Hidup mereka bergantung pada alam, untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola
hunian nomaden atau berpindah-pindah bergantung dari bahan makanan yang ada.
Kehidupan berburu dan meramu dibagi menjadi tingkat awal dan tingkat lanjut, untuk
mengetahui kehidupan masyarakat praaksara silahkan simak penjelasan berikut ini.
Dalam kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) dibagi menjadi
berikut.
Pada masa berburu dan meramu, lingkungan hidup manusia masih liar dan keadaan bumi masih
labil. Pada saat itu banyak terjadi letusan gunung berapi dan daratan tertutup hutan yang lebat,
serta berbagai binatang purba masih hidup di dalamnya.
Manusia pendukung pada masa itu adalah Pithecanthropus erectus dan Homo wajakensis.
Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) telah ada semenjak manusia muncul di
permukaan bumi, begitu pula halnya dengan manusia Indonesia.
Kegiatan berburu dan meramu ini merupakan yang paling sederhana yang bisa dilakukan
manusia, karena manusia dapat mengambil makanan secara langsung dari alam dengan cara
mengumpulkan makanan (food gathering).
Masa berburu dan meramu tingkat lanjut berlangsung setelah zaman pleistosen. Corak kehidupan
masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut masih terpengaruh pada masa sebelumnya.
Kehidupan mereka masih bergantung pada alam. Mereka hidup dengan cara berburu binatang di
dalam hutan, menangkap ikan, dan dengan mengumpulkan makanan seperti umbi-umbian, buah-
buahan, daun-daunan, dan biji-bijian. Alat-alat kehidupan yang digunakan pada berburu dan
meramu tingkat lanjut, misalnya kapak genggam, flake, dan alat-alat dari tulang. Pada masa itu
juga telah dikenal gerabah yang berfungsi sebagai wadah.
Pola bermukim mereka mulai berubah dari nomaden menjadi semisedenter. Ketika masyarakat
berburu dan meramu tingkat lanjut telah mampu mengumpulkan makanan dalam jumlah yang
cukup banyak, mereka mulai lebih lama mendiami suatu tempat.
Kemudian pengetahuan mereka berkembang untuk menyimpan dan mengawetkan makanan.
Daging binatang buruan diawetkan dengan cara dijemur setelah terlebih dahulu diberi ramuan.
Mereka bertempat tinggal di gua-gua (abris sous roche). Mereka memilih gua yang letaknya
cukup tinggi di lereng-lereng bukit untuk melindungi diri dari iklim dan binatang buas.
Masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut juga telah mengenal pembagian kerja. Kegiatan
berburu banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Kaum wanita yang tidak banyak terlibat dalam
kegiatan perburuan, lebih banyak di sekitar gua-gua tempat tinggal mereka.
Karena perhatian wanita ditunjukan kepada lingkungan yang terbatas, maka ia mampu
memperluas pengetahuannya tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan yang dapat dibudidayakan.
Pada tingkat lanjut ini telah mengenal bercocok tanam meskipun dalam taraf yang sangat
sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah. Mereka membuka lahan dengan cara
menebang hutan, membakar, dan membersihkannya. Setelah tidak subur lagi, tanah tersebut
mereka tinggal untuk mencari lahan yang baru.
Pada masyarakat berburu dan meramu diduga telah muncul kepercayaan. Buktinya adalah
dengan ditemukannya bukti-bukti tentang penguburan yang ditemukan di Gua Lawa, Sampung,
Ponorogo, Jawa Timur;Gua Sodong, Besuki, Jawa Timur; dan Bukit Kerang, Aceh Tamiang,
Nangroe Aceh Darussalam.
Dari mayat-mayat yang dikuburkan tersebut ada yang ditaburi dengan cat merah. Diperkirakan
cat tersebut berhubungan dengan upacara penguburan yang maksudnya adalah untuk
membuktikan kehidupan baru di alam baka.
Di dinding-dinding Gua Leang Pattae, Sulawesi Selatan ditemukan lukisan cap-cap tangan
dengan latar belakang cat merah. Menurut para ahli hal tersebut mungkin mengandung arti
kekuatan atau simbol kekuatan pelindung untuk mencegah roh-roh jahat. Ada beberapa gambar
jari yang tidak lengkap. Gambar tersebut dianggap sebagai tanda adat berkabung
Di Pulau Seram dan Papua juga ditemukan lukisan gua. Di dua tempat tersebut ditemukan
lukisan kadal. Diperkirakan lukisan tersebut mengandung arti lambang kekuatan magis, yaitu
sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku yang sangat dihormati.
Masa bercocok tanam merupakan masa yang penting bagi berkembangan masyarakat dan
peradaban. Adanya penemuan baru dalam rangka penguasaan sumber alam bertambah cepat.
Berbagai macam tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan dijinakkan.
Cara bercocok tanam dengan berhuma mulai dikembangkan, sehingga muncullah ladang-ladang
pertanian yang sederhana. Berhuma adalah bercocok tanam secara berpindah-pindah dengan cara
menebang, membakar, serta membersihkan hutan kemudian menamainya dan meninggalkannya
setelah tanah tersebut tidak subur lagi.
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan cukup pesat.
Masyarakat praaksara pada saat itu telah memiliki tempat tinggal yang tetap. Mereka memilih
tempat tinggal pada suatu tempat tertentu. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antarmanusia di
dalam kelompok masyarakat semakin erat.
Kehidupan sosial yang dilakukan oleh masyarakat pada masa bercocok tanam ini terlihat dengan
jelas melalui cara bekerja dengan bergotong royong. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh
masyarakat selalu dilakukan dengan cara bergotong royong, diantaranya pekerjaan bertani,
merambah hutan, berburu, membangun rumah, dan lain-lain.
Cara hidup bergotong royong itu merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat yang bersifat
agraris. Kegiatan gotong royong hingga saat ini masih tetap dipertahankan terutama di daerah
pedesaan.
Dalam kehidupan masyarakat bercocok tanam sudah terlihat peran pemimpin (primus inter
pares). Gelar primus inter pares di Indonesia adalah ratu atau datu(k) artinya orang terhormat
dan yang patut dihormati karena kepemimpinannya, kecakapannya, kesetiaannya,
pengalamannya, dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam dan menetap memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
Kebudayaan manusia praaksara pada masa bercocok tanam mengalami perkembangan dengan
hasil kebudayaan yang bervariasi (ada yang terbuat dari batu dan tuang hingga yang terbuat dari
tanah liat). Hasil-hasil kebudayaan pada masa bercocok tanam seperti kapak persegi, kapak
lonjong, mata panah, gerabah, dan perhiasan.
Bagaimana kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam? Kepercayaan masyarakat pada
masa bercocok tanam mengalami perkembangan. Mereka telah mempunyai konsep tentang alam
dan kehidupan setelah kematian. Mereka percaya bahwa roh seseorang tidak lenyap pada waktu
meninggal. Penghormatan terhadap nenek moyang atau kepala suku yang diagungkan tidak
berhenti pada waktu kepala suku telah meninggal. Penghormatan terus berlanjut menjadi sebuah
pemujaan.
Kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam diwujudkan dalam berbagai upacara
keagamaan, seperti persembahan kepala leluhur dan upacara penguburan mayat yang dibekali
dengan benda miliknya. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang selalu mengawasi mereka.
Oleh karena itu, mereka selalu meminta perlindungan dari ancaman kelompok lain, binatang
buas, dan ancaman dari adanya wabah penyakit.
DISUSUN OLEH :
NO : 03
KELAS : VII B
MAPEL : IPS
SMP N 2 KARANGDOWO
TAHUN PELAJARAN 2017/2018