Anda di halaman 1dari 12

PROBLEMATIKA AGROEKOSISTEM

OBSERVASI HUTAN LINDUNG


WANAGAMA 1 GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

KELOMPOK
MITA DWI N (20170210009)
CAESARI TRI W (20170210021)
SALSABILA RATNA K (20170210032)
RISKI MAFIROH (20170210036)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agroekosistem adalah suatu hubungan timbal balik antara makhluk hidup
terhadap lingkungan pertanian. Agoekosistem berasal dari kata agro, ekologi, dan
sistem. Agro berarti pertanian, yaitu kegiatan produksi/industri biologis yang
dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak (Saragih B, 2000). Ekologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antaraorganisme dengan
lingkungannya. Sistem adalah suatu kesatuan atau himpunan yang saling berkaitan dan
pengaruh-mempengaruhi sehingga diantaranya terjadi proses yang serasi.. Sedangkan
ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang terlibat
dalam proses bersama(aliran energi dan siklus nutrisi).

Penyusun lahan yang bervariasi berupa batuan, tanah, kemiringan lereng dan
penggunaan lahan berdampak pada sifat dan karakteristik lahan yang berbeda – beda.
UU RI No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa: “Kawasan
adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya”. Balai Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), Departemen Kehutanan (1986) membagi
wilayah menjadi kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan harian rata – rata
berdasarkan karakteristik fisik DAS dan kemudian muncullah kawasan lindung,
kawasan penyangga dan kawasan budidaya. UU RI No 26 Tahun 2007 menyebutkan
bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan”

B. Tujuan
Mengetahui pengelolaan hutan lindung dari kerusakan
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama


melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan (UU RI No 26 Tahun 2007). Fungsi utama kawasan lindung adalah
sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan
tanah. (Nugraha, dkk 2006). Berdasarkan fungsinya tersebut, maka penggunaan lahan
yang diperbolehkan adalah pengolahan lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero
tillage) dan dilarang melakukan penebangan vegetasi hutan (Nugraha, dkk 2006).
Manan (1978) menjelaskan bahwa terdapat dua tipe hutan lindung di
Indonesia berdasarkan pengelolaannya, yaitu: (1) hutan lindung mutlak, yaitu
hutan lindung yang mempunyai keadaan alam yang sedemikian rupa, sehingga
pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya dan tata air perlu
dipertahankan dan dilindungi, (2) dan hutan lindung terbatas, yaitu diantara hutan
lindung, ada yang karena keadaan alamnya dalam batas-batas tertentu, sedikit
banyak masih dapat dipungut hasilnya, dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai
hutan lindung.
Penetapan kawasan lindung oleh pemerintah dilakukan berdasarkan karakteristik
wilayah tersebut maupun karena nilai kepentingan objeknya, dimana masyarakat
dilarang melakukan hal – hal seperti menebang hutan atau merusak lingkungan sekitar
pada jarak yang telah ditentukan. Karakteristik wilayah yang dilindungi oleh
pemerintah adalah wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 45 % dan wilayah yang
memiliki jenis tanah rawan erosi seperti regosol, litosol, organosol, dan enzina yang
memiliki kemeringan lereng lebih dari 15 % dan kawasan hutan yang mempunyai
ketinggian 2.000 mdpl atau lebih.
Kawasan lindung terdiri atas kawasan yang memberi perlindungan terhadap
kawasan bawahnya, diantaranya adalah kawasan bergambut, dan kawasan reasapan air.
Kawasan lain yang termasuk ke dalam kawasan lindung adalah kawasan suaka alam,
pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat, seperti sempadan pantai,
sempadan sungai, dan kawasan sekitar danau atau waduk. Contoh lain yang termasuk
kawasan lindung adalah kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dimana kawasan
ini memiliki nilai tinggi dalam perkembangan ilmu pengetahuan karena terdapat situs
purbakala di dalamnya.
III. PEMBAHASAN

A. Hutan Wanagama
Hutan Wanagama I seluas 599,7 Ha yang terdiri atas beberapa petak yang
memiliki kondisi fisik yang berbeda-beda. Hutan Wanagama merupakan hutan hasil
reboisasi dengan mengubah kawasan yang dulunya adalah bukit gundul berbatu,
gersang dan tidak ditumbuhi oleh vegetasi kini menjadi hutan yang heterogen dan
memiliki ekosistem yang kompleks. Selain sebagai kawasan hutan, Wanagama juga
digunakan sebagai kawasan pendidikan. Wanagama dilalui aliran sungai Oyo yang
merupakan salah satu sumber air yang mengalir sepanjang tahun. Tanaman yang
banyak terdapat di Wanagama adalah lamtoro dan gamal yang mempunyai ruang
tumbuh lebih besar. Produksi serasahnya lebih banyak sehingga humus yang dihasilkan
juga lebih banyak. Sistem perakarannya lebih dalam dan memiliki volume yang lebih
besar. Jumlah mikroflora dan mikrofauna di serasah lamtoro dan gamal, lebih banyak
sehingga proses dekomposisi berlangsung lebih intensif (Johanna, 2016).

Rayap dan serangga di bawah tanah yang banyak hidup di ruang tumbuh lamtaro
dan gamal menjadi pengurai serasah, yang mempercepat ketersediaan unsur hara serta
mengundang burung dan ayam liar untuk hidup di ruang tumbuh lamtoro dan gamal.
Setelah 20 tahun, hutan awal akhirnya mulai terbentuk di lahan kritis Wanagama,
berkat tanaman lamtoro dan gamal. Lapisan humus dan serasah dari tanaman lamtoro
dan gamal yang tebal, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi jenis pohon perintis
seperti Ki Putri (Podocarpus neriifolius), kayu putih (Melaleuca leucadendra),
Cendana (Santalum album), dan Sonokeling (Dalbergia latifolia). Sejak awal, jenis
pohon-pohon tersebut juga ditanam di blok lahan Wanagama yang memiliki sedikit
tanah (Johanna, 2016).

Selain tanaman, Wanagama juga memiliki Rusa Jawa (Rusa timorensis) dan
menjadi tempat pelestarian Rusa Jawa. Pelestarian ini ditujukan untuk meningkatkan
populasi Rusa Jawa yang dulu sempat ada di Wanagama namun kini mulai punah.
Pada tahun 2013, berdasarkan penelitian Fikri (2013) ditemukan rusa sebanyak
5 ekor. Hasil ini tidak sepenuhnya benar karena beberapa warga berpendapat bahwa
mereka melihat segerombolan rusa di kawasan Wanagama. Berdasarkan penelitian
Fikri (2013) menunjukkan bahwa kerapatan semak dan tumbuhan bawah yang dimiliki
Wanagama tinggi. Kerapatan vegetasi berkaitan erat dengan kemudahan penglihatan
pemangsa dan mangsanya. Semakin padat dan rapat vegetasi di suatu kawasan, maka
kemungkinan rusa untuk terlihat dari pemangsa akan semakin kecil.

B. Permasalahan Hutan Lindung


Sebagai kawasan yang mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem, pelestarian hutan lindung perlu diperhatikan sehingga tidak menimbulkan
masalah yang akan merugikan alam. Beberapa masalah yang terjadi pada hutan lindung
adalah:
1. Konflik Pakan Ternak
Selama proses penghijauan dengan pola hutan serba guna, Wanagama telah
menanam jenis pohon dan rumput yang dapat menjadi pakan ternak. Setiap hari sekitar
500 ikat pakan ternak keluar dari Wanagama. Penduduk sekitar Wanagama
memperoleh pakan ternak secara gratis sejak hutan Wanagama terbentuk. Penduduk
sekitar Wanagama memiliki persepsi bahwa Wanagama merupakan kawasan untuk
mencari pakan ternak baik berupa rumput kolonjono maupun daun leguminosa
(Pramoedibjo, 2004). Meskipun penduduk telah membuat hutan rakyat, namun mereka
lupa tidak menanam pakan ternak sendiri.
Kebutuhan pakan ternak semakin meningkat, sementara lahan Wanagama
semakin sempit karena penelitian tanaman hutan semakin intensif. Jenis-jenis pohon
penelitian semakin bervariasi dan sebagian besar tidak dapat dijadikan hijauan pakan
ternak. Akibatnya, terjadi penyerobotan lahan di petak penelitian Wanagama.
Penduduk membabat pohon dan menanami lahan dengan rumput pada tahun 1998.
Namun, masalah tersebut telah diatasi petugas Wanagama dengan pendekatan
kekeluargaan yaitu dengan pemberlakuan hubungan timbal balik antara warga dan
hutan Wanagama, dimana warga dibebaskan mengambil lamtoro asalkan mereka
member pupuk kandang untuk Wanagama (Pramoedibjo, 2004).
2. Penyalahgunaan Lahan

Kawasan hutan Kemuning Desa Kemuning, Kecamatan Bejen, Kabupaten


Temanggung, Jawa Tengah dikelola oleh PERUM Perhutani bersama masyarakat
dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pola ini
memperbolehkan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk melakukan penanaman kopi
di dalamnya (Krisna, 2009). Implikasi dari program PHBM tersebut membuat Hutan
Kemuning mengalami gangguan dalam regenerasinya. Adanya penanaman kopi di
lantai hutan menyebabkan regenerasi hutan untuk mempertahankan kondisi
kealamiannya menjadi terganggu, sedangkan keanekaragaman hayati di dalamnya
tergolong tinggi.
Di lain sisi, perekonomian masyarakat Desa Kemuning sangat bergantung
terhadap kegiatan pengelolaan kopi tersebut. Di tengah kondisi seperti ini, Lembaga
Javan Wildlife Institute (Jawi) bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada
melakukan pendampingan terhadap masyarakat Desa Kemuning agar dapat
terwujudnya harmonisasi antara masyarakat desa dengan satwa liar demi mencapai
kelestarian hutan. Penelitian demi penelitian serta kegiatan lain seperti pelatihan untuk
masyarakat desa telah dilakukan demi mencapai tujuan yang ditargetkan.
3. Perburuan Liar
Permasalahan lain yang sering terjadi di kawasan hutan lindung adalah kegiatan
perburuan satwa liar. Beberapa satwa yang diburu di Hutan Kemuning yaitu kalong,
beberapa jenis burung, babi hutan, kijang, dan luwak. Dampak dari perburuan liar
adalah munculnya pemukiman baru bagi para pemburu. Pada jangka waktu tertentu,
luas pemukiman tersebut akan terakumulasi cukup besar, dimana semakin lama
perburuan liar terjadi, maka semakin luas area manusia dalam mengeksplorasi hutan
liar atau hutan lindung itu sendiri secara terus-menerus. Solusi yang dapat dilakukan
untuk mencegah perburuan liar dengan cara:
a) Mendirikan lokasi perlindungan hewan
Untuk melindungi hewan yang langka dan dilindungi perlu dibuat suatu lokasi
khusus sebagai tempat habitat satwa, dimana terdapat patroli penjaga hutan
untuk mencegah perburuan. Lokasi perlindungan ini dapat berupa cagar alam,
suaka margasatwa, dan taman nasional.
b) Melakukan penindakan pada pemburu
Mengadakan suatu hukuman berat bagi seseorang yang melakukan perburuan
liar gar menimbulkan efek jera.
c) Memberi pendidikan terhadap masyarakat tentang perlindungan satwa
Warga banyak yang beralih menjadi pemburu karena desakan ekonomi, serta
karena tidak paham tentang pentingnya perlindungan satwa. Karena itu perlu
diadakan sosialisasi kepada warga tentang larangan dan dampak negatif
perburuan satwa.

4. Pembangunan Tempat Wisata Alam


Pembangunan wisata alam merupakan ancaman yang nyata terhadap
keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan yang akan di kembangkan.
Pengembangan wisata alam sering menyebabkan hilangnya bentuk – bentuk
keanekaragaman hayati di sekitarnya. Salah satunya adalah dengan dijumpainya
monyet di sekitar obyek daya tarik wisata alam, yang menjadi agresif dan memiliki
penyimpangan pola makan akibat adanya pengunjung. Sementara sebagian satwa lain
seperti Lutung jawa, Kijang, Babi hutan dan lainya cenderung menghindar dari lokasi
obyek daya tarik wisata alam. Aktifitas wisata alam yang dekat dengan habitat
satwaliar, dapat mempengaruhi hidupan liar hewan.

Dampak lainnya adalah kemungkinan pengambilan satwa liar secara illegal,


rusaknya habitat satwa liar, perubahan komposisi tumbuhan, menurunnya produktifitas
tumbuhan bawah karena terinjak - injak pengunjung, mengurangi daya reproduksi
satwa liar, modifikasi pola-pola aktifitas satwa, polusi dan limbah yang ditinggalkan
pengunjung. Sampah yang dihasilkan pengunjung akan menjadi masalah lingkungan
yang dapat mempengaruhi kualitas daerah tujuan wisata karena sampah plastik, botol
dan kaleng minuman tidak bisa terurai oleh lingkungan, sehingga beban lingkungan
menjadi berat. Kegiatan wisata alam juga memungkinkan masuknya bibit-bibit
tumbuhan eksotik karena terbawa oleh manusia/pengunjung baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. Berkembangnya jumlah spesies eksotik yang semakin banyak
akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan lingkungan.
Solusi yang dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah:
1. Memberikan batasan maksimal jumlah pengunjung
Hal ini bertujuan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan akibat jumlah
pengunjung yang melebihi kapasitasnya, dengan harapan obyek dan daya tarik
wisata dapat terjaga kelestariannya. Adanya dampak negatif dari wisata alam di
kawasan konservasi, tidak berarti bahwa areal alami tidak dapat dipakai untuk
kegiatan wisata alam.
2. Adanya perencanaan dan pengelolaan yang sesuai
Berkaitan dengan pengelolaan ekowisata dikawasan konservasi, tidak boleh
menyimpang dari kaidah-kaidah konservasi. Oleh karena itu perlu penyusunan
rencana pengelolaan dengan memperhatikan aspek pembagian kawasan ke dalam
blok-blok pengelolaan. Adapun tujuan pembagian blok pengelolaan adalah agar
pengelolaan kawasan konservasi lebih efektif dan efisien untuk dapat menjaga
kelestarian kawasan. Penilaian potensi kawasan, potensi pengunjung dan strategi
pengelolaan kawasan dengan menggunakan analisis SWOT: menghasilkan
alternatif pengelolaan kawasan dengan pembagian blok yaitu blok pengelolaan
rimba dan blok pengelolaan inti. Strategi ini untuk menyelamatkan ekosistem dan
keanekaragaman hayati dan dimaksudkan untuk melindungi ekosistem juga
memberi kesempatan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak
merambah dan merusak kawasan yang dilindungi.
IV. KESIMPULAN
Kawasan lindung memiliki fungsi utama untuk melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan. Beberapa kerusakan yang terjadi di hutan lindung adalah konflik
pakan ternak, penyalahgunaan lahan, perburuan liar, pembangunan tempat
wisata. Solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan cara kekeluargaan,
sosialisasi kepada masyarakat, dan memperketat penjagaan di sekitar
kawasan hutan lindung.
DAFTAR PUSTAKA

Fikri Al Mubarok. 2013. Studi Kelayakan Hutan Wanagama I Sebagai Kawasan


Restorasi Rusa Jawa (Rusa Timorensis).
https://www.academia.edu/7483442/STUDI_KELAYAKAN_HUTAN_
WANAGAMA_I_SEBAGAI_KAWASAN_RESTORASI_RUSA_JAW
A_Rusa_timorensis_. Diakses tanggal 13 Desember 2018.

Nugraha, S., dkk. 2006. Potensi dan Tingkat Kerusakan Sumberdaya Lahan di Daerah
Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi
Jawa Tengah Tahun 2006. Laporan Penelitian. LPPM UNS. Surakarta.

Manan,S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen


Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Pramoedibjo RIS, Hani’in O, Supriyo H, Soekotjo, Na’iem M, Iskandar U. 2004. Dari


bukit-bukit gundul sampai ke Wanagama I. Yayasan Sarana Wana Jaya,
Yogyakarta.

Johanna Ernawati. 2016. Jejak Hijau Wanagama. Yogyakarta. Gajah Mada University.

UU RI No 26 Tahun 2007
LAMPIRAN

fauna kelompok jembatan sungai

flora sungai kelompok pohon

Anda mungkin juga menyukai