No : 32
Kelas : X RPL 2
Mapel : Agama Hindu dan Budi Pekerti
Sejarah Galungan
Sejarah Hari Raya Galungan terkait erat dengan mitologi Hindu-Bali. Dikutip dari situs
resmi Desa Sangeh yang selaras dengan catatan dalam naskah Purana Bali Dwipa, Galunga n
pertamakali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi.
Namun, ritual perayaan ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Akibatnya, raja-raja yang
berkuasa di Bali kala itu banyak yang wafat dalam usia muda. Selain itu, Pulau Dewata juga terus-
menerus diguncang berbagai bencana, demikian dikisahkan dalam Lontar Sri Jayakasunu. Hingga
akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan diadakan kembali.
Awalnya, sang raja heran mengapa raja-raja sebelumnya berumur pendek dan Bali sering dilanda
musibah. Baca juga: Meletusnya Gunung Agung di Bali Tahun 1963 Raja Sri Jayakasunu pun
bersemedi. Dalam pertapaannya, ia mendapat bisikan yang dipercaya berasal dari Dewi Durga.
Dari wangsit itu, terkuak alasan mengenai berbagai keanehan yang terjadi selama ini, yaitu karena
rakyat Bali sudah melupakan peringatan Galungan.
Atas perintah Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan kembali dihidupkan, dan terus
diadakan secara turun-temurun hingga saat ini. Meskipun bagi sebagian orang sejarah Hari Raya
Galungan barangkali dianggap kurang bisa dilogika, umat rakyat Hindu-Bali sangat
mempercayainya. Mitologi Galungan Ada kisah berbalut mitos yang dipercaya oleh umat Hindu-
Bali tentang awal mula perayaan Galungan. Tulisan I Gede Marayana yang terhimpun dalam buku
Galungan Naramangsa (2005) memaparkan mengenai mitos ini. Secara mitologi, tulis Marayana,
dahulu di Bali ada seorang raja angkara murka bernama Mayadenawa. Raja yang sangat sakti ini
kerap berbuat adharma atau kejahatan. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa tak hanya menguasa i
Bali, tapi juga Pulau Lombok, Blambangan (Banyuwangi), bahkan hingga tanah Bugis (sebagian
Sulawesi). Baca juga: Puputan Bayu, Perang Habis-habisan di Blambangan Lantaran merasa
paling sakti, Mayadenawa memerintahkan rakyatnya untuk menyembah dirinya. Dewa-dewa
dilarang disembah, bahkan banyak pura dan tempat peribadatan yang dihancurkan atas perintah
raja lalim itu. Kelakukan Mayadenawa yang sudah melampaui batas membuat rakyat resah.
Hingga akhirnya, seorang pemuka agama yang juga Pemangku Agung Pura Besakih bernama Mpu
Sangkul Putih bersemedi untuk memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Mpu Sangkul Putih
akhirnya mendapat ilham. Ia diberi petunjuk agar pergi ke Jawa Dwipa atau India untuk meminta
bantuan. Mpu Sangkul Putih melaksanakan wangsit yang didapatnya itu, dan akhirnya mendapat
bantuan. Menurut mitologinya, bantuan itu diberikan oleh Dewa Indra, dewa yang menguasa i
cuaca. Singkat cerita, terjadilah pertempuran hebat antara kubu Mayadenawa dan pasukan milik
Dewa Indra. Pasukan pimpinan Mayadenawa kewalahan. Raja yang kejam itu beberapa kali
melakukan tindakan licik. Namun, tetap saja Mayadenawa kalah. Mitologi inilah yang menjadi
dasar peringatan Hari Raya Galungan, bahwa dharma atau kebaikan akan mampu mengala hka n
adharma alias kejahatan.
Filosofi Galungan
Seperti yang digambarkan dalam mitologinya, Hari Raya Galungan dirayakan untuk
memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa atau kebaikan melawan
kejahatan. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat –majelis organisasi umat Hindu
Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan dan sosial– melalui website resminya
menjelaskan, inti dari Galungan sebenarnya adalah bahwa manusia harus mampu mengendalika n
hawa nafsu yang bisa mengganggu ketenteraman batin dan kehidupan. Hawa nafsu manusia
tersebut dibagi menjadi tiga kala, yang pertama adalah Kala Amangkurat, Kala Dungulan, dan
Kala Galungan.
Kala Amangkurat adalah nafsu ingin berkuasa yang berujung pada keserakahan, ingin
memerintah, dan ingin mempertahankan kekuasaan kendati menyimpang. Kala Dungulan yaitu
nafsu ingin merebut semua yang dimiliki orang lain. Sedangkan Kala Galungan adalah nafsu
menang dengan menghalalkan segala cara.
Selain itu, perayaan Galungan juga mengandung makna sebagai ungkapan rasa
syukur umat Hindu kepada atas segala karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
Rangkaian Hari Raya Galungan
1. Tumpek Wariga
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh,
atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari
Tumpek Wariga yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara yang merupakan manifestasi Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugas beliau sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-
tumbuhan yang ada di dunia.[1] Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan
menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubur sumsum (bubuh) yang berwarna seperti:
2. Sugihan Jawa
Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan
Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari
sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).
Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara
Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif
yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada
upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan
Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura
akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan
dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku
Sungsang
3. Sugihan Bali
Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata
Bali= Wali= dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan
pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis
penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali
dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
4. Hari Penyekeban
Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti
mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban
ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.
5. Hari Penyajaan
Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan
ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut
kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh
mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galunga n.
Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
6. Hari Penampahan
Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku
Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada
hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan [penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang
bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga
menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembeliha n
babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam
diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur
akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat
suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan
pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya
masing- masing.
10.Ulihan
Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya
para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang
umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan