Anda di halaman 1dari 14

Kehidupan Manusia Praaksara Masa

Berburu dan Meramu sampai Bercocok


Tanam
Tahukah anda bagaimana masyarakat praaksara mempertahankan hidupnya?
Berdasarkan hasil penelitian berupa fosil dan artefak diperkirakan manusia
praaksara awalnya hidup dengan cara berburu dan meramu kemudian bercocok
tanam.
Hidup mereka bergantung pada alam, untuk mempertahankan hidupnya mereka
menerapkan pola hunian nomaden atau berpindah-pindah bergantung dari bahan
makanan yang ada.
Kehidupan berburu dan meramu dibagi menjadi tingkat awal dan tingkat lanjut,
untuk mengetahui kehidupan masyarakat praaksara silahkan simak penjelasan
berikut ini.

1. Kehidupan Masyarakat Berburu dan


Mengumpulkan Makanan (Meramu)
Dalam kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan (meramu)
dibagi menjadi berikut.

1. Masyarakat Berburu dan Meramu Tingkat Awal

Pada masa berburu dan meramu, lingkungan hidup manusia masih liar dan keadaan
bumi masih labil. Pada saat itu banyak terjadi letusan gunung berapi dan daratan
tertutup hutan yang lebat, serta berbagai binatang purba masih hidup di dalamnya.

Manusia pendukung pada masa itu adalah Pithecanthropus erectus dan Homo
wajakensis. Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) telah ada
semenjak manusia muncul di permukaan bumi, begitu pula halnya dengan manusia
Indonesia.

Kegiatan berburu dan meramu ini merupakan yang paling sederhana yang bisa
dilakukan manusia, karena manusia dapat mengambil makanan secara langsung
dari alam dengan cara mengumpulkan makanan (food gathering).
\b
Kehidupan masyarakat berburu dan berpindah-pindah mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut.

 Belum mengenal bercocok tanam.


 Kebutuhan makan mereka bergantung pada alam sehingga cara mereka
mencari makanan disebut dengan nama food gathering (mengumpulkan
makanan) dan berburu.
 Alat-alat kebutuhan mereka dibuat dari batu yang belum dihaluskan (masih
sangat kasar).
 Manusia purba hidup berkelompok dan tempat tinggal mereka berpindah-
pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain (nomaden) seiring dengan
usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ada dua hal yang menyebabkan masyarakat berburu berpindah tempat, yaitu
pertama karena binatang buruan dan umbi-umbian semakin berkurang di tempat
yang mereka diami dan kedua karena musim kemarau menyebabkan binatang
buruan berpindah tempat untuk mencari sumber air yang lebih baik.

#2. Masyarakat Berburu dan Meramu Tingkat Lanjut

Masa berburu dan meramu tingkat lanjut berlangsung setelah zaman pleistosen.
Corak kehidupan masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut masih
terpengaruh pada masa sebelumnya. Kehidupan mereka masih bergantung pada
alam. Mereka hidup dengan cara berburu binatang di dalam hutan, menangkap
ikan, dan dengan mengumpulkan makanan seperti umbi-umbian, buah-buahan,
daun-daunan, dan biji-bijian.

Alat-alat kehidupan yang digunakan pada berburu dan meramu tingkat lanjut,
misalnya kapak genggam, flake, dan alat-alat dari tulang. Pada masa itu juga telah
dikenal gerabah yang berfungsi sebagai wadah.

Pola bermukim mereka mulai berubah dari nomaden menjadi semisedenter. Ketika
masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut telah mampu mengumpulkan
makanan dalam jumlah yang cukup banyak, mereka mulai lebih lama mendiami
suatu tempat.

Kemudian pengetahuan mereka berkembang untuk menyimpan dan mengawetkan


makanan. Daging binatang buruan diawetkan dengan cara dijemur setelah terlebih
dahulu diberi ramuan. Mereka bertempat tinggal di gua-gua (abris sous roche).
Mereka memilih gua yang letaknya cukup tinggi di lereng-lereng bukit untuk
melindungi diri dari iklim dan binatang buas.

Masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut juga telah mengenal pembagian
kerja. Kegiatan berburu banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Kaum wanita yang
tidak banyak terlibat dalam kegiatan perburuan, lebih banyak di sekitar gua-gua
tempat tinggal mereka.

Karena perhatian wanita ditunjukan kepada lingkungan yang terbatas, maka ia


mampu memperluas pengetahuannya tentang seluk-beluk tumbuh-tumbuhan yang
dapat dibudidayakan. Pada tingkat lanjut ini telah mengenal bercocok tanam
meskipun dalam taraf yang sangat sederhana dan dilakukan secara berpindah-
pindah.

Mereka membuka lahan dengan cara menebang hutan, membakar, dan


membersihkannya. Setelah tidak subur lagi, tanah tersebut mereka tinggal untuk
mencari lahan yang baru.

Pada masyarakat berburu dan meramu diduga telah muncul kepercayaan. Buktinya
adalah dengan ditemukannya bukti-bukti tentang penguburan yang ditemukan di
Gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur;Gua Sodong, Besuki, Jawa Timur;
dan Bukit Kerang, Aceh Tamiang, Nangroe Aceh Darussalam. Dari mayat-mayat
yang dikuburkan tersebut ada yang ditaburi dengan cat merah. Diperkirakan cat
tersebut berhubungan dengan upacara penguburan yang maksudnya adalah untuk
membuktikan kehidupan baru di alam baka.
Di dinding-dinding Gua Leang Pattae, Sulawesi Selatan ditemukan lukisan cap-cap
tangan dengan latar belakang cat merah. Menurut para ahli hal tersebut mungkin
mengandung arti kekuatan atau simbol kekuatan pelindung untuk mencegah roh-
roh jahat. Ada beberapa gambar jari yang tidak lengkap. Gambar tersebut dianggap
sebagai tanda adat berkabung

Di Pulau Seram dan Papua juga ditemukan lukisan gua. Di dua tempat tersebut
ditemukan lukisan kadal. Diperkirakan lukisan tersebut mengandung arti lambang
kekuatan magis, yaitu sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku
yang sangat dihormati
2. Kehidupan Masyarakat Bercocok Tanam dan
Hidup Menetap
1. Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Masa bercocok tanam merupakan masa yang penting bagi berkembangan


masyarakat dan peradaban. Adanya penemuan baru dalam rangka penguasaan
sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuhan dan hewan mulai
dipelihara dan dijinakkan.

Cara bercocok tanam dengan berhuma mulai dikembangkan, sehingga muncullah


ladang-ladang pertanian yang sederhana. Berhuma adalah bercocok tanam secara
berpindah-pindah dengan cara menebang, membakar, serta membersihkan hutan
kemudian menamainya dan meninggalkannya setelah tanah tersebut tidak subur
lagi.

Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan cukup


pesat. Masyarakat praaksara pada saat itu telah memiliki tempat tinggal yang tetap.
Mereka memilih tempat tinggal pada suatu tempat tertentu. Hal ini dimaksudkan
agar hubungan antarmanusia di dalam kelompok masyarakat semakin erat.

Eratnya hubungan antarmanusia di dalam kelompok masyarakat merupakan cermin


bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa anggota masyarakat lain.

Kehidupan sosial yang dilakukan oleh masyarakat pada masa bercocok tanam ini
terlihat dengan jelas melalui cara bekerja dengan bergotong royong. Setiap
pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat selalu dilakukan dengan cara bergotong
royong, diantaranya pekerjaan bertani, merambah hutan, berburu, membangun
rumah, dan lain-lain.

Cara hidup bergotong royong itu merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat
yang bersifat agraris. Kegiatan gotong royong hingga saat ini masih tetap
dipertahankan terutama di daerah pedesaan.

Dalam kehidupan masyarakat bercocok tanam sudah terlihat peran pemimpin


(primus inter pares). Gelar primus inter pares di Indonesia adalah ratu atau
datu(k) artinya orang terhormat dan yang patut dihormati karena
kepemimpinannya, kecakapannya, kesetiaannya, pengalamannya, dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat pada masa bercocok tanam dan menetap memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.

1. Sudah mengenal bercocok tanam secara baik.


2. Sudah mampu mengolah bahan makanan sendiri sesuai dengan kebutuhan
mereka (menghasilkan makanan atau food pruducing). Disamping berburu
dan menangkap ikan, mereka juga telah memelihara binatang-binatang jinak
seperti anjing, babai, dan kerbau. Binatang-binatang tersebut selain untuk
keperluan konsumsi juga dapat dipakai sebagai binatang korban.
3. Sudah mempunyai tempat tinggal yang menetap secara mantap.
4. Peralatan yang dibuat dari batu lebih halus dam bermacam-macam, seperti
kapak, tombak, panah, dan lain-lain. Selain peralatan, mereka juga berhasil
membuat perhiasan dari gelang-gelang dan biji-biji kalung dari batu.
5. Peradaban mereka sudah lebih maju, alat-alat rumah tangga dibuat lebih baik
dan mereka telah mengerti seni.

2. Kehidupan Budaya

Kebudayaan manusia praaksara pada masa bercocok tanam mengalami


perkembangan dengan hasil kebudayaan yang bervariasi (ada yang terbuat dari
batu dan tuang hingga yang terbuat dari tanah liat). Hasil-hasil kebudayaan pada
masa bercocok tanam seperti kapak persegi, kapak lonjong, mata panah, gerabah,
dan perhiasan
3. Sistem Kepercayaan
Pada Masa Praaksara, seiring dengan perkembangan kemampuan berpikir,
manusia purba mulai mengenal kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan lain di
luar dirinya yang disebut sistem kepercayaan manusia purba/zaman pra aksara.
Oleh sebab itu, mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut.
Caranya ialah dengan mengadakan berbagai upacara, seperti pemujaan,
pemberian sesaji, yang paling menonjol upacara penguburan orang meninggal
ataupun upacara ritual lainnya Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan-
lukisan di dinding goa di Sulawesi Selatan dan juga berbagai alat ritual lainnya
yang akan dijelaskan nanti. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia zaman
praaksara diperkirakan tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan.

Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami perkembangan seiring


zaman. Mereka melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan
tetapi berkaitan dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan. Misalnya
ada upacara khusus yang dilakukan oleh masyarakat pantai khususnya para
nelayan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini, yaitu penyembahan
kekuatan yang dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa inilah yang mereka
anggap memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang di daerah pedalaman
atau pertanian ada upacara persembahan kepada kekuatan yang dianggap
sebagai pemberi berkah terhadap hasil pertanian.

1. Macam-macam Kepercayaan

A. Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda.


Manusia purba percaya bahwa roh nenek moyang masih berpengaruh terhadap
kehidupan di dunia. Mereka juga memercayai adanya roh di luar roh manusia
yang dapat berbuat jahat dan berbuat baik. Roh-roh itu mendiami semua benda,
misalnya pohon, batu, gunung, dsb. Agar mereka tidak diganggu roh jahat,
mereka memberikan sesaji kepada roh-roh tersebut.
B. Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau
kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia
dalam mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan
kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-
benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, dll. Untuk mendapatkan
pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka melakukan upacara pemberian
sesaji, atau ritual lainnya.

C. Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu dianggap suci dan


dipuja karena memiliki kekuatan supranatural. Hewan yang dianggap suci antara
lain sapi, ular, dan harimau. Hewan yang dianggap suci juga bisa berasal dari
mimpi, misal seseorang memimpikan kura-kura, maka hewan suci yang dipujanya
adalah kura-kura. Biasanya orang-orang yang menggangap suatu hewan suci akan
pantang makan daging hewan itu dan tidak membunuh serta melindungi hewan
itu.

2. Barang-barang Peninggalan Sistem Kepercayaan Zaman Pra-Aksara

1. Menhir adalah tiang atau tugu batu yang berfungsi sebagai prasasti dan
melambangkan kehormatan arwah nenek moyang.

2. Dolmen adalah meja batu untuk meletakkan sesaji.

3. Peti Kubur Batu adalah lempeng batu besar berbentuk kotak persegi panjang
berfungsi sebagai peti jenazah.

4. Sarkofagus, adalah batu besar yang di pahat berbentuk mangkuk terdiri dari
dua keeping yang ditangkupkan menjadi satu. Berfungsi sebagai peti jenazah.

5.Waruga, adalah peti kubur batu berukuran kecil, berbentuk kubus dan memiliki
tutup

6. Punden Berundak adalah bangunan berupa batu susunan batu berundak


seperti candi. Digunakan untuk upacara pemujaan.
4. Masa Perundagian

Periode perundagian dimulai pada zaman logam, yaitu sekitar 10.000 tahun yang
lalu. Pada masa perundingan (undagi = tukang) atau yang lebih dikenal dengan
masa mengolah logam ini, manusia purba sudah mengenal bijih logam. Mereka
sudah lebih berpengalaman sehingga dapat mengenali bijih-bijih logam yang
dijumpai meleleh di permukaan tanah. Bijih logam yang ditemukan terutama
berasal dari tembaga. Kemudian mereka membuat alat-alat yang diperlukan dari
bahan bijih logam yang ditemukan. Pada masa ini juga telah terjadi pembauran
antara manusia purba, ras mongoloid, dan ras austromelanesia. Kemampuan
mengolah logam muncul setelah alat-alat dari batu tidak dapat diandalkan dan
cepat mengalami kerusakan. Teknologi logam kuno yang berada di Indonesia juga
dipengaruhi oleh Vietnam. Hasil teknologi ini dikenal dengan budaya Dong Son.
Selain itu, Thailand juga merupaka negara asal teknologi logam kuno. Pengertian
lain dari masa perundingan adalah tempat di mana orang-orang yang ahli dalam
membuat barang-barang atau alat-alat dari logam.
Masa perundagian adalah zaman di mana manusia sudah mengenal pengolahan
logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari bahan logam. Adanya
penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya penggunaan barang-barang dari
batu. Pada masa perundagian, manusia juga masih menggunakan barang-barang
yang berasal dari batu.
Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas sebagaimana halnya
bahan dari batu. Persediaan logam sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu
yang memiliki barang-barang dari logam. Kemungkinan hanya orang-orang yang
mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan persediaan tersebut
memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan. Adanya perdagangan
tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada zaman perundagian telah
mengadakan hubungan dengan luar.
a. Corak Kehidupan Masyarakat Perundagian
Pada saat berlangsungnya proses pembauran antara pendatang Melayu
Austronesia dari Yunan Selatan dengan Australomelanesid pada sekitar tahun 300
SM, tibalah gelombang II emigran Melayu Austronesia yang berasal dari Dong Son
(Vietnam sekarang). Kebudayaan bangsa Melayu Austronesia gelombang II ini
setingkat lebih maju dari pada emigrant bangsa Melayu Austronesia gelombang I
mereka telah menguasai teknologi sebagai berikut:

 Teknologi pertanian basah, yaitu bersawah.


 Teknologi metalurgi/pengecoran logam.

Teknologi pertanian basah, dikembangkan bersama dengan teknologi pengairan.


Mereka belum mengenal usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah dengan
cara penumpukan, tetapi dilakukan melalui upacara magis (fertility cult). Teknologi
metalurgi setidak-tidaknya mencangkup dua teknik pokok, yaitu teknik
pengambilan logam dan teknik pengolahan barang logam.

Permukiman atau desa yang mereka bangun menyebar di segala tempat.


Permukiman itu tersebar mulai dari tepi pantai sampai ke pedalaman di gunung-
gunung. Pembangunannya lebih teratur, dipagar dengan tempat penguburan di
luar pemukiman.

b. Budaya dan Alat yang Dihasilkan Manusia Purba Masa Perundagian


Adanya perkembangan teknologi yang semakin maju, mendorong manusia untuk
melakukan hal yang terbaik pada dirinya, diantaranya pengaturan tata air (irigasi).
Perdagangan pun diperluas hingga antarpualu yang sebelumnya hanya
antardaerah domestik.
Dengan demikian, terjadilah sosialisasi antara manusia Indonesia dengan suku dan
bangsa-bangsa lain yang perkembangan budayanya telah lebih maju, seperti
kebudayaan India dan Cina. Melalui interaksi dengan orang India, masyarakat
Indonesia mulai mengenal sistem kerajaan, yang kemudian melahirkan kerajaan
Hindu-Buddha seperti kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram dan lain-lain.
Kehidupan seperti ini menunjang terbentuknya kebudayaan yang lebih maju yang
memerlukan alat-alat pertanian dan perdagangan yang lebih baik dengan bahan-
bahan dari logam. Hasil-hasil peninggalan kebudayaannya antara lain neraka
perunggu, moko, kapak perunggu, bejana perunggu, arca perunggu, dan perhiasan.
1. Neraka perunggu: berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk memohon
turun hujan dan sebagai genderan perang; memiliki pola hias yang beragam,
dari pola binatang, geometris, dan tumbuh-tumbuhan, ada pula yang tak
bermotif; banyak ditemukan di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Selayan, Papua.
2. Kapak perunggu: bentuknya beraneka ragam. Ada yang berbentuk pahat,
jantung, atau tembilang; motifnya berpola topang mata atau geometris.
3. Bejana perunggu: bentuknya mirip gitar Spanyol tanpa tangkai; ditemukan di
Madura dan Sulawesi.
4. Arca perunggu: berbentuk orang sedang menari, menaiki kuda, atau
memegang busur panah; ditemukan di Bangkinang (Riau), Lumajang, Bogor,
Palembang
5. Perhiasan dan manik-manik: ada yang terbuat dari perunggu, emas, dan besi;
berbentuk gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, bandul; banyak
ditemukan di Bogor, Bali, dan Malang; sedangkan manik-manik banyak
ditemukan di Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, Bogor, Besuki, Bone; berfungsi
sebagai bekal kubur; bentuknya ada yang silinder, bulat, segi enam, atau
oval.
Masa berburu (meramu)
Masa bercocok tanam
Sistem Kepercayaan dan Masa Perundagian

Anda mungkin juga menyukai