Anda di halaman 1dari 5

URGENSI DISASTER PLAN DI ACEH

By: Hesri Rawana Gayo


Kelas B

Kepedulian kita benar-benar diuji dengan maraknya bencana belakangan ini. Semua
bencana itu pun menjadi kebaikan bagi korban yang tabah dan bagi orang yang peduli.
Bencana atau musibah adalah kedukaan, kesusahan, kesengsaraan, kesulitan, dan tentu sangat
tidak dikehendaki. Namun, bencana adalah skenario Allah SWT.
Di balik bencana ada kasih sayang-Nya dan kebaikan. Bahkan, sabda Nabi Saw,
Orang yang Allah inginkan kebaikan atasnya maka akan diberinya musibah. (HR.
Bukhari). Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang
sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta
adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko
terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun di sisi
lain juga kaya akan sumber daya alam.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (UU PB) didorong oleh kejadian gempa dan tsunami Aceh di penghujung tahun
2004. Kejadian ini telah mengawali proses pembahasan dan penetapan kebijakan yang
dititikberatkan pada kegiatan pengurangan risiko bencana yang sampai saat ini sudah mulai
dikembangkan dalam beberapa produk hukum turunan undang-undang dan kebijakan lainnya
di tingkat pusat maupun di daerah secara ideal. Aceh telah membuka ruang pembelajaran
bagi penanggulangan bencana Indonesia dan dunia internasional dengan pengorbanan
nyawa, harta, dan benda yang tidaklah kecil jumlahnya.
Hakikatnya, bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan.
Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas
atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan
yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak
untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri (ISDR, 2004). Pandangan
ini memberikan arah bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh baik pada masa
sebelum, pada saat terjadi dan setelah kejadian bencana. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
manajemen khusus untuk menanganinya. Saat ini, dalam pengelolaan manajemen bencana,
telah terjadi beberapa pola pergeseran pandangan, yaitu dari bersifat memberi tanggapan
menjadi bersifat pencegahan, dari urusan pemerintah menjadi partisipatif masyarakat, dari
tanggung jawab beberapa sektor menjadi tanggung jawab berbagai sektor, serta, dari pola
menangani dampak menjadi mengurangi risiko.
Pada dasarnya, pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction) adalah sebagai
pengarusutamaan (mainstreaming) berbagai aktivitas pembangunan. Pengarusutamaan ini
ditujukan untuk dapat meningkatkan kapasitas dan menurunkan kerentanan. Ini menjadi
alasan kuat mengapa pengurangan risiko bencana tidak harus selalu dengan membuka
sekolah atau program khusus mengenai bencana atau ilmu manajemen bencana. Sebagai arus
utama, pengurangan risiko bencana sudah sepantasnya menjadi muatan yang harus diajarkan
di semua bidang ilmu, sekolah, dan perguruan tinggi.
Islam dan Siaga Bencana
Aceh dikenal dengan daerah yang masyarakatnya berkarakter religius, seyogyanya
masyarakat Aceh tidak mempersepsikan bencana hanya sebagai musibah yang tidak dapat
dikurangi dampaknya apa adanya atau bersikap fatalistik. Keyakinan yang benar akan qodo
dan qodarnya Allah dimaknai dengan penuh ikhtiyar dan ketakwaan bahwa persiapan
mengantisipasi dampak dari bencana yang lebih besar dapat teratasi dengan baik. Hal itu,
dapat ditafsirkan dari pemahaman kita sebagai muslim bahwa Allah senantiasa menunjukkan
petunjuk dari kitab sucinya.
Dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 200 dikatakan bahwasanya orang yang beriman
untuk selalu dalam keadaan siaga sebelum akan terjadinya suatu yang membahayakan, Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. Lebih lanjut, dalam
Surah Al Anaam ayat 131: Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah
membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah., Al
Quran menganjurkan untuk sebuah daerah berpenduduk dan memiliki pemerintahan untuk
memiliki perencanaan siaga yang mengarah kepada kesiapan dan kemampuan untuk
memperkirakan, mengurangi dampak, menangani secara efektif serta melakukan pemulihan
diri dari dampak, dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.
Dalam konteks manajemen, kesiapsiagaan membutuhkan perencanaan. Perencanaan
merupakan fungsi-fungsi manajemen yang hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan
yang ditetapkan dalam rangkaian proses yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana, jadi perencanaan menjadi
hal yang sangat penting karena akan menjadi penentu dalam ketercapaian sebuah tujuan.
Ayat 18 dari Surat Al-Hasyr dikenal sebagai konsep perencanaan. Ulama terkemuka
seperti Imam Al Ghazali menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah kepada manusia untuk
memperbaiki, meningkatkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT melalui proses
kehidupan yang tidak boleh sama dengan kehidupan yang sebelumnya. Imam Ghazali juga
memberi penegasan pada kata perhatikanlah di mana manusia harus memperhatikan setiap
perbuatan yang telah dikerjakan, serta mempersiapkan diri (merencanakan) untuk selalu
berbuat yang terbaik demi hari esok.
Konsep perencanaan siaga dalam Surat Al-Hasyr ayat 18 ini merupakan pokok
pikiran yang sama dengan panduan penyusunan rencana kontinjensi yang dikeluarkan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tahun 2011. Ada lima aspek yang
dapat dilihat dari kesamaan konsep perencanaan tersebut, yaitu: Pertama, perencanaan harus
melibatkan proses penetapan keadaan masa depan yang diinginkan (analisis dampak), kedua,
keadaan masa depan yang diinginkan dibandingkan dengan kenyataan sekarang sehingga
dapat dilihat kesenjangannya (analisis kesenjangan). Ketiga, untuk menutup kesenjangan
perlu dilakukan usaha yang dapat dilakukan dengan berbagai ikhtiar dan alternatif (skenario
kedaruratan). Keempat, perlu pemilihan alternatif yang baik, dalam hal ini mencakup
efektifitas dan efisiensi (alokasi tugas dan sumber daya). Kelima, alternatif yang sudah dipilih
hendaknya dirinci untuk dapat menjadi petunjuk dan pedoman dalam pengambilan keputusan
maupun kebijaksanaan (sinkronisasi dan harmonisasi).
Pentingnya Disaster Plan Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Aceh
Beberapa desa di Aceh diketahui merupakan kawasan rawan bencana. Sebagai contoh
adalah Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Burni Telong di Kabupaten Bener Meriah
yang terdiri dari beberapa tingkat kerawanan berdasarkan hasil kajian-kajian terhadap sejarah
letusan yang pernah ada. Dengan kajian ini suatu kawasan dinyatakan sebagai Kawasan
Rawan Bencana I, II, dan III yang diingatkan memiliki berbagai potensi dampak yang
berbeda-beda berdasarkan ancamannya. Berdasarkan kajian ini, beberapa kampung yang
termasuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana II misalnya, dinyatakan sebagai kampung-
kampung yang terletak dalam radius 5 kilometer dari gunung tersebut berpotensi terlanda
aliran hawa panas, lava dan lahar, hujan abu lebat, dan lontaran batu (Direktorat Geologi dan
Vulkanologi Energi Sumber Daya Mineral, 2001).
Beberapa peringatan di masa kini yang dapat menjadi hikmah pembelajaran juga telah
kita lihat dan kita dengarkan. Bencana alam yang memberi dampak terhadap penghidupan
masyarakat begitu banyak diberitakan di berbagai media, baik media massa maupun
elektronik. Hikmah pembelajaran terhadap bencana yang mengancam sangat erat kaitannya
dengan peringatan yang meningkatkan kesiapsiagaan. Hal ini telah diingatkan di dalam
Alquran, dalam Surah Asy Syuara ayat 26: Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan. Konsep
pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas disaster plan memiliki makna yang sangat
luas. Kebijakan dan program pembangunan yang amat beragam merupakan suatu warna
dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana di setiap instansi ataupun lembaga publik
lainnya.
Banyaknya bencana yang terjadi di dunia ataupun di Indonesia dalam dasawarsa
terakhir ini, menunjukan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat mencapai tujuannya
secara sinergi bila diimplementasikan dalam prespektif pengurangan risiko bencana (disaster
risk reduction) dengan dibuatnya disaster plan yang sesuai dengan daerah Aceh. Bencana
dapat memberi peluang terhadap pembangunan, setiap pembangunan akan tidak bernilai
apabila tidak diperhitungkan risikonya. Bencana dapat menghancurkan pembangunan yang
sudah direncanakan dalam jangka panjang, seperti gempa yang terjadi pada April Tahun 2012
yang lalu, memberikan kita pelajaran yang bermakna bahwa pentingnya ketahanan bencana
pada perencanaan pembangunan berdasarkan disarter plan sehingga dapat mengurangi
kerentanan (vulneralibility) pada setiap elemen-elemen berisiko meski bencana itu sendiri
tidak dapat diprediksi.
Pembangunan berkelanjutan yang dimaksudkan, setidaknya membahas berbagai hal
yang antara lain berkaitan dengan (1) upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang
dengan kemampuan daya dukung ekosistem; (2) upaya meningkatkan mutu kehidupan
manusia dengan cara melindungi dan keberlanjutan; (3) upaya meningkatkan sumberdaya
alam dan manusia yang akan dibutuhkan pada masa mendatang; (4) upaya mempertemukan
kebutuhan-kebutuhan manusia secara antara generasi (Baiquni, 2006), dan semua harus
dilaksanakan dalam prespektif pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan kapasitas
(capacity) dan mengurangi kerentanan-kerentanan disemua level, dari tingkat individu,
masyarakat ataupun pemerintah. Menggalakkan keberlanjutan dalam pengurangan bencana
artinya mengakui dan dengan sebaik-baiknya memanfaatkan hubungan antara tujuan-tujuan
sosial, ekonomi dan lingkungan untuk mengurangi risiko yang signifikan.

Dengan demikian disaster plan memegang peranan penting bagi kelangsungan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam memastikan perencanaan itu berjalan dengan
baik. Perencanaan pada hakikatnya adalah alat yang digunakan untuk memastikan masa
depan yang lebih baik. Dalam konteks risiko bencana, masa depan yang lebih baik dicirikan
dengan kesiapan untuk menghadapi bencana, kemampuan untuk meminimalisir dampak
bencana, dan kemampuan pulih dengan baik, baik itu bagi entitas sosial atau pun sebuah
sistem. Gagal untuk mempersiapkan dapat berarti jutaan rupiah kerugian dan sakit kepala
besar ketika mencoba untuk pulih.

Anda mungkin juga menyukai