KELOMPOK
MITA DWI N (20170210009)
CAESARI TRI W (20170210021)
SALSABILA RATNA K (20170210032)
RISKI MAFIROH (20170210036)
Penyusun lahan yang bervariasi berupa batuan, tanah, kemiringan lereng dan
penggunaan lahan berdampak pada sifat dan karakteristik lahan yang berbeda – beda.
UU RI No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa: “Kawasan
adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya”. Balai Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), Departemen Kehutanan (1986) membagi
wilayah menjadi kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan harian rata – rata
berdasarkan karakteristik fisik DAS dan kemudian muncullah kawasan lindung,
kawasan penyangga dan kawasan budidaya. UU RI No 26 Tahun 2007 menyebutkan
bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan”
B. Tujuan
Mengetahui pengelolaan hutan lindung dari kerusakan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Wanagama
Hutan Wanagama I seluas 599,7 Ha yang terdiri atas beberapa petak yang
memiliki kondisi fisik yang berbeda-beda. Hutan Wanagama merupakan hutan hasil
reboisasi dengan mengubah kawasan yang dulunya adalah bukit gundul berbatu,
gersang dan tidak ditumbuhi oleh vegetasi kini menjadi hutan yang heterogen dan
memiliki ekosistem yang kompleks. Selain sebagai kawasan hutan, Wanagama juga
digunakan sebagai kawasan pendidikan. Wanagama dilalui aliran sungai Oyo yang
merupakan salah satu sumber air yang mengalir sepanjang tahun. Tanaman yang
banyak terdapat di Wanagama adalah lamtoro dan gamal yang mempunyai ruang
tumbuh lebih besar. Produksi serasahnya lebih banyak sehingga humus yang dihasilkan
juga lebih banyak. Sistem perakarannya lebih dalam dan memiliki volume yang lebih
besar. Jumlah mikroflora dan mikrofauna di serasah lamtoro dan gamal, lebih banyak
sehingga proses dekomposisi berlangsung lebih intensif (Johanna, 2016).
Rayap dan serangga di bawah tanah yang banyak hidup di ruang tumbuh lamtaro
dan gamal menjadi pengurai serasah, yang mempercepat ketersediaan unsur hara serta
mengundang burung dan ayam liar untuk hidup di ruang tumbuh lamtoro dan gamal.
Setelah 20 tahun, hutan awal akhirnya mulai terbentuk di lahan kritis Wanagama,
berkat tanaman lamtoro dan gamal. Lapisan humus dan serasah dari tanaman lamtoro
dan gamal yang tebal, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi jenis pohon perintis
seperti Ki Putri (Podocarpus neriifolius), kayu putih (Melaleuca leucadendra),
Cendana (Santalum album), dan Sonokeling (Dalbergia latifolia). Sejak awal, jenis
pohon-pohon tersebut juga ditanam di blok lahan Wanagama yang memiliki sedikit
tanah (Johanna, 2016).
Selain tanaman, Wanagama juga memiliki Rusa Jawa (Rusa timorensis) dan
menjadi tempat pelestarian Rusa Jawa. Pelestarian ini ditujukan untuk meningkatkan
populasi Rusa Jawa yang dulu sempat ada di Wanagama namun kini mulai punah.
Pada tahun 2013, berdasarkan penelitian Fikri (2013) ditemukan rusa sebanyak
5 ekor. Hasil ini tidak sepenuhnya benar karena beberapa warga berpendapat bahwa
mereka melihat segerombolan rusa di kawasan Wanagama. Berdasarkan penelitian
Fikri (2013) menunjukkan bahwa kerapatan semak dan tumbuhan bawah yang dimiliki
Wanagama tinggi. Kerapatan vegetasi berkaitan erat dengan kemudahan penglihatan
pemangsa dan mangsanya. Semakin padat dan rapat vegetasi di suatu kawasan, maka
kemungkinan rusa untuk terlihat dari pemangsa akan semakin kecil.
Nugraha, S., dkk. 2006. Potensi dan Tingkat Kerusakan Sumberdaya Lahan di Daerah
Aliran Sungai Samin Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo Propinsi
Jawa Tengah Tahun 2006. Laporan Penelitian. LPPM UNS. Surakarta.
Johanna Ernawati. 2016. Jejak Hijau Wanagama. Yogyakarta. Gajah Mada University.
UU RI No 26 Tahun 2007
LAMPIRAN