Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alam bagi masyarakat Melayu Riau adalah suatu hal sentral bagi kehidupan
mereka. Di sanalah tempat mereka mencari penghidupan dan bisa bertahan hidup.
Namun hormat mereka kepada alam bukan hanya karena mereka bisa memanfaatkan
saja, melainkan juga kewajiban untuk terus menjaga. Kewajiban tersebut tercermin
dari pepatah (atau petatah petitih) generasi tua yang menyatakan jika alam binasa,
adatpun juga akan binasa.

Kalau tidak ada laut, hampalah perut


Bila tidak ada hutan, binasalah badan

Keseluruhan wujud nilai tanggung jawab tersebut diistilahkan sebagai sebuah


kearifan lokal. Kearifan lokal adalah prinsip-prinsip dan cara tertentu yang dianut,
dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi
dengan lingkungannya dan diformulasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.
Bentuk-bentuk dari kearifan lokal antara lain adalah petuah amanah, etika-etika atau
perilaku yang dianjurkan, dan nilai serta norma. 

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Pembagian Ruang Lingkungan

Secara umum, pembagian ruang hutan-tanah dalam alam Melayu dapat


dikelompokkan menjadi 4 bagian, sebagaimana tercantum di bawah ini.

1. Tanah Perkampungan
Tanah diperuntukkan sebagai tempat permukiman dan pemakaman. Dalam
wilayah perkampungan terdapat ruang-ruangan lain saling berkaitan yang meliputi
tanah perkarangan, tanah teratak, dusn, tanah koto, tanah perkuburan, padang
penggembalaan, dan tanah kandang.

2. Rimba
Rimba bagi masyarakat adat merupakan kosmos karena rimba diyakini sebagai
pusat keseimbangan hidup, penghubung antara alam tanah dan alam langit
(magi/trandensi), tanah dimana manusia terhubung dengan leluhurnya (ancestral
domain), sumber kehidupan (sumber air bagi hulu sungai, penghubung kampung
dengan dunia luar), penanda alam atau tombo alam bagi wilayah adat dan sumber
ekonomi subsistem (penghasilan tanaman) untuk dibuat rumah, sampan dan berbagai
alat rumah tangga serta satwa yang dapat diburu untuk konsumsi, rumah bagi satwa
yang dihormati misalnya harimau disebut dengan sebutan “datuak” dengan rasa
hormat, jarang ditemui orang dari kampung menyebut harimau dengan lugas karena
hormat dan segan.

Rimba secara umum diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu rimba larangan,
rimba cadangan, dan rimba kempungan sialang. Rimba larangan merupakan rimba
yang dilindungi secara adat sebagai tempat simpanan air, flora, dan fauna. Hasil-hasil
hutan dirimba larangan seperti rotan, damar, getah jelutung, berbagai jenis kayu dan
hewan buruan, dimanfaatkan secara ekonomi untuk kebutuhan masyarakat adat.
Rimba cadangan merupakan rimba yang diperbolehkan dibuka untuk tanah
perladangan dan perkebunan. Sedangkan rimba kepungan sialang merupakan rimba
tempat tumbuh pohon sialang yang diperuntukkan sebagai lebah untuk bersarang.
Pohon-pohon yang berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi
lebah untuk mengumpulkan sari-sari bunga dalam proses pembentukan madu.

3. Tanah Perladangan
Tanah perladangan berfungsi sebagai tempat berladang padi, ubi kayu, dan
tanaman semusim lainnya. Secara umum tanah perladangan/ladang dibuat dengan
membuka hutan, menebas semak-semak, menebang pohon-pohonnya, menutuh,

2
membakar, memerun, membersihkan, dan meratakan tanahnya. Penanaman padi di
ladang bergantung pada hujan, sehingga petani menanam padi pada musim hujan dan
menuainya pada musim panas. Setelah itu, biasanya ladang ditanami dengan tanaman
seperti padi, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, atau ubi-ubian. Oleh karena
kesuburan tanah penting, orang yang menanam padi bukit sering berpindah-pindah
lokasi untuk mencari kawasan ladang yang baru. Perpindahan lahan berladang atau
apa yang disebut dengan ‘ladang berpindah’ tidak dapat dikatakan merusak hutan
karena wilayah lahan yang dikerjakan untuk ladang sudah sedia ada dari tahun ke
tahun.

4. Kawasan Perairan
Di kawasan perairan terbentuk sistem khusus yang mengatur pemanfaatannya
yang bertujuan mendukung aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang lestari dan
berkelanjutan. Laut, sungai, danau, dan bencah sebagai komponen kawasan perairan
memiliki peran dan fungsi masing-masing. Sungai selain sumber ekonomi penghasil
ikan juga berfungsi sebagai penghubung ekonomi dalam lalu lintas transportasi antar
kampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian. Danau menghasilkan ikan selain
sungai, sedangkan bencah adalah lahan cadangan pertanian terutama dalam menanam
padi basah.

B. Berladang

Salah satu pemanfaatan alam secara langsung dalam kaitan memenuhi keperluan
hidup masyarakat Melayu adalah berladang. Menurut Elmustian Rahman (2012: 97),
ladang adalah sebutan untuk tanaman padi atau jenis tanaman jangka pendek lainnya
semacam jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan umbi-umbian. Disebut juga
huma, secara umum, ladang dibuat secara berpindah-pindah, sehingga selalu dijuluki
orang dengan ladang berpindah-pindah. Dalam konsep ini, cara berpindah-pindah tidak
merusak lingkungan, sebab berpindah-pindah tersebut dapat diumpamakan memberi jeda
pada tanah untuk kembali subur, sehingga dalam waktu tertentu didatangi lagi petani
dengan maksud bercocok tanam.

Elviriadi menulis (2007: 79), pada lahan perladangan berpindah ini tidak pernah
ditanami perpohonan karena akan mempersempit lahan untuk menanami tanaman inti
seperti padi, jagung, umbi-umbian, dan sayur-sayuran. Jika telah ditanami pohon berarti
lahan tersebut telah dianggap tua dan dikonversikan sebagai hutan masyarakat. Pada
lahan konversi, masyarakat hanya memungut hasilnya. Lahan konversi ini ditumbuhi
berbagai jenis kayu-kayuan, tanaman perkebunan, buah-buahan, semak dan berbagai jenis
flora sehingga secara biologis memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.

Dalam membuka ladang, biasanya dikerjakan dengan cara gotong royong dalam
keluarganya atau sebuah perut, sesuku, atau sekampung. Kegiatan gotong royong tersebut
dilakukan dengan sebutan perharian atau batopo. Perharian yaitu (mengambil hari) sistem

3
gotong royong seperti julo-julo atau arisan atau dilakukan secara bergiliran, masing-
masing anggota mendapat jatah kerja. Pola seperti ini tidak dikenakan bayaran. Pola
berikutnya disebut batobo jual pagari, yaitu cara pengerjaan lahan yang pekerjanya
mendapat upah dari pemilik lahan. Kegiatan batobo ini tidak hanya diisi dengan bekerja,
tetapi juga diselingi dengan hiburan seperti berbalas pantun, berkayat, memainkan musik.
Bahkan kegiatan ini juga selalu dijadikan sebagai ajang mencari jodoh.

Dalam membuka hutan, orang Melayu tidak dibenarkan atau berpantang mengolah
hutan gambut dan hutan yang dekat dengan tepian sungai. Hutan yang dibolehkan untuk
dikelola telah diatur dalam adat. Kepatuhan terhadap aturan itu bersifat mutlak dan atas
pelanggarannya dikenakan sanksi. Ketentuan ini berlaku disetiap kelompok komunal
Melayu dari satu kampung ke batas kampung lainnya. Unsur tradisi dalam membuka
hutan ini yakni upacara dan ritual yang berkenaan dengan kebersamaan. Dalam membuka
hutan, mereka melakukan secara bergotong-royong (piaghi). Nilai saling membantu dan
memberi wujud dalam upacara membuka hutan. Misalnya, dalam memperoleh bibit
(tampang) tanaman yang akan ditanam didiskusikan dalam kegiatan membuka hutan ini.
Pemberian ini sifatnya tidak dibeli dan tidak pula dengan cuma-cuma. Hal ini diistilahkan
dalam kata menyambung tampang atau bila masanya panen nanti, bibit yang digunakan
itu dikembalikan pada orang yang memberikan. Unsur kebersamaan ini dibina orang
Melayu sebagai nila-nilai kepatuhan (ibid).

Secara umum, mata kegiatan dalam membuka ladang diberbagai tempat dalam
kawasan Melayu Riau untuk pertama kali adalah sebagai berikut:

1. Merintis, kegiatan membuka atau membuat jalan dari pinggir kampung ke lahan
atau membuat batas kasar ladang yang hendak digarap.
2. Merembas, menebas semak sekali pancung pada bagian atasnya – tidak dari
pangkal semak.
3. Menebang, pohon-pohon kecil ditebang secara gantung – tidak mesti harus
tumbang, sebab akan ditumbangkan oleh pohon-pohon besar yang ditebang
kemudian.
4. Menutuh, cabang maupun ranting yang tumbang bersama pohon, dipotong-
potong, kemudian dikumpulkan di tengah lahan.
5. Melandang, suatu pekerjaan membersihkan daun, memotong dahan dan ranting
maupun sisa-sisa kayu yang berserakan di tepi lahan yang dekat dengan hutan
sekeliling ladang untuk dikumpulkan ke tengah ladang.
6. Memarit, yakni membatasi lahan ladang dengan bukan lahan ladang – menebas
bagian batas ini agak bersih sekitar sehasta.
7. Membakar, dengan memperhatikan arah angin. Misalnya, kalau angin dari barat,
maka pembakaran dilakukan mulai dari barat lahan ladang juga, sehingga
membawa ke timur.
8. Memerun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dahan serta batang kayu yang
masih tersisa setelah pembakaran di tempat tertentu untuk dibakar kembali.
Batang besar biasanya dijadikan galang pembatas antara jenis-jenis padi yang
akan ditanam.

4
9. Menugal dan membenih adalah kegiatan menanam tanaman. Pekerjaan ini
dilakukan secara bersamaan. Laki-laki ditugaskan menugal dan perempuan
mengerjakan membenih.

BAB III

5
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kearifan Melayu dalam Pemanfaatan alam adalah Pembagian ruang dalam alam
melayu ada 4 yakni tanah perkampungan, Rimba, Tanah perladangan, Kawasan
Perairan, dan Kearifan orang melayu dalam menjaga keharmonisan lingkungan
mempunyai filosofi yang sangat dalam. dalam sistem budaya melayu sangat erat
dengan nilai-nilai kearifan dalam menjaga keharmonisan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai