Anda di halaman 1dari 5

DHARMA WACANA

Hari Raya Siwaratri

Disusun Oleh:
Gusti Ayu Diah Jumliani
Kelas: XI MIPA 2

Mengetahui Guru Mata Pelajaran,

Ketut Artana, S.Ag.


Nip.

SMA NEGERI 1 LADONGI


Tahun Ajaran 2022/2023
Dari cerita-cerita dalam agama Hindu, malam sehari sebelum Tilem Kepitu
merupakan malam paling gelap dari seluruh malam dalam setahun (Penanggalan Caka).
Dimana pada malam itu diyakini bahwa Dewa Siwa akan melakukan Yoga Semadi untuk
keselamatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya. Ada juga cerita di masyarakat
Bali bahwa malam Siwaratri dikenal sebagai malam peleburan dosa. Benarkah hal itu?
Benarkah dosa yang kita perbuat bisa dilebur dengan hanya begadang pada malam Siwalatri
seperti dalam cerita Sang Pemburu Lubdaka? Kalau tidak terus apa sih sebenarnya makna
dari perayaan Siwaratri? Lalu bagaimana cara pelaksanaan Siwaratri ini? Itulah beberapa
pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya mengenai Hari Raya Siwaratri dan mungkin
teman-teman juga berpikiran seperti itu.
Sehari sebelum Tilem Sasih Kapitu atau yang sering disebut dengan Prawaning Tilem
Kapitu, umat Hindu memperingati Hari Raya Siwaratri. Jika di urut dari asal katanya, Siwa
itu dapat diartikan sebagai penghancur kegelapan sebagai simbolis Cahay/Terang daan Ratri
itu dapat diartikan bahwa yang terang telah menjadi gelap dan yang gelap menjadi terang
kembali.
Itulah ilustrasi yang dapat menggambarkan kondisi perjalanan kita sebagai manusia.
Dalam diri manusia bersemayam Tuhan beserta sifat-sifat ketuhanan, namun seiring
perjalanan hidup, kegelapan dan ilusi duniawi membuat manusia semakin lupa aka nasal dan
jati diri.
Dalam Siwaratri Kalpa dijelaskan bagaimana Sang Hyang Kelangan, begitu
terpesonanya dengan segala kenikmatan tersebut bersifat semu dan palsu. Semakin hari
pikiran semakin memberi ruang gerak yang semakin leluasa kepada panca indria, sehingga
akhirnya jiwa menjadi dikendalikan oleh panca indria. Mata selalu ingin melihat sesuatu yang
bagus, senang melihat wanita cantik atau lelaki tampan. Hidung selalu mencari bau yang
harum, lidah selalu ingin makan makanan enak, telinga selalu ingin mendengar suara yang
merdu, dan kulitpun selalu ingin sentuhan lembut. Karena begitu hebatnya pengaruh
kenikmatan duniawi sehingga akhirnya sang jiwa terbelenggu dalam kesibukan untuk selalu
mengejar keinginan panca indria sampai lupa akan asal dan jati diri sebagai manuasia.

Kenapa Siwaratri dilaksanakan pada Prawaning Tilem Kepitu?


Jika ada yang bertanya, kenapa Siwaratri dirayakan pada prawaning tilem
kapitu? kenapa bukan sasih yang lain? Prawaning Tilem atau sehari sebelum tilem
merupakan malam yang paling gelap dan sasih kepitu merupakan lambang sapta timira,
jadi Ida Mpu Kuturan memilih Prawaning Tilem Kepitu sebagai hari
perayaan Siwaratri untuk mengingatkan kita bahwa kita yang berasal dari Tuhan (siwa) telah
masuk kejurang kegelapan (ratri) karena pengaruh tujuh sifat kemabukan (pitu).
Sifat Ketuhanan beserta segala kemampuan luar biasa yang menyertainya yang ada
pada diri manusia semakin hari semakin dalam terkubur karena manusia telah lupa diri,
manusia telah dirasuki sapta timira, tujuh kegelapan atau sifat kemabukan yaitu Surupa yang
mana manusia mabuk akan rupa yang cantik dan tampan, padahal ini sifatnya hanya
sementara, sekarang cantik maka lima atau sepuluh tahun lagi semua itu akan hilang, namun
sangat banyak yang masih memburu hal tersebut. Dhana yaitu kita yang takabur dan mabuk
oleh kekayaan, sekarang ini bisa dikatakan mereka yang punya uang yang berkuasa, namun
inipun hanya semu, tidak ada uang yang bisa menjanjikan kebahagiaan. Guna artinya lupa
diri karena merasa diri lebih pintar sehingga merendahkan orang lain, namun pengetahuan itu
ibarat samudera yang tanpa batas. Kulina adalah orang yang merasa diri lebih tinggi
kedudukannya karena faktor keturunan, Yowana yaitu lupa diri karena masa
remaja, Kasuran yaitu sifat sombong karena mabuk kemenangan dan Sura karena mabuk
minumam keras. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa karena pengaruh ikatan duniawi
yang kuat manusia telah melupakan asal muasalnya. Karena kuatnya keinginan duniawi maka
manusia akan menemuai klesa yaitu kekotoran, menuju ke papa yaitu kegelapan jiwa dan
pikiran yang pada akhirya akan bermuara kepada dosa.
Siwaratri merupakan momentum bagi kita untuk introspeksi diri, bertanya dalam keheningan
jiwa, “betulkan saya adalah percikan sinar suci tuhan?” jika betul apakah sifat dan perilaku
kita sudah mencerminkan hal tersebut?. Malam Siwaratri hendaknya dijadikan sebuah
momentum untuk merenung alias introspeksi diri karena sangat jarang kita punya waktu
untuk berbicara dengan diri sendiri. Saat Siwaratri hendaknya kita sadari semua kekeliruan
dan kebodohan kita sebagai manusia dan jadikan itu sebagai sebuah bara semangat untuk
memulai kehidupan yang lebih baik sehingga terang yang telah menjadi gelap bisa kembali
bersinar terang.
Siwaratri dan Penebusan Dosa
Banyak yang beranggapan bahwa Siwaratri adalah malam peleburan dosa, anggapan
ini muncul mungkin karena pemahaman yang kurang tepat tentang cerita sang lubdaka yang
katanya adalah pembunuh namun terbebas dari dosa karena bergadang saat malam
Siwaratri.  Dalam ajaran Hindu tidak ada peleburan dosa, dosa adalah hasil perbuatan
(karma) yang harus tetap ditebus oleh akibat (phala). Dalam Siwarati umat manusia berusaha
untuk sadar kembali tentang jati dirinya sehingga terhindar dari papa (kegelapan pikiran dan
jiwa) seperti yang tertuang dalam puja tri sandya “Om papo’ham papakarmaham papatma
papasambhavah“  yang pada akhirnya akan menghindarkan manusia dari segala perbuatan
dosa. Jadi Siwaratri merupakan sebuah momentum guna menyadarkan diri akan hakikat kita
sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai sifat-sifat Tuhan (Siwa). Dan hendaknya
kesadaran tersebut tidak hanya pada Hari Raya Siwaratri saja, tetapi setiap hari kita harus
terjaga dan sadar.

Pelaksanaan Siwaratri
Pelaksanaan Hari Raya Siwaratri intinya lebih dipusatkan kedalam diri sehingga lebih
ditekankan pada pelaksanaan brata dan tapa melalui kontemplasi atau merenung untuk
melihat ke diri sendiri. Dalam Agama Hindu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama dalam
melakukan upacara atau yadnya yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula tingkatan
brata dalam melaksanakan Siwaratri. Ada tiga jenis brata Siwaratri, Upayasa (puasa) yaitu
brata tidak makan dan minum, Monabrata yaitu puasa tidak berbicara dan Jagra yaitu tidak
tidur. Dalam tingkatan nista Upayasa dilaksanakan selama 12 jam yaitu mulai jam 6 sore
sampai jam 6 pagi keesokan harinya. Tingkat Madya dilaksanakan selama 24 jam yaitu dari
pagi hingga pagi keesokan harinya, dan tingkat Utama dilaksanakan selama 36 jam yaitu dari
pagi hingga sore keesokan harinya.  Begitupun tingkatan bratanya, tingkat nista hanya jagra,
tingkat madya upayasa dan jagra, dan utama melaksanakan ketiganya.
Mengawali hari raya Siwaratri sebaiknya dimulai dengan melukat dan bersembahyang
di pagi harinya, lalu jalankan brata sesuai kemampuan dan malamnya lakukan perenungan
akan hakikat dan jati diri kita sebagai manusia. Sehingga nantinya kita yang diliputi
kegelapan pikiran dan jiwa bisa sadar dan kembali menjadi terang.

Anda mungkin juga menyukai