Ibrahim, M dan Aman Pinan, H. 2005. Syariat dan Adat Istiadat Jilid 3.
Yayasan Maqamam Mahmuda. Takengon.
Orang Gayo jaman dahulu sangat memperhatikan lingkungan baik sosial
maupun alam dan buatan. Pada tiap kampung atau belah (clan) ada dewal
(wilayah pinggir) tempat membuang sampah, karena itu dewal pada umumnya
amat subur. Siapapun dilarang membuang sampah keluar dewal. Selain tempat
membuang sampah, dewal merupakan gerbang kampung yang disebut dewal opat
yaitu empat buah gerbang untuk memasuki suatu kampung melalui empat jurusan
atau jalur jalan masuk dan keluar kampung setempat. Kalau dewal yang terletak di
pinggir kampung berfungsi untuk memelihara lingkungan alam, maka dewal yang
terdapat pada gerbang berfungsi mengawasi orang yang keluar masuk kampung
untuk memelihara lingkungan sosial.
Tiap kampung atau belah ada hutan milik masyarakatnya. Hutan ini ada
dua bagian:
Pertama: hutan yang ada dalam wilayah kampung tempat tinggal suatu clan.
Hutan ini wajib dipelihara oleh seluruh warga kampung, siapapun dilarang keras
merusaknya seperti membakar, menebang tanpa izin atau petunjuk pengulu uten
(pemimpin kehutanan). Bila seseorang atau sekelompok orang hendak membuka
hutan untuk lahan persawahan atau perkebunan atau menebang kayu untuk bahan
bangunan, harus meminta izin atau sepengetahuan pengulu (kepala kampung) atau
pengulu uten setempat. Orang yang melakukannya tanpa izin pengulu, dihukum
dengan hukuman adat berupa denda dalam jumlah uang atau material tertentu.
Memburu hewan, burung atau margasatwa lainnya, mengambil rotan, madu lebah
atau berbagai bunga dan sayur mayur tumbuhan hutan, tidak memerlukan izin dari
pengulu, namun yang bersangkutan wajib memelihara potensi hutan dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang seperti menebang kayu si musepit
(batang kayu dempet), I karang (pohon kayu tumbuh di tebing), I matani waih
atau uluni waih (kayu yang tumbuh di sekitar mata atau hulu air), I waih kul atau
waih rerak (kayu yang tumbuh sepanjang sungai, anak sungai atau tali air).
Karena sejak zaman dahulu di lokasi-lokasi tersebut ditanami berbagai jenis
rumpun bambu, serule, terpuk, tetemi, dedalu dan temung untuk memperkuat
lapisan tanah sehingga tidak mudah longsor, air tetap jernih dan stabil, tidak banjir
dan kering, ikan tawar berkembang biak, berbagai jenis burung hidup dengan
bebas. Dalam hubungan ini, masyarakat melaksanakan pola tradisional dalam
memelihara lingkungan dan hutan dengan susunan berturut-turut: air, kampung,
lahan tanaman pangan, lahan perkebunan dan hutan. Antara lahan perkebunan
dan hutan dibatasi dengan jelas dan tegas apa yang disebut rintis. Pola tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut:
Kedua: hutan kecil yang terdapat pada lembah, hulu air, aliran sungai atau anak
sungai atau tali air dalam wilayah kampung bersangkutan. Hutan jenis ini bukan
ditumbuhi oleh berbagai jenis kayu yang dapat dipergunakan untuk bahan
bangunan, tetapi ditumbuhi oleh berbagai jenis bambu, sayur mayur hutan dan
kayu-kayu kecil. Siapapun di antara warga kampung bersangkutan dapat
mengambil sayur mayur hutan lainnya, bambu dan kayu untuk pagar atau gubuk
di sawah atau kebun, asal tidak merusak hutan dan tidak untuk diperdagangkan.
Ada tiga jenis usaha atau lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan upaya
memelihara lingkungan:
1. Perumenen yaitu areal persawahan yang letaknya lebih dekat dengan
perkampungan atau pemukiman dan aliran air. Perumenen amat penting
menurut adat istiadat Gayo, karena iman akan kokoh bila makanan cukup
sebagaimana kata-kata adat: beras padi tungket imen. Artinya beras dan
padi merupakan tongkat iman. Maksudnya kebutuhan pokok yang cukup
memadai akan menunjang pelaksanaan pendidikan duniawi dan ukhrawi
yang menghasilkan peningkatan keimanan seseorang dan keluarga.
Perumenen merupakan prioritas program orang Gayo sejak dahulu kala di
bidang ekonomi. Namun prioritas program ini bergeser kepada
perempusen (perkebunan) karena topografi alam pemukiman mereka
berada di tengah-tengah bukit barisan yang menyebabkan sulit untuk
memperluas areal persawahan.
2. Perempusen atau perkebunan rakyat di luar areal persawahan dan
pemukiman. Perempusen sejak dahulu kala sampai dengan tahun 1950
berada pada lokasi di bagian atas areal persawahan, karena pemukiman
dan persawahan terpisah dari perkebunan. Setelah tahun 1950, penduduk
semakin bertambah dan produksi sawah tidak mampu lagi memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat, menyebabkan banyak orang membuka
perkebunan yang letaknya jauh dari pemukiman dan persawahan yang
sejak lama telah ada. Mereka membangun perumahan dalam areal
perkebunan itu, dengan lebih baik karena mereka bertempat tinggal tetap
di sana untuk memelihara kebun mereka.