Anda di halaman 1dari 7

ADAPTASI MANUSIA DALAM BERLADANG DAN BERSAWAH

(MASYARAKAT SUNDA)
EKOLOGI MANUSIA

KELOMPOK 3












JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PDJADJARAN
JATINANGOR
2014


Adaptasi
Adaptasi adalah kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik.
o Macam-Macam Adaptasi
1. Adaptasi Morfologi
Adaptasi morfologi adalah penyesuaian pada organ tubuh yang disesuaikan
dengan kebutuhan organisme hidup. Misalnya seperti gigi singa, harimau, citah,
macan, dan sebagainya yang runcing dan tajam untuk makan daging. Sedangkan
pada gigi sapi, kambing, kerbau, biri-biri, domba dan lain sebagainya tidak
runcing dan tajam karena giginya lebih banyak dipakai untuk memotong rumput
atau daun dan mengunyah makanan.
2. Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian yang dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar yang menyebabkan adanya penyesuaian pada alat-alat tubuh untuk
mempertahankan hidup dengan baik. Contoh adapatasi fisiologis adalah seperti
pada binatang / hewan onta yang punya kantung air di punuknya untuk
menyimpan air agar tahan tidak minum di padang pasir dalam jangka waktu yang
lama serta pada anjing laut yang memiliki lapisan lemak yang tebal untuk
bertahan di daerah dingin.
3. Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku adalah penyesuaian mahkluk hidup pada tingkah laku /
perilaku terhadap lingkungannya seperti pada binatang bunglon yang dapat
berubah warna kulit sesuai dengan warna yang ada di lingkungan sekitarnya
dengan tujuan untuk menyembunyikan diri.

Berladang / Ngahuma
Ngahuma (berladang) adalah suatu sistem/pola pertanian yang mengubah hutan
alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang
direncanakan. Proses itu berlangsung secara perputaran (siklus).
Ngahuma dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuhnya tanaman.
Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda sebagai masyarakat pedalaman telah
mengenal sistem ngahuma sejak beberapa abad yang lampau, paling tidak sejak jaman
neolitikum.Oleh karena itu masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah masyarakat
peladang.
Berladang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang
tidak dipisahkan dari tata ruang kawasan bermukim dan perlu diatur serta direncanakan
dengan perhatian terhadap kekuatan alam yang ada. Jadi, dengan sistem pengelolaan tata


ruang lokal yang bijaksana, kawasan hutan lebat milik masyarakat adat Sunda akan
terpelihara cukup baik dan harmonis dengan kehidupan masyarakat yang bergantung
dengan kegiatan ngahuma.
Secara umum, kegiatan berladang dapat dikelompokan menjadi 5 tahap, yang dalam
setiap tahapannya selalu disertai dengan upacara selamatan agar usaha pertanian tidak
mengalami gangguan atau serangan hama.
1) Pembukaan area hutan yang akan digunakan sebagai ladang dengan cara
membersihkan semak belukarnya. Dalam masyarakat Sunda pekerjaan ini disebut
dengan istilahn yacar. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh lelaki dewasa dengan
menggunakan alat antara lain golok dan parang.
2) Pemotongan pohon besar dengan menggunakan kapak patik, atau bali ung (sejenis
kapak besar). Selanjutnya, dilakukan pembakaran sisa ranting kayu dan area hutan
yang sudah ditebang untuk mempercepat proses pembusukan sekaligus
mengarahkan zat nutrisi tanah (berupa abu hutan yang sudah dibakar) pada
tanaman penghasil pangan yang sudah dipilih, sehingga sempurnanya proses
pembakaran menjadi penting untuk menentukan hasil panen kelak. Setelah dibakar,
biasanya lahan tidak langsung digarap, tetapi dibiarkan beberapa waktu hingga
tanah menjadi dingin.
3) Penanaman benih berupa tanaman biji-bijian dan padi-padian. Di tanah Sunda,
pekerjaan ini dikenal dengan istilah ngaseuk, dengan cara melubangi tanah untuk
menanam benih dengan aseuk (alat berupa tongkat kayu dengan panjang kira-kira
1.5meter dan ujung yang dibuat agak runcing). Kegiatan ini dilakukan oleh lelaki dan
wanita. Tanaman yang ditanam selain jenis biji-bijian dan padi-padian, ditanam pula
kacang-kacangan dan jagung. Di Banten bahkan pahuma biasanya menanam pula
tanaman keras seperti kelapa dan buah-buahan.
4) Pekerjaan ngoyos atau menyiangi lahan dari rumput-rumputan yang tumbuh di
sekitar tanaman ketika menunggu masa panen selama 3-4 bulan kemudian. Pada
awalnya, pahuma hanya menggunakan tangan saja ketika menyiangi rumput, namun
setelah ada perkembangan alat berupa cangkul dan kored (cangkul kecil), maka
pahuma menggunakan alat dalam ngaseuk dan ngoyos.
5) Masa panen. Pekerjaan panen biasanya dilakukan oleh para wanita secara gotong
royong, sedangkan lelaki bertugas mengangkut hasil panen ke rumah masing-
masing. Areal huma dalam masyarakat tradisional Sunda biasanya diolah selama satu
hingga tiga tahun. Setelah itu ladang dibiarkan menjadi hutan kembali. Dalam proses
menghutankan ladang, terdapat beberapa istilah, yaitu reuma dan leuweung. Reuma
adalah tanah huma yang dibiarkan beberapa lama dan sudah ditumbuhi dengan
semak belukar, sedangkan huma yang telah kembali menjadi hutan yang penuh
dengan proses penanaman pepohonan disebut sebagai leuweung.



Pembukaan huma baru biasanya memerlukan waktu selama satu tahun setelah
leuweung menjadi areal yang lebih subur. Proses tenggat waktu tersebut biasanya disebut
dengan ngajmi, sedangkan proses pembukaan reuma menjadi huma biasanya disebut
dengan ngareuma.
Sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat, pada satu sisi, dan
berkembangnya pengetahuan manusia mengenai bercocok tanam, pada sisi lain, di daerah
Jawa Barat, kecuali di Baduy, sistem ngahuma berangsur-angsur ditinggalkan. Sistem
ngahuma berubah menjadi sistem pertanian sawah dan/atau tumpang sari. Pada abad ke 17
hingga 18, terjadi perubahan drastis dalam sistem pertanian masyarakat Jawa Barat dari
pola berladang menjadi sistem pertanian sawah.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor masuknya pengaruh budaya Jawa (Mataram) ke daerah
Priangan yang sejalan dengan pengaruh politik Mataram di daerah Galuh pada abad ke 16
dan di daerah Priangan di luar Galuh pada abad ke 17. Masuknya orang Mataram ke daerah
Priangan membawa pergeseran budaya sawah ke areal ngahuma. VOC yang berangsur-
angsur mulai menguasai wilayah Jawa Barat juga memerintahkan penanaman komoditas
kopi untuk diekspor, sehingga mengubah pola hidup masyarakat ngahuma.Sejak saat itu,
pola pertanian ngahuma mulai ditinggalkan dengan pengaruh berkurangnya kesuburan
tanah karena sistem pengelolaan huma yang kurang tepat.
Kurang mendalamnya penurunan pengetahuan tentang ngahuma yang baik dan benar
menyebabkan kini terjadi cara pengolahan tanah yang kurang baik atau terlalu cepat dalam
mengolah lahan kembali hingga menyebabkan menurunnya kondisi ekologis lahan. Areal
huma yang gagal kemudian digunakan untuk program penghijauan (reboisasi) dan bahkan
juga berubah fungsi menjadi areal pemukiman baru.

Bersawah / Nyawah
Dalam naskah carita Parahyangan, hanya dijumpai satu kata sawah dalam
rangkaian kalimat sawah tampian dalem, yang berarti tempat dipusarakannya ratu
dewata. Selebihnya naskah tersebut hanya menceritakan kehidupan dan situasi masyarakat
peladang. Dr. Kusnaka Adimihardja menjelaskan bahwa bentuk mata pencaharian
masyarakat Sunda bermula dari kegiatan berladang atau ngahuma, baru kemudian
bersawah.
o Tahapan Pengolahan Nyawah Di Masyarakat Sunda
Teknik nyawah yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang
sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari awal, yaitu sejak dilakukan tebar
sampai dibuat.



1) Persemaian
Cara membuat persemaian di masyarakat sunda
a. Tanah dibersihkan dari rumput sisa -sisa jarami(jerami) yang masih
tertinggal, agar tidak mengganggu pertumbuhan binih (bibit),
b. Tanah dibajak atau dipacul (dicangkul)
c. Ngagaru (tanah digaru)
d. Tebar yaitu penaburan benih
e. Babut (pencabutan bibit).

2) Pengolahan dan Penanamam
a. Magawe (membajak sawah)
b. Macul (nyangkul)
c. Ngagaru (menggaru)
d. Tandur (menanam benih padi)
e. Ngagemuk (mupuk)
f. Ngarambet (membersihkan rumput yang ada disekitar sawah)
g. Dibuat (panen)

Upacara yang Terkait dengan Pertanian
Orang Sunda awalnya dikenal sebagai orang yang hidup nomaden atauberpindah-
pindah. Itu sebabnya sebagian besar dari mereka bertani dengan cara berhuma. Menurut
sejarawan Nina Herlina Lubis, kehidupan bersawah dikenal sejak tahun 1828 saat Sultan
Agung dari Kerajaan Mataram memerintahkan pasukannya menyerang Batavia. Untuk
persediaan logistik, mereka membuka sawah di daerah Karawang.Sebelumnya, pada tahun
1820 Sunda sudah menyerah kepada Mataram.
Persawahan juga diperkenalkan orang Jawa pada sekitar tahun 1800-an di wilayah
Serang, Banten. Serang sendiri berarti sawah. Sejak masih berhuma, masyarakat Sunda
sudah memiliki berbagai upacara yang terkait dengan pertanian.Upacara dilakukan untuk
menghormati alam yang telah mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Khusus untuk padi,
sebagai bahan makanan pokok, orang Sunda menghormatinya dengan nama Nyi Pohaci atau
Dewi Sri agar menghasilkan padi dan bibit yang berkualitas.
Begitu hormat dan besarnya harapan para petani agar kualitas padi yang dihasilkan
baik dan masyarakat di desanya tak kelaparan karena gagal panen, petani di berbagai
daerah di Priangan memiliki berbagai upacara, mulai dari mau menanam padi hingga
memanen dan memasukkan padi ke lumbung.


Saat ini kultur pertanian memang mengendur di Tatar Sunda. Banyak petani tak lagi
melakukan upacara karena sistem pertaniannya pun sudah berubah.Di masa lalu, petani
menanam padi dari bibit di lumbung mereka.
Biasanya bibit padi adalah bibit unggulan dari hasil tani tahun lalu.Padahal, dahulu
untuk mengambil dan memilih padi unggul saja ada upacaranya.Sekarang petani lebih
banyak membeli benih di pasar.Dulu petani menanam padi berusia enam bulan.Upacara
menanam hingga memanen dihitung dengan patokan masa tanam berdasarkan kalender
Sunda yang dipercaya masyarakat.Kini dengan bibit yang berbeda, masa tanam pun
berubah.
Akibat begitu kentalnya kultur pertanian di masa lalu, berbagai aspek kehidupan ikut
terpengaruh. Setidaknya simbol-simbol pertanian juga menjadi simbol kehidupan. Misalnya,
pada saat proses pernikahan, alu (penumbuk padi) dijadikan simbol yang melambangkan
laki-laki, dan lesung (wadah dari kayu dengan lubang untuk menumbuk padi) menjadi simbol
perempuan.




















DAFTAR PUSTAKA

http://www.organisasi.org/1970/01/macam-jenis-adaptasi-makhluk-hidup-morfologi-
fisiologi-dan-tingkah-laku-untuk-menyesuaikan-diri.html

http://tristianti.wordpress.com/2011/06/17/5/

Anda mungkin juga menyukai