Anda di halaman 1dari 5

Makna Perayaan Hari Raya Siwaratri

O
L
E
H

Drs.I KETUT NUASA, M.Ag

Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram


Jurusan Dharma Sastra Program Studi Hukum Agama Hindu

Siwartri berarti malam renungan suci atau malam peleburan dosa. Hari Siwartri
jatuh pada Purwanining Tilem ke VII (Kapitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan
Januari. Pada hari ini kita melakukan puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk
memperoleh

pengampunan

dari

Hyang

Widhi

atas

dosa

yang

diakibatkan

oleh awidya (kegelapan).


Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwartri terdiri dari:
1.

2.

3.

Utama, melaksanakan:
A.

Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).

B.

Upawasa (tidak makan dan tidak minum).

C.

Jagra (berjaga, tidak tidur).

Madhya, melaksanakan:
A.

Upawasa.

B.

Jagra.

Nista, hanya melaksanakan Jagra.

Hari Siwartri kadang kala disebut juga hari Pejagran. Karena pada hari ini Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang bermanifestasikan sebagai Siwa dalam fungsinya
sebagai pelebur, melakukan yoga semalam suntuk. Karena itu pada hari ini kita memohon
kehadapan-Nya agar segala dosa-dosa kita dapat dilebur. Peringatan hari raya ini biasanya
dilakukan setahun sekali. Dalam pengertian yang lain, Siwaratri juga mengandung makna
sebagai malam renungan suci atau malam pengampunan dosa. Kata Siwaratri sendiri berasal
dari kata Siwa dan Ratri. Dimana Siwa artinya Tuhan, atau dalam bahasa sansekerta
berarti baik hati, harapan dan memaafkan. Sedangkan Ratri ialah malam atau kegelapan. Jadi
kalau digabungkan akan membentuk kata Siwaratri dengan makna puncak malam.
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa terdiri dari dua unsur yang utama yaitu
purusa dan pradana atau unsur kejiwaan dan unsur kebendaan. Purusaadalah jiwa yang penuh
kesadaran karena bersumber dari atman. Atman berasal dari Brahman atau Tuhan Yang Maha
Esa. Pradana adalah unsur material yang menjadi dasar jasmani terdiri dari lima unsur yang
disebut Panca Maha Bhuta (tanah, air, api, udara dan angkasa). Karena itu Bhagavadgita
menyebutkan, manusia memiliki dua kecenderungan yaitu kecenderungan kede-waan atau
dewa sampad dan kecenderungan keraksasaan atau asura sampad. Kedua kecenderungan itu
bisa silih berganti muncul setiap saat menguasai manusia.

Jika kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, ma-ka segala perbuatannya


selalu berdasarkan pada sreya karma. Sreya karma mengarahkan perbuatan yang selalu
berdasarkan dharma, karena didorong oleh kesadaran. Kesadaran itu adalah penguasaan
indria oleh pikiran dan pikiran oleh budhi yang disinari pancaran suci atman. Sebaliknya,
kalau kecenderungan keraksasan yang menguasai diri manusia, maka segala perbuatan
manusia selalu didasarkan oleh wisaya karma. Wisaya karma mengarahkan manusia berbuat
di luar dharma bahkan bertentangan dengan dharma. Perbuatan itu semata-semata didorong
wisaya atau hawa nafsu semata.
Sreya karmamengarahkan perbuatan yang disebut subha karma (perbuatan baik) dan
wisaya karma mengarahkan perbuatan yang disebut asubha karma (perbuatan yang penuh
dosa). Manusia tentu harus menghindari perbuatan yang penuh dosa. Untuk mengetahui
perbuatan dosa dan perbuatan yang sesuai dengan dharma dapat dilihat contohnya dalam
Itihasa dan Purana. Dalam Mahabharata, Pandawa di bawah tuntunan Sri Krishna selalu
berbuat dengan penuh pertimbangan dharma. Sebaliknya Korawa, saudara sepupu Pandawa,
berbuat atas dasar dorongan hawa nafsu keduniawian saja. Contoh perbuatan yang baik dan
buruk, juga bisa kita temukan dalam Ramayana. Sri Rama selalu bertindak di atas
pertimbangan dharma. Sedangkan Rahwana selalu bertindak berdasarkan doro-ngan hawa
nafsu yang menyimpang sama sekali dengan dharma.
Berbuat yang selalu berdasarkan dharma tidak segampang membalik telapak tangan.
Tantangan atau godaan acapkali menghadang, sehingga untuk melakukan kebajikan itu, harus
berani menanggung derita, bahkan mempertaruhkan nyawa. Satu hal yang perlu diingat
adalah, agar dapat selalu berbuat berdasarkan dharma, maka harus selalu memelihara
kesadarannya.
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita
untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui
atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa
itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali),
dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang
asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagra-lah yang dapat
menghindar dari perbuatan dosa.

Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih,
apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi
(kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran
yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit mendapatkannya. Ia harus selalu diupayakan
dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa
Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memu-satkan pikiran pada
Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena
itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut malam kesadaran atau malam pejagraan, bukan
malam penebusan dosa sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum
mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari
perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi
salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada
hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan
kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Hyang Widhi Wasa, kita melebur
kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu
mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat
mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranm pada Siwa. Namasmaranm
artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa
Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekauatan untuk melenyapkan segala
kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran
budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa
Ratri se-sungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap
bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu
(tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Di dalam sastra agama Hindu (Lontar Lubdaka) yang ditulis oleh Mpu Tanakung
mengenai pelaksanaan Siwartri ini disebutkan bahwa pertama-tama pada waktu pagi harinya
kita mandi yang bersih dan metirtha dengan berpakaian yang bersih serta kemudian mulailah
berpuasa tanpa makan dan minum dengan maksud untuk melatih mental agar mempunyai
kekuatan dan daya tahan terhadap perasaan haus dan lapar. Kemudian pada waktu malam
harinya dilanjutkan dengan sambang samadhi, yakni tidak tidur semalam suntuk dengan

menenangkan pikiran sambil membaca kitab suci Weda, serta mengadakan pemujaan
kehadapan Hyang Widhi untuk memohon pengampunan atas dosa-dosa yang kira perbuat
pada hari-hari sebelumnya.

Makalah ini disampaikan dalam rangka perayaan Hari Raya Siwalatri di Pura Manik Galih BTN Pagesangan Indah,
Jumat, 8 Januari 2016.

Anda mungkin juga menyukai