Anda di halaman 1dari 3

Perayaan dan Makna Hari Raya Saraswati

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hari suci adalah hari yang istimewa, karena pada hari-hari suci tersebut para Dewa beryoga untuk
menyucikan alam semesta beserta isinya. Oleh sebab itu pada hari-hari suci tersebut diyakini oleh umat
Hindu adalah hari yang sangat baik untuk melakukan Yadnya. Beryadnya pada hari-hari suci nilainya
sangat tinggi bila dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Hari suci pula disebut juga Hari Raya karena hari tersebut diperingati dan dirayakan dengan acara khusus
dan istimewa oleh umat Hindu dengan penuh khidmat. Hari suci di Bali sering disebut “Rahinan”.

Hari suci adalah hari yang disucikan dan dikeramatkan yang datangnya diperhitungkan dengan
berdasarkan hari baik yang disebut Wariga dan pedewasaan (dewasa). Wariga atau Dewasa bersumber
dari kitab suci Weda yang disebut Jyotisa(Astronomi dan ilmu perbintangan)

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengetahui Pengertian Hari Raya Saraswati?

2. Mengetahui apa saja Brata Saraswati?

3. Mengetahui proses pelaksanaan Hari Raya Saraswati?

4. Mengetahui simbul-simbul Dewi Saraswati?

5. Mengetahui makna-makna Hari Raya Saraswati?

6. Hari Raya Saraswati Sebagai Media Inisiasi Peningkatan Budaya dan Karakter?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hari Raya Saraswati

1. Arti Kata Saraswati

Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air
yang melimpah menuju danau atau kolam.
2. Sarasvati dalam Veda

Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga
sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan
dengan Sarasvati.

3. Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia

Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five
Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis
naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja
dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten
(persembahan).

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati
diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan.
Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh." Hari raya untuk memuja
Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari
Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan
Saraswati. Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya
dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan
pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam mani-festasinya sebagai Dewi Saraswati. Pada hari
Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan
sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati.

B. Brata Saraswati

Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus
dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca
dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata
Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan
bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di
malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Brata Siwaratri dengan
melaksanakan upawasa, monobrata dan jagra.

1) Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)

Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam suntuk. Dalam
cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk.
Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam
pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.

2) Upawasa (tidak makan dan minum)

Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada waktu Siwaratri
puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan sehari-hari dapat
diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun
rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari
dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma. Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif
dalam hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti
akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan
mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia.

3) Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)

Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini relatif sulit
untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara
yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum
dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna menyampaikan isi
hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh ilmu pengetahuan, mendapat suatu
hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri untuk senantiasa
mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam penebusan dosa, tetapi
malam yang disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai kesadaran akan Sang Diri. Siwaratri
merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-
hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang
sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan diawal tahun 2008 mulai kembali memburu kebajikan
dengan membunuh musuh-musuh dalam diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

C. Makna Penggambaran Dewi Saraswati

Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa
warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya
sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam.

Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala
(tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan)
melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada - brahman) berupa
Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan
belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak
memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap
nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).

Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis
unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai
mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu
pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang
pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang
diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang
memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai