Anda di halaman 1dari 3

Hari suci agama Hindu di Bali selain hari suci yang berdasarkan pawukon seprti Galungan, Saraswati dan

hari suci yang berdasrkan sasih seperti Nyepi, dikenal juga ada hari Suci Siwaratri yang termasuk hari
suci yang berdasarkan sasih, dan tentunya setiap pelaksanaan hari suci tersebut dimaksudkan dengan
tujuan-tujuan tertentu dan makna-makna khusus. Siwaratri adalah hari suci yang disakralkan oleh semua
umat Hindu dengan melaksanakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Sang Hyang Siwa dan itu dilakukan dengan pelaksanaan khusus

Hari Suci Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender Isaka yaitu pada purwaning Tilem
atau panglong ping 14 sasih Kepitu (bulan ke tujuh) dalam perhitungan kalender bali sebelum bulan mati
(tilem), dalam kalender Masehi jatuh setiap bulan Januari. Siwaratri memang memiliki makna khusus
bagi umat Hindu, karena pada saat tersebutlah Hyang Siwa beryoga, sehingga menjadi hari baik bagi
umat untuk melakukan brata semadi berikut kegiatan penyucian dan perenungan diri serta melakukan
pemujaan kepada Sang Hyang Siwa.

Siwaratri berasal dari kata “siwa” dan “ratri”, dalam bahasa Sansekerta Siwa berarti baik hati,
memberikan harapan, membahagiakan dan suka memaafkan, Siwa juga adalah sebuah nama
kehormatan manifestasi Tuhan yaitu Dewa Siwa yang berfungsi sebagai pelebur atau pemrelina.
Sedangkan Ratri dalam bahasa berarti malam atau kegelapan, sehinggajika diartikan Siwaratri berarti
pelebur kegelapan untuk menuju jalan terang. Jadi apa sesungguhnya makna dari hari suci Siwaratri
tersebut, maknanya adalah malam perenungan suci, malam dimana kita bisa mengevaluasi dan
instropeksi diri atas perbuatan atau dosa-dosa selama ini, sehingga pada malam ini kita memohon
kepada Sang Hyang Siwa yang juga sedang melakukan payogan agar diberikan tuntunan agar bisa keluar
dari perbuatan dosa tersebut. Pada saat malam itulah umat melakukan pendekatan spiritual kepada
Siwa untuk menyatukan atman dengan paramatman. Tidak sedikit yang memaknai bahwa pada malam
Siwaratri ini juga dianggap sebagai malam peleburan dosa, sehingga perbuatan dosa manusia bisa lebur
dengan melakukan brata semadi dan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa. Pemaknaan seperti ini tidak
lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis oleh Empu Tanakung, kitab atau lontar tersebut mengisahkan
kehidupan seorang pemburu binatang yang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang yang
tidak bersalah.

Secara rinci kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari suci Siwaratri adalah sebagai berikut:

Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang
diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
Monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Pelaksanaannya dilangsungkan di pagi hari dan
dilakukan selama 12 jam tepatnya dari jam 06.00 – 18.00.

Mejagra atau tidak tidur selama semalaman. Pelaksanaannya berlangsung dari pagi sampai pagi hari di
keesokan harinya yang dilakukan selama 36 jam dari jam 06.00 – 18.00 di keesokan harinya.

Upawasa atau tidak makan dan tidak minum. Puasa ini dilakukan selama 24 jam dari jam 06.00 – 06.00.
Apabila sudah 12 jam maka diperbolehkan untuk makan dan minum dengan syarat bahwa nasi yang
dimakan ialah nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).

Dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan
kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh
nafsu-nafsu indrianya/raganya. Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha
Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-
nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7
kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena
rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian),
Kasuran (mabuk karena kemegahan), Kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk
karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras). Makna Siwaratri adalah agar manusia
menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara
jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian

Hari raya Sivalatri (Siwaratri) merupakan hari Pejagran, di mana Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa),
dalam kepercayaan umat Hindu, memanifestasikan diri sebagai Dewa Siwa yang melakukan yoga
semalam suntuk untuk melebur dosa manusia. Pada malam Sivalatri ini, tiap insan mendapat
kesempatan melebur segala dosa dengan melaksanakan brata Siwaratri.

Ini disebutkan dalam kitab Padma Purana yang menyebutkan malam Siwaratri adalah malam peleburan
dosa manusia yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya dan lontar Lubdaka yang menyatakan bahwa
walaupun seseorang sangatlah berdosa, tapi jika ia melaksanakan brata Siwaratri, niscaya masih
mendapat kesempatan untuk melebur semua dosanya. Demikianlah gambaran yang dilukiskan dalam
cerita rakyat Bali Lubdaka, yang kemudian masuk ke dalam khazanah cerita rakyat Indonesia.

Cerita rakyat Bali Lubdaka

Dikisahkan bahwa Lubdaka adalah seorang pemburu binatang hutan yang memakan atau menjual
daging hasil buruannya. Pekerjaannya itu dilakukannya setiap hari. Namun, suatu hari, nasibnya sedang
apes. Di hari yang apes itu, Lubdaka tidak memperoleh seekor pun binatang untuk dimakan atau dijual.
Hal yang lebih malang baginya, karena saking ingin mendapatkan binatang buruan, ia lupa waktu hingga
hari sudah gelap. Kegelapan di hutan, membuat Lubdaka tidak bisa mencari jalan untuk pulang.
Walhasil, ia pun memilih memutuskan untuk menginap saja di hutan. Untuk itu, ia mencari pohon yang
besar untuk tempatnya tidur karena takut terhadap ancaman binatang buas.

Kakinya membawa Lubdaka pada pohon Bila yang di bawahnya terdapat air telaga yang jernih, dengan
sebuah pelinggih dan Lingga. Pelan-pelan tapi pasti, Lubdaka memanjat pohon Bila. Setelah mendapat
posisi yang nyaman, Lubdaka bersandar, tapi berusaha tidak tertidur, walaupun ia mengantuk. Pasalnya,
jika ia sampai tertidur pulas, tentu ia bakal terjatuh. Maka dari itu, Lubdaka memetik daun-daun pohon
Bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri
tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, di mana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.

Sambil membuang daun-daun pohon Bila ke bawah, tanpa terasa Lubdaka mulai menyesali segala
perbuatan jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidup, baik yang disengaja maupun tidak
disengaja. Di atas pohon Bila itu, diam-diam hatinya bertekad untuk berhenti bekerja sebagai pemburu.

Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja
Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah
dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam.
Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya.

Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak
kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari.
Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia.

Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh
Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak
membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka.

Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah
Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan
Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh
binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun
Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Sivalatri, Lubdaka begadang
semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan
pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka.

Anda mungkin juga menyukai