Anda di halaman 1dari 14

SISTEM PERTANIAN MENURUT TEKS SRI PURANA

TATTWA

I Putu Aditya Wiradana Putra

adityawiradana19@gmail.com

ABSTRAK

Sektor pertanian di Bali semkain tidak populer bagi generasi muda. Kondisi
tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan bahan pangan yang semakin
meningkat dan daya tarik wisata Bali berupa lahan persawahan yang asri. Tradisi
pertanian Hindu menjadikan profesi petani tidak hanya sebagai sumber
penghasilan namun juga sebagai media pelestarian alam lingkungan melalui
ajaran lontar Sri Purana Tattwa yang dimana di dalam lontar tersebut terdapat tata
cara penanaman padi dan ritual-ritual keagamaan yang harus dijalankan
serangkaian dengan penanaman padi. Lontar Sri Purana Tattwa memaparkan
ajaran eko-teologi Hindu melalui konsep ketuhanan, ritual, etika dan mitologi.
Tuhan diwujudkan sebagai Saguna Brahman yaitu dewa dewi yang menguasai
berbagai aspek alam. Dewa utama yang dipuja adalah Dewi Sri sebagai penguasa
padi dan kesejahteraan. Praktik ritual dilaksanakan secara masif dan etika dalam
bertani dijunjung tinggi. Melalui pemahaman terhadap ajaran teo-ekologi Hindu
diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat hindu terhadap sektor
pertanian dan menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan hidup.

Kata Kunci : Lontar Sri Purana Tattwa, Pertanian, Lingkungan


I. PENDAHULUAN
Awal dan akhir suatu kehidupan adalah pertanian atau tanaman (plants; Ricklefs,
1979). Kita ketahui bahwa keseimbangan alam merupakan lingkungan kehidupan atau
segala isi bumi dan langit yang berada dalam kondisi atau keadaan seimbang.
Keseimbangan alam ini sangatlah berdampak pada dunia pertanian. Indonesia
merupakan negara pertanian di mana pertanian memegang peranan penting dari
keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk
atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian dan produk nasional
yang berasal dari pertanian (Mubyarto, 1989). Sektor pertanian sangat rentan terhadap
perubahan iklim karena berpengaruh terhadap pola tanam, waktu tanam, produksi, dan
kualitas hasil (Nurdin, 2011).
Iklim erat hubungannya dengan perubahan cuaca dan pemanasan global dapat
menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen (Suberjo, 2009). Perubahan iklim
merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan berubahnya pola iklim dunia yang
mengakibatkan fenomena cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim terjadi karena
adanya perubahan variabel iklim, seperti suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara
terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2004). Perubahan iklim juga dipengaruhi oleh kondisi
cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi
badai, suhu udara yang ekstrim, serta arah angin yang berubah drastis (Ratnaningayu,
2013). Penurunan intensitas hujan merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim.
Menurut studi yang dilakukan oleh Angles, dkk., (2011) menyebutkan bahwa
berkurangnya intensitas hujan adalah alasan terbesar dari penurunan hasil panen petani
di lahan kering di Dharmaputri, India. Penurunan hasil panen tersebut menyebabkan
penurunan pendapatan para petani. Penurunan pendapatan petani tersebut merupakan
dampak jangka pendek, sedangkan dampak jangka panjangnya adalah berakhirnya
profesi petani lahan kering (off farm employment).
Dunia pertanian khususnya di Indonesia sangat bergantung pada keseimbangan
alam. Mengapa seperti itu, dikarenakan sistem pertanian di Indonesia masih
menggunakan sistem tradisional contohnya di Bali dengan sistem irigasi (pengairannya)
yang disebut dengan sistem Subak. Subak itu sendiri merupakan organisasi masyarakat
di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis, dan dinamis yang secara historis
telah ada sejak dahulu kala dan berkembang terus-menerus sebagai organisasi sistem
irigasi (pengairan) untuk persawahan dari suatu sumber air di suatu daerah (Tim, 2004).
Subak memiliki konsep dasar Tri Hita Karana. Secara etimologis Tri Hita
Karana berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu Tri yang berarti tiga, Hita yang artinya
bahagia, dan Karana berarti penyebab. Jadi, Tri Hita Karana merupakan tiga penyebab
kebahagiaan (Yoniartini, 2020:10) Tri Hita Karana merupakan konsep yang
mengajarkan tentang hubungan harmonis yang perlu dibina dalam kehidupan agar
senantiasa memperoleh kedamaian didunia, konsep ini masih dipegang teguh oleh
masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Tri Hita Karana sendiri terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan
Palemahan. Parahyangan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa, Pawongan adalah hubungan harmonis antar sesama umat manusia, dan
Palemahan adalah hubungan harmonis dengan lingkungan. Tiga bagian dari Tri Hita
Karana ini merupakan hal pokok yang menjadi penyebab hubungan yang harmonis
dalam kehidupan manusia.
Ekologi merupakan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan.
(Candra,dkk, 2019:114) Pengertian tersebut mengidikasikan bahwa perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh terhadap lingkungan itu sendiri.
Lingkungan yang berkembang dan mengalami perubahan juga akan membuat perubahan
terhadap kehidupan manusia. Hal ini dapat dilihat dari evolusi yang dialami oleh
manusia, dimulai dari manusia yang kehidupannya hanya berburu dan meramu,
kemudian berkembang menjadi masyarakat agraris, kemudian berkembang menjadi
masyarakat industrial dan pasca-industrial atau dengan kata lain peralihan dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat yang modern.
II. PEMBAHASAN

2.1. Tahap Persiapan Menanam Padi

Persiapan Lahan dan Pengelolaan Lahan

Ada beberapa puja mantra pada saat mempersembahkan ritual pertanian sesuai
petunjuk Lontar Sri Purana Tattwa. Salah satunya adalah puja mantra
mempersembahkan sesajen pengenteg pada awal menanam padi:
Pakulun Sanghyang Raditya, wulan wintang tranghana Nguni weh Sang Hyang
Sesuhunan, Dalem Cakenan, Nguni Weh Sanghyang Anantoboga sor ring
Perthiwi pamuputne ran jahat paduka Bhatara Uma, jumeneng ring ring sawah
manusan pakulun mayoga hamacut hamecut ring sawah anandur phala bungkah,
pala gantung, pari gagawija tinanem, pangesti manusan Bhatara, hangaturakna
sarining banten pangerasaken, enak phaduka Bhatara amukti
Terjemahannya:
Yang Mulia Sang Hyang Akasa (Dewa Langit), Shang Hyang Raditya (Dewa
Matahari), Bulan, Bintang, demikian pula Sanghyang Rambut Besakih Yang
Mulia, beserta Yang Terhormat Ratu Dalem Sakenan dan Sanghyang Anantaboga,
yang bertahta di bawah tanah, Ratu Pemuteran Jagat, Paduka Bhatari Uma,
sudilah bertahta di sawah hamba manusiamu melakukan yoga, memberikan
rahmat pekerja-pekerja di sawah menanam umbi-umbian, buahbuahan, pemujaan-
pemujaan, hamba Bhatara mempersembahkan sesarinya Bhatara menikmati (Tim,
2004).
Mantra tersebut menjalaskan bahwa dalam kegiatan pertanian melibatkan berbagai
manfestasi Tuhan sebagai penguasa aspek alam. Walaupun dinyatakan bahwa Bhatari
Uma yang bertahta dan berkuasa di sawah, namun keterlibatan dewa lainnya dalam
proses pertanian juga signifikan. Lontar Dharama Pemacul juga menjelaskan keterlibatan
berbagai dewa dalam aktifitas pertanian di Bali yaitu Dewi Sri, Dewa Wisnu, Dewa
Sangkara, Dewa Indra, Dewi Uma, dan Dewi Pertiwi (Gautama, 2005). Lontar Sri
Purana Tattwa menyatakan bahwa Bhatari Uma sebagai pemilik otoritas tertinggi
terhadap segala sesuatu yang ada dan terjadi di sawah. Beliau menjaga semua makhluk
di dalam ekosistem sawah, para petani yang bekerja, unsur alam yang terlibat, dan semua
poses interaksi yang berlangsung di areal sawah. Setiap elemen alam memiliki kontribusi
masing-masing dalam menumbuhkan dan menjaga tanaman. Dewa Surya menyinari
tanaman melalui matahari, Sang Anantaboga menyediakan tanah yang subur, beserta
para dewa lainnya memberikan anugrah pada kehidupan manusia. Sebaliknya manusia
merawat alam melalui yajña. Kombinasi tersebut merupakan hubungan timbal balik yang
harmonis dalam suatu sistem ekologi sawah.
Lahan yang akan digunakan untuk pertanaman harus diperiksa sejarah lapangan
terlebih dahulu. Hal ini dimaksud untuk menghindari kemungkinan terjadinya
percampuran dengan tanaman/varietas lain. Pengolahan lahan untuk produksi benih padi
dibedakan tiga fase, yaitu:
1. Penggenangan tanah sampai tahap jenuh air.
2. Pembajakan tanah untuk memecah bongkahan dan sekaligus membalikan tanah.
3. Penggaruan untuk menghancurkan tanah dan kemudian dilakukan pelumpuran
dengan air. Setelah  mempelajari dan menerapkan petlap petani mampu dan
terampil melakukan tahapan pengolahan lahan sampai lahan siap untuk ditanami
sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.

Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan merupakan tempat yang baik untuk tanaman sehingga
pengolahan tanah sangat  menentukan keberlanjutan pertumbuhan tanaman padi.
Kegiatan dalam penyiapan lahan ini pada dasarnya meliputi 2 kegiatan yaitu : mengolah
tanah dan menyediakan tempat tanam bibit (pencaplakan).
Pengolahan Lahan
Kegiatan pengolahan tanah yang baik untuk tanaman padi adalah pengolahan
secara sempurna dimulai dari pembajakan I dan II, dilanjutkan dengan penggaruan dan
diakhiri dengan perataan tanah. Namun hal tersebut tergantung pada kondisi tanah sawah
yang ada. Di beberapa lokasi yang kondisi struktur tanahnya ringan, pengolahan tanah
secara sempurna jarang dilakukan dan pada umumnya cukup dibajak satu kali langsung
di ratakan.
Untuk kondisi lahan yang demikian, pengolahan tanah secara sempurna
dianjurkan untuk dilakukan setelah 4 musim tanam. Hal tersebut berguna menghindari
terjadinya pemadatan lapisan tanah dan memberikan perbaikan sirkulasi udara.
Traktor adalah kendaraan yang didesain spesifik untuk keperluan fraksi tinggi
pada kecepatan rendah, atau untuk menarik trailer atau instrumen yang digunakan dalam
pertanian atau konstruksi (Wayback Machine, 2009). Istilah ini umum digunakan untuk
mendefinisikan suatu jenis kendaraan untuk pertanian. Instrumen pertanian umumnya
digerakan dengan menggunakan kendaraan ini, ditarik atau pun didorong dan menjadi
sumber utama mekanisasi pertanian. Istilah umum lainya, “unit traktor”, yang
mendefinisikan kendaraan truk semi trailer. Kata traktor diambil dari bahasa latin,
trahere yang berarti “menarik”.
Traktor dapat digunakan sebagai sumber tenaga untuk menunjang operasi
pertanian yang efektif, baik tenaga, waktu maupun biaya, sehingga dapat menigkatkan
kapasitas kerja, mengurangi biaya produksi, meningkatkan hasil pertanian serta
mengurangi kelelahan dan kebosanan dalam bekerja.
Awalnya dipakai untuk mempersingkat penjelasan “suatu mesin atau kendaraan
yang menarik gerbang atau bajak, untuk menggantikan istilah  “mesin penarik”
(trakction engine). Di Inggris, Irlandia, Australia, India, Spanyol, Argentina, dan Jerman,
kata “traktor” umumnya berarti “traktor pertanian”, dan penggunaan kata traktor yang
merujuk pada jenis kendaraan lain sangat jarang (Wayback Machine, 2009). Intrumen
pertanian bermesin pertama adalah mesin uap portabel di tahun 1800an, yaitu mesin uap
yang bisa digunakan untuk mengendalikan instrument mekanis pertanian. Sekitar tahun
1850, mesin penarik dikembangkan dari mesin tersebut, dan digunakan secara luas
dipertanian. Traktor pertama adalah mesin bajak bermesin uap.Traktor  bisa diklasifikan
sebagai two wheel drive, atau track tractor. Traktor, kecuali trak tracktor umumnya
memiliki 4 roda dengan dua roda yang lebih besar dibelakang atau keempat roda sama
besar.
Track traktor memiliki penggerak seperti tank yang membuatnya mampu
bergerak diberbagai medan. Karena traksinya yang sangat hebat, tracktor menjadi
popular di California pada tahun 1930-an. Traktor pada awalnya menggunakan mesin
uap. Pada awal abad utama sumber tenaga traktor. Antara tahun 1900 hingga 1960,
bensin menjadi bahan bakar utama, dan minyak tanah dan etanol sebagai alternatif bahan
bakar. Kebanyakan traktor tua memakai transmisi manual. Traktor jenis ini memiliki
beberapa rasio kecepatan tinggi umumnya 3 hingga 6. Kecepatan rendah umumnya
dipakai di lahan pertanian sedangkan kecepatan tinggi dipakai dijalan. Tenaga yang
diproduksi oleh mesin harus ditransmisikan keperalatan yang diimplementasikan ke
traktor untuk melakukan pekerjaan yang dibutuhkan (menanam, memanen, membajak,
dan sebagainya). Hal ini bisa dicapai dengan drawbar atau sistem sambungan.
2.2 Tahap Inti Penanaman Padi
Mulai Bekerja (ngendag) di Sawah
Pada waktu mulai bekerja di sawah (ngendag), menghaturkan upakara di sawah
berupa: Canang gantal I (satu) tanding, Segehan 1 (astu) tanding berisi bawang jahe.
Mantra: Om Bhatari Sri aja pegat guru CRI, CRI wastu swaha. Setelah itu barulah
mencangkul tiga kali di tengah-tengah tempat pengambilan air (pengalapan), serta tidak
boleh berpapasan dengan panenagan yang akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Setelah Ngendag sebaiknya pulang dan tidak lanjut bekerja di sawah pada hari itu dan
bila hal ini tidak dipatuhi akan mengakibatkan padi rusak diserang hama (Katiban sasab
Marana). Terdapat pada teks Sri Purana Tattwa yaitu sangsi yang diberikan kepada
manusia yang tidak menjaga perilakunya di sawah dalam Lontar Sri Purana Tattwa
adalah sebagai berikut:
Halaning muah mangkane katemah deling Sang Hyang Ibu Pertiwi, Sang Hyang
Kala Dasa Bumi, durung polih uponnya gelisang ketemen gring wang ika. Ikan
kalingkang, ajemuring linggah muang mati tinggismacane iwa angamek ring
sawahnya gala dahat magawe duka nira Bhatari Cri. Uma Dewi reh.
Terjemahannya: Dosanya orang yang begitu adalah: dikutuk oleh Sanghyang Ibu
Pertiwi, Sanghyang kala Dasa Bhumi, sebelum mendapatkan hasil namun
terlebih dahulu ditimpa penyakit orang itu, diperhatikan jangan melanggar ajaran
sastra (Agama) dan juga ialah benda bekas kematian (Tim, 2004)
Maka dari itu kita harus mematuhi pantangan di dalam proses bertani dan
menjaga prilaku pada saat berada di sawah agar dapat menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan pada saat proses bertani. Disiplin kerja, ialah suatu sikap yang menghargai,
menghormati, taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam bekerja,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis (Sastrohadiwiryo, 2003).
Mulai Menanam Benih (Mawinih Muang Ngurit Pari)
Pada waktu mulai membuat bibit maka padi yang akan dijadikan bibit itu terlebih
dahulu supaya diperciki dengan air cendana dan air kumkuman serta diaturi canang
Kojongan, di samping sawen menanam kunyit keladi di muka tempat pembibitan itu.
Mantra:
Om Indah ta kita Sri weruh ulun katatwanta, yana liring paksa pati kiti puti
sakeng swarga sangkata ulun angukuhin anak betara Rakkryaning Medang,
kinon ira umapag gatinin rikiti.Om Cri Cri namah swaha.
Selanjutnya setelah hari pembibitan itu dan kemudian menemukan hari -hari yang
baik (dewasa hayu) misalnya Anggara Keliwon, Rebo Kliwon dan Tumpek, patut
menghaturkan bubur suci tiga takir di tempat pembibitan itu dengan mantram:
Pukulun Sang Hyang Naga Angelinggihan bumi petala muwah sira angisii sarwa
tumbutuh ulun akon angudurakene hala hali sakweh amigraha, sakwehing
wigena swaha. (Tim, 2004)
Tata Cara Menanam Padi (Pidartan Nandur Pari)
Pada waktu akan menanam padi biasanya dicari hari yang bertepatan dengan hari
mitranya orang yang mengerjakan sawah itu dan juga menurut perhitungan Panca
Waranya. Adapun upakaranya seperti tersebut di bawah ini :
Jika pada hari Umanis upakaranya terdiri dari canang gantal dua tanding ditaruh
di sanggar (di atas ) dipersembahkan Kepada Sang Hyang Surya dan Bedugul,
Caru di bawah terdiri dari segehan putih dengan lele metambus,sambe/
kutub,sambel sesaur dan semuanya dipersembahkan kepada Sang kala Desa. Jika
pada hari Paing upakaranya terdiri dari canang gantal dua tanding
dipersembahkan kepada Sang Hyang Surya dan Bedugul, carunya di bawah
terdiri dari bubur bang, ayam panggang, sambel mica yang kesemuanya
dipersembahkan kepada Sang Hyang Kala Mertiu. Jika pada hari Pon upakaranya
terdiri dari canang gantal dua tanding, dipersembahkan seperti di atas dan caru
terdiri dari segehan kuning, ikan dipanggang, gerangasem, jajan gegodoh tumpi,
abug yang kesemuanya itu dipersembahkan kepada Sang Hyang Kala Gena. Jika
pada hari Wage upakaranya terdiri dari canang gantal dua tanding
dipersembahkan seperti di atas caru segehan ireng, ikan dipanggang, diisi santen
sayur pecel, sambal isen dipersembahkan kepada Sang Kala Lupya. Jika pada
hari kliwon upakaranya terdiri dari canang gantal dua tanding, dipersembahkan
seperti diatas dan caru segehan manca warna, kakul dipanggang, sayur jejeruk,
sambel yang kesemuanya dipersembahkan kepada Sang Kala Moha. Selanjutnya
setelah melaksanakan upacara yadnya tadi barulah boleh menginjak kaki ke
tengah sawah akan menanam padi sesuai dengan padum lumbung dengan
menghadap ke arah dan membawa benih 45 batang, serta menanam padi dengan
perhitungan dan mantra seperti di bawah ini :
"Om padma yoni yanamah, Om Cri anambat guru, Cri wastu, Cri namah
swaha".
Kemudian baru menanam seperti contoh sebagai berikut permulaanya mulai dari:
1. Ditengah-tengah (ring madia)
2. Di tanam di barat laut (ring kaja kauh)
3. Di tanam di timur laut (ring Kaja Kangin)
4. Ditanam di Barat (ring kauh)
5. Ditanam di Selatan (ring kelod)
6. Ditanam di Barat daya (ring kelod kauh)
7. Ditanam di Utara (ring kaja)
8. Di tanam di Timur (ring Kangin)
9. Di tanam ditenggara (ring kelod Kangin)
Dan setelah itu dilanjutkan sebagaimana mestinya (Tim, 2004).
Mabuihin (Penyampin Bulih / Benih)

Sesudah selesai menanam lalu membuat upakara yang disebut : penyampin bulih
terdiri dari:
Suyuk 5, canang satu tanding, bija kuning, gegantungan, jerimpen daging ayam
dipanggang, penseneng, dan segehan cacahan berisi bawang jahe.
Mantra:
Om insun anembah bhatari Isteri, Ingsun amersihin, kayu purwa saboga
ring awak sariranku, Om Brahma Kang tinanem, Wisnu kang. tinanem,
Iswara kang tumuh.
Sesudah selesai mengucapkan mantra tersebut lalu suyuk-suyuk itu ditanam
masing-masing disebelah timur, selatan, barat, utara, dan di tengah-tengah batas
persawahan sebagai simbul pangraksa tanam-tanaman di sawah. Adapun mantra
menanam suyuk-suyuk itu sebagai berikut :
Om Bhatari Pretiwi mangelikaranning Sang Hyang Naga, Sang Mati Kanumbah.
Kekambuhan (Waktu Bulanan Tanaman Padi)
Setelah tananam padi berumur satu bulan tujuh hari atau tutuk kambuhan ( 42
hari) dan setiap umur padi bertambah 1 bulan, menghaturkan upakara yadnya di sawah
yang terdiri dari:
Ketipat nasi akelan, taluh bekasem, pencok kacang, canang 1 tanding, segehan, 1
kepel berisi bawang jahe.
Mantra:
Om Sang naga Raja Ulun ananem Cri, denkadi angganira aneng samudra
angelikering sapta petala, mangkana cani Bhatara so tumuhuhin sawah, metu
ibek mumbul.
Sesudah Membersihkan Sawah (Wusan Mejukut)
Setelah selesai membersihkan tanaman padi/sawah atau mejukut lalu
menghaturkan upakara yadnya di sawah teriri dari : Canang, daksina, ketipat kelanan,
tektek kampuh, baas sokan penyeneng, segehan nasi kepelan 1 berisi bawang jahe.
Mantra:
Om Cri Bhatari Cri teka Cri Werdhi ya namah swaha, paran arancki,tumuwuh
ring telaga lor ador lor, adoh kidul, dukut siwarane, Sang Gandayana, Sang
Gandayani, Om Sira Bhatari sakawetan sangkan ira, teka saking Khayangan
nira, teka mubug anyoleran (Tim, 2004).
Setelah Padi Tumbuh Baik ( Pengatapan Pari)
Apabila tanaman padi tersebut sudah tumbuh dengan baik atau ngatapan, patut
mengadakan upakara yadnya yang disebut "Pengisehan" yang terdiri dari:
Canang dan Ketipat kelanan di sanggar yang dipersembahkan kepada Sang
Hyang Surya, Bhatara di Gunung Agung Bhatara di Bedugul.
Sorohan, peras, lis, penyeneng, pekramasan, minyak wangi, solasan, sama-sama
1 takir dijadikan satu tempat yang disebut Peduk, rantasan putih kuning, segehan
putih kuning dengan lauk kuning telur semuanya dipersembahkan kepada
Bhatara Cri.
Mantra: Om mangirut-irut tanamku tiwa, mangumpul tanganku tengen,
angumpulaken pering ring jagat bhuwana kabeh, apan Naga sawahing
ulun, pakumpulan ining Cri kabeh, Or Cri mandel, Om Sira Bhatari
Cri Lor wetan, akumpul sira ring madya, sira bhatari Lor kulon
akumpul sira ring madya, ring Gaga sawah ingulun, pakumpulaning
Cri kabeh, den kadi tan luwanganin bhatar ring Gangga, cinibuk
tanpa long Cri Numbul, werdhi om Cri kumpul, Cri teltel, Cri wetan,
Cri kidul, Cri kulun, Cri lor, akumpula ring gaga sawahing ingulun,
om cri teka kinurunaken hyang-hyanging Cri (Tim, 2004)
2.3 Tahap Akhir Penanaman Padi (Tahap Panen)

Mekukungan Pari (Padi Telah Tua)


Apabila padi telah tua atau berumur tiga bulan, patut mengadakan upakara
yadnya Mabyakukung yang upakaranya terdiri dari aturan : canang, daksina, ketipat,
jerimpen di wakul 1, kukungan, cawu gede 1, persembahkan kepada Dewi Cri, cawu alit
4 tanding, persembahkan kepada Bhatara Surya, Bhatara di Gunung Agung, Bhatara di
Bedugul dan kepada sedahan carik berupa upakara takilan, ketipat kukur, daging, burung
petingan, tabuan, subatah, dan sudang-sudang yang kesemuanya di goreng (termasuk
upakara utama). Upacara nista, betutu ayam sebulu-bulu, takilan berisi sabut pada pucak
lidi 11 batang, dengan sawen (tanda) kayu dapdap 3 batang yang semua ini merupakan
upakara untuk Rare Anggon. Mantra:
Om Eka adnyana dwi urip, panca pramana duking dukut, hana kaputusan dwara
silyar, hayu tang urip, om Sa, Ba, Ta, A, I, namah Ciwaya.
Caru Sebelum Memotong Padi

Sebelum memotong padi patut mempersembahkan upakara caru di bawah:

Sanggar penanduran yang terdiri dari bebantenan jaja kukus maunti, pisang sasih
nasak, beras bang putih kuning pada takir 5 buah yang disuguhkan kepada sedehan Be
Julit dan sedahan Yuyu serta ganjaran berupa segehan takilan, iwak ebat-ebatan, urab
barak putih, semuanya disuguhkan kepada Juru Tumbak dan Segehan Padi untuk
memohon keselamatan kepada Bhuta Kala Dengen.
Menuai Padi (Nyangket Pari)
Pada waktu manyi atau memotong padi patut menghaturkan upakara yadnya yang
terdiri dari:
Canang , ketipat kelanan, rayunan atangkih yang banyaknya sesuai urip dina
(Neptu hari) pads waktu memoyong padi itu, segehan nasi kepel, @awang jahe dan
gegantungan sawen dapdap.
Mantra: Om Cri, Maha Dewi ya namah.

Baru memulai memotong padi dari kanan kekiri seratus delapan batang yang
kemudian dibagi dua, dimana yang sebagian sebanyak lima puluh empat batang dibentuk
dan diwujudkan sebagai wanita, dan sebagian lagi diwujudkan sebagai orang laki-
lakiserta ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak berpapasan dengan Naga
sebagaimana yang diutarakan diutara dalam aji Pengintar Lumnung (Jika berpapasan
akan mengakibatkan keborosan).
Pamendakan Dewaning Pari
Pada waktu akan membawa padi ke lumbung termasuk membawa Bhatara NINI,
patut mengadakan upakara yadnya pamendak yang terdiri : Bebanten raci, mereciman,
reratengan sedah, punjung, rayunan, dan canang 1 tanding, segehan nasi kepel berisi
bawang jahe dipersembahkan kepada Bhatara Nini.
Mantra: Om Cri Lemped Cri Mumbul, Om Cri Mauhan, Om Cri Laba.
Menaikanpadi Ke Lumbung (Ngunggahang Pari)
Setelah padi dinaikan ke lumbung lalu mengadakan upakara yadnya yang disebut
mantenin padi ring lumbung yaitu pada waktu hari baik (rikalaning dewasa ayu), atau
unggahang Sang Crigati mulai bulan enyitan tanggal 1 dengan upakara yadnya terdiri
dari: Cawu mumbul 4. jerimpen penganbyan 1, cawu cri 2, jerimpen tulungsari I,
semuanya berisi ayam panggang, punjung 1, berisi sudang taluh, sorohan, tegteg, peras
lis, sesayut pebersihan, penyeneng, canang ketipat, pekramasan, pesiraman toyo
kumkuman, pewajikan toyo anyar, segehan nasi ireng dengan kakul, penjor, sesawen
tebu, canang dapdap dan gegantungan, semuanya disuguhkan kepada pengikut Bhatari
Nini.
Mantra: Manira mengundang Bhatari cri, uli di jawa inggihan wastu dane ke carik
medandanan, angojog ambun, katuju kelebih, mangojog dane ke carik, idep
manira mengundang Sang Hyang Artha uli Melanting, mangojok ida ke carik,
Ida katurang daksina, tepung tawar kukus harum, Fenyung junge kayu sakti,
Ida Bhatari Mertha Naha Kidul, Ida Bhatara Merti metali kubal, saha Bhasman
ade gan Hyang Cri getih ayam, getih bebek, taler wenang.
Mantra: Om Adi basma wara dewam, aji Bhasma sada Ciwa, suksema Jagatnatem,
sarwa papa wina sanam.
Menurunkan Padi (Nedunang Pari)
Setelah padi selama 3 hari di dalam lumbung, barulah bole menurunkan padi
dengan upakara Yadnya berupa canang, ketipat dan mantra, "Om Cri tumedum ante
mandel", lalu padi itu dapat dikerjakan sampai menjadi beras dan nasi untuk yadnya di
Paibon, Kemulan, kepada Dewata-Dewati serta lungsurannya boleh dimakan oleh
keluarga. Sedangkan gumpang padi yang pertama diturunkan itu dibawa serta dibakar di
sawah dengan sesajen nasi 1 tanding, ikan dan sayur ditambah sambel tingkih seadanya
untuk persembahan kepada Juru Tumbuk yang akan menyebabkan Kala Dengan Asih di
persawahan.
Menyimpan Beras Di Pulu ( Tempat Penyimpanan Beras)
Sebelum beras itu disimpan di Pulu atau di tempat penyimpanan maka beras
tersebut seyogyanya terlebih dahulu diperciki toya (air suci) dengan mantra sebagai
berikut:
Mantra: Om wigna, suka pawitra Namah swaha, Bhatari Cri alaki rabi lawanrambut
sedhana, getting tan pegat, imbuh tanpa elong sinduk tan enti,teka saking tan
hna, Cri mandel, Cri mumbul 3X.
Signifikasi Subak
Secara historis pertanian di Bali telah menjadi bagian dari budaya masyarakat
perdesaan yang bersifat tradisional (little tradition; Redfield, 1989). Budaya tersebut
dapat dilihat dari sistem pertanian di Bali yang menggunakan sistem Subak. Sistem
subak menjadi salah satu kekhasan Provinsi Bali. Sistem pengairan ini menjadi sebentuk
kearifan lokal yang membuat masyarakat petani dapat hidup serasi dengan alam untuk
memperoleh hasil panen optimal. Makanya dari itu kerjasama tim dapat menyebabkan
komunikasi terbina dengan baik; dan juga konsep sinergi (Nasution, 2010:220). Subak
itu bisa lestari karena masyarakat Bali yang masih mempertahankan tradisi Menyama
Braya yang sangat berpengaruh terhadap jalannya kehidupan di Bali. Dapat dikatakan
bahwa pertanian di Bali identik dengan Subak, yang di dalamnya bermuatan pengaturan
terhadap sumber daya terestrial langka (air dan lahan) di satu sisi, dihadapkan pada
kebutuhan masyarakat petani (dalam jumlah relatif besar) untuk melangsungkan
kehidupannya secara bersama bersendikan inti budaya (culture core; Geertz, 1983;
Steward, 1955) Hindu Bali (budaya Banjar) di sisi lain.
Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur
pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak areal persawahan. Sistem ini
dikelola secara berkelompok dan bertingkat disertai pembagian peran yang spesifik bagi
setiap anggotanya. Dalam organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat.
Perangkat-perangkat yang ada dalam subak adalah pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil
pekaseh), penyarikan (juru tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa
lainnya. Selain itu, dikenal adanya sub kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang
disebut munduk dan diketuai seorang pengliman.
Sebagai sistem tradisional pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok
tanam padi di Bali, Subak mengakomodasikan dinamika sosio-teknis masyarakat
setempat (Tim, 2004). Sistem irigasi ini mencakup lahan-lahan di teras pegunungan
untuk mengatur pengairan lahan persawahan. Kontur tanah pegunungan di Bali memang
membuat irigasi sangat sulit, ditambah lagi dengan populasi yang padat. Maka sumber
daya air harus dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, harmoni dan
kebersamaan, didistribusikan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dengan
penggabungan semua unsur-unsur tersebut, petani Bali berhasil mengelola pertanian padi
paling efisien di nusantara. Dilansir dari Historia, keterangan tertulis mengenai praktik
bertani masyarakat Bali kali pertama ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang
bertarikh 882 Çaka (Era Çaka dimulai pada tahun 78 Masehi). Di dalam prasasti itu ada
kata ‘huma’, yang mana kala itu lazim digunakan untuk menyebut ladang berpindah.
Kemudian pada Prasasti Trunyan yang bertarikh 891 Çaka, tertulis kata “serdanu” yang
berarti kepala urusan air danau. Sejarah Subak Bali juga tercatat dalam Prasasti Bebetin
(896 Çaka) dan Prasasti Batuan (1022 Çaka). Pada dua prasasti itu dijelaskan ada
kelompok pekerja khusus sawah di Bali, keahlian mereka adalah membuat terowongan
air. Bukti-bukti arkeologis tersebut menunjukkan masyarakat Bali telah mengenal
sebentuk cara mengelola irigasi pada sekitar abad ke-10. Dalam penyelenggaraan Sistem
Subak, Pengurus Subak berpedoman pada hukum adat yang diwariskan oleh leluhur
mereka. Hukum Adat Subak disusun berdasarkan ajaran Tri Hita Karana, diartikan
sebagai “Tiga hal yang sebabkan kesejahteraan”. Ketiga penyebab kesejahteraan tersebut
adalah hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, hubungan harmonis dengan sesama
manusia, dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.
Masyarakat tradisional Bali merupakan masyarakat agraris, yaitu masyarakat yang
memprioritaskan kehidupan pada sektor pertanian. Hampir disetiap desa memiliki
hamparan persawahan yang luas. Berbagai teknologi pertanian tradisional berkembang
seiring perkembangan masyarakat Bali. Kondisi geografis yang bergelombang
direkayasa dengan teknologi terasering sehingga membentuk hamparan persawahan yang
sangat indah. Berdasarkan sejarah aktivitas pertanian di Bali telah ada dan berkembang
pada tahun 882 masehi. Hal tersebut merujuk pada prasasti Sukawana A1 yang memuat
kata ‘huma’ yang berarti sawah. Selain prasasti tersebut, terdapat pula beberapa prasasti
seperti Prasasti Trunyan, Prasasti Bebetin, prasasti Badung, Prasasti Klungkung, Prasasti
Buwahan, Prasasti Bubug, dan Prasasti Timpag yang ditulis sekitar abad ke-8 sampai ke-
11 memuat berbagai istilah yang berhubungan dengan aktivitas pertanian dan subak di
Bali (Sutawan, 2008).
Subak itu sendiri merupakan organisasi masyarakat di Bali yang bersifat
sosioagraris, religius, ekonomis, dan dinamis yang secara historis telah ada sejak dahulu
kala dan berkembang terus-menerus sebagai organisasi dalam bidang pengaturan air
untuk persawahan dari suatu sumber air di suatu daerah. Walaupun pengaturan pengairan
tersebut sudah ada sejak dahulu kala, namun hakekat pengertian Subak mutlak perlu
disebarluaskan serta dipahami sebaik-baiknya.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Lontar Sri Purana Tattwa merupakan sumber sastra yang memuat tentang praktik
pertanian tradisional Hindu yang berlandaskan sosio-religious. Melalui konsep Teo-
ekologi Hindu, Lontar Sri Purana Tattwa menuntun umat Hindu untuk senantiasa
mengabdikan diri kepada Tuhan melalui aktifitas kerja (karma) dan ritual (bhakti). Petani
adalah pekerjaan yang mulia. Selain secara langsung mengolah alam untuk kesediaan
pangan umat manusia, para petani secara tidak langsung menjaga dan melestarikan alam.
Semua aktifitas pertanian Hindu mulai dari awal mengolah lahan sampai berakhirnya
panen tidak dapat lepas dari ritual. Melalui sarana ritual, para petani berusaha
membangun komunikasi dengan Tuhan dan alam. Ritual dan puja menjadi doa serta
harapan para petani untuk kesejahteraan seluruh penghuni alam.
Dalam Lontar Sri Purana Tattwa juga mengatur tentang subak. Subak merupakan
suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang
mengairi setiap petak areal persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan
bertingkat disertai pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya. Dalam
organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat. Perangkat-perangkat yang ada
dalam subak adalah pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil pekaseh), penyarikan (juru
tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa lainnya. Selain itu, dikenal
adanya sub kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang disebut munduk dan diketuai
seorang pengliman.
Memahami ajaran ekologi Hindu pada Lontar Sri Purana Tattwa diharapkan
dapat mencapai tiga hal yaitu: memperkaya pemahaman ekologi dalam upaya
membangun kehidupan harmonis dengan alam; menggugah hati untuk melestarikan alam
beserta isinya sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan; dan meningkatkan minat
masyarakat pada sektor pertanian. Profesi petani adalah symbol kesederhanaan. Melalui
kehidupan pertanian, ekologi Hindu mengajarkan untuk secara sederhana menciptakan
keharmonisan dalam hidup, sederhana membangun interaksi dengan lingkungan sosial,
dan sederhana dalam mencintai alam beserta kehidupan.

Daftar Pustaka
Candra dkk, (2019). Ekologi adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungan. Bali.
Gautama, W. B. (2005). Dharma Pemacul Tuntunan Para Petani (Menurut Lontar).
Paramita.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Suatu Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
Bhratara Aksara. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Perubahan iklim global. Diakses pada 27 Juli
2014,
dari: http:/climatechange.menlh.go.id.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Nasution, M . N. 2010. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurdin, (2011). Antisipasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan.
Sulawesi Utara: Universitas Negeri Gorontalo
Ratnaningayu. 2009. Dari timor ke krui : bagaimana petani dan nelayan menghadapi
dampak perubahan iklim , Sarasehan iklim , Jakarta, Nopember 2009. Pelangi
Indonesia.
Ricklefs, R.E. 1979. Ecology. Chiron Press Incorporated. New York. Second edition.
Steward, J.H. 1955. Theory of Culture Change: The Methodology of Multi-Linear
Evolution. University of Illinois Press. Urbana
Suberjo, (2009). adaptasi pertanian dalam pemanasan global. Dosen Fakultas
Pertanian UGM Yogyakarta dan Mahasiswa Doktoral The University of Tokyo.
Diakses pada 12 Agustus 2014,
dari: http://subejo.staff.ugm.ac.id/?p=108.
Sastrohadiwiryo. (2003). Disiplin Kerja adalah salah satu sikap menghargai. Jakarta
Sutawan, N. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Pustaka Bali Post.
Tim, P. (2004). Sri Purana Tattwa. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Wayback Machine. (2009). Traktor dan Instrumen Pertanian.   California. USA
Yoniartini, Desak Made. Konsep Tri Hita Karana Bagi Anak Usia Dini. Malang:
Literasi Nusantara. 2020.

Anda mungkin juga menyukai