Anda di halaman 1dari 4

Kearifan Melayu dalam Pemanfaatan Alam

A. Pembagian Ruang Lingkungan

Secara umum, pembagian ruang hutan-tanah dalam alam Melayu dapat dikelompokkan
menjadi 4 bagian, sebagaimana tercantum di bawah ini.

1. Tanah Perkampungan

Tanah diperuntukkan sebagai tempat permukiman dan pemakaman. Dalam


wilayah perkampungan terdapat ruang-ruangan lain saling berkaitan yang meliputi
tanah perkarangan, tanah teratak, dusun, tanah koto, tanah perkuburan, padang
penggembalaan dan tanah kandang.

2. Rimba

Rimba bagi masyarakat adat merupakan kosmos karena rimba diyakini sebagai
pusat keseimbangan hidup, penghubung antara alam tanah dan alam langit
(magi/trandensi), tanah dimana manusia terhubung dengan leluhurnya (ancestral
domain), sumber kehidupan (sumber air bagi hulu sungai, penghubung kampong
dengan dunia luar), penanda alam atau tombo alam bagi wilayah adat dan sumber
ekonomi subsistem (penghasilan tanaman) untuk dibuat rumah, sampan dan berbagai
alat rumah tangga serta satwa yang dapat diburu untuk konsumsi), rumah bagi satwa
yang dihormati misalnya harimau disebut dengan sebutan ‘datuak’ dengan rasa hormat,
jarang ditemui orang dari kampong menyebut harimau dengan lugas karena homat dan
segan.

Rimba secara umum diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu rimba larangan,
rimba cadangan, dan rimba kempungan sialang. Rimba larangan merupakan rimba yang
dilindungi secara adat sebagai tempat simpanan air, flora, dan fauna. Hasil-hasil hutan
dirimba larangan seperti rotan, damar, getah jelutung, berbagai jenis kayu dan hewan
buruan, dimanfaatkan secara ekonomi untuk kebutuhan masyarakat adat. Rimba
cadangan merupakan rimba yang diperbolehkan dibuka untuk tanah peladangan dan
perkebunan. Sedangkan rimba kepungan sialang merupakan rimba tempat tumbuh
pohon sialang yang diperuntukkan sebagai lebah untuk bersarang. Pohon-pohon yang
berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi lebah untuk
mengumpulkan sari-sari bunga dalam proses pembentukan madu.
3. Tanah Peladangan

Tanah perladangan berfungsi sebagai tempat berladang padi, ubi kayu dan
tanaman semusim lainnya. Secara umum tanah perladangan/ladang dibuat dengan
membuka hutan, menebas semak-semak, menebang pohon-pohonnya, menutuh,
membakar, memerun, membersihkan, dan meratakan tanahnya. Penanaman padi di
ladang bergantung pada hujan, sehingga petani menanam padi pada musim hujan dan
menuainya pada musim panas. Setelah itu, biasanya ladang ditanami dengan tanaman
seperti padi, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, atau ubi-ubian. Oleh karena
kesuburan tanah penting, orang yang menanam padi bukit sering berpindah-pindah
lokasi untuk mencari kawasan ladang yang baru. Perpindahan lahan berladang atau apa
yang disebut dengan ‘ladang berpindah’ tidak dapat dikatakan merusak hutan karena
wilayah lahan yang dikerjakan untuk ladang sudah sedia ada dari tahun ke tahun.

4. Kawasan Perairan

Di kawasan perairan terbentuk sistem khusus yang mengatur pemanfaatannya


yang bertujuan mendukung aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang lestari dan
berkelanjutan. Laut, sungai, danau , dan bencah sebagai komponen kawasan perairan
memiliki peran dan fungsi masing-masing. Sungai selain sumber ekonomi penghasil
ikan juga berfungsi sebagai penghubung ekonomi dalam lalu lintas transportasi antar
kampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian. Danau menghasilkan ikan selain
sungai, sedangkan bencah adalah lahan cadangan pertanian terutama dalam menanam
padi basah.

B. Berladang

Salah satu pemanfaatan alam secara langsung dalam kaitan memenuhi keperluan hidup
masyarakat Melayu adalah berladang. Menurut Elmustian Rahman (2012: 97), ladang adalah
sebutan untuk tanaman padi atau jenis tanaman jangka pendek lainnya semacam jagung,
kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan umbi-umbian. Disebut juga huma, secara umum,
ladang dibuat secara berpindah-pindah, sehingga selalu dijuluki orang dengan ladang
berpindah-pindah. Dalam konsep ini, cara berpindah-pindah tidak merusak lingkungan,
sebab berpindah-pindah tersebut dapat diumpamakan memberi jeda pada tanah untuk
kembali subur, sehingga dalam waktu tertentu didatangi lagi petani dengan maksud bercocok
tanam.
Elviriadi menulis (2007: 79), pada lahan perladangan berpindah ini tidak pernah
ditanami perpohonan karena akan mempersempit lahan untuk menanami tanaman inti seperti
padi, jagung, umbi-umbian, dan sayur-mayur. Jika telah ditanami pohon berarti lahan
tersebut telah dianggap tua dan dikonversikan sebagai hutan masyarakat. Pada lahan
konversi, masyarakat hanya memungut hasilnya. Lahan konversi ini ditumbuhi berbagai jenis
kayu-kayuan, tanaman perkebunan, buah-buahan, semak dan berbagai jenis flora sehingga
secara biologis memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.

Dalam membuka ladang, biasanya dikerjakan dengan cara gotong royong dalam
keluarganya atau sebuah perut, sesuku, atau sekampung. Kegiatan gotong royong tersebut
dilakukan dengan sebutan perharian atau batopo. Perharian yaitu (mengambil hari) sistem
gotong royong seperti julo-julo atau arisan atau dilakukan secara bergiliran, masing-masing
anggota mendapat jatah kerja. Pola seperti ini tidak dikenakan bayaran. Pola berikutnya
disebut batobo jual pagari, yaitu cara pengerjaan lahan yang pekerjanya mendapat upah dari
pemilik lahan. Kegiatan batobo ini tidak hanya diisi dengan bekerja, tetapi juga diselingi
dengan hiburan seperti berbalas pantun, berkayat, memainkan musik. Bahkan kegiatan ini
juga selalu dijadikan sebagai ajang mencari jodoh. (Op.Cit)

Menurut Taufik Ikram Jamit, dkk., (2018), dalam membuka hutan, orang Melayu tidak
dibenarkan atau berpantang mengolah hutan gambut dan hutan yang dekat dengan tepian
sungai. Hutan yang dibolehkan untuk dikelola telah diatur dalam adat. Kepatuhan terhadap
aturan itu bersifat mutlak dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi. Ketentuan itu berlaku
disetiap kelompok komunal Melayu dari satu kampung ke batas kampung lainnya. Unsur
tradisi dalam membuka hutan ini yakni upacara dan ritual yang berkenaan dengan
kebersamaan. Dalam membuka hutan, mereka melakukan secara bergotong-royong (piaghi).
Nilai saling membantu dan memberi wujud dalam upacara membuka hutan. Misalnya, dalam
memperoleh bibit (tampang) tanaman yang akan ditanam juga didiskusikan dalam kegiatan
membuka hutan ini. Pemberian ini sifatnya tidak dibeli dan tidak pula dengan cuma-cuma.
Hal ini diiistilahkan dalam kata mmenyambung tampang atau bila masanya panen nanti, bibit
yang digunakan itu dikembalikan pada orang yang memberikan. Unsur kebersamaan ini
dibina orang Melayu sebagai nilai-nilai kepatuhan (ibid).

Secara umum, mata kegiatan dalam membuka ladang diberbagai tempat dalam kawasan
Melayu Riau untuk pertama kali, adalah sebagai berikut:

1. Merintis, kegiatan membuka atau membuat jalan dari pinggir kampung ke lahan atau
membuat batas kasar ladang yang hendak digarap.
2. Merembas, menebas semak sekali pancung pada bagian atasnya – tidak dari pangkal
semak.
3. Menebang, pohon-pohon kecil ditebang secara gantung – tidak mesti harus tumbang,
sebab akan ditumbangkan oleh pohon-pohon besar yang ditebang kemudian.
4. Menutuh, cabang maupun ranting yang tumbang bersama pohon, dipotong-potong,
kemudian dikumpulkan ditengah lahan.
5. Melandang, suatu pekerjaan membersihkan daun, memotong dahan dan ranting
maupun sisa-sisa kayu yang berserakan di tepi lahan yang dekat dengan hutan
sekeliling ladang untuk dikumpulkan ke tengah ladang.
6. Memarit, yakni membatasi lahan ladang dengan bukan lahan ladang – menebas
bagian batas ini agak bersih sekitar sehasta.
7. Membakar, dengan memperhatikan arah angin. Misalnya, kalau angin dari barat,
maka pembakaran dilakukan mulai dari barat lahan ladang juga, sehingga membawa
ke timur.
8. Memerun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dahan serta batang kayu yang
masih tersisa setelah pembakaran di tempat tertentu untuk dibakar kembali. Batang
besar biasanya dijadikan galang pembatas antara jenis-jenis padi yang akan ditanam.
9. Menugal dan membenih adalah kegiatan menanam tanaman. Pekerjaan ini dilakukan
secara bersamaan. Laki-laki ditugaskan menugal dan perempuan mengerjakan
membenih.

Anda mungkin juga menyukai