Baduy

Anda mungkin juga menyukai