Anda di halaman 1dari 20

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Nyoman Dayuh

I. Pendahuluan
Mengenai Hari Raya Galungan tidak diketahui secara pasti kapan
mulainya, akan tetapi hari raya ini kita warisi secara turun temurun. Dalam cerita
Jaya Kasunu, dahulu pernah dilupakan upacara Galungan dan Kuninga yang
menyebabkan masyarakat tdak sejahtera, pertanian, peternakan semuanya kena
penyakit (wabah), akhirnya berkat jasa tapa beliau di setra Gandamayu kembali
raja diingatkan untuk melakukan upacara Galungan dan Kuningan. Kemudian
dalam Usana Bali di sebutkan bahwa Raja Mayadanawa yang antipati dengan
ritual di Bali merusak tata upacara di Bali sehingga Bhatara Indra turun untuk
memusnahkan raja Mayadanawa dan saat itu Mayadanawa dapat di musnahkan
sehingga raja Bali diingatkan untuk melakukan ritual dan jangan lupa untuk
memasang penjor saat Galungan dan Kuningan.
Hari Raya Galungan adalah hari raya agama Hindu Nusantara yang telah
diwariskan nenek moyang terdahulu, hal ini dapat diperhatikan darai pertemuan
sapta wara, panca wara dan wuku (buda kliwon dungulan). Perayaan yang
meriah adaah tanda bahwa nenek moyang kita terdahulu masih agraris hal ini
juga sangat nampak pada pembuatan Penjor berisis palabungkah, pala gantung,
pala wija, plawa. Tradisi agraris inilah kuat mempengaruhi tata cara beragama
Hindu, ketika pertanian berhasil maka diadakan pesta pora dan ketika itupun
para Dewa, Leluhur di ajak untuk bersenang-senang sehingga nampaklah sangat
religius. Perayaan hari Raya Galungan sangatlah meriah disambut oleh umat
Hindu di Nusantara, dengan membuat penjor, memotong binatang, membuat
jajan, dan yang lain, tentunya suasana yang ditampilkan berbeda dengan hari
biasa. Umat Hindu bersenang-senang, bahagia, gembira ketika hari raya
galungan dan kuningan akan datang. Kemeriahan yang dilakukan bukanlah pesta
pora semata akan tetapi berdimensi religius. Umat Hindu meyakini bahwa
galungan momentun untuk penyadaran diri mengakuai bahwa segala sesuatu
bersumber pada Hyang Widhi. Hari raya Galungan dan Kuningan adalah dua
hari raya agama Hindu Indonesia.
II. Hari Raya Galungan Dan Kuningan
Sumber ajaran mengenai hari Raya Galungan dan Kuningan yang paling
sistematis adalah Sundarigama. Lontar Sundarigama bukan hanya menguraikan
galungan dan kuningan akan tetapi masih banyak hari suci yang lainnya
diuraikan secara jelas disertai dengan tata cara, fungsi dan makna. Lontar ini
menguraikan upacara atau ritual yang dominan akan tetapi di dalamnya
diselipkan ajaran-ajaran yoga. Bagiamaapun pula seorang kawi-wiku yang sudah
menguasai yoga tidak bisa lepas atau mengabaiakan pula upacara upakara di
Bali yang sudah mentradisi warisan nenek moyang.
Lontar ini menguraikan semua hari-hari raya agama Hindu Indonesia yang
disusun berdasarkan urutan wuku. Menilik kosa kata dan gaya bahasanya lontar
ini ditulis di Bali pada waktu hari-hari raya itu telah dirayakan orang, artinya
tulisan itu adalah menguraikan, menyusun, mendiskripsikan kembali apa yang
sudah dilakukan oleh umat Hindu, nenek moyang terdahulu sehingga sastra itu
sifatnya memperkuat tradisi yang telah ada. Hari-hari raya ini adalah hari-hari
raya yang bersifat Nusantara yang di Hindukan, walaupun mungkin di India
terdapat hari-hari yang mirip dengan hari-hari raya itu. Nama-namanya adalah
nama-nama Nusantara seperti Tumpek, Galungan, Kuningan dan sebagainya.
Hanya Saraswati dan Siwalatri berasal dari India.
Umat Hindu dalam setiap menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan
dilakukan dengan meriah, gembira, bersenang-senang. Hal ini tentunya sangat
manusiawi, sesuai dengan kondisi Hindu Nusantara. Adapun kedua hari raya itu
diuraikan oleh lontar Sundarigama sebagai berikut:

1. Tumpek Wariga
Wariga, saniscara Kliwon, ngara tumpek Panguduh, puja kreti ri Sanghyang
Sangkara, apan sira amredyaken sarwa tumuwuh, kayu kayu kunang, widhi
widhananya, pras tulung sayut, tumpeng, bubur mwah tumpeng agung 1,
iwak guling bawi, itik wenang, saha raka, panyeneng, tatebus kalinganya,
anguduh ikang sarwa ning taru asekar, awoh, agodong, dadi mareta ning
urip. Rikang wwang, sesayut nyakragni 1, maka pangadang ati, anuwuhaken
ajnana sandi. “pada wuku wariga, yakni sabtu kliwon wariga dinamakan
Tumpek Panguduh, merupakan hari suci pemujaan Sanghyang Sangkara,
sebab beliau merupakan dewa penguasa kesuburan semua tumbuh-tumbuhan
dan pepohonan. Sesajennnya terdiri atas pras, tulung sesayut, tumpeng,
bubur, tumpeng agung 1, babi guling, atau guling itik juga boleh disertai
dengan jajan, panyeneng dan tetebus. Maknanya adalah untuk memohon
keselamatan tanaman agar dapat berbunga, berbuah dan berdaun lebat
sebagai sumber kehidupan. Untuk manusa dibuatkan sesajen berupa sasyut
cakragni 1 sebagai simbul penguatan hati dan pikiran untuk menumbuhkan
kekuatan batin.
2. Sugihan Jawa
Sungsang, wrehaspati wage ngaran pararebwan, sugyan Jawa kajar ing loka,
katwinya Sugyan Yawata ngaran, apan pakretin Bhatara kabeh, ararebwan
ring sanggar, paryangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring Bhatara, saha
puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwajnana , pasangyoga. Sang Wiku
angargha puja, apan Bhatara tumurun mareng madhyapada, milu sang Dewa
Bhatara , amukti banten anrus tekeng Galungan.
Prakreti ning wwang , sasayut mwang tutuan , pangaradan kasukan
ngaranya.” Pada wuku sungsang yakni hari kamis wage Sungsang di
namakan parerebwan, atau disebut sugihan jawa oleh umat Hindu. Latar
belakang dinamakan sugihan jawa karena merupakan hari suci bagi para
Bhatara untuk melakukan rerebu di sanggar dan di parhyangan disertai
dengan pangraratan dan pangresikan untuk Bhataraserta kembang wangi.
Bagi orang yang mengetahui rahasia batin akan melakukan yoga, para
pendeta melakukan pemujaan tertinggi, karena pada hari itu, Bhatara turun
ke dunia diiringi para dewa dan roh leluhur untuk menikmati sesajen
persembahan umat hingga sampai pada hari galungan. Adapun sesajen untuk
keselamatan manusia terdiri atas sasayut tutuwan atau disebut pangarad
kasukan (penarik kebahagian)”
3. Sugihan Bali
Sukra Kliwon sugyan Bali Ngaran sugyan ning manusa loka. Paknanya
pamrayasoita ning raga tahulan , kewalya sira apeningan anadaha tirtha
panglukatan, pabresihan, ring sang pandita. “Pada hari jumat kliwon
Sungsang dinamakan sugihan Bali, hari suci bagi umat manusia. Maknanya
adalah penyucian diri manusia lahir bathin, dengan cara mengheningkan
pikiran, memohon air suci paruwatan dan pembersihan diri krpada pendeta”
4. Panyekeban
Dungulan redite pahing, turun Sang Kala Tiga, manadi Bhuta Galungan, arep
anadah anginum ring manusa pada, matangnyan sang wiku mwang sang para
sujana, den pratiyaksa juga sira kumekes ikang ajnana nirmala, nimitanya tan
kasurupan tekap Sang Bhuta Galungan. Ndah samangkana mangaran
panyekeban dening loka.” Pada wuku dungulan yakni pada hari minggu
pahing Dungulan, Sang Hyang Kala Tiga turun kedunia berwujud Bhuta
Galungan, mengharap mangsa dan minuman. Karena itu para pendeta dan
orang-orang bijaksana senantiasa berwaspada mengekang batin agar selalu
dalam keadaan hening dan suci sehingga tidak bisa di rasuki oleh bhuta Kala
Galungan. Adanya hal yang demikian itu menyebabkan hari Imnggu Pahing
Dungulan merupakan hari suci panyekeban”
5. Penyajaan
Soma pon wayawaning among yoga samadhi, denya pituhu, tuhun nyumana
sadhana lawan Bhatara, ya ta matangnyan panyajaan ucap ing
janaloka.”Pada hari senin pon Dunguluan merupakan hari suci bagu umat
Hindu untuk melakukan yoga semadi secara bersungguh-sungguh, benar-
benar bersujud dan berbhakti kepada Tuhan”
6. Penampahan
Anggara wage panampahan ngaran, irika panadahira Sang Bhuta Galungan
marma ni sinanggraha de ning prakreti ring desa-desa pakraman, awehana
Bhuta yadna hanang catus patha ning desa sarupa ning yajnawenang,
anutakna nista madhya mahottamanya, pinuja de ning sang pandita Saiwa
Buddha. Kunang sakweh ikang sanjata paprangan kabeh, jaya-jayakna
samana ika, nguniweh ikang wwang kabeh prayascitanin, mwang jaya-jaya
de sang pandita, maka prakosa prathameng prang , Hana caru sakuwu–kuwu
kunang, Sega warna 3, sinasah tandinganya manut urip, putih 5, bang 9,
kuning 7 ireng 4, mancawarna 8. Iwaknya olah bawi saha tatabuhan, segehan
agung 1 . Genah ing acaru, ring natar umah , sanggar , mwah ring dengan ,
sambat Sang Bhuta Galungan. Ikang wwang laki bi, abyakal , aprayascita .
Kang laki ayabi sesayut , angregepakena mantra pragolan, saha bhusana ning
paprangan , sakala niskala, jaya prakosa ring prang “Pada hari selasa wage
Dungulan dinamakan penampahan, merupakan waktu bagi Bhuta Galungan
mencari mangsa. Karena itu, umat manusia di setiap desa pakraman patut
menyambutnya dengan membuat upacara Bhutayadnya, yang dilaksanakan
diperempatan desa, segala bentuk dan tingkatan upacara diperbolehkan,
sesuaikan dengan kemampuan masing-masinh, muali pada tingkat nista,
maya hingga utama. Upacara itu dipimpin oleh pendeta, baik pendeta Siwa
maupun pendeta Budha. Pada hari itu juga segala jenis senjata peperangan
wajib dibuatkan upacara untuk mendoakan munculnya kekuatan dan
keampuhan pada senjata tersebut, terutama dibuatkan sesajen prayascita, dan
dipimpin oleh pendeta. Agar senjata itu benar-benar ampuh di medan
perang, perlu dibuatkan upacara persembahan kepada Bhuta Kala atau cari
disetiap rumah, berupa segehan warna 3 tanding, formasinya di atur menurut
neptu yaitu putih neptunya 5, merah neptunya 9, kuning neptunya 7, hitam
neptunya 4, dan campurann lima warna neptunya 8. Lauknya berupa daging
babi. Sesajen itu juga dilengkapai dengan segehan agung 1 tanding. Adapun
tempat melakukan upacara caru tersebut adalah di halaman rumah,
dihalaman sanggar, ataupun dijalan keluar masuk perumahan dengan cara
memanggil Sang Bhuta Galungan. Suami-Istri patut melakukan upacara
byakala dan prayascita. Bagi suami wajib ngayab sesajen sesayut sambil
memusatkan batin dan merafalkan doa-doa untuk memohon keperkasaan dan
kekebalan, mengenakan busana perang, baik wujud nyata dan tidak nyata,
pahalanya adalah perkasa dan menang dalam peperangan”
7. Galungan
Buda Kliwon dungulan. Galungan ngaran. Pabantenan, patitis ing ajnana
galang apadang, maryakna sarwa ni byapara ning idep, aturakna widhi-
widhana ring sarwa dewa ring sanggar paryangan, natar, paturon, lumbung,
dapur, dengen, tumbal tugu, pangulun setra, pangulun desa, pangulun sawan,
ring wana, ring giri . ring samudra, telas tekeng saprabot ing umah, ika kabeh
pada banteni. Prakreti ring sanggar paryangan agung alit, atur akna banten
panyajan , peneh wawakulan, ajuman, sedah, woh, kembang pahes, wangi-
wangi pasucyan, ika munggah ring sanggar. Banten ring pasambyangan,
tumpeng pangambyan, jerimpen, gebogan, sodan saruntutanya. Iwaknya
jatah bawi, mwang gagorengan. Esuk juga samanya aturaken, saha puspa
wangi, asep menyan satanggi. Talas mangkana janek sawangi, nyejer banten
ika. Enjang anjingnya pada nyucilaksana. Kala prabhata ameta wai pawitra
ring beji, jajamas kumkuman, muli aturakna puspa wangi , nadaha tirtha ring
sanggar. Nuli asuguh ring natar. Wenang parid ikang banten, ayabi anak putu
kang kari rare. Sang wiku mwang sang para sujana wenang mayoga gineng
ajnana samadhi angitung sang hyang dharma. “Rabu kliwon dungulan
dinamakan yang bermakna bangkitnya kesadaran, titik pemusatan batin yang
terang benderang, melenyapkan segala bentuk kegalauan natin, dengan cara
mempersembahkan sesajen kepada para dewa di sanggar, di Parhyangan, di
atas tempat tidur, dihalaman rumah, dilumbung, di dapur, dijalan keluar-
masuk perumahan, ditumbal, ditugu, dihulu kuburan, dihulu desa, dihulu
sawah, di hutan, digunung di lautan, termasuk disegala jenis perabotan
rumah tangga, semua dibuatkan sesajen. Adapun sesajen yang patut
dipersembahkan di sanggar, baik dalam tingkatan besar dan kecil terdiri atas
tumpeng panyaag, penek, wawakulan, canang raka, ajuman, sedah woh,
kembang pahes, wangi-wangi, pasucian. Sesajen yang dipersembahkan di
parhyangan, terdiri atas tumpeng pangambeyan, jarimpen, pajegan, sodahan
berserta perlengkapannya, lauk sate babi dan daging babai goreng. Upacara
dilaksanakan pada pagi hari, dilengkapi dengan sarana persembahan lainnya
berupa bunga harum, dupa, kemenyan dan astanggi. Sesajen tersebut
dibiarkan tetap berada ditempat-tempat pemujaan tersebut selama satu
malam. Esok paginya semua umat patut menyucikan diri lahir batin pada
saat matahari terbit, dengan mengambil air suci di tempat permandian suci,
berkeramas, mandi dan kemudian mempersembahkan bunga harum serta
memohon air suci di Sanggar lalu menyuguhkan segehan di halaman rumah.
Setelah selesai barulah sesajen-sesajen yang dipersembahkan kemarin itu
dapat diambil dan kemudian di ayab oleh sanak keluarga, semua didoakan
keselamatnnya, terutama semua anggota keluarga menyucikan batin,
dipimpin oleh pendeta agar berjaya dalam peperangan. Bagi pendeta agung
dan orang-orang bijaksana yang memahami rahasia ajaran suci tentu
menggelar yoga, melakukan dhyana dan semadi pada hari galungan itu.
8. Pemaridan Guru atau Ulihan
Radite , wage kuningan ya ulihan ngaran. Paknanya mantukna watek
dewata kabeh, maring swarga kayangan, Sangksepanya dewa lungha stinggal
amrita mwang kadirghayusan.Widhi-widhananya anaman, canang raka,
wangi-wangi, matirtha gocara. “pada hari minggu kuningan di namakan
pemaridan guru ataupun disebut Ulihan, yakni hari pulang kembalinya para
dewa ke sorga. Intinya adalah pada hari itu para dewa meninggalkan sumber
kehidupan (amreta) memberkati mahluk terutama manusia, agar panjang
umur. Adapun sesajen yang patut dipersembahkan adalah ketupat, canang
raka, canang wangi-wangi, patirta gocara (air suci).
9. Pemacekan agung
Soma kliwon Pamacekan agung ngaran. Sande kala asuguh agung ring
dengen asambleh ayam sumulung, pakenanya angunduraken sarwa bhuta
kala kabeh, sang bhuta galungan wadwanira kabeh.” Pada hari senin kliwon
kuningan di namakan pemacekan agung, di mana senja harinya umat wajib
menyuguhkan segehan agung dijalan keluar masuk perumahan dan
memotoong anak ayam yang masih kecil (siap sumulung), maknanya adalah
untuk memngundurkan para Bhuta Kala, terutama Sang Bhuta Galungan
beserta pasukannya”.
10. Buda Pahing Kuningan
Bhuda paing kuningan puja walin Bhatara Wisnu. Widhi-widhananya
sedahingapon putih ijo 28, tumpang ireng, iwak ayam cemeng, saha
duluranya. aturakna ring paibon , dulurakna puspa sakramanya.” Pada Hari
Rabu pahing kuningan merupakan hari Suci Pemujaan Bhatara Wisnu
sesajennya antara lain sedah apon putih hijau 28 buah, tumpeng hitam, lauk
daging ayam hitam beserta perlengkapan lainnya, seperti bunga dan lain-lain
dipersembahkan dipaibon.
11. Penampahan Kuningan
Sukra wage kuningan, panampahan kuningan, sama lawan panampahan
galungan, gawekan sopacara ning kuningan, mwang pegengen poh ajnana
nirmala suksma.”Pada hari jumat wage Kuningan dinamakan penampaha
kuningan Sama seperti penampahan galungan, umat wajib membuat sesajen
untuk upacara dan mengekang pikiran ke arah keheningan dan kesucian”.
12. Hari Suci Kuningan
Saniscara kliwon kuningan tumurun mwah wateki dewata kabeh, mwang
sang dewa pitara, asuci laksana, neher amukti banten, widhi widhananya,
sega sulanggi, tebog, saha raka, den asangkep, pasucen, canang wangi-
wangi, saha runtutanya, ngawe gagantungan tamyang caniga, ring tretepa
ning sarwa wawangunan, haywa muja banten kalangkahan jejeg sanghyang
aditya esuk juga pujanen, apan ri sampunya tajeg sanghyang surya, watek
dewata kabeh mur mantuk ing suralaya. Mwah hana acin manuusa jama,
sasayut, prayascita lwih, peneknya jenar, iwak itik putih, panyeneng, tetebue,
pakenanya ngening-ngeningakna citta nirmala, tan pegat ing samadhi,
wehakna pasuguh ring natar pasuguh agung 1. “Pada hari sabtu Kliwon
Kuningan para dewa turun lagi ke dunia bersama para roh leluhur, karena itu
umat wajib menyucikan diri lahir bathin dan membuat sajen, antara lain nasi
sulanggi, tebog, jana dan buah-buahan seperlunya, pasucian, canang, wangi-
wangi beserta perlengkapannya, gantungan, tamiang, caiga untuk dipasang di
tepi-tepi atap bangunan. Pada hari kuningan, uamt tidak diperkenankan
mempersembahkan sesajen lewat tengah hari. Sesajen itu wajib
dipersembahkan pada pagi hari sebab setelah tengah hari para dewa telah
berpulang ke sorga. Adapaun sesajen untuk keselamatan manusia terdiri atas
esayut, prayascita, penek kuning, lauk daging itik putih, panyeneng, tatebus.
Maknanya adalah untuk mengheningkan pikiran agar suci dan bersih. Jangan
berhenti melakukan semadi. Pada hari kuningan, umat patut menyuguhkan
segehan agung 1 tanding di halaman rumah”
13. Pegatwakan
Buda kliwon pahang, pegatwakan, kalinganya pegat ing warah, panelasi
mengku dhyana samadi ning wara dungulan ika, wkas ing pralina ngaran,
pakenanya, sang wiku gelarakna yoga samadhi, amor ri kahana nireng nguni,
saha widhi widhana sarwa pawitra wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa,
mwang sasayut dirghayusa 1, katur ring sanghyang tunggal, saha panyeneng
tatebus. “Pada haru rabu Kliwon pahang dinamaka pegatwakan, artinya
terputusnya sabda atau batas waktu berakhirnya pelaksanaan dhyana semadi
yang berkaitan dengan wuku dungulan (hari raya galungan). Pada hari itu
juga dinamakan wkasing pralina (puncak segala peniadaan). Pendeta
menggelar yoga semadi, menyatukan diri dengan sumber asalnya dulu,
dengan mempersembahkan sesajen burpa pawitra dan canang wangi-wangi
dipersembahkan kepada para dewa dan sesayut dirgayusa 1 buah dilengkapu
dengan panyeneng dan tatebus dipersembahkan kepada Sanghyang Tunggal.
Uraian lontar Sundarigama di atas jelas sangat sistematis menguraikan hari
raya Galungan dan Kuningan dari wuku wariga sampai wuku pahang.
Tampaklah bahwa dari uraian di atas gembaran tata cara beragama Hindu yang
kuat dengan ajaran bhakti marga dan yoga marga. Pada tataran Bhakti Ida Sang
Widhi Wasa digambarkan sebagai para dewata dan pitara yang datang ke dunia
untuk memberikan kerahayuan. Para Bhuta Kala pun turun ke dunia untuk
mengganggu Manusia. Karena itu manusia harus mempunyai keteguhan hari
supaya tidak sampai dikuasai oleh para Bhuta Kala itu. Keyakinan itulah yang
direalisasikan dalam bentuk-bentuk upacara agama sebagai fenomena orang
beragama. Sangatlah jelas bahwa mengapa, bagaimana dan untuk apa (manfaat)
hari raya galungan dan kuningan.
III. Tuhan dan Bhakti Dalam Hari Raya Galungan dan Kuningan
Hari raya galungan dan kuningan hari nenek moyang terdahulu yang masih
kuat dengan keyakinan pada leluhur, Para Dewa, Bhatara-Bhatari, dan juga
Bhuta Kala. Dahulu dan sampai saat ini umat Hindu percaya ada kuasa di luar
dirinya yang lebih kuasa yang bersifat abstrak namun bisa dirasakan
keberadaannya. Kuasa itu dipersonifikasikan, digambarkan sebagai roh leluhur,
para dewata, Bhatara-Bhatari dan Bhuta Kala, namun yang kuasa di atas kuasa
itu adalah Hyang Widhi Wasa.
Nampaklah ajaran Hindu yang rwabhineda Hyang Widhi Wasa dalam
aspek yang dipandang baik dan buruk. Leluhur, Bhatara dan para Dewa selalu
melindungi umat Hindu dan Bhuta Kala selalu diwujudkan penggoda, perusak,
penakut yang siap mengganggu umat manusia. Maka dari itu manusia (umat
Hindu) memperlakukan persembahan kepada kedua aspek itu ke arah leluhur,
Dewa dan Bhatara memohon anugerah kerahayuan, sedangkan kepada para
Bhuta Kalapun melakukan persembahan agar tidak diganggu. Tentunya
persembahan itu beda, jika kepada para Bhuta Kala berupa segehan, caru
sedangkan pada leluhur adalah sodaan, rayunan, bunga harum, buah-buahan,
canag meraka dan yang lainnya.
Dua aspek (rwabhineda) yaitu dua yang dibedakan inilah kuat
mempengaruhi tata cara pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Dalam
rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan nampaklah dibedakan baik tata cara
memuja, persembahan yang dilakukan. Kepercayaan pada roh leluhur, para
Dewa dan Bhatara dihadirkan tempat menyandarkan diri (sandaran) ‘asraya’
memohon perlindungan, anugerah sekaligus ucapan terima kasih (bersyukur)
atas apa yang telah diberikan. Dalam menghadirkan para leluhur, para Dewata
dan Bhatara semua pada hari Raya Galungan di sambut dengan riang gembira,
meriah, senang hati. Dalam kehadiran itupun Para Leluhur, Bhatara dan Dewa
dipandang tamu terhormat. Sebelum menyambut kedatangannya tempat
sthananya (linggih) dibersihakn terlebih dahulu dengan cara melis, prayascita hal
ini nampaklah pada hari raya Sugihan Jawa. Semua parhyangan di sucikan,
karena puncak hari raya galungan adalah istemewa kehadiran para dewa dan
leluhur itu. Bukan hanya tempat para leluhur dan Dewa yang disucikan akan
tetapi umat Hindu (manusianya) juga harus bersih dan suci (sugihan bali). Kata
sugian juga mengandung arti bersuci. Pada pelaksanaan hari Galungan dan
Kuningan itu berulang-ulang kita jumpai upacara-upacara penyucian seperti itu.
Kesucian selalu menyertai agama. Setiap tindakan agama bersifat suci, karena
Tuhan yang kita sembah adalah Mahasuci. Kesadaran akan kesucian ini jelas
benar pada agama Hindu. Ajaran trikasaparisuddha yang berarti bahwa kaya
(anggota badan), wak (kata-kata) dan mana (pikiran) harus di sucikan,
direalisasikan dalam segala kehidupan beragama. Kegiatan-kegiatan agama
adalah kegiatan-kegiatan kesucian. Upacara-upacara agama Hindu
melambangkan hal itu mulai dari menyiapkan bahan-bahan upakara diharapkan
sudah memperhatikan kesucian itu. Bila sudah selesai upakara itu diperciki tirtha
lambang penghapus noda. Pemercihan tirtha kita jumpai berulang-ulang yang
berarti usaha untuk menghilangkan noda itu harus terus-menerus, berulang-
ulang.
Sentuhan manusia dengan dunia ini mencemarkan dirinya. Pencemaran ini
ialah pencemaran fisik dan rohani. Bila pencemaran fisik dapat dihapus dengan
mudah, dengan mandi, maka pencemaran rohani lebih sulit dihapus. Menyusikan
rohani inilah penyucian yang bersifat religious. Demikianlah pemecikan tirtha
adalah untuk permesihan rohani. Puja-puja Padanda di Bali banyak mengandung
permohonan kesucian, lenyapnya noda. Di bawah ini contoh puja yang demikian
ialah :
Om pancaksaram maha tirtham pavitram papa nasanam
papa koti ashasranam ngadam bhavet sagaram
Artinya :
Lima aksara adalah air suci yang mulia.
Menyucikan dan melenyapkan papa,
Ia adalah obat seperti laut terhadap beratus-ratus juta dosa.
Sebelum kita melaksanakan trisandhya diawali pula dengan mantram
penyucian :
Om suddha mam svaha
Artinya :
Tuhan, sucikanlah hamba.
Ide penyucian itu dilambangkan dengan banten-banten dan kegiatan-
kegiatan keagamaan. Hampir pada setiap banten kita dapati adanya banten
pesucian dan pada banten-banten tertentu terdapat prayascita. Semuanya ini
lambang kesucian.
Ketika puncak galungan para dewa dan roh leluhur sudah siap turun
kedunia beryoga di berbagai tempat suci baik yang berada di pura, rumah,
sawah, kebun, sumur, dapur dan yang lainnya, keberadaannya melingkupi dan
menyusup dalam aspek kehidupan manusia, kala itupun umat Hindu siap
melakukan persembahan. Dalam rangkaian itu Para Dewa dan Leluhur hadir dan
pulang kembali dan diakhiri pada hari pegatwakan. Begitulah Para leluhur
dihadirkan, dijamu dan pamitan, dipandang tamu oleh umat Hindu.
Dengan demikian Hari raya Galungan dan Kuningan adalah hari raya
agama yang religius. Dengan memuja Tuhan, sadar atau tidak sadar, orang akan
merasa bahwa dirinya tidak kuasa atas segala. Ada yang lebih kuasa dari dirinya
yaitu Tuhan. Rasa aku akan menurun dan dengan demikian orang akan
mempunyai sifat yang lembut, tenggang rasa dan meredanya sifat angkuh.,
dengan khidmat umat Hindu melaksanakan pada hari raya Galungan dan
Kuningan di merajan, di pura dan di mana saja. Orang menundukkan kepala,
memejamkan mata, duduk yang baik dan pakaian yang sopan tanda bakti kepada
Tuhan. Sikap yang demikianlah pula di tunjukkan kepada sesama, kepada
saudara, teman, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Ini bukanlah berarti
ketundukan sang buta, namun ketundukan dengan pengertian agama buka
melenyapkan rasa aku yang mendorong orang mendapat kemajuan, namun
mengendalikannya supaya tidak berobah menjadi keangkuhan, kesombongan
yang melunturkan rasa manusiawi. Agama menuntun manusia menjadi lebih
manusiawi.
Agama tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah
pendukung agama, lebih-lebih bentuk-bentuk budaya yang mengandung rasa
estetis, rasa keindahan yang disebut kesenian. Tuhanpun digambarkan dalam
keindahan. Tempatnya memuja tempat yang indah, yang semarak, yang
menyenangkan, yang memberikan rasa tenang dan sejuk. Demikianlah banyak
pura-pura tempatnya di tempat yang indah-indah, di gunung-gunung, di tepi
danau, di tepi pantai dan sebagainya. Lingkungan tempat pura memberikan
suasana tenang dan religius, sehingga hati setiap orang yang dapat kesana
dipengaruhi oleh suasana yang demikian.
Suasana keindahan yang demikian itu kita rasakan pula seperti itu pada
hari raya Galungan dan Kuningan. Semua tempat-tempat memuja Tuhan, dihias
demikian rupa, demikian pula rumah-rumah, sehingga suasana hari itu berbeda
dengan hari-hari biasa. Pakaian yang memang khusus dipakai pada waktu hari-
hari keagamaan adalah pakaian-pakaian terpilih, yang indah, yang juga
memberikan rasa indah kepada pemakainya.
Tidak saja keindahan yang memuaskan mata yang ditampilkan pada hari-
hari keagamaan itu, namun juga keindahan atau kenyamanan untuk telingan,
untuk hidung, dan untuk rasa yang lain dengan memperdengarkan kidung,
menyajikan bunga, dupa yang harus, gamelan yang mengalun, tari-tarian dan
sebagainya.
Dengan keindahan seperti itu hati manusia akan menjadi lebih lembut,
lebih manusiawi, karena keindahan, ketenangan, kenyamanan seperti itu dapat
meredakan ketegangan-ketegangan yang diderita oleh manusia dalam
perjuangan hidup sehari-hari. Dalam Sundarigama diuraikan bahwa para Bhuta
kala dan para dewa berselang-seling datang di dunia. Orang tidak menghendaki
Bhuta kala menguasai manusia dengan mempersembahkan labaan. Ini berarti
kebengisan, ketegangan dan sebagainya diharapkan menjauh dari manusia dan
kelembutan, ketenangan, keindahanlah yang diharapkan menguasai manusia
dengan mohon hadirnya para Dewa.

IV. Yoga Dalam Hari Raya Galungan dan Kuningan


Hari raya Galungan dan Kuningan bukan hanya sekedar kemeriahan saja
yang ditekankan akan tetapi jika di telusuri lontar Sundarigama disisipkan ajaran
yoga utamanya terkait dengan pikiran. Rupanya penyusun lontar Sundarigama
bukan hanya masalah upakara saja yang disuratkan akan tetapi diselipkan ajaran
yoga. Ajaran yoga itu seperti yang disebutkan dalam Sundarigama yaitu :
1. Anuwuhaken jnanasandhi pada tumpek wariga
2. Apasang yoga pada Sugihan Jawa
3. Apeningan pada sugihan Bali
4. Ajnana nirmala pada hari penyajaan
5. Among yoga samadhi pada hari panyekeban
6. Angregepakna sarwa japa mantra pragolan pada hari penampahan
7. Wenang yoga ginelar, adyana samadhi pada hari Raya Galungan
8. Ajnana nirmala suksma, pada hari penampahan kuningan
9. Ngening-ngeningakna citta nirmala, tan pegat ing samadhi pada hari
Raya Kuningan.
Sisipan ajaran yoga tersebut jelas bahwa dalam pelaksanaan hari Raya

Galungan dan kuningan agar kita mengendalikan gerak pikiran. Sisipan ajaran yoga

di dalam Lontar Sundarigama hanyalah rumusan yang bersifat teoritis seperti

misalnya adyana samadhi, yoga ginelar namun yang terpenting adalah cara atau

metode melakukan yoga. Kata yoga berasal dari bahasa Sanskerta yuj artinya

menghubungkan atau hubungan yakni hubungan yang harmoni dengan objek yoga

(Yasa, 2006 : 6). Yoga merupakan hubungan antara roh yang berpribadi dengan roh

yang universal yang tidak berpribadi (Sura, 1991 : 21). Tetapi ajaran yoga dari

Maharsi Patanjali yang ditulis dalam kalimat-kalimat yang padat isinya dalam sebuah

karya Yogasutra Patanjali. Dalam kitabnya Yoga Sutra I.2 mendifinisikan yoga

sebagai yogas citta vrtti nirodhah artinya pengendalian gerak-gerak pikiran.

Yoga yang menjadi kata kunci adalah pengendalian gerak pikiran. Dalam

mengendalikan gerak pikiran, Yogasutra menyebutkan melalui sistem dan tahapan-

tahapan. Secara sistem Maharsi Patanjali menyebutkan ada empat bagian yang

hendaknya diketahui dalam melakukan yoga yaitu Samadhi-pada berbicara

mengenai sifat dan bentuk yoga, Sadhana-pada yaitu tahapan yoga dan cara–cara
yoga, Wibhuti-pada yaitu kekuatan gaib yang diperoleh, Kaiwalya-pada yaitu alam

kelepasan.

Di samping itu pula Bhagawadgita VI. 10 mendifinisikan yoga sebagai

pemusatan pikiran.

Yogi yunjita satatam


Atmanam rahasi sthitah
Ekaki yatacittatma
Nirasir aparigrahah

Artinya :

Seorang yogin harus tetap memusatkan pikirannya (kepada atman yang


maha besar), tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, menguasai dirinya
sendiri, bebas dari angan-angan dan keinginan untuk memilikinya.

Sarasamuscaya sloka 80 juga menyebutkan yoga sebagai pengendalian


gerak Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawertti ta
ya ring subhakarma, matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya
sakareng

Artinya :

Sebab yang disebut pikiran itu adalah sumbernya nafsu, ialah


menggerakkan perbuatan baik ataupun buruk, oleh karena itu pikiranlah
yang segera patut diusahakn pengekangannya atau pengendaliannnya.

pikiran.

Pikiran memegang peranan penting dalam melaksanakan yoga karena itu ia

sebagai rajanya indriya (rajendriya). Dalam melaksanakan yoga seseorang akan

mengalami lima perubahan bentuk pikiran yaitu :

 Pramana : pengamatan yang benar

 Waiparyaya : pengamatan yang salah


 Wikalpa : pengamatan yang ada hanya dalam kata-kata

 Nidra : pengamatan dalam tidur atau mimpi

 Smrti : pengamatan apa yang diingat dari sesuatu yang dialami.

Dari perubahan bentuk pikiran inilah Sang Jiwa memandang dirinya lahir,

mati, tidur, salah, benar dan sebaginya.

Dari perubahan pikiran ini muncullah klesa-klesa (kesulitan) yang merintangi

yang menimbulkan kesusahan dan kesedihan hidup ini. Adapun klesa itu : awidya

(ketidaktahuan), asmita (kesombongan), raga (keterikatan), dwesa (kemarahan),

abhiniwesa (ketakutan). Klesa ini selalu menyertai, sulit untuk melepaskan harus

mengendalikan dengan seksama melalui jalan yoga dengan memusatkan pikiran atau

pengendalian gerak pikiran. Dalam memusatkan pikiran pada umunya seseorang

dapat diganggu oleh gerakan tri guna yang menyebabkan goncangan dalam pikiran.

Adapun kegoncangan pikiran akibat intensitas tri guna yang sering disebut fluktuasi

pikiran :

 Ksipta : pikiran itu tidak diam-diam

 Mudha : pikiran lamban Malas

 Wiksipta : pikiran bingung, kacau

 Ekagra : pikran itu terpusat pada satu obyek

 Nirudha : pikiran itu tenang terkendali

Dari sudut pandang fungsi pikiran dapat dibedakan sebagai berikut :

 Manas : pikiran fungsinya sebagai penerima informasi tau

pengalaman dari dasendriya.

 Ahamkara : pikiran gfungsinya mengakui disebut juga ego, serba milikku.


 Buddhi : inteleks fungsinya menganalisis atau memberi penilaian

terhadap informasi atau pengalaman yang disampaikan oleh manas.

 Citta : hati nurani disebut juga perasaan batin atau pikiran yang

menyababkan orang dapat merasakan secara halus, menikmati pengalaman

hidup secara murni.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa yoga sebagai teori dan praktek.

Secara teoritis yoga merumuskan pengendalian gerak pikiran, namun secara praksis

merupakan sebuah metode untuk mengendalikan gerak-gerak pikiran. Metode inilah

dalam Yogasutra Patanjali disebut astangga yoga meliputi : prilaku abhyasa yaitu

disiplin dan wairagya yaitu dengan berbuat bajik, namun tidak terikat oleh hawa

nafsu dan pahala perbuatan (Yasa, 2006 : 4) yaitu :

1. Yama.

(Ahimsa satyasteya brahmacary aparigraha yamah)

Yama merupakan pengekangan diri yang terdiri dari ahimsa (tanpa

kekerasan), satya (kebenaran), asteya (tiada mencuri), brahmacari (kesucian

diri), aparigraha (ketiadaan keserakahan).

2. Niyama.

(Saoca santosa tapah swadhayayiswarapranidhanani niyamah)

Sauca (pemurnian eternal dan eksternal), Santosa ( kesejahteraan), Tapa

(tahan uji terhadap gangguan), Swadyaya (belajar), Iswarapranidhana

(penyerahan diri pada Tuhan).

3. Asana
Sthira sukham asanam ( sikap badan hendaknya mantap dan nyaman).

Maharsi Patanjali berpendapat bahwa sikap manapun untuk menguasai budhi,

tidak terlalu memaksa anggota badan dan yang dapat dipertahankan sukup

lama oleh seorang yogi adalah baik baginya. Sikap itu dapat dipilih

sesukanya sendiri.

4. Pranayama.

Tasmin sati svasa prasvasayor gatiwiccedahpranayamah ( pengendalian

gerakan nafas masuk dan nafas keluar). Pranayama artinya pengaturan nafas

yaitu puraka, kumbhaka, recaka berguna untuk mengawasi pemusatan

pikiran dan penguatan badan.

5. Pratyahara

Svavisaya asamprayoge cittasya svarupa anukara iva indriyanam

pratyaharah (pratyahara adalah penarikan indriya oleh pikiran dari objek-

objeknya ).

Pratyahara adalah menarik indriya dari wilayah sasarannya dan

menempatkan dibawah pengawasan pikiran,bila indriya dapat diawasi oleh

pikiran ia tidak akan berkaliaran pada objek yang disenanginya.

6. Dharana.

Desa bandhas cittasya dharana (pemusatan pikiran dalam satu wilayah

mental yang dibatasi). Dharana adalah memegang dan memusatkan pikiran

pada sasaran yang diinginkan. Kemampuan untuk memegang pikiran

hendaklah tetap terpusat pada suatu objek.


7. Dhyana

Tatra pratyaya ekatanata dhyanam (aliran pikiran yang terus menerus

menuju tujuan itulah dhyana). Dhyana berarti pikiran tenang pada suatu

objek tanpa tergoyahkan oleh gangguan sekelilingnya.

8. Samadhi

Tadeva artha matra nirbhasam svarupa sunyam iva Samadhi (Kontemplasi

yang sama bila terdapat hanya kesadaran terhadap objek meditasi itu sendiri

dan bukan pikiran adalah Samadhi). Samadhi adalah persatuan sempurna dari

yang dicintai, pencinta dan kecintaan, suatu keadaan kelupaan segalanya,

suatu keadaan peresapan yang lengkap.

Sura (1991) menyatakan bahwa yang amat penting dalam pelaksanaan yoga
adalah sebagai jalan memperoleh wiwekajnana yaitu pengetahuan untuk membeda-
bedakan antara yang salah dan yang benar sebagai kondisi kelepasan. Ini berarti
manusia secara hakikat dalam mengambil tindakan manusia senantiasa dilakukan
secara sadar atas dua pilihan (salah dan benar) agar bisa lepas dan sampai pada
tujuan.
Demikian ajaran yoga secara praktis menuntun pikiran ini agar terarah. Agar
terarah dalam setiap rangkaian hari raya galungan dan kuningan pikiran terfokus,
terkonsentrasi hanya pada para Dewata dan Leluhur. Leluhur dan Bhatara inilah
menjadi obyek pemusatan pikiran. Dalam pemusatan itu tidaklah mudah sehingga
pada hari raya galungan kita mulai digoda Sang Kala Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta
Dungulan, Bhuta Amangkurat), ketika seperti itu tentunya pikiran akan tergoncang
maka dengan pikiran terus terfokus semuanya akan bisa di atasi. Hal ini sesuai
dengan yang disuratkan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha :
Sasi wimba haneng ghata mesi banyu
Ndan asing suci nirmala mesi wulan
Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin
Ring angembeki yoga kiteng sakala
Terjemahan :

(Bagaikan bayangan bulan pada tempayan berisi air,


tapi hanya suci murni saja yang menampakkan bulan,
seperti itulah Engkau pada yang tercipta,
pada yang tekun mengamalkan yoga Engkau nyata)

Demikianlah secara aplikasi konsep ajaran yoga di dalam Lontar


Sundarigarma yang hanya memberikan rumusan-rumusan tentunya banyak metode
dan cara untuk mengendalikan pikiran itu salah satunya adalah dengan jalan
astangga yoga dalam Yogasutra Patanjali, tentunya jalan itu untuk mengenali diri,
menerima diri dan untuk mengarahkan diri yang berpayungkan wiweka jnana
sehingga benarlah catur marga itu satu kesatuan pikiran boleh jnanin tapi laku tetap
bhakti, sehingga kita tidak menjadi manusia yang terasing, hidup damai dan tenang.

Anda mungkin juga menyukai