Anda di halaman 1dari 7

MAKNA SIWARATRI

 
Hari Raya Siwaratri
Hari Raya Siwa Ratri jatuh pada :
a) Purwanining Tilem ke VII ( Pitu )
b) Akhir Pangelong, panglong ping 14

Pada saat Siwa Ratri selayaknya kita melakukan hal –hal seperti dibawah ini :

1. Subuh pagi hari, menghormat pada Nabe, dan commit akan melakukan Brata Siwa Ratri ( Tapa – Brata –
Yoga – Semadi )
2. Melaksanakan Upawasa, monobrata, jagra ngastawa maring Hyang Siwa, diawali sujud maring Hyang
Kumare dan Hyang Gajendrawadana
3. Sarana bebanten : Banten pejati, Tempayan air kumkuman, diisi daun bilhwa / bernuk 108. Bunga-
bunganya kenyiri, melati, sulasih, sukaasti, gambir, kecubung, menuri putih, bubuh, susu, kacang ijo, dan
gula aren.
4. Rsi Bojana kepada sang guru
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa terdiri dari dua unsur yang utama yaitu purusa dan pradana atau
unsur kejiwaan dan unsur kebendaan. Purusa adalah jiwa yang penuh kesadaran karena bersumber dari
atman. Atman berasal dari Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa. Pradana adalah unsur material yang
menjadi dasar jasmani terdiri dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta (tanah, air, api, udara dan
angkasa). Karena itu Bhagavadgita menyebutkan, manusia memiliki dua kecenderungan yaitu
kecenderungan kedewaan atau dewa sampad dan kecenderungan keraksasaan atau asura sampad. Kedua
kecenderungan itu bisa silih berganti muncul setiap saat menguasai manusia.
Jika kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, ma-ka segala perbuatannya selalu berdasarkan
pada sreya karma. Sreya karma mengarahkan perbuatan yang selalu berdasarkan dharma, karena didorong
oleh kesadaran. Kesadaran itu adalah penguasaan indria oleh pikiran dan pikiran oleh budhi yang disinari
pancaran suci atman. Sebaliknya, kalau kecenderungan keraksasan yang menguasai diri manusia, maka
segala perbuatan manusia selalu didasarkan oleh wisaya karma. Wisaya karma mengarahkan manusia
berbuat di luar dharma bahkan bertentangan dengan dharma. Perbuatan itu semata-semata didorong
wisaya atau hawa nafsu semata.
Sreya karmamengarahkan perbuatan yang disebut subha karma (perbuatan baik) dan wisaya karma
mengarahkan perbuatan yang disebut asubha karma (perbuatan yang penuh dosa). Manusia tentu harus
menghindari perbuatan yang penuh dosa. Untuk mengetahui perbuatan dosa dan perbuatan yang sesuai
dengan dharma dapat dilihat contohnya dalam Itihasa dan Purana. Dalam Mahabharata, Pandawa di bawah
tuntunan Sri Krishna selalu berbuat dengan penuh pertimbangan dharma. Sebaliknya Korawa, saudara
sepupu Pandawa, berbuat atas dasar dorongan hawa nafsu keduniawian saja. Contoh perbuatan yang baik
dan buruk, juga bisa kita temukan dalam Ramayana. Sri Rama selalu bertindak di atas pertimbangan
dharma. Sedangkan Rahwana selalu bertindak berdasarkan doro-ngan hawa nafsu yang menyimpang sama
sekali dengan dharma.
Berbuat yang selalu berdasarkan dharma tidak segampang membalik telapak tangan. Tantangan atau
godaan acapkali menghadang, sehingga untuk melakukan kebajikan itu, harus berani menanggung derita,
bahkan mempertaruhkan nyawa. Satu hal yang perlu diingat adalah, agar dapat selalu berbuat berdasarkan
dharma, maka harus selalu memelihara kesadarannya.
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara
kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena
memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan
ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam
pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagra-lah
yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa
yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah
(pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit
mendapatkannya. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai
pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan
pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena
itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut “malam kesadaran” atau “malam pejagraan”, bukan “malam
penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang
bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang
disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan
budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Hyang Widhi
Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan. Jika budhi selalu
mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat
mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat
dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa
memiliki kekauatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari
Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan
demikian, upacara Siwa Ratri se-sungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa
dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem
kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar
Wraspati Tattwa dise-butkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan
japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang
Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Sumber Ajaran Siwa Ratri
Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan amat terbatas, yaitu hanya oleh sejumlah pendeta di Bali dan
Lombok. Pada tahun 1966, setelah hancurnya Komunisme di Indonesia, kesadaran akan kegiatan rohani
kian bangkit. Tahun 1966 itulah, perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh Parisada dan pemerintah
lewat Departemen Agama.
Mengapa Siwa Ratri dimasyarakatkan, tentu karena memang dianjurkan oleh kitab suci Hindu. Di India,
setiap menjelang bulan mati (setiap bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun
merayakan Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam pustaka berbahasa
Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda, bahwa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan
baik oleh umat Hindu di India, maupun di Jawa dan Bali.
Kemudian baru sejak 1966, Siwa Ratri dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Indonesia. Dalam kepustakaan
Sanskerta, keutamaan brata Siwa Ratri diuraikan dalam kitab-kitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda
Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana, pada bagian Jñana Samhita memaparkan
keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog
antara seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebutlah, dikisahkanlah seseorang yang
kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata
Siwa Ratri. Berkat ke sadarannya bangkit, ia tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu dengan mantap berjalan
di jalan dharma.
Dalam Skanda Purana dituturkan percakapan seseorang bernama Lomasa dengan para rsi. Lomasa
menuturkan kejahatan orang bernama Canda yang suka membunuh, dari membunuh binatang sampai
brahmana. Namun setelah melakukan tapa brata Siwa Ratri, Canda yang jahat itu akhirnya sadar akan
segala perbuatan dosanya dan baru memahami kebenaran. Canda akhirnya menjadi orang suci dan bisa
bersatu dengan Tuhan. Dalam Skanda Purana, juga disebutkan tentang tata-cara dan asal-mulanya
dilangsungkan upacara Siwa Ratri tersebut.
Sumber Sanskerta yang lain, yaitu Garuda Purana memaparkan upacara Siwa Ratri lebih singkat. Di situ
dituturkan tentang Sang-hyang Siwa yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari itrinya (saktinya) yaitu
Dewi Parwati. Dewi Parwati bertanya, di antara pelaksanaan brata, apa yang paling utama dilaksanakan agar
men-capai kesadaran tinggi tentang nilai hidup Ketuhanan.
Sanghyang Siwa menjawab, brata yang paling utama adalah brata Siwa Ratri. Sanghyang Siwa juga
menjelaskan tenatang tata-cara brata Siwa Ratri tersebut. Selain itu, dikisahkan pula seorang raja bernama
Sundara Senaka yang berwatak jahat dan kasar. Raja yang disertai anjingnya selalu berburu ke hutan
membunuh binatang. Selain itu, beliau juga suka menghamburkan hawa nafsu birahinya. Namun setelah
melakukan brata Siwa Ratri, beliau sadar akan semua perbuatan dosanya. Kemudian sang raja
meninggalkan kebiasaan buruknya itu, untuk kembali berpegang teguh ke jalan dharma.
Akan halnya dalam Padma Purana, brata Siwa Ratri termuat di bagian Uttarakanda. Di situ dikisahkan
dialog Raja Dilipa dengan Rsi Wasistha. Rsi agung ini menjelaskan kepada Dilipa bahwa brata Siwa Ratri
adalah brata yang sangat utama. Pelaksanaannya agar dilakukan pada bulan magha dan palguna. Dalam
kitab ini dikisahkan seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama
Lubdhaka (dalam bahasa Sanskerta, lubdhaka artinya pemburu). Suatu hari, ketika Nisada berburu ke
dalam hutan, ia kemalaman. Untuk menyelamatkan diri dari ancaman binatang buas, ia berlindung di atas
pohon — yang kebetulan pohon bila. Di bawah pohon itu, ada sebuah telaga. Agar tidak ngantuk dan tertidur
(jika tertidur tentu akan jatuh), Nisada memetik-metik daun pohon dan dijatuhkannya pada telaga.
Kebetulan di telaga itu ada sebuah lingga Siwa yang terbuat dari kristal. Lingga itulah yang kena daun
pohon. Lagi pula, malam itu adalah Purwani Tilem Kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang
paling gelap di antara 12 tilem).
Sentuhan daun bila oleh Nisada dipandang sebagai persem-bahan oleh Sanghyang Siwa. Nisada dipandang
telah sadar akan dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Karena itu, Sanghyang Siwa menerima Nisada di
Siwaloka, setelah badan jasmani pemburu itu meninggal. Para peneliti menyimpulkan, Padma Purana inilah
yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang tersebar di Indonesia.
BrataSiwa Ratri dilaksanakan dengan tiga tingkatan ber-dasarkan nista, madya, utama. Bentuk pelaksanaan
pada tingkat nista dilaksanakan dengan jagra. Jagra artinya sadar. Kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata
Siwa Ratri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk, sambil memusatkan segala aktivitas
diri pada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa. Ada yang melaksanakan
jagra semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra agama, seperti kakawin dalam berbagai judul. Ada
pula yang melaksanakan sauca dan dhyana. Dalam kitab Wrhaspati Tattwa disebutkan, “Nitya majapa
maradina sarira,” artinya sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan. Sedangkan dhyana
dalam kitab Sara-samuscaya disebutkan, Nitya Siwa Smaranam, artinya selalu mengingat dan memuja
Sanghyang Siwa.
BrataSiwa Ratri dengan jagra tidaklah tepat kalau hanya begadang semalam suntuk tanpa arah menuju
kesucian Tuhan. Jagra dalam pengertian yang sebenarnya adalah orang yang memiliki kesadaran budhi.
Melek semalam suntuk hanyalah prilaku yang bermakna simbolis untuk memacu, tumbuhnya kesadaran
budhi yang sebenarnya.
Bentuk pelaksanaan Siwa Ratri pada tingkat madya adalah dengan jagra dan upawasa. Upawasa dalam kitab
Agni Purana berarti “kembali suci.” Yang dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indria melepaskan
kenikmatan makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah lidah dilewati makanan itu
tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih untuk tidak terikat pada kelezatan makanan. Latihan upawasa ini
melahirkan sikap yang tidak tergantung pada makanan yang enak. Tubuh mem-butuhkan makanan yang
sehat dan bergizi bukan yang enak.
Upawasadilaksanakan dengan tidak boleh makan dan minum dari pagi hari saat matahari terbit pada
panglong 14 sampai besoknya pada Tilem sasih Kepitu saat matahari terbenam. Upawaca Siwa Ratri
dilaksanakan selama 36 jam penuh. Upawasa ini dapat dilakukan sampai bepergian ke luar rumah misalnya
sambil titra yatra. Ini bedanya dengan upawasa Nyepi yang hanya dilakukan di tempat, tidak boleh
bepergian.
Pelaksanaan brata Siwa Ratri yang paling utama bersumber dalam sebuah kekawin berbahasa Jawa Kuna
yang bernama Siwa Rarti Kalpa buah cipta dari Mpu Tanakung. Menurut Worsley, salah seorang peneliti
sastra Jawa Kuna, bagian-bagian tertentu dari kekawin Siwa Ratri Kalpa merupakan terjemahan dari kitab
Padma Purana Sansekertia.
Kakawin Siwa Ratri Kalpa ini di Bali terkenal dengan kakawin Lubdhaka. Kakawin itu merupakan
terjemahan dari bagian Utarakanda dari Padma Purana. Dalam Padma Purana nama si pemburu adalah
Nisada sedangkan dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa si pemburu bernama Lubdhaka. Nama Nisada tidak
dijumpai dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Lubdhaka dalam Padma Purana bukanlah nama, tetapi artinya pemburu. Kalau boleh disimpulkan kekawin
Siwa Ratri Kalpa adalah terjemahan bebas dari Padma Purana kedalam sastra Jawa Kuna.
Kesimpulan ini menggambarkan bahwa para ilmuan, sastrawan dan rokhaniawan Hindu di masa lampau
telah demikian mahir berbahasa Sansekerta. Tanpa pengetahuan dan penguasaan bahasa Sansekerta yang
kuat tidak mungkin Mpu Tanakung mampu menyusun kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Tentang Mpu Tanakung, Prof. DR. Purbacaraka pernah menduga bahwa Mpu Tanakung adalah seorang
pegawai yang hidup pada zaman Ken Arok memerintah di Jawa Timur. Purba-caraka juga berpendapat
bahwa Mpu Tanakung mengarang kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk mengambil hati raja Ken Arok
orang yang pernah sebagai perampok dan merebut istri rajanya sendiri yaitu Tunggul Ametung.
Prof. Zoetmulder dan Prof. A. Teuw, keduanya peneliti sastra Jawa Kuna yang tersohor, mendapatkan
kesimpulan yang amat berbeda dengan pendapat Prof. DR. Purbacaraka. Mpu Tanakung bukanlah seorang
sastrawan yang hidup pada zaman Ken Arok. Mpu Tanakung adalah seorang Rakai yang hidup pada zaman
Majapahit akhir, yaitu antara tahun 1466-1478 M. Itu berarti sekitar dua setengah abad setelah
pemerintahan Raja Ken Arok. Ke-simpulan ini ditarik berdasarkan hasil penelitian “Waringin Pitu” yang
berangka tahun 1447 M dan prasasti Pamintihan berangka tahun 1473 M.
Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Singawikrama yang mempunyai nama kecil Suraprabhawa. Nama
Suraprabhawa inilah yang tercantum dalam menggala kekawin Siwa Ratri. Tujuan Mpu sebagai seorang
yang suci atau pendeta mengarang kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk menyebar luaskan ajaran brata
Siwa Ratri sebagai ajaran Hindu yang amat utama. Tidaklah mungkin seorang Mpu yang suci menjilat sekali
pun kepada rajanya sendiri.
Dalam tradisi Hindu orang suci seperti Mpu mendapat kedudukan yang sejajar dengan seorang raja dalam
fungsi yang berbeda.
Oleh karena itu Empu Tanakung dapat diyakini seorang, tokoh agama yang menyebarkan ajaran suci agama
Hindu termasuk ajaran Siwa Ratri.
Dapat dipastikan pula Empu Tanakung adalah seorang sastrawan spiritual yang ahli bahasa Sansekerta dan
ahli bahasa Jawa Kuna. Kemahiran beliau dalam dua bahasa inilah yang menyebabkan beliau dapat dengan
mudah mendalami tatwa-adyatmika yang terdapat dalam sastra-sastra Hindu seperti ajaran Siwa Ratri
dalam Padma Purana.
Di Bali ajaran Siwa Ratri disebarkan dalam berbagai bentuk. Di Bali terdapat lontar yang menguraikan
keutamaan brata Siwa Ratri seperti Geguritan Lubdhaka danLontar Lubdhaka Caritra. Kedua lontar itu
terdapat dalam koleksi lontar Fak. Sastra Unud Denpasar. Di Gedung Kertya terdapat lontar Aji Brata yang
juga menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri.
Pelaksanaan Brata Siwa Ratri.
Tata pelaksanaan brata Siwa Rarti telah diseminarkan oleh PHDI Pusat bersama dengan IHD Denpasar
tahun 1984. Hasil seminar tersebut telah ditetapkan oleh PHDI Pusat menjadi Pedoman Pelaksanaan Brata
Siwa Ratri. Brata Siwa Ratri dilaksanakan pada hari “Catur Dasi Krsna Paksa” bulan Magha yaitu panglong
ping empat belas sasihkapitu.
Tujuan brata Siwa Ratri untuk menemukan “kesadaran diri” (atutur ikang atma rijatinia). Brata tersebut
dilaksanakan dengan upawasa, monabrata dan jagra. Monaartinya berdiam diri tidak bicara. Mona artinya
bertujuan melatih diri dalam hal berbicara agar biasa bicara dengan penuh pengendalian sehingga tidak
keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona berarti melatih pembicaraan pada diri sendiri
dengan merenungkan kesucian.
Sehabis sembahyang atau meditasi dan japa biasakan me-lakukan mona atau agak membatasi berbicara. Hal
ini akan bermaanfaat untuk memberikan kesempatan pada berkembangnya “positif energi” untuk
menggeser “parasit energi.”
Positif energi dalam diri akan dapat memberikan kita kesehatan, ketenangan dan kesucian. Kalau tiga hal ini
dapat kita miliki dalam hidup maka hidup yang bahagia lahir bathin akan semakin kita rasakan.
Demikianlah tiga tingkatan pelaksanaan brata Siwa Ratri berdasarkan nista madya utama. Dari segi makna
amat tergantung kesungguhan sikap kita melaksanakan brata tersebut. Meskipun kita mengambil yang nista
namun sikap yang melandasi ber-sungguh-sungguh, maka yang nista itu pun akan menghasilkan yang
utama.
Share this:

 Click to share on Facebook (Opens in new window)


 Click to email this to a friend (Opens in new window)
 Click to print (Opens in new window)

Related
SivaRatri
PERAYAAN HARI SUCI SIWARATRI Kegiatan diseputar Siwaratri belakangan ini sudah semakin banyak
dilakukan oleh lapisan masyarakat, baik dikalangan masyarakat umum, para pelajar / Maha Siswa, para
ilmuwan, generasi muda maupun di kalangan pencinta seni sastra. Sebagaimana diketahui bahwa perayaan
hari suci Siwaratri ini erat kaitannya dengan sebuah kisah seorang pemburu…
January 23, 2014

In "Articles"
PERAYAAN HARI SUCI SIWARATRI
Kegiatan diseputar Siwaratri belakangan ini sudah semakin banyak dilakukan oleh lapisan masyarakat, baik
dikalangan masyarakat umum, para pelajar / Maha Siswa, para ilmuwan, generasi muda maupun di
kalangan pencinta seni sastra. Sebagaimana diketahui bahwa perayaan hari suci Siwaratri ini erat kaitannya
dengan sebuah kisah seorang pemburu bernama Lubdhaka yang diuraikan…
April 13, 2012

In "Articles"
Saiva Siddhanta
FILSAFAT SAIVA SIDDHANTA BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Siwaisme yang berkembang di
India, merupakan asal mula dari agama Hindu. Berawal dari kelahiran dan perkembangan paham Siwaisme
di daerah Jammu dan Kashmir, di sekitar pegunungan Himalaya (Parwata Kailasa). Di wilayah Jammu dan
Kashmir, terdapat lembah sungai Sindhu. Di lembah inilah…
May 7, 2015

In "Articles"
Leave a comment
Filed under Articles

Leave a Reply

Search
Search for:  

 DAFTAR ISI
 (no title)
 Indik Lontar Sasab Merana
 MAKNA SIWARATRI
 Lontar Sanghyang Ajnana Wisesa
 Lontar Sanghyang Kawuwusan Jati
 Lontr Sanghyang Aji Rajapeni
 Lontar Sipta Sunya Tan Pamaya
 Lontar Tatwa Budha
 Lontar USADA DALEM
 Tatwa Aji Bhairawa
 Desa Adat
 Dasaksara
 Tutur Angastiaprana
 Gallery
 Silsilah Brahmana (Versi Kamasan,  Klungkung)
 Tattwa Aji Bratha
 Lontar Pekardin DhangHyang
 (no title)
 (no title)
 Tutur Kalimhosadha

 Categories
 Articles
 Gallery

Anda mungkin juga menyukai