Anda di halaman 1dari 117

COKDE COLLECTION- 1

Banten, Bukan Penebus Dosa


Banten vs Dosa
Warga Hindu (Bali) tiap kali menggelar upacara keagamaan
bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan upacara
menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama.
Ida Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa
menyucikan dosa? Apakah banten bisa menggantikan dosa? Kalau
banten memang bisa menebus dosa, atau setidaknya mengurangi
berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan berlomba-
lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang
sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa?
Kalau cuma miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang
penting dosa akhirnya bisa dihapuskan.

Bagaimana ini mesti dipahami, diterangkan, biar pihak non-Bali


Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan kita di Bali yang
sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana
rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung,
melainkan cukup dengan membeli, layaknya membeli komoditas
lain di pasar swalayan? Terus terang saya belum menemukan
jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita
Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.

Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar

Jawab:
Yajnya adalah persembahan dan korban suci yang dilakukan
secara tulus ikhlas tanpa pamerih. Karena bersentuhan dengan
ketulusikhlasan, maka yajnya yang kita persembahkan semestinya
tanpa menimbulkan beban bagi yang melaksanakan. Ikhlas
memiliki makna melakukan yajnya yang disesuaikan dengan batas
kemampuan. Tanpa pamerih artinya dalam melakukan yajnya kita
tidak mengharapkan suatu pembalasan atau penghormatan apa
pun, melainkan semata-mata karena rasa bakti kita kepada leluhur,
para dewa, dan pada akhirnya kepada Tuhan—yang kerap
dirumuskan dengan kalimat rame ing gawe sepi ing pamrih.

Pada hakikatnya yajnya itu timbul dari rna atau utang. Adapun
manusia memiliki tiga utang atau kewajiban utama yang disebut
trirna, yakni pitra-rna, dewa-rna, rsi-rna. Dari sinilah kemudian
muncul pancayajya: utang kelahiran (pitra-rna) akan melahirkan
manusayajnya dan pitrayajnya; utang hidup dan kehidupan (dewa-
rna) memunculkan dewayajnya dan bhutayajnya; serta utang
pengetahuan tentang hidup (rsi-rna) melahirkan rsiyajnya. Dalam
COKDE COLLECTION- 2

Bhagawata Purana, yajnya itu dibagi menjadi lima hal pokok yang
disebut pancamahayajnya, terdiri dari:

1. Drawyayajnya, yaitu ber-yajnya dengan harta benda, seperti


banten dan sejenisnya;

2. Tapayajnya, yakni ber-yajnya dengan pengendilan diri;

3. Jnanayajnya, yaitu ber-yajnya dengan mempelajari hidup dan


kehidupan (pengetahuan rohani);

4. Yogayajnya, yakni ber-yajnya lewat melatih diri dengan


pengaturan napas kehidupan;

5. Swadyayayajnya, yakni dengan mempersembahkan tenaga


sebagai persembahan.

Jadi, berpijak pada pancamahayajnya ini, sesungguhnya, upacara


dengan banten hanya seperlima bagian dari pelaksanaan yajnya.
Begitu juga jika bersuluh pada trikerangka agama Hindu—yang
mencakup tatwa (filosofi), susila (etika), dan upacara, maka
beryajnya tidak cukup hanya dengan sesaji atau banten.

Sayangnya, selama ini masih terjadi ketimpangan dalam


pelaksanaan beragama Hindu. Kebanyakan kita hanya
mengutamakan upacara sebagai bentuk bakti kepada Tuhan dan
terkadang mengabaikan etika serta tatwa yajnya itu sendiri.
Akibatnya, memunculkan suatu bentuk upacara yang penuh sarat
dengan sarana, sebaliknya sangat minim pengetahuan kita tentang
tatwa upacara tersebut.

Jadi, yajnya, khususnya upakara (dari kata upa = dekat; kara =


tangan) bukan bertujuan sebagai sarana penghapusan dosa,
melainkan menjadi satu di antara bentuk bakti kepada alam,
leluhur, para dewa serta Tuhan. Dengan demikian tidak perlu ada
kekhawatiran bagi kita yang kurang mampu untuk melaksanakan
upacara dengan banten besar atau megah. Masih ada banyak jalan
yang bisa ditempuh sebagai bentuk pelayanan bakti kepada Tuhan,
sehingga pencapaian jagaddhita dan moksartham akan terwujud
seperti disuratkan dalam Upanisad Manawa Sewa, “Layanilah
manusia sebagaimana engkau melayani Tuhanmu.”

Rentang Waktu Caru & Tawur

Di Bali ada berbagai jenis upacara keagamaan. Di antaranya


bhutayajnya, setingkat macaru dan tawur. Lantas, apa ada batasan
COKDE COLLECTION- 3

jangka waktu setiap tingkatan dan jenis upacara macaru dan


tawur? Pada saat seperti apa mesti digelar upacara bhutayajnya
yang dinamakan caru dan bilamana lantas menggunakan tawur?
Mohon penjelasannya.

Ni Wayan Sukasih
Buahan, Payangan, Gianyar

Jawab:
Terlebih dulu perlu kiranya dijelaskan batasan-batasan yang
disebut segehan, caru, maupun tawur. Dalam rontal Carcaning
Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang
berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada
unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna
tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam
masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning,
merah, hitam, an campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga
menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan, sehingga
memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau
tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan
berikutnya. Sedangkan pancasanak sampai dengan pancakelud
dalam rontal ini disebutkan sebagai caru yang berfungsi sebagai
pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di
mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pamlaspas maupun
pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru
ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.

Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik


sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang
tersurat dalam rontal Bhama Kertih—digolongkan sebagai upacara
besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur
ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam
semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun,
100 tahun (untuk ekadasarudra), dan 1000 tahun untuk marebu
bumi. Caru lazim digelar bilamana terjadi proses upacara
pamlaspasan dan ngenteg linggih pada tingkatan madya atau
menengah. Begitu juga manakala ada kondisi kadurmanggalan
dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga
lingkungan alam kembali stabil.

Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai


pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah
ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar
di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada
tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Upacara Rsi Gana, Bhuta/Dewa Yajnya?
COKDE COLLECTION- 4

Warga Hindu di Bali dan orang Bali yang berada di luar Bali
mengenal ada banyak jenis upacara. Ada yang menyebutkan
upacara Rsi Gana itu bukan sebagai caru atau bhutayajnya,
melainkan digolongkan ke dalam dewayajnya. Alasannya, Rsi Gana
bukan untuk mengharmoniskan alam lewat proses somya,
melainkan pemujaan kepada Ganapati sebagai Vignesvara agar
terhindarkan dari berbagai rintangan. Menurut Ida Pandita Dukuh,
yang manakah betul sesungguhnya, apakah Rsi Gana itu upacara
tergolong bhutayajnya ataukah dewayajnya?

Made A Dwipranatha
Sidemen, Karangsem

Jawab :
Sebagaimana Saudara Made sebutkan, dalam upacara agama
Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana. Patut dipahami
terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu
bentuk pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para
Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini
diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari
berbagai halangan.

Namun penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah


terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya,
sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru—kebanyakan
orang menyebut dengan istilah caru Rsi Gana. Padahal antara Rsi
Gana dengan caru itu terpisah adanya. Upacara Rsi Gana bisa
diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti
upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
Misalkan, Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim
dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan
bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru
pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Adapun Rsi
Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud, yakni menggunakan
seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk


memuja Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa
Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan
Gana Pati sendiri. Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa

Arti dan Fungsi Sarana Upakara


Berikut ini adalah tulisan tentang rangkuman pada buku arti dan fungsi
sarana upakara.
COKDE COLLECTION- 5

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti


kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama
juga di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan
Jnyana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam
pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara
dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu
umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun
dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-


sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya
peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah
Bhakti atau penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada
akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai
nilai yang tinggi.

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana.


Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua
tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya
belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut
”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat
menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.

Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-


simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan
visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci.
Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib
dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain:
- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud
“dipa dan dhŭpa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara
Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau
sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu
COKDE COLLECTION- 6

pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat


upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah
berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun
mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.

Arti dan Fungsi Bunga


Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare
pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang
ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu
persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan
tanpa dasar kita suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara.
Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak
cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah
selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau
disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai
sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara
atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa ataupun roh suci leluhur.

Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana
persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija.
Canang, kewangen, bhasma dan bija ini adalah sarana
persembahyangan yang berasal dari unsur bunga, daun, buah dan air.
Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna
yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu.

Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :


1. Canang

Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan


kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur
- unsur pokok daripada canang tersebut adalah:

a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.


Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih
adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
COKDE COLLECTION- 7

manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.


b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya
pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar
Yadnya Prakerti.
c. Bunga lambang keikhlasan
d. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan
kelanggengan pikiran.
e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara
yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi
bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.

2. Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya
harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga
menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya
keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita
tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.

Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah


Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana
pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai
upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai salah satu sarana penting
untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu
bangunan.

Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika dilangsungkan


upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap
persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah
kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang
Pancadatu (lambang unsur-unsur alam) sendang fungsi Kawangen
dalam upacara memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3. Bunga sebagai Lambang, antara lain


a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.
COKDE COLLECTION- 8

Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa

Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa.


Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap
dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni
yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara


2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang
dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang


penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara
keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam
bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang
tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan
dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus
tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk
penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh
dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-
ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan
guna.

Arti dan Fungsi Tirtha

Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis


air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air untuk
membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha.
Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan
memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan
Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun
kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di
kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan
bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga
dengan bija, dan bhasma yang disebut gandhaksta.
COKDE COLLECTION- 9

Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan
mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul
kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.

Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua


jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan
makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan
sebagai berikut :

a. Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan


b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip / penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan

Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2 dan 5 dijelaskan


Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan air suci. Mantra
adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra, karena
tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam
dan ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima
suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing
dan sebagainya. Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang
demikian itu dianggap mengandung sakti, disebut ”Wijaksara”.

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut : Brahma.


Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan, Ia yang maha
kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu
manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa,
Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.

Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantra juga
disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra, contoh dua buah
mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa”
dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana
persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang
harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua
sarana persembahyangan itu akan sia-sia, untuk dapat
menghubungkan diri dengan yang dipuja.

Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?


Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?
COKDE COLLECTION- 10

Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya


(mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai
salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta /
Panca Maha Bhuta.

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:


Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada
peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar
adat dll)
Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar
(biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam
keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga
memerlukan caru jenis madya
Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu
(bangsa) Indonesia

Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap


panca sata, urutan penempatan caru (madya) panca sata adalah
sebagai berikut:
Timur = Purwa: ayam warna putih, dengan urip 5.
Selatan = Daksina: ayam warna merah (biing), dengan urip 9.
Barat = Pascima: ayam warna kuning (putih siungan) , dengan urip 7.
Utara = Uttara: ayam warna hitam (selem), dengan urip 4.
Tengah = Madya: ayam warna brumbun, dengan urip 8.

Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik
atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal
itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk
mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya.

Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin


terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan
Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita
artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita,
itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu
adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam
yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.
COKDE COLLECTION- 11

Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang),


sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit artinya
‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan
: Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan
keharmonisan.

‘Keseimbangan/keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri


Hhita Karana’ yakni
keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan
(parahyangan),
sesama manusia (pawongan), dan
dengan alam semesta (palemahan).

Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan


keharmonisan itu terganggu, misalnya : pelanggaran dharma/dosa,
atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra
ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau
bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, “patut
diadakan pecaruan”.

Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ?

Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia,


karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian
berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan.
Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan
banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam
brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor
ayam. dan seterusnya…

Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara


Yadnya telah disebutkan dalam “Manawa Dharmasastra V.40”;
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana
upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan
berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-
tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang
utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk
sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat
mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat
COKDE COLLECTION- 12

dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok


upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat
kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus
meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

Berikut ini dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru,


maupun tawur:

Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan
“Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu,
banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai
bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada
berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi
dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.
Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi
nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang
merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep
(dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga
membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan
tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan


warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan
Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten
Byakala dan Banten Prayascita.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada


Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu.
Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura
atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan
jalan.

Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon
kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh
umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama
terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari).
Segehan yang besar berbentuk caru.
COKDE COLLECTION- 13

Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis


kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi
segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan
cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat
tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini
dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat
beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu
halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur,
daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca
mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat
terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta
(panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan
menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.

Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman


rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan
manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur
berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna
merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa
Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di
tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat
warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang
berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah
satu di tengah-tengah.

Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan


seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam
brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran
keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima
ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih,
kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya
juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus
untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai
runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki
kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.

Caru
COKDE COLLECTION- 14

Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan


“Caru“. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti
pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis
binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di
laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru” jenis-jenis caru adalah
Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru
yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau
kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan
lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai
dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.

Baten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana


agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses
pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah
(madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi
kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru
sehingga lingkungan alam kembali stabil.

Tawur
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang
digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan
marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam “lontar Bhama
Kertih” digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang
diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi
sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur
ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa
rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.

Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg


linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh
aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini
memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan
kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur Kesanga
dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah
upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan
Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap
seratus tahun sekali.
COKDE COLLECTION- 15

Upacara Rsi Gana


Dalam upacara agama Hindu memang ada dikenal istilah Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru,
melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati
(Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas
halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia
terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan
“upacara Rsi Gana” memang tidak pernah terlepas dari penggunaan
caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu
sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah “caru
Rsi Gana”.

Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru
yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana
bersangkutan.
Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan
sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis
warna).
Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan
bulu berbeda).
Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek
putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja


Dewa Gana Pati atau Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para
Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa Siwa, dan Gana Pati sendiri.

Om Swastyastu

1. PengertianPura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi
COKDE COLLECTION- 16

masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari


jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang
sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang
Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai
tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata
Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan
data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti
Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci
atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.

Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada


disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan " yang artinya tempat
suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa
tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api
dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama,
tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.

Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna


yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang
berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad
ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan
raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana.
Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga
kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam
periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M)
datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu
yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari
Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau
Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan
dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal
Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan
besar dalam tata keagamaan di Bali.
COKDE COLLECTION- 17

Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat


kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau
juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru,
Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman
dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat
kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara
spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis pedagingan
pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa
Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di
Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah
rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing
Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti
Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan
berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya.
Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang
berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa
apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri
Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja
bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit
kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah
Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura,
Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung
disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk
menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di
Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam
hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah
pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M )
datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah
untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di
COKDE COLLECTION- 18

Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai
akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham
keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan
yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa
dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada
pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.

Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk
Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga
kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh
Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara
phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada
jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha
membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang
Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh
Leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata


Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci
untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan
Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian
namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai
suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk
Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang
tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan
mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang
amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa
pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap
Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman
COKDE COLLECTION- 19

neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum


Kebudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk
punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan)
dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat
dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur
tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan
berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu
juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan
lingkungan budaya Nusantara.

Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan


dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung
(Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa
gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para
dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan
Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian) Roh Leluhur dapat
mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu
tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah
Atmasiddhadewata.

Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur
kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak,
namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli
tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan
leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara
pasti tampil dan berkembang bersama - sama dengan unsur pemujaan
terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan
masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama
pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan
sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur
kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada konsepsi
COKDE COLLECTION- 20

Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di


samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini
memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung
(Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.

2. PengelompokanPura

3. Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai


tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara,
dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja


Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja
bhatara yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut


di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang
berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa
juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat
adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra
penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan
siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut
bhatara.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri


(kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya
kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti :
Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ).
Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat
tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru
suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan
kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat
COKDE COLLECTION- 21

dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain


dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian
hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain -
lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran
dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah


beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut
berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah
sebagai berikut:

1). Pura Umum.

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan


Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang
tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong
mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur,
Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha,
Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura
Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan
untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau
Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu,
karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang
jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu
yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam
karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut
Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan
dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena
peranannya sebagai Dang Guru.

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru,


COKDE COLLECTION- 22

tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura


yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari
Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-
tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 )
seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura
kerajaan Mengwi.

Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang


pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis
pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan,
Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura
Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis


tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan
Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut
sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia
atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan
dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai


tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau
suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu
banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok
sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki
pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya
memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura
Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat
pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan
Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat
bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang
COKDE COLLECTION- 23

bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga


disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura
Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang


merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang
memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat
Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan
Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura
Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat-
tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di
dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura
Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura
Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan
dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang
tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura
Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura
Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat


panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai,
profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup
seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena
bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem
ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura
Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura
itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi
dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan


seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga
COKDE COLLECTION- 24

mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker,


Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian


hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud
Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting
didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam
lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya


ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran
(genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang
merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura
Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan
adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari
masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil
adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga
inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari
nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat
pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka
disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih
(nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu
keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family)
Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan
anak- anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau


Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat
pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan
agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih
luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok
COKDE COLLECTION- 25

kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai


ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura
Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu
ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran
( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama
ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat
Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu,
setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan
setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang
kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci
.Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar
kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X
tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan
pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat


memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan
oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti
purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal,
wangsa yang bersangkutan.

2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk


memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk
didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia,
dan pedharman

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang


Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura
COKDE COLLECTION- 26

Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang


disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang


Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan)
yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian
seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya


ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis
(vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu,
Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang
sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha


atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi
atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan
Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan
pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang
disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada
pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.

3. Tata Upacāra Membangun Pura


a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini
dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun
sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin
adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan
secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini
dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun
COKDE COLLECTION- 27

pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti


membangun sepelebahan pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud
mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan
didirikan, dan luas masing-masing mandala (palemahan) pura,
sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang
termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu
pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu
Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati,
dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah
yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya
Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan
kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan
aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah
kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara
Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk
membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para
pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan
melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan
Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal
pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan berupa Panyudha
Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya,
dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing,
maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang
dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung sejak dahulu
dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan
Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai
lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis
pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya tidak
COKDE COLLECTION- 28

sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang


bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang berbeda.

Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping


mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan,
sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih.

Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan


meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang
mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir,
yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot
manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa,
maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang
mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah,
prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi
mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami
medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna
putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan
sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum
kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring
puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur
maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika
kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah
punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali,
madya 8 tali, nista 4 tali.

Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun,


Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi-
wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga,
miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas,
slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas
mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang
catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah
COKDE COLLECTION- 29

makara, pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem,


miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian
setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir
sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir
padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan
mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika
wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun
kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra
potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih
pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah korsi mas,
phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"

Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena
telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat
dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.

f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra


paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara
estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti
menobatkan/ menstanakan.

Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang


Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun,
sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala
dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan.
Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara
garis besarnya adalah sebagai berikut :

Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga,


dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat) soroh dan banten catur,
tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur,
benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam
empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang
COKDE COLLECTION- 30

menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan banten suci


sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya
(menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang
bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi
bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah,
ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang
merah. Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada
rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak
segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada
masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang
kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning,
merah dan hitam. Pada bangunan panggungan perlengkapannya
adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng
225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan
lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang,
uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding, dijadikan lima nyiru,
ini disebut banten paselang.

Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan


gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang
nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya
digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya
dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu
guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.

Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan


perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan
banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang
Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1,
bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa
caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung,
anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci,
bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua
COKDE COLLECTION- 31

Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih,


kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama.

Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai


Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk
sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra
saat Ngenteg Linggih

4. Upacāra Pujawali (Odalan)

Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan


Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu
ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan Para Dewa sekalian.

Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten,
banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya
merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus
ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa meyakinkan getaran-getaran
nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat
tergantung daripada-Nya.

Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian
melandasi umat Hindu dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu
dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk-petunjuk Bhagawadgita
(salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 - 13 berbunyi sebagai
berikut :

"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan


aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" - Dipelihara oleh Yadnya,
para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia yang
menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan
kepada-Nya adalah pencuri.
COKDE COLLECTION- 32

"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham


papa ya pacanty atmakaranat" - Orang-orang yang baik yang makan
apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan
tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi kepentingan
sendiri adalah makan dosanya sendiri.

Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui


Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat segala sesuatunya
sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan Yadnya
kepada-Nya.

Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu


adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang
paling dalam (suci - bersih), bukan didasarkan atas besar kecilnya
yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya menyatakan betapa
sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :

"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham


bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" - Siapapun dengan kesujudan
mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah-buahan dan air,
persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang
suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)

Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung


Pura dan umat bertekad melaksanakan dan mensukseskan Upacāra
Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala ketulusan hati
yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali /
Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :

a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing.


Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
COKDE COLLECTION- 33

2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,


Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.

3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:

a. Peasepan

b. Toya Anyar

c. Byakala:

a) Pengeresikan

b) Tirtha – Padma

c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah

d) Prayascitta:

a) Pengeresikan

b) Tirtha – Padma

c) Bungkak Gading – Lis Senjata

d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas

e) Pengulapan:

a). Pengeresikan

b).Tirtha – Padma

c). Bungkak Bulan – Lis


COKDE COLLECTION- 34

d). Banten Pengulapan diayabkan ke


pelinggih bagian atas.

Catatan:
Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon
Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari
sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat
Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih
Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur-
Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan
13 orang pengayah untuk prosesi ini.

1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan


sembahyang bersama dan keramaning sembah

2. Nunas Tirtha Wangsuhpada

3. Puja parama santih

b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan


Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari
atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan
Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5
jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian
ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras:

a. Beras

b. Beras Mereah

c. Beras kuning (Ketan)


COKDE COLLECTION- 35

d. Beras Hitam (Injin)

e. Kacang-kacangan (Bija ratus)

3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat

4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang


telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)

c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan


Pujawali)

1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning


dilinggihkan di Sanggar Tapeni

2. Suci alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1


tempeh, dibawahnya

3. Dua tempeh sukla 2, kain putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan
11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah diingsah, cili lanang-
istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang
pengeraos 2, canang sari 2

4. Beras direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-laki


oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh
Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari
Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra pujawali
berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih
faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak boros

6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha


Panginih-inih
COKDE COLLECTION- 36

7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk samuhan catur,


suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.

d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain

Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini
tidak dilaksanakan 1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan
dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha
Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan
Bumbung dan Banten. Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi
ini.  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-
Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan –
Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI),
Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung
Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur
Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal
Agung- Pelinggih Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang-
Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama
Mandala 1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-
masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita
memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha
Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-
urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha
– Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d.
Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis
Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:

e. Upacāra Pecaruan

Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita


mapuja ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta,
COKDE COLLECTION- 37

diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala,


Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-Selatan -
Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang
Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat
Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10. Nyarub Caru, dengan
urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul,
dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam (prasawya)
sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita
Mepuja dalam rangka Nedunang. Semua kegiatan a – e dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik
- Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut
Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut
(KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-
Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Caru, Bale
untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale
Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu
petugas kembali ke Utama Mandala 1. Setelah semua banten
munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi
Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha
Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3.
Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a.
Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta:
a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d)
Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten
Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek,
dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:

f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa

Banten pemagpag Umbul-umbul  Mamas  Penuntunan 


Peasepan  Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua
COKDE COLLECTION- 38

Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa,


diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha
Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua
prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit
Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d. Tedun dari
panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut-urutan dari
depan:  Banten Arepan ; Peras, Daksina, Segehan,  Perlengkapan
lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut
Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung,
Cane, Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong
Bleganjur.  Di Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di
bawah panggungan: Segehan Agung, Arak-Berem-Tuak.  Telajakan
Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi
Canang Cari. 

Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari


Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang
Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d
butuh tenaga: 26 orang Daksina Pralingga  Tempat Tirtha 
Rantasan  Cane  Banten Pangiring  Banten Penuntun dewa 

g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati

1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina


Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan dan atau bebarisan 1.
Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2. Tarian papendetan 3.
Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur sampai
di depan Kori Agung

h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati

1, Masing-Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi,


lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan.
Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari Untuk Mesucian
COKDE COLLECTION- 39

i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)

Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir,


cermin, minyak wangi, bedak), Masing-Masing Daksina Pralingga;
Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra (kain, handuk,
sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang banten
bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai
dari Padmasana samapi Anglurah dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air
kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h.
Cermin i. Masegeh Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina

j. Upacāra Mapurwa Daksina

Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari


Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang
Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa
Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita
dibantu Para Sutra Daksina Pralingga  Tempat Tirtha  Rantasan 
Cane  Banten Pangiring  Banten Penuntun dewa  Banten
pemagpag  Umbul-umbul  Mamas  Penuntunan  Peasepan 1.
Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh
Arak-Berem-Tuak. 2. Urut-urutan Purwa Daksina:

k. Upacāra Pujawali

Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini. 1. Pandita mapuja


ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas
tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama Santih Semua kegiatan a – g
dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah,
Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai
dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat
Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih
Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur-
COKDE COLLECTION- 40

Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala 1. Setelah


semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai
memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon
Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha
Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-
urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita
diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan
ke pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha
Catur Kumbha dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari
Pandita Catatan:

l. Upakāra Ngayarin:

A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari,


Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni,
Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi /Teh, kue, di bawah
Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing-
masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang
Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari,
Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni,
Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang
lainnya masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan:
Upacara Nganyarin dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer,
selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat
sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini
ditiadakan

m. Upacāra Penyineban

Tegen-tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari


Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang
COKDE COLLECTION- 41

Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa


Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita ngaturang Banten
Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina
untuk Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina
Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani Salaran  Tedung 
Daksina Pralingga  Tempat Tirtha  Rantasan  Cane  Banten
Pangiring  Banten Penuntun dewa  Banten pemagpag  Umbul-
umbul  Mamas  Penuntunan  Peasepan 1. Pinandita ngaturang
Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4.
Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-
urutan Nyineb a. Purwa Daksina:

n. Upacāra Ngelemekin

Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina


Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6.
Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang
bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10.
Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia,
Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh Semua kegiatan a
– e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji-
Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur
Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale
Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar-
Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu
petugas kembali ke Utama Mandala 1. Setelah semua banten
munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja
diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan,
Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua
Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b.
Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten
Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a)
COKDE COLLECTION- 42

Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d)


Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten
Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:

o. Penutup

Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan


sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini. Dari
uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat Hindu memenuhi
petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah
melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas
Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi tugas Umat
Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang.
Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus
dan suci tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi
kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan jagat. Demikian
Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak
kekurangannya, namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam
usaha ngastiti kerahayuan kita bersama - Moksartham Jagadhita Om
Santih Santih Santih Om
COKDE COLLECTION- 43

Abstraksi

Pada artikel ini kami memberikan gambaran tentang bagaimana cara


doa bekerja. Ada dua jenis doa yaitu – untuk keuntungan duniawi dan
untuk pertumbuhan spiritual. Dengan demikian, doa terkabul oleh
aspek –aspek KeTuhanan yang berbeda. Penelitian spiritual telah
menunjukkan bahwa bahkan energi negatif pun dapat menjawab doa-
doa, untuk merugikan kita! Tingkat spiritual seseorang adalah faktor
paling penting dalam memastikan apakah doa seseorang akan
dikabulkan. Berdoa untuk perdamaian dunia, meskipun suatu
pemikiran yang mulia, kemungkinan besar tidak akan dijawab karena
kurangnya tingkat spiritual dari umat yang berdoa. Paradoksnya, orang-
orang yang sungguh dapat memberi efek perubahan melalui sebuah
doa adalah Orang – orang Suci, tetapi Mereka melihat ketidak
berpengaruhan dalam berdoa karena Mereka telah benar-benar
sejalan dengan kehendak Tuhan dan tidak melihatnya secara terpisah
dari mereka sendiri. Terakhir, postur (sikap) doa juga memberikan
kontribusi terhadap dikabulkannya doa itu.

1. Pendahuluan tentang mekanisme doa

Ketika menghadapi situasi-situasi sulit atau yang tidak dapat diatasi


dalam kehidupan sehari-hari, seperti hilangnya barang berharga,
penyakit yang tidak dapat sembuhkan, masalah besar keuangan, dll,
orang berdoa kepada Tuhan atau kepada suatu aspek dari Nya, yang
juga dikenal sebagai dewa-dewi. Ini adalah doa-doa dengan
pengharapan materi atau duniawi.
COKDE COLLECTION- 44

Para pencari spiritual/ Tuhan, yang fokus utama dalam hidupnya


adalah pertumbuhan spiritual, juga berdoa secara teratur kepada
Tuhan tidak hanya dalam situasi sulit saja tetapi juga dalam segala
situasi sehari-hari. Doa-doa tersebut bagaimanapun, adalah bukan
tentang harapan duniawi tetapi tentang pertumbuhan spiritual dan
juga dapat dikatakan sebagai bagian dari praktik spiritual bagi mereka.

Artikel ini menjelaskan mekanisme dari bagaimana kedua jenis doa


tersebut dijawab/ dikabulkan.

Untuk memahami artikel ini dengan lebih baik silahkan membaca


artikel kami lainnya:

 Definisi (Arti) dari doa

 Apakah perbeedaan antara doa dengan suatu harapan


(ekspektasi) dan tanpa harapan?

Adalah penting untuk dicatat bahwa ketika terjadi masalah atau


kesulitan dalam hidup, akar permasalahnya bisa berasal dari fisik,
mental atau spiritual. Penelitian yang dilakukan oleh SSRF
menunjukkan bahwa hingga 80% dari permasalahan dalam hidup ini
memiliki akar penyebab dari alam spiritual. Takdir dan leluhur-leluhur
yang telah meninggal adalah dua faktor sangat penting dalam
penyebab-penyebab spiritual dari masalah-masalah dalam kehidupan.

2. Bagaimana doa – doa itu dijawab/ dikabulkan? Apakah


mekanismenya?

2.1 Siapakah yang menjawab/ mengabulkan doa – doa kita?


COKDE COLLECTION- 45

 •Diagram berikut menunujkkan siapa yang menjawab doa-doa


kita sesuai dengan jenis doanya. Umumnya, jenis doa akan berbeda
sesuai dengan tingkat spiritual seseorang. Misalnya, seseorang yang
berada pada tingkat spiritual 30% akan lebih sering berdoa untuk hal-
hal duniawi. Seseorang pada tingkat spiritual 50% akan lebih sering
berdoa untuk pertumbuhan spiritual. Dengan demikian, doa
dikabulkan oleh berbagai energi tak kasat mata (halus) di Alam
Semesta. Yang menarik dari hal ini adalah bahkan energi negatif pun
dapat mengabulkan doa-doa, baik ketika di mana hal-hal yang
merugikan diminta oleh sesoerang dan/ ataupun untuk menjebak
seseorang agar berada di bawah pengaruh mereka dengan
mengabulkan keinginan mereka pada awalnya. Misalnya, seperti yang
ditunjukkan dalam diagram di bawah, di mana seseorang yang berdoa
untuk kematian orang lain akan dibantu oleh entitas/ roh halus negatif
dari Daerah ke-4 Neraka. Doa untuk keuntungan duniawi umumnya
ditanggapi oleh dewa-dewi atau energi-energi positif dengan tingkat
yang lebih rendah. Doa untuk pertumbuhan spiritual ditanggapi oleh
dewa-dewi atau energi-energi positif dengan tingkat yang lebih tinggi.
COKDE COLLECTION- 46

1. Tentang tingkat pencapaian spiritual (Spiritual level)

Yayasan Ilmu Pengetahuan Spiritual (SSRF) menggunakan istilah


‘tingkat pencapaian spiritual’ untuk menggambarkan kedewasaan atau
kapasitas spiritual seseorang. Istilah ini berfungsi sebagai skala untuk
mendefinisikan pertumbuhan spiritual dan memberikan perspektif
tentang dimana kita berada dalam perjalanan spiritual kita. Semakin
tinggi tingkat pencapaian spiritual seseorang, semakin banyak prinsip
Tuhan YME yang termanifestasi di dalam individu tersebut.

2. Skala dari tingkat pencapaian spiritual

SSRF menggunakan suatu skala antara 1 dan 100% untuk


menggambarkan tingkat pencapaian spiritual. 1% mengacu pada
tingkat pencapaian spiritual dari benda mati, sedangkan 100%
mengacu pada puncak dari pertumbuhan spiritual seseorang, yaitu
Kesadaran – Diri atau bersatu dengan Tuhan (Pencerahan).

Mayoritas manusia di era saat ini, yaitu Kaliyuga, yang juga dikenal
sebagai Era perselisihan, berada dalam kategori tingkat pencapaian
spiritual 20%. Menurut ilmu pengetahuan Spiritualitas, seseorang yang
berada di atas tingkat pencapaian spiritual 70% dikenal sebagai Saint
atau Suci. Sama seperti kita memiliki orang-orang yang berada di posisi
atas di bidang mereka dalam dunia materi, begitu juga, dalam
COKDE COLLECTION- 47

Spiritualitas, Para Saint atau Orang Suci yang tinggal di Bumi adalah
otoritasnya. Mereka bukan hanya para cendekiawan, tetapi praktisi-
praktisi dari ilmu pengetahuan Spiritualitas dalam hidup kesehariannya
dan adalah Jiwa (Roh-Roh) yang telah mencapai kesadaran Tuhan.

Orang-orang Suci (Saints) yang aktif dalam mengajar Spiritualitas dan


membimbing para pencari spiritualitas untuk tumbuh secara spiritual
dikenal sebagai para Guru. Kurang dari 10% dari orang-orang Suci yang
hidup di Bumi adalah Guru. Guru adalah wujud fisik dari prinsip
Pengajar Tuhan dan mereka bertindak sebagai mercu suar dari
pengetahuan spiritual di dunia kita yang sangat materialistik ini.

3. Tingkat pencapaian spiritual dan praktik spiritual


COKDE COLLECTION- 48
COKDE COLLECTION- 49

4. Bagaimanakah tingkat pencapaian spiritual bisa diukur?

Tingkat pencapaian spiritual tidak dapat diukur oleh peralatan ilmiah


modern apapun, dan juga tidak dapat dipastikan secara intelektual
oleh siapapun. Hanyalah seorang Suci atau seorang Guru dapat
memastikan tingkat pencapaian spiritual seseorang dengan bantuan
indera keenam atau kemampuan persepsi Nya yang mendalam.

Cukup sering diajukan pertanyaan, “Bagaimanakah seorang Suci dapat


mengukur dengan akurat tingkat pencapaian spiritual seseorang?”

Sama seperti mata dengan kemampuan hakikinya dapat dengan


mudah membedakan antara suatu objek berwarna biru dan objek
berwarna merah dengan 100% akurasi, begitu juga seorang Suci
dengan kemampuan indera keenam Nya dapat dengan akurat
memperkirakan tingkat pencapaian spiritual seseorang. Indera keenam
membuat seseorang untuk menyadari dengan tajam dan mengukur
dengan akurat dunia yang tidak terlihat (dunia spiritual).

Sebagai panduan, kami telah menyediakan skala di bawah ini yang


akan memberikan suatu pemahaman intelektual mengenai tingkat
pencapaian spiritual seseorang.
COKDE COLLECTION- 50
COKDE COLLECTION- 51

Dengan meningkatnya tingkat spiritual seseorang, sikap dan


perspektifnya tentang hidup berubah secara dramatis. Contohnya,
seseorang pada tingkat pencapaian spiritual 30% mungkin merasa
sangat sulit untuk mencari waktu dalam jadwal sibuknya untuk
menghadiri bahkan satu ceramah spiritual. Seorang yang sama dengan
komitmen sama terhadap duniawi, setelah mencapai tingkat spiritual
40% akan dengan mudah menemukan waktu secara teratur untuk
menghadiri ceramah-ceramah spiritual dan secara teratur mempelajari
teks-teks spiritual.

Seseorang pada tingkat spiritual tertentu, misalnya pada tingkat


pencapaian spiritual 30% hanya dapat dihubungkan dengan seseorang
yang lebih beberapa persen dari nya. Misalnya, akan sangat sulit untuk
seseorang pada tingkat pencapaian spiritual 30% untuk memahami
secara spiritual orang lain pada tingkat pencapaian spiritual 40% dan
sebaliknya.

Dengan menggunakan intelek, akan sedikit mungkin untuk


memperkirakan bahwa orang lain sedikit lebih maju dalam
spiritualitasnya; namun sebaik-baiknya perkiraan tersebut hanya
samar-samar.

Dengan menggunakan intelek, akan mustahil untuk mengetahui


apakah seseorang adalah seorang Suci atau Saint.

Tingkat pencapaian spiritual ditentukan oleh sejumlah faktor. Dalam


poin-poin berikut ini kami telah membahas beberapa parameter
penting yang berkontribusi terhadap tingkat spiritual seseorang dan
bagaimana mereka berubah sesuai dengan pertumbuhan spiritual.
COKDE COLLECTION- 52

4.1 Ego dan tingkat pencapaian spiritual

 Salah satu faktor penting dalam tingkat pencapaiaan spiritual


seseorang adalah seberapa banyak ego atau kegelapan di sekitar Jiwa
(Roh/ Atma) yang telah dilenyapkan dan seberapa banyak ia
mengidentifikasikan dirinya, dengan Jiwa yang ada di dalam diri.

 Maksud kami dengan kegelapan di sekitar Jiwa atau ego adalah


kecenderungan manusia untuk melihat dirinya hanya sebagai panca
indera, pikiran dan intelek. Ego ini juga dikenal sebagai ketidaktahuan
spiritual akan kondisi keberadaan kita sesungguhnya yaitu sebagai
Jiwa/ Roh. Sistem edukasi modern dan masyarakat mengajari kita
untuk mengidentifikasi diri kita dengan tubuh, pikiran dan intelek (akal
budi) karena tidak tahu bahwa kita sebenarnya adalah Jiwa/ Roh di
dalam diri.
 Setelah mempelajari ilmu pengetahuan Spiritualitas, meskipun
kita dapat memahami keberadaan Jiwa/ Roh di dalam diri kita, kita
tidak dapat merasakan atau mengalaminya. Setelah kita melakukan
praktik spiritual, kegelapan atau ego ini mulai berkurang, sampai
dengan kita mencapai tingkat pencapaian spiritual tertinggi di mana
kita dapat secara penuh mengidentifikasikan diri dengan Jiwa yang ada
di dalam diri kita.
 Dengan praktik spiritual ego kita mulai berkurang, yang mana
berkaitan langsung dengan meningkatnya tingkat pencapaian spiritual
kita. Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa terjadi pengurangan
dalam ego dengan meningkatnya tingkat pencapaian spiritual.
COKDE COLLECTION- 53

Pada tingkat pencapaian spiritual 20%, seseorang sangatlah egois,


sadar akan dirinya sendiri dan hanya berpikir tentang diri sendiri.
Setelah kita melakukan praktik spiritual kesadaran tentang tubuh kita
berkurang. Tidak hanya kita mampu bertahan dari ketidaknyamanan
dan penderitaan, tetapi kita juga mampu untuk menerima pujian tanpa
menjadi besar kepala.

Contohnya: suatu indikasi dari ego yang tinggi adalah jika seorang
wanita yang diberitahu bahwa berat badannya telah bertambah atau
kelihatan tua, kemudian dia akan mengalami depresi untuk jangka
waktu yang lama. Variasi yang lain dari ego adalah ketika seseorang
tidak secara terbuka mengakui bahwa ia melakukan praktik spiritual,
karena hal itu mungkin membuatnya terasing dari teman-temannya.
Dalam kebanyakan kasus, kita bereaksi negatif ketika orang lain
menunjukkan kesalahan kita. Ketidak mampuan menerima kesalahan
merupakan tanda dari ego.
COKDE COLLECTION- 54

4.2 Perhatian terhadap kebahagiaan diri sendiri dan tingkat


pencapaian spiritual nya

Contoh-contoh perhatian terhadap kebahagiaan diri sendiri yang


menonjol dalam kehidupan rata-rata orang. Hal ini termasuk:

1. Kejengkelan karena harus mengurus seorang anggota keluarga


yang berarti ketidaknyamanan bagi diri sendiri

2. Kesediaan untuk menghadiri suatu ceramah spiritual hanya jika


diadakan di tempat yang dekat.
3. Kesediaan untuk menyumbang secara moneter untuk suatu
protes terhadap ketidakadilan, tetapi tidak siap untuk merelakan
waktu dan upaya oleh karena takut akan ketidaknyamanan.
COKDE COLLECTION- 55

Hasil positif lainnya dari berkurangnya perhatian terhadap kebahagiaan


diri sendiri adalah seseorang menjadi semakin luas/ expansif. Orang
tersebut dengan sepenuh hati akan lebih memperhatikan kebahagiaan
orang lain dan masyarakat.

Paradoksnya, meskipun kita kurang memperhatikan kebahagiaan diri


kita sendiri seiring kita maju secara spiritual, salah satu manfaat dari
pertumbuhan spiritual adalah kita mendapatkan akses ke kebahagiaan
yang lebih banyak di kehidupan kita. Grafik berikut ini menunjukkan
peningkatan kebahagiaan dalam kehidupan yang dialami baik secara
kualitatif maupun kuantitatif seiring dengan meningkatnya tingkat
pencapaian spiritual kita. Seorang Suci (Saint) mengalami Bliss, yaitu
suatu kondisi superlatif/ puncak yang jauh di atas dan melampaui
kebahagiaan.
COKDE COLLECTION- 56
COKDE COLLECTION- 57

4.3 Praktik Spiritual dan Tingkat pencapaian spiritual

Ketika tingkat pencapaian spiritual kita meningkat, kapasitas kita untuk


melakukan praktik spiritual baik secara kualitatif maupun kuantitatif
juga meningkat. Kapasitas kita untuk melakukan lebih banyak praktik
spiritual adalah seperti memperbesar ‘Otot Spiritual’. Semakin kita
merenggangkan diri untuk melakukan praktik spiritual, semakin
membesar ‘otot spiritual’ kita.

Praktik spiritual benar-benar dimulai dalam arti sebenarnya pada


tingkat pencapaian spiritual 35%. Yang kami maksud dengan hal ini
adalah ketika seseorang sungguh-sungguh mencari pertumbuhan
spiritual dan mempraktikkan Spiritualitas setiap hari, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar Spiritualitas. Salah satu kriteria dari pertumbuhan
spiritual adalah maju melampaui praktik spiritual sektarian (yaitu
menjadi milik agama tertentu) dan mengambil praktik spiritual yang
lebih tinggi dan halus/ non-fisik. Misalnya, seseorang yang sebelumnya
menyembah Tuhan melalui media tubuhnya – penyembahan ritual,
bergerak ke media yang lebih tinggi dan non-fisik, yaitu menyembah
Tuhan secara mental. Contoh dari hal ini adalah melakukan praktik
spiritual mengucap dan mengulang nama Tuhan.

Berikut ini adalah beberapa contoh yang menjelaskan perbedaan


dalam sikap terhadap praktik spiritual:

 Pada tingkat pencapaian spiritual 20%, ada sangat sedikit atau


tidak ada praktik spiritual. Jika orang pergi ke tempat ibadah, hal itu
hanyalah paksaan dari kebiasaan atau sekedar membuang waktu.
COKDE COLLECTION- 58

 Pada tingkat pencapaian spiritual 30%, terdapat ketertarikan


secar umum untuk pergi ke tempat ziarah atau menyembah Tuhan
dalam cara ritualistik.
 Pada tingkat pencapaian spiritual 40%, seseorang akan
memiliki ketertarikan dalam mendapatkan pengetahuan spiritual dan
mempraktikkannya. Mereka akan menghabiskan sejumlah waktu
luangnya dalam pengejaran spiritual.
 Pada tingkat pencapaian spiritual 50% seseorang umumnya
maju melampaui agama mereka sendiri menuju Spiritualitas murni.
Fokus utama dalam hidup orang tersebut adalah untuk tumbuh secara
spiritual. Seusai dengan itu, mayoritas dari waktu mereka dihabiskan
dalam mempraktikkan Spiritualitas tidak peduli apapun situasi
kehidupan mereka, yaitu, apakah mereka pebisnis, ibu rumah tangga
dll. Jadi orang tersebut, yang sebelumnya sangat memperhatikan
tentang apa yang ia hasilkan dan apa yang orang pikirkan tentang diri
nya, sekarang akan lebih tertarik mengenai apa yang Tuhan YME pikir
tentang dirinya.
COKDE COLLECTION- 59

4.4 Emosi psikologis dan tingkat pencapaian spiritual

Dalam dunia kini yang egois dan kejam, memiliki emosi-emosi


(perasaan) positif, khususnya mengenai orang lain adalah hal yang
baik. Tetapi setelah mencapai tingkatan ini, yang adalah superior
dibandingkan rata-rata orang yang kejam dan tidak berperasaan,
seseorang harus mengingat bahwa hal ini bukanlah kondisi puncak.
Kenyatannya, emosi psikologis adalah suatu fungsi dari pikiran yang
merupakan bagian dari selubung gelap di sekitar Jiwa/ Roh kita seperti
dijelaskan di gambar di atas. Maka, emosi menjauhkan kita dari
mengalami Tuhan YME (Jiwa/ Roh) di dalam diri kita. Tuhan YME
melampai emosi psikologis dan berada dalam kondisi kebahagiaan
puncak/ superlatif yaitu Bliss (Kebahagiaan Abadi). Ketika seseorang
tumbuh secara spiritual, kemungkinan orang tersebut untuk bertindak
secara emosional akan berkurang. Ia mencapai kondisi pikiran yang
COKDE COLLECTION- 60

lebih seimbang dan tidak lagi ia akan berosilasi di antara tinggi dan
rendah akibat peristiwa-peristiwa di sekitar kita.

Seorang wanita muda pada tingkat pencapaian spiritual 20% mungkin


akan melempar makian karena poninya dipotong satu sentimeter lebih
pendek dari yang diingankan dan tenggelam dalam kegalauan selama
berhari-hari. Wanita muda yang sama setelah mencapai tingkat
pencapaian spiritual 50% dapat tetap tenang bahkan saat mendapat
berita telah didiagnosa dengan penyakit yang tidak bisa disembuhkan
seperti kanker atau AIDS.

4.5 Emosi (Perasaan Spiritual) dan Tingkat pencapaian Spiritual

Emosi spiritual terhadap Tuhan YME adalah mengalami kesadaran


secara intensif tentang kebaradaan Tuhan dalam segala hal, yaitu
COKDE COLLECTION- 61

merasakan kehadiran Tuhan saat melakukan aktivitas sehari-hari dan


mengalami hidup berdasarkan kesadaran tersebut.

Ketika emosi spiritual seseorang meningkat, orang tersebut akan


semakin mampu untuk mengalami uluran tangan Tuhan YME dalam
setiap aspek kehidupan dan oleh sebab itu mampu untuk lebih
berserah kepada Tuhan. Setelah seseorang mencapai kondisi berserah
tersebut, prinsip Tuhan kemudian dapat bekerja melaluinya. Prinsip ini
menjadi semakin termanifestasi di dalam orang tersebut dan dia
beserta orang-orang di sekitarnya, mengalami aliran energi Ilahi Tuhan
melalui diri orang tersebut.

Seorang pada tingkat pencapaian spiritual 20% mungkin akan merasa


bangga akan dirinya dan kemampuan inteleknya setelah menutup
sebuah transaksi yang besar dan bergengsi. Seseorang pada tingkat
spiritual 50% dalam keadaan yang sama akan hanyut dalam emosi
COKDE COLLECTION- 62

spiritual dan penuh rasa syukur kepada Tuhan untuk kebaikan Nya
dalam memberkatinya dengan transaksi tersebut.

Jika seseorang pada tingkat pencapaian spiritual 20% kehilangan


perjanjian tersebut, dia akan menjadi penuh dengan kejengkelan,
cemburu dan ketidakbahagiaan. Namun, orang tersebut pada tingkat
pencapaian spiritual 50% dalam keadaan yang sama akan tetap mampu
melihat uluran tangan Tuhan dalam situasi tersebut dan memahami
bahwa pejanjian tersebut telah dimenangkan oleh yang layak dan dia
akan berterima kasih kepada Yang Kuasa untuk memberkatinya dengan
sudut pandang ini.

5. Beberapa aspek mengenai tingkat pencapaian spiritual

Tingkat pencapaian spiritual kita berada merupakan fungsi kunci dalam


bagaimana kita menjalani kehidupan kita dan bagaimana kita
terpengaruh oleh situasi-situasi kehidupan dan takdir. Berikut adalah
beberapa aspek tentang konsep dari tingkat pencapaian spiritual dan
bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan kita.

5.1 Tingkat pencapaian spiritual dan kelahiran

Kita semua lahir pada tingkat pencapaian spiritual tertentu. Hal ini
berdasarkan pada tingkat spiritual yang dicapai pada kehidupan
sebelumnya. Jadi seandainya seseorang melakukan praktik spiritua dan
maju ke tingkat pencapaian spiritual 50%, maka di kehidupan
selanjutnya ia akan lahir pada tingkat pencapaian spiritual 50%. Pada
dasarnya, dalam Spiritualitas, kita memulai dari di mana kita
tinggalkan, dalam kelahiran atau waktu hidup sebelumnya. Hal ini tidak
COKDE COLLECTION- 63

seperti pengetahuan duniawi di mana kita harus memulai dari awal


lagi setelah kita dilahirkan.

5.2 Dapatkah kamu ateis memiliki tingkat pencapaian spiritual tinggi?

Tentu saja, kaum ateis pun dapat memiliki tingkat spiritual tinggi
meskipun mereka tidak percaya kepada Tuhan. Terkadang kaum ateis
memulai praktik spiritual nantinya – hal ini disebaban oleh takdir.

5.3 Tingkat pencapaian spiritual dan kompatibilitas

Seperti telah kita lihat sebelumnya, perbedaan dalam tingkat


pencapaian spiritual secara dramatis dapat mempengaruhi pandangan
dari dua orang tentang kehidupan. Oleh sebab itu, kompatibilitas pun
menurun ketika kesenjangan tingkat pencapaian spiritual meningkat
diantara dua orang. Faktor ini menyumbang 5% dari ketidakcocokan di
antara dua orang.

Bahkan walaupun dua orang berada pada tingkat pencapaian spiritual


yang sama, perbedaan dalam hasrat untuk pertumbuhan spiritual
dapat menyebabkan ketidakcocokan.

Alasan lain dari ketidakcocokan di antara dua pencari Tuhan adalah jika
salah satu pencari tersebut memfokuskan diri pada praktik spiritual
individu sementara pencari satunya memfokuskan diri pada praktik
spiritual demi kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat berkontribusi
hingga 8% terhadap ketidakcocokan di antara dua orang yang
merupakan pencari Tuhan YME.
COKDE COLLECTION- 64

Silahkan lihat artikel tentang “Faktor-faktor yang mempengaruhi


kompatibilitas”

5.4 Tingkat pencapaian spiritual dan akses ke kekuasaan di alam


semesta

Ketika kita maju secara spiritual, kita mendapatkan akses ke kekuasaan


lebih tinggi di alam semesta. Secara garis besarnya, hal berikut ini
berada di bawah tingkatan terendah dari kekuasaan yaitu kekuasaan
fisik.

 Obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit – misalnya,


anitibiotik untuk membunuh kuman

 Senjata fisik untuk membunuh


 Kekuatan finansial
 Kekuatan politik

Contohnya, salah satu alasan kenaikan dramatis Adolf Hitler ke tampuk


kekuasaan oleh karena hal tersebut didalangi oleh seorang penyihir
(makhluk halus) dari wilayah rendah neraka (Pātāl). Penyihir ini yang
merasuki Hitler sepanjang tahun kekausannya mebuat ia kebal
terhadap kekuatan fisik apapun. Orang-orang yang benar-benar
menghentikan Hitler (yaitu penyihir yang merasuki Hitler) adalah dua
Suci (Saints) di India, yaitu Suci Mataji dan Yogi Arvind (Sri Aurobindo)
melalui kekuatan spiritual mereka . (Ref: lightworks.com 2006,
gurusoftware.com 2006, lightendlesslight.org 2006)

Silahkan men klik di sini untuk membaca artikel lengkap tentang –


‘Hirarki kekuasaan di alam semesta’.
COKDE COLLECTION- 65

5.5 Tingkat pencapaian spiritual sebagai suatu perlindungan dari


hantu (iblis, setan, energi negatif. dll)

Satu-satunya cara pasti dan berkelanjutan untuk melindungi diri dari


hantu (iblis, setan,energi negatif. dll) adalah dengan berkembang
secara spiritual. Pada tingkat pencapaian spiritual 20-30%, kita
sangatlah rentan terhadap serangan dari semua jenis hantu (iblis,
setan, energi negatif, etc). Pada tingkatan ini, hantu apapun dapat
merasuki kita sesuka mereka karena kita tidak berada dalam posisi
untuk mendapat keuntungan dari perlindungan Tuhan.

Silahkan klik di sini untuk membaca artikel lengkapnya – Seberapa


banyakah tingkat pencapaian spiritual memberikan lapisan/ selubung
pelindung terhadap hantu (iblis, setan, energi negatif, dll)?

5.6 Tingkat pencapaian spiritual dari seseorang yang mederita cacat


mental

Tingkat pencapaian spiritual dari orang yang menderita cacat mental


adalah 19% jika dibandingkan dengan mayoritas umat manusia yang
berada pada tingkat pencapaian spiritual 20%. Alasan dari hal ini
adalah orang yang menderita cacat mental kurang dalam kecerdasan/
akal budi. Intelek adalah suatu fungsi dari komponen dasar non-fisik
sattva yang dapat meningkatkan tingkat pencapaian spiritual kita.
Maka, tingkat pencapaian spiritual orang tersebut lebih kecil dari
tingkat pencapaian spiritual rata-rata orang.

6. Perincian dari populasi dunia di masa sekarang berdasarkan tingkat


pencapaian spiritualnya.
COKDE COLLECTION- 66

Kami telah menggunakan metodologi penelitian spiritual untuk


memberikan suatu perincian dari populasi dunia di era sekarang
(Kaliyuga tahun 2006) menurut tingkat pencapaian spiritual
berdasarkan 6.5 milyar orang.

Grafik di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk saat ini berada


pada tingkat pencapaian spiritual 20%. Keadaan dunia saat ini (yang
COKDE COLLECTION- 67

penuh dengan bencana alam perang, kecanduan narkoba,


ketidakharmonisan dalam pernikahan dan kekerasan kelompok
masyarakat) terjadi terutama karena sebagian besar pupulasi dan
pemimpinnya berada pada tingkat pencapaian spiritual yang rendah.
Oleh karena itu, keadaan di mana dunia berada saat ini, hanya dapat
diperbaiki jika rata-rata tingkat pencapaian spiritual dari manusia
meningkat.

Apakah perbedaan antara doa dengan pengharapan (ekspektasi) dan


tanpa pengharapan?
COKDE COLLECTION- 68

Terdapat dua jenis doa tergantung dari tujuan di balik doa tersebut.

1. Doa dengan pengharapan akan hal duniawi

Hal di atas adalah variasi paling umum dari doa. Jenis doa tersebut
dipanjatkan dengan pengharapan akan terpenuhinya beberapa
kebutuhan duniawi. Doa tersebut bisa disertai atau tidak disertai
oleh praktik spirituallainnya.

Beberapa doa dengan pengharapan akan pencapaian duniawi akan


mencakup doa-doa tentang:

 Kebutuhan – kebutuhan materi fisik seperti pekerjaan,


pasangan hidup, anak, dll.
 Kebutuhan materi non-fisik seperti pulih dari penyakit,
kebahagiaan, dll.
COKDE COLLECTION- 69

Doa-doa yang dilakukan dengan pengharapan akan beberapa manfaat


duniawi umumnya dipanjatkan oleh orang-orang pada tahap awal dari
perjalanan spiritual mereka. Bahkan bagi mereka yang doa-doa nya
tentang manfaat duniawi dikabulkan secara rutin, pada umumnya
masih dalam tahap awal di perjalanan spiritual nya. Alasannya adalah
karena orang-orang di tahap pertumbuhan spiritual selanjutnya
memanjatkan doa-doa hanya untuk pertumbuhan spiritual mereka
seperti yang akan dijelaskan di bagian selanjutnya.

Ketika kita berdoa untuk manfaat duniawi bagi diri kita sendiri ataupun
orang lain, doa tersebut mungkin akan terkabulkan, tetapi pada
COKDE COLLECTION- 70

akhirnya kita menggunakan energi spiritual kita yang diperoleh melalui


praktik spiritual. Di mana, energi spiritual tersebut bisa berasal baik
dari kelahiran sekarang ini maupun dari kelahiran sebelumnya.

Orang-orang yang terus berdoa seumur hidup mereka dengan


pengharapan akan pencapaian duniawi menggunakan doa sebagai
sebuah alat untuk mendapatkan sesuatu yang kecil dari Tuhan YME,
daripada berusaha untuk meningkatkan praktik spiritual mereka untuk
memperoleh rahmat karunia Tuhan YME terus-menerus yang
mencakup semuanya. Kerugian penting dari jenis doa ini adalah,
seseorang cenderung tetap terjebak dalam hasrat-hasrat dan keinginan
duniawi dan bukannya melampaui hal tersebut untuk penyerahan diri
(pasrah) kepada kehendak Tuhan YME serta mampu bersandar pada
Nya untuk menyediakan sesuai dengan kebutuhan kita (dan bukan
sesuai dengan keinginan kita).

2. Doa tanpa pengharapan akan hal-hal duniawi (murni untuk


pertumbuhan spiritual)

Jenis doa ini dipanjatkan oleh para pencari Tuhan YME yang serius
tentang perjalanan spiritual mereka. Dalam doa-doa tersebut juga
terdapat suatu permohonan kepada Tuhan YME, tetapi bukan tentang
pengharapan akan hal-hal duniwai. Pengharapan (ekespektasi) nya
lebih tentang mampu melakukan praktik spiritual yang lebih baik untuk
meraih kemajuan spiritual. Para pencari mungkin juga berdoa untuk
meniadakan rintangan-rintangan dalam praktik spiritual mereka,
penurunan dalam ego mereka, dll.
COKDE COLLECTION- 71

Para pencari Tuhan YME yang berdoa tanpa pengharapan-pengharapan


akan hal-hal duniawi memiliki manfaat ganda dari diberkati dengan
kemajuan spiritual serta kebutuhan materi mereka diperhatikan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Di sini, sebagaimana orang yang berdoa
tersebut berserah diri (pasrah) jauh lebih banyak daripada orang yang
berdoa dengan pengharapan akan hal-hal duniawi, maka ia juga
mampu mengakses jauh lebih banyak rahmat karunia Tuhan YME.
Penyerahan diri tersebut juga berkontribusi terhadap penyatuan/
COKDE COLLECTION- 72

disolsi dari pikiran, akal budi (intelek) dan ego. Kedua faktor ini
menghasilkan kemajuan spiritual yang pesat.

^ Atas

3. Perbandingan antara dua jenis doa tersebut

Doa tanpa pengharapan akan


Doa dengan pengharapan akan
hal-hal duniwai (murni untuk
pencapaian duniawi
pertumbuhan spiritual)

Doa mungkin akan Selalu terjawab tergantung


terkabul jika takdir seseorang pada intensitas dari doa dan
tidak berkata sebaliknya. tingkat pencapaian spiritual orang
tersebut

Energi spiritual habis Energi spiritual tidak


digunakan digunakan.

Kemajuan spiritual Kemajuan spiritual


tidak terjadi tercapai dan kebutuhan-
kebutuhan duniawi juga
diperhatikan sesuai dengan
kehendak Tuhan YME.

4. Bagaimana doa-doa berubah ketika seorang pencari Tuhan YME


tumbuh secara spiritual

Tanpa pengharapan
Aspek dari
Dengan pengharapan (murni untuk
kehidupan
pertumbuhan spiritual)
COKDE COLLECTION- 73

Pekerja Ya Tuhan YME, saya baru Ya Tuhan YME, saya


an saja menyelesaikan baru saja menyelesaikan
wawancara, mohon wawancara, dan saya
izinkan saya mendapatkan mempercayakan
perkerjaan tersebut. Saya hasilnya di kaki Mu.
benar-benar sekali Mohon berkatilah saya
membutuhkannya! dengan kekuatan untuk
menerima hasilnya
sesuai dengan kehendak
Mu.

Mencar Ya Tuhan YME, saya Ya Tuhan YME, Engkau


i pasangan mencintai orang ini. tahu yang terbaik
hidup Mohon buatlah orang itu apakah orang ini
sama-sama mencintai ditujukan bagi saya .
saya atau lebih. Saya juga mengetahui
bahwa apakah saya
menemukan pasangan
hidup atau tidak dalam
kehidupan ini, sesuai
dengan takdir saya.
Tetapi mohon
lindungilah praktik
spiritual saya di jalan
manapun.

Penyaki Ya Tuhan YME, Saya tidak Ya Tuhan YME, mohon


t bisa menerima penyakit berikanlah saya
ini. Mohon sembuhkanlah kekuatan untuk
saya. menanggung sakit ini
supaya hal ini tidak
mengalihkan perhatian
COKDE COLLECTION- 74

saya dari praktik


spiritual ku.

Penyaki Ya Tuhan YME, tolong Ya Tuhan YME, anak


t yang diderita selamatkanlah anak saya. saya sakit parah. Kami
sang anak Saya akan melakukan apa telah melakukan semua
pun. Jika Engkau yang kami bisa – Saya
menyelamatkan anak tahu Engkau mencintai
saya, saya akan nya lebih banyak
menyumbangkan daripada saya – Saya
setengah dari gaji saya serahkan dia di kaki Mu.
berikutnya ke panti
asuhan.

Bagian Ya Tuhan YME, ini adalah Ya Tuhan YME, mohon


menyakitkan bagian dari kehidupan berikanlah saya
dari kehidupan saya yang paling kekuatan untuk
seseorang menyakitkan. Mohon menahan rasa sakit ini
selamatkanlah saya dari dan izinkanlah saya
hal itu. belajar apa yang perlu
saya pelajari pada
tingkatan spiritual.
Mohon biarkanlah
praktik spiritual saya
terus berlanjut tanpa
mendapatkan
hambatan.

Bagian Umumnya tidak ada Ya Tuhan YME, mohon


dari izinkan saya untuk
kebahagiaan mengingat Mu terus
dalam menerus dalam
COKDE COLLECTION- 75

kehidupan kebahagiaan saya dan


seseorang hanya Engkau lah yang
memberkati saya
dengan kebahagiaan
tersebut. Semoga saya
merindukan Engkau
sama seperti ketika saya
tidak bahagia.

Praktik Umumnya tidak ada Ya Tuhan YME, rasa


spiritual syukur saya kepada Mu
karena memberikan
saya satu hari lagi untuk
melakukan praktik
spiritual. Mohon izinkan
saya untuk melayani Mu
sesuai dengan kehendak
Mu dan berkatlah saya
dengan kapasitas untuk
meningkatkan praktik
spiritual ku.

5. Dalam rangkuman

Dalam rangkuman, berikut ini adalah patokan yang dapat diingat


seseorang ketika memanjatkan sebuah doa:
COKDE COLLECTION- 76

 Jika doa tersebut berkaitan dengan meningkatkan kepuasan ke


lima indra, pikiran dan akal budi, maka itu merupakan sebuah doa
dengan pengharapan akan hal-hal duniawi.
 Jika doa tersebut berkaitan dengan membuat upaya-upaya
untuk merasakan keberadaan Jiwa (Roh/ Atma) (Yaitu. Tuhan YME di
dalam diri kita), maka itu merupakan sebuah doa tanpa pengharapan
akan hal duniawi.

Bersyukur dan manfaat bersyukur

1. Apakah rasa syukur/ bersyukur itu?

Tuhan YME adalah yang menciptakan kita dan telah memberi kita
semuanya, berbagai macam hal dalam kehidupan termasuk hidup itu
sendiri. Setiap hari kita bangun di pagi hari untuk menjalani hidup ini
satu hari ke depan disebabkan oleh rahmat karunia Nya. Kehidupan di
atas Bumi ini sangat berharga karena merupakan satu-satunya wilayah,
di mana praktik spiritual dapat dilakukan untuk mencapai tujuan
utama dari kehidupan. Ketika orang lain melakukan sesuatu untuk kita,
kita merasa bersyukur. Namun, kebanyakan dari kita tidak terbiasa
COKDE COLLECTION- 77

untuk menghaturkan rasa syukur (bersyukur) kepada Tuhan YME untuk


segala hal yang telah Ia berikan kepada kita. Mengungkapkan rasa
syukur/ bersyukur kepada Tuhan YME untuk semua hal yang telah Ia
lakukan untuk kita disebut sebagai rasa syukur dalam praktik spiritual.
Kemampuan untuk hidup dalam perasaan syukur ini merupakan bagian
penting dan tak terpisahkan dari perjalanan spiritual ‘seorang pencari’
Tuhan YME.

Kenyatannya adalah sementara kebanyakan orang menerima Tuhan


YME sebagai pencipta diri mereka tetapi mereka sendiri tidak merasa
adanya keperluan untuk menghaturkan rasa syukur/ bersyukur kepada
Tuhan. Hal ini terutama disebabkan karena mereka berpikir bahwa
semua hal yang terjadi pada hidup mereka – baik atau pun buruk,
terjadi atas kemauan mereka sendiri. Hanya setelah terjadinya suatu
peristiwa yang luar biasa dan setelah berdoa dengan intensif, seperti
misalnya penyembuhan mukjizat atas seorang anak sakit keras yang
menderita dari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, barulah
seseorang akan berpikir untuk menghaturkan rasa syukur kepada
Tuhan. Namun, bahkan di sini ingatan atas bantuan Tuhan YME
tersebut yang sedemikian rupa dramatis nya hanya berumur pendek
saja dan seiring dengan berjalannya waktu, orang tersebut akan
kembali ke jalannya semula hingga masalah besar berikut menerpa nya
dan ia pun mulai berdoa lagi untuk mendapatkan campur tangan Sang
Ilahi.

Pada tahap lebih rendah dalam evolusi spiritual kita, khususnya di


masa sekarang ini, rata-rata 65% dari peristiwa hidup terjadi sesuai
dengan takdir dan 35% terjadi sesuai kehendak bebas kita. Bila kita
maju secara spiritual, kita mulai merasakan kehadiran Tuhan YME di
COKDE COLLECTION- 78

dalam kehidupan kita. Pada saat kita mengalami kehadiran Nya dalam
kehidupan kita, maka kitapun merasakan rahmat karunia Nya dan
bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan kita terjadi sesuai dengan
kehendak Nya. Hal ini dapat dialami setelah mencapai tingkat
pencapaian spiritual 60%, di mana seseorang mulai untuk benar-benar
menghargai dan mengalami fakta tersebut. Seiring dengan pengalaman
tersebut muncullah rasa syukur (bersyukur) dalam arti spiritual
sebenarnya dari kata tersebut.

Seorang pencari Tuhan YME (seeker) dan murid sejati dari ilmu
pengetahuan spiritual, akan mengembangkan sikap belajar dalam
segala situasi, yaitu baik maupun buruk. Dari berbagai situasi dan
permasalahan dalam hidup, ia mulai belajar tentang bagaimana ia
dapat mengerti sifat-sifat/ kepribadian buruk dan kualitasnya. Dengan
cara ini ia belajar di mana ia harus bekerja untuk melepaskan dirinya
dari gangguan-ganguan kepribadian dan memiliki suatu pemahaman
dan kesadaran lebih besar akan kualitas-kualitas diri nya. Dari segala
situasi dalam hidup, ia mulai mendapatkan suatu petunjuk untuk
memperbaiki dirinya, dengan ini tidak hanya meningkatkan kualitas-
kualitas yang dimilikinya sekarang, tetapi juga akan menggantikan
gangguan-gangguan kepribadian buruk dengan kualitas yang baru. Ia
merasakan bahwa Tuhan membantunya melalui semua situasi, baik
dan buruk, untuk meningkatkan proses ‘pencariannya’. Oleh karena itu,
ia merasa bersyukur kepada Tuhan YME dalam segala situasi baik
maupun buruk karena ia merasakan tangan halus dari Tuhan dalam
hidupnya dalam memberikan terhadap dirinya, situasi-situasi tersebut
dan juga memberinya kemampuan untuk memahami pelajaran
spiritual dan pembelajaran nya.
COKDE COLLECTION- 79

Dalam kebanyakan kasus, rasa syukur tersebut ditujukan kepada Sang


pembimbing spiritual dari seseorang atau sang Guru. Mohon lihat
artikel tentang siapakah seorang Guru itu dan bagaimana Ia
membimbing seorang pencari Tuhan YME.

Untuk tumbuh secara spiritual, seorang pencari Tuhan YME perlu


mengembangkan diri melampaui emosi-emosi duniawi (baik positif
maupun negatif) yang mana membuat seorang yang bukan ‘pencari’
tenggelam di dalamnya, dan sebaliknya mengembangkan emosi
spiritualnya (bhav, bhāv), yaitu mengalami kehadiran Tuhan di
manapun juga. Bersyukur membantu untuk meningkatkan emosi
spiritual (bhāv).

2. Rasa syukur yang dangkal dan emosi (perasaan) spiritual bersyukur

Pada tahap awal dari praktik spiritual seseorang, rasa syukur/


bersyukur yang diungkapkan hanya dengan kata-kata merupakan rasa
syukur yang dangkal atau di permukaan saja. Orang tersebut pun harus
berupaya lebih dalam memikirkan kata-kata untuk mengungkapkan
rasa syukur (bersyukur) kepada Tuhan YME. Namun, untuk kemajuan
spiritual, yang terpenting adalah kita tetap melakukan upaya tersebut
untuk menanamkan kebiasaan bersyukur dalam diri kita.

Pada tahap awal ini, rasa syukur datang dari hati terutama ketika kita
dapat sangat jelas melihat campur tangan Tuhan YME dalam kehidupan
kita. Hal ini mungkin terlihat dalam kasus orang yang dicintai
mendapatkan mukjizat kesembuhan setelah dokter telah putus asa
atau suatu suatu permasalahan yang tak kunjung usai tiba-tiba dapat
diatasi setelah berdoa secara intensif. Kenyataanya dalam hampir
semua kasus lainnya juga, kita hanya bersyukur untuk berbagai hal
COKDE COLLECTION- 80

dalam kehidupan dan bahkan untuk hidup kita sendiri hanya di


permukaan saja atau di tingkatan intelek.

Ketika kita membenamkan diri lebih dan lebih ke dalam praktik


spiritual, kita membuka sebuah dunia baru yang hingga saat ini masih
tertutup dalam diri kita. Ketika kita mendapatkan pengalaman-
pengalaman spiritual dan pengalaman spiritual ini merupakan cara
Tuhan untuk berkomunikasi dengan kita. Terdapat banyak sekali
peristiwa kebetulan yang kecil dalam kehidupan kita di mana secara
perlahan tapi pasti kita merasakan bimbingan tangan Tuhan dalam
kehidupan kita. Rasa syukur mulai dibangun bahkan untuk kejadian-
kejadian kecil pun dalam kehidupan kita dan bantuan serta dorongan
Ilahi yang terus-menerus kita terima dalam praktik spiritual kita. Ketika
kita merasa bersyukur dan mengungkapkan rasa syukur berulang ulang
sepanjang berjalannya hari-hari, secara bertahap kita mengembangkan
emosi (perasaan) spiritual bersyukur. Di sini, seperti telah dijelaskan
sebelumnya dalam artikel ini, terdapat kesadaran secara terus-
menerus sebelum, selama dan setelah tindakan bahwa ‘semuanya
terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan, bahwa Ia melakukan segalanya’.
Maka, rasa syukur seseorang terekspreksi terus-menerus dan secara
otomatis diungkapkan dalam pemikiran tulus. Oleh sebab itu, dalam
keadaan ini, rasa syukur muncul dan tercermin dalam setiap tindakan,
gerakan dan pemikiran.

Tahapan spiritual evolusi yang lebih tinggi ini diaktifkan setelah ego
berkurang dan begitu seseorang mencapai keadaan ini, ego nya akan
tetap rendah.

Sebenarnya emosi (perasaan) spiritual bersyukur diaktifkan oleh


rahmat karunia Guru dan oleh karenanya tetap konstan.
COKDE COLLECTION- 81

3. Apa makna penting dari rasa syukur atau manfaat bersyukur?

Seorang ‘pencari Tuhan YME’ memulai dengan ungkapan rasa syukur


yang diupayakan. Namun, setelah jangka waktu tertentu, dengan
berulang-ulang mengungkapkan rasa syukur itu dan juga sejalan
dengan pertumbuhan spiritual nya, ia mulai mengembangkan emosi
spiritual bersyukur. Setelah keadaan ini dicapai, saat seseorang secara
terus-menerus berada dalam kesadaran bahwa ‘Tuhan lah
pelaksananya, saya bukan lah siapa-siapa’, maka ego halusnya mulai
berkurang. Dia mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan dan
kekurangan kapasitas diri nya. Maka, dalam setiap situasi sulit apapun,
dia dengan rendah hati berserah diri di hadapan Tuhan dan setelah itu
baru melakukan suatu tindakan. Ketika ia mulai berserah diri kepada
Tuhan tidak hanya dalam situasi-situasi sulit saja tetapi juga dalam
peristiwa-peristiwa kecil di dalam kehidupan sehari-hari nya, maka
emosi spiritual pasrah nya meningkat. Tuhan dengan segera memenuhi
doa – doa yang di panjatkan dengan emosi spiritual, misalnya ‘Ya
Tuhan YME, mohon peliharalah pertumbuhan spiritual saya, mohon
katakan pada saya apa langkah berikutnya yang seharusnya saya
lakukan, hanya Engkaulah yang membimbing saya‘. Seorang pencari
Tuhan YME yang memiliki emosi spiritual bersyukur dan pasrah selalu
berada dekat dengan Nya. Tuhan pun melimpahkan segala sesuatu
yang diperlukan, misalnya pengalaman-pengalaman spiritual,
bimbingan dan pengetahuan untuk pencari dengan kualitas tersebut
bahkan tanpa bertanya.
COKDE COLLECTION- 82

Manfaat-manfaat dari praktik spiritual

Perlindungan dari takdir


Apakah itu takdir dan kehendak bebas?

Untuk menjelaskan konsep ini, kita harus memahami apa itu takdir:

 Pandangan barat yang populer menyatakan bahwa kita


memegang kendali atas hidup kita dan semua yang terjadi pada kita
merupakan hasil dari pilihan kita sendiri.
 Di sisi lain, pandangan timur yang populer menyatakan bahwa
semua yang terjadi pada kita tidak berada di bawah kendali kita dan
COKDE COLLECTION- 83

kita hanyalah wayang di dalam rencana yang sudah ditentukan


sebelumnya.

Namun, tidak
satupun dari kedua
pandangan di atas
sepenuhnya benar.
Jawaban yang benar
menurut ilmu
pengetahuan
spiritualitas, di masa
sekarang ini 65% dari
kehidupan kita
dikuasai oleh takdir
dan 35% oleh
kehendak bebas.

Tetapi kita dapat mengatasi 65% bagian dari takdir kita, dengan
menggunakan 35% kehendak bebas kita untuk menjalani praktik
spiritual yang benar.

Takdir adalah ketika anda tidak mempunyai kendali terhadap keadaan-


keadaan dalam kehidupan.
Kehendak bebas adalah bagian dari kehidupan di mana anda memiliki
kendali atasnya.

Contoh dari kehendak bebas: Seandainya ada seseorang yang mabuk


dan memilki mobil yang tidak terawat. Dia memutuskan untuk
COKDE COLLECTION- 84

mengemudikan mobilnya dalam keadaan mabuk, menuruni sisi


pegunungan yang curam dan melakukannya pada kecepatan tinggi. Jika
pada titik tertentu ia tergelincir dari jalan di sisi gunung, kesalahan
siapakah atas kejadian tersebut? Apakah kecelakaan tersebut
disebabkan oleh takdir atau kehendak bebas?

Baiklah, kecelakaan tersebut merupakan kehendak bebas karena ia


bisa saja memilih untuk tidak minum dan mengemudi. Dia dapat
memastikan bahwa mobilnya terawat dengan baik dan dapat
mengemudi secara perlahan.
Mari kita lihat dari sisi yang lain contoh dari peristiwa yang
ditakdirkan: Kita ambil kasus lain dari pengemudi yang sadar/ tidak
mabuk. Dia mengemudi dengan hati-hati dan merawat mobilnya
dalam keadaan sempurna. Dia juga mengemudi mobilnya di sisi
gunung yang sama dengan mengamati semua tindakan pencegahan.
Secara tiba-tiba satu bagian dari jalan tersebut runtuh akibat tanah
longsor dan dia pun mengalami kecelakaan. Dalam kasus ini, orang
tersebut tidak memiliki kendali atas tanah longsor yang terjadi dan
oleh sebab itu kecelakaan tersebut merupakan peristiwa yang
ditakdirkan.

Takdir bersifat spiritual dan hanya dapat diatasi dengan suatu solusi
spiritual, yaitu dengan melakukan praktik spiritual. Tabel berikut ini
menunjukkan contoh-contoh dari jenis-jenis takdir yang berbeda dan
langkah-langkah untuk mengatasinya:
COKDE COLLECTION- 85

Mohon dicatat:

Praktik spiritual intensif dalam hal kuantitas berarti melakukan sekitar


12-14 jam praktik dalam sehari. Dalam hal kualitas, praktik spiritual
intensif berarti orang tersebut melakukan semua aktivitas
kesehariannya sebagai pelayanan kepada Tuhan YME, dengan hasrat
keinginan besar dan tujuan utama untuk mencapai Tuhan.

Praktik spiritual medium dalam hal kuantitas berarti melakukan sekitar


4-5 jam praktik dalam sehari. Dalam hal kualitas, praktik spiritual
medium berarti orang tersebut melakukan sebagian besar dari aktivitas
kesehariannya sebagai pelayanan kepada Tuhan YME.
COKDE COLLECTION- 86

Manfaat – manfaat dari doa


COKDE COLLECTION- 87

 Meningkatkan praktik spiritual: Doa berdampak pada praktik


spiritual kita dalam tiga tingkatan, yaitu tindakan, pemikiran dan
perilaku:
 Tindakan: Semua tindakan yang didahului dengan
berdoa untuk manfaat spiritual, dilakukan dengan emosi (perasaan)
spiritual; sehingga kesalahan yang dilakukan lebih sedikit. Maka
dengan berdoa, berbagai tindakan dalam praktik spiritual seseorang
(misalnya mengucap dan mengulang nama
Tuhan, satsang, satsēvā, dll) terjadi sesuai dengan jalan yang
dikehendaki oleh Tuhan YME atau Guru (Prinsip pembimbing dari
Tuhan YME).
 Pemikiran: Selama pikiran sedang aktif, pemikiran-
pemikiran akan terus muncul/ berlanjut. Pemikiran-pemikiran tersebut
menimbulkan hambatan bagi penyatuan atau disolusi dari pikiran.
Pemikiran yang tidak berguna juga menyebabkan pemborosan energi.
Doa adalah alat yang sangat berguna untuk mencegah pemborosan
tersebut. Doa mengurangi kecemasan dan meningkatkan daya
perenungan.
 Perilaku: Doa yang dilakukan dengan emosi (perasaan)
spiritual memulai proses perenungan dalam diri seorang pencari
Tuhan YME, dan hal ini membantu nya untuk melihat lebih ke dalam
(introvert).
 Meningkatkan potensi dari pengucapan dan pengulangan
Nama Tuhan YME: Seorang 'pencari Tuhan YME' mengucap dan
mengulang Nama Tuhan YME dengan tujuan untuk mencapai
kesadaran Tuhan. Hanya jika disertai dengan motivasi kuat untuk
mencapai kesadaran Tuhan dan emosi spiritual, Nama Tuhan yang
diucapkan dan diulang-ulang akan menjadi benar-benar efektif.
Seorang Suci(Saint) akan begitu tenggelam dalam mengucap dan
COKDE COLLECTION- 88

mengulang Nama Tuhan sehingga Ia menjadi lupa akan dunia.


Sangatlah jarang untuk menemukan seseorang yang dapat mengucap
dan mengulang Nama Tuhan dengan emosi spiritual yang begitu
intensif. Namun, doa yang berulang kali dipanjatkan agar diberkati
dengan kualitas pengucapan dan repetisi Nama Tuhan (chanting),
seiring dengan mengucap dan mengulang Nama Tuhan, membantu
dalam membangkitkan emosi spiritual dan membuat pengucapan dan
pengulangan (chanting) kita dapat mencapai Tuhan YME.
 Bantuan Ilahi dalam praktik spiritual: Ketika seorang pencari
Tuhan YME berdoa dengan tulus kepada Tuhan agar suatu tindakan/
pemikiran/ perilaku tertentu yang berkaitan dengan praktik
spiritualnya, dapat terwujud melalui diri nya (pencari tersebut), maka
suatu tugas/ pekerjaan yang tampaknya mustahil dapat dicapai dengan
mudah dengan rahmat karunia Guru.
 Mendapat pengampunan untuk kesalahan-kesalahan: Ketika
melakukan suatu kesalahan, jika seseorang memanjatkan suatu doa
dan berserah diri (pasrah) kepada Tuhan YME atau Guru, maka Tuhan
atau Guru memaafkan orang tersebut untuk kesalahannya. Namun,
doa dan penyerahan diri (pasrah) itu sendiri harus sepadan dalam
intensitasnya dengan kesalahan yang dilakukan.
 Mengurangi ego: Pada saat berdoa kita memohon di hadapan
Tuhan YME; Oleh sebab itu tempat di mana rasa bangga ada di dalam
diri ditinggalkan dan dengan rendah hati kita mengakui kebutuhan
kita/ kelemahan manusia serta ketergantungan kita kepada Tuhan
YME. Maka doa membantu untuk mengurangi ego dengan lebih cepat.
Lihat ke arti penting dari doa.
 Perlindungan dari hantu: Doa adalah suatu alat yang ampuh
yang membantu melindungi seseorang dari hantu hantu (iblis, setan,
COKDE COLLECTION- 89

energi-energi negatif, dll) dan menciptakan suatu aura pelindung di


sekitar diri sendiri.
 Meningkatkan Iman/ keyakinan: Ketika sebuah doa dikabulkan,
keyakinan kepada Tuhan YME atau Guru bertambah. Iman adalah satu-
satunya ‘mata uang’ dalam perjalanan spiritual kita.
COKDE COLLECTION- 90

Abstraksi

Komponen-komponen dasar non-fisik/ halus sattva, raja,


dan tama adalah ciptaan yang paling dasar. Ketiganya ada dalam
semua benda hidup dan mati, berwujud dan tak berwujud, tanpa
dikenali oleh ilmu sains modern. Vibrasi-vibrasi yang dipancarkan
oleh benda apa pun tergantung pada komponen dasar non-fisik yang
mendominasinya. Komponen-komponen tersebut juga mempengaruhi
perilaku/ sifat dari segala sesuatu. Proporsi dari komponen-komponen
ini dalam manusia hanya dapat ditransformasi dengan cara praktik
spiritual.

Daftar isi [Tampilkan]

1. Pendahuluan dan definisi

Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberikan suatu


fondasi konsep yang kuat mengenai 3 komponen non-fisik/ halus
(subtle basic components) ini. Adalah penting karena menjadi titik
awal dari banyak artikel di situs web ini.
COKDE COLLECTION- 91

Menurut ilmu sains modern, Alam Semesta terbuat dari partikel-


partikel fisika dasar yang terdiri dari elektron, proton, neutron, meson,
gluon, dan kuark. Pada tingkat spiritual, Semesta terbuat dari sesuatu
yang lebih mendasar lagi. Ketiga partikel dasar ini dikenal sebagai 3
komponen dasar non-fisik (triguṇa) yaitu sattva,raja, dan tama.
Kepanjangan dari kata triguṇa adalah tri berarti tiga, dan guna berarti
komponen halus (non-fisik).

The characteristics of each of these components are described in brief


in the following table:

Kita menyebut komponen-komponen tersebut sebagai non-fisik/


halus karena mereka tak berwujud, dan secara alamiah tidak berfisik,
serta tidak dapat dilihat dengan alat seperti misalnya mikroskop
elektron terbaru. Secara teknis, instrumentasi fisika yang lebih maju di
COKDE COLLECTION- 92

masa mendatang juga tidak akan dapat mengukur ketiga komponen


ini. Ketiganya hanya dapat dirasakan oleh organ indera halus/ non-
fisik atauindera keenam kita.

 Komponen sattva adalah komponen yang paling halus/ tak kast


mata (subtle; intangible) dari ketiga komponen dasar non-fisik.
Komponen ini adalah komponen yang paling dekat dengan ke Ilahian.
Kehadirannya dalam manusia ditandai dengan rasa bahagia, rasa
bersyukur, kebajikan seperti sikap sabar, ketekunan, kemampuan untuk
memaafkan, kerinduan spiritual,dan lain lain.

 Komponen tama adalah yang paling mendasar dari ketiganya.


Kehadirannya ditandai dengan rasa malas, ketamakan, kemelekatan
akan hal-hal duniawi, dan seterusnya.

 Komponen raja menyediakan bahan bakar bagi kedua


komponen lainnya, yaitu membuat keduanya menjadi suatu aksi. Maka
tergantung dari apakah seseorang lebih dominan sāttvik/
sattvik atautāmasik/ tamasiknya, komponen raja akan membuat
keduanya menjadi suatu tindakan/ aksi yang berkaitan dengan
komponen sattva dan tama tersebut.

Sekolah dan universitas yang mengajarkan ilmu sains modern tidak


menyadari keberadaan dari komponen-komponen tersebut, akibat
dari sifat alamiah non-fisik/ halus dari komponen-
komponen sattva, raja, dantama. Itulah sebabnya mengapa ketiga
komponen dasar non-fisik ini tidak disertakan dalam kurikulum.
Dampaknya adalah konsep akan ketiga komponen ini menjadi asing
bagi sebagian dari kita. Namun hal ini tidak mengurangi fakta bahwa
ketiga komponen ini meliputi keberadaan kita beserta bumi tempat
COKDE COLLECTION- 93

kita tinggal, secara menyeluruh. Tergantung pada komponen mana


yang dominan di dalam diri kita, hal itu akan mempengaruhi
bagaimana kita:

 bereaksi terhadap suatu situasi


 mengambil keputusan
 menentukan pilihan
 menjalani hidup

Kesulitan untuk menunjuk dan memberi karakteristik fisik kepada


ketiga komponen tersebut disebabkan oleh sifat alamiah halus/ non-
fisik dari ketiganya. Melalui artikel ini, kami berupaya untuk
menjelaskan esensi dari ketiga komponen ini serta bagaimana mereka
mempengaruhi hidup kita.

2. Perbandingan antara unsur fisika terkecil dan komponen dasar non-


fisik

Tabel berikut menunjukkan beberapa perbedaan penting antara unsur


fisika terkecil dalam ilmu sains modern dan komponen dasar non-fisik
dalam ilmu pengetahuan/ sains spiritual.

Parameter Partikel Fisika Terkecil Komponen dasar non-fisik

Jenis Fisik Non-fisik dan tidak


berwujud

Cara Pengukuran Dengan instrumen fisikaDengan indera keenam


seperti mikroskopmelalui medium indera non-
COKDE COLLECTION- 94

elektron fisik kita.

Terdapat pada Segala hal dalam duniaSemua ciptaan, baik dunia


fisik fisik, psikologikal atau
spiritual. Bahkan partikel
terkecil fisika adalah
bentukan dari
gabungan sattva,
raja dan tama. Bahkan
pemikiran-pemikiran kita,
yang adalah tak berwujud,
terbentuk dari ketiga
komponen ini.

Karakteristiknya Mempengaruhi sifatMempengaruhi


fisik dari ciptaan sepertiperilaku/ sifat
misalnya apakahdari semua
sesuatu adalah bendaciptaan,
padat, atau cair dst. keputusan dan
pilihan yang kita
buat dst. Namun
komponen sattv
a, raja dan tama
juga
mempengaruhi
sifat fisik,
misalnya
komponen tama
menyebabkan
materialisasi
atau solidifikasi.
COKDE COLLECTION- 95

3. Bagaimanakah rupa dari ketiga komponen dasar non-fisik (triguna)?

Diagram berikut diperoleh melalui indera keenam yang menunjukkan


bagaimana rupa dari ketiga komponen dasar non-fisik ketika aktif.

Ketiga komponen non fisik di atas pada dasarnya adalah partikel tak
berwujud. Di saat aktif, yaitu jika terdapat energi yang menyertainya,
komponen-komponen tersebut akan muncul dalam bentuk gelombang.

Penjelasan Diagram:
COKDE COLLECTION- 96

 Warna: Komponen sattva muncul dengan warna kuning,


komponen raja berwarna merah, dan tamaberwarna hitam. Ketiganya
dipahami melalui indera keenam yang sangat aktif.
 Panjang gelombang: Komponen raja adalah yang paling aktif,
seperti terlihat dari panjang gelombangnya. Komponen sattva yang
lebih tenang memiliki panjang gelombang lebih panjang. Sifat alamiah
komponen tama yang berantakan dan berubah-ubah tercermin dari
panjang gelombangnya yang tidak berketentuan.
 Amplitudo: amplitudo dari komponen raja adalah yang
tertinggi, akrena merupakan komponen yang paling aktif. Amplitudo
dari komponen sattva lebih rendah dan teratur, sedangkan
komponen tamaberamplitudo rendah dan tidak teratur.
 Panjang: panjang gelombang ditentukan sesuai dengan
kebutuhan akan fungsinya.

4. Ketiga komponen dasar non fisik dan kelima unsur kosmik

Ketiga komponen dasar ini juga membentuk kelima unsur Kosmik


Absolut (Panchamahābhūtās/ Panchamahabhoota). Kelima unsur
kosmik tersebut adalah Bumi Absolut, Air Absolut, Api Absolut, Udara
Absolut, dan Eter (Dzat) Absolut. Unsur-unsur kosmik tersebut juga tak
berwujud secara alamiahnya dan sekaligus merupakan aspek non fisik
atas unsur-unsur yang dapat kita lihat serta rasakan. Sebagai contoh:
unsur kosmik Air Absolut adalah bentuk non fisik dari air yang
kemudian membentuk sungai dan lautan, dst. Singkatnya, kelima unsur
Kosmik Absolut ini adalah bahan pembangun Alam Semesta.
Kelimanya juga dibentuk dari ketiga komponen dasar non fisik.
COKDE COLLECTION- 97

Tabel berikut menunjukkan keunikan dari masing-masing unsur Kosmik


Absolut dalam komposisinya sebagai bentukan dari ketiga komponen
dasar non fisik.

Seperti terlihat pada tabel, unsur Kosmik Bumi Absolut memiliki kadar
komponen tama yang tertinggi sekaligus yang terberat.
Komponen tama membatasi keberadaan/ eksistensi sedangkan
komponen sattvamembuatnya semakin luas. Hal ini menjelaskan
mengapa unsur Bumi Absolut adalah yang paling rendah kualitasnya
(inferior) di antara unsur lainnya. Ini juga menjelaskan bahwa unsur
Eter (Dzat) Absolut adalah yang paling halus dan sattvik sekaligus juga
yang paling kuat. Penurunan kadar tama di antara kelima unsur ini
COKDE COLLECTION- 98

membuat unsur-unsur tersebut semakin tidak berwujud. Sebagai


contoh, Api lebih bersifat non-fisik atau lebih tidak berwujud dari pada
Bumi.

Manusia terbentuk dari komposisi yang lebih dominan unsur-unsur


Bumi dan Air Absolut nya. Seiring dengan perkembangan spiritualnya,
seseorang akan lebih berfungsi secara progresif di tingkatan yang lebih
tinggi, seperti unsur Api Absolut, dst. Hal ini ditandai dengan pancaran
cahaya dari orang tersebut. Di saat hal ini terjadi, kebutuhan fisik,
seperti makan dan tidur, semakin berkurang. Kemampuan dan
kapasitasnya untuk melakukan berbagai aktifitas juga meningkat
secara kuantitatif dan kualitatif.

5. Ketiga komponen dasar non-fisik dan dunia


5.1 Bencana Alam
Peningkatan kadar komponen raja dan tama di dunia mengarah pada
semakin maraknya peperangan, aksi terorisme, dan bencana alam.
Peningkatan raja dan tama di dunia juga menyebabkan ketidakstabilan
dari kelima unsur kosmik yang berujung pada bencana alam yang
katastropik. Silakan membaca artikel pokok di balik peningkatan
intensitas bencana alam.

5.2 Benda mati


Daftar berikut ini menunjukkan hubungan antara benda mati (pen:
dalam hal ini adalah beberapa tempat tertentu) dan ketiga komponen
dasar non-fisik.
COKDE COLLECTION- 99

5.3 Makhluk hidup

Daftar berikut ini menunjukkan hubungan antara makhluk hidup dan


ketiga komponen dasar non-fisik. Seperti yang terlihat dibawah ini,
kehidupan memiliki nilai komponen sattva yang lebih besar jika
dibandingkan dengan tempat religius sekalipun seperti pada daftar di
atas.
COKDE COLLECTION- 100

Hal ini juga merupakan satu dari alasan utama lainnya mengapa
tingkat spiritual seseorang di dalam suatu bangunan memiliki dampak
lebih besar terhadap vibrasi/ getaran keseluruhan yang memancar dari
bangunan tersebut dibandingkan dengan vibrasi dari bangunan itu
sendiri. Misalnya, jika seseorang dengan tingkat spiritual ‘Orang Suci’
(Saint) memasuki suatu bangunan dengan vibrasi negatif yang
disebabkan oleh kesalahan konstruksi, dampak dari vibrasi bangunan
tersebut tidak dapat mengenai (terabaikan oleh) sang Saint/ Orang Suci
tersebut. Maka ilmu Feng Shui dan Vastu-shastra menjadi lebih relevan
terhadap orang-orang di tingkat spiritual lebih rendah atau pada
mereka yang tidak melakukan praktik spiritual sama sekali.

6. Ketiga komponen dasar non-fisik dan manusia


COKDE COLLECTION- 101

Dalam sub bagian berikut ini, kami menjabarkan tentang bagaimana


ketiga komponen dasar non-fisik berdampak terhadap berbagai aspek
dari kehidupan kita.

6.1 Hubungannya dengan terdiri dari apakah kita


COKDE COLLECTION- 102
COKDE COLLECTION- 103

Karena komponen dasar non-fisik raja berhubungan dengan fungsi


tubuh, proporsinya adalah sama di semua tubuh. Namun seperti yang
dapat anda lihat darti tabel di atas, ada perbedaan cukup besar antara
komponen-komponen sattva dan tama di berbagai tubuh. Hal ini
memiliki dampak langsung pada kemampuan dari setiap tubuh
tersebut untuk memberikan kita kebahagiaan abadi yang
berkelanjutan dan berjangka panjang. Contohnya, komponen sattva di
tubuh intelek (kecerdasan) lebih tinggi dibandingkan tubuh fisik. Oleh
karena itu, kualitas kebahagiaan ketika kita terstimulasi secara intelek
dan merasa puas oleh karenanya, lebih tinggi kualitasnya dan lebih
tahan lama dibandingkan dengan kebahagiaan yang dialami karena
tubuh fisik.

6.2 Hubungannya dengan tingkat spiritual


Tingkat spiritual dan proporsi dari ketiga komponen dasar non-fisik
sangat saling terkait satu dengan lainnya. Namun hubungan mereka
hampir seperti perumpamaan ayam dan telur. Dapat kita katakan
bahwa tingkat spiritual seseorang ditentukan oleh lebih dominannya
komponen-komponen sattva, raja dan tama dalam dirinya. Atau dapat
juga dikatakan bahwa lebih dominannya salah satu
komponen sattva, raja dan tamamenentukan tingkat spiritual
seseorang. Ketika kita melakukan praktik spiritual, kita mulai merubah
proporsi dari ke 3 komponen dasar non-fisik di dalam diri kita menuju
ke arah lebih besarnya proporsi komponensattva dalam diri kita.
Dengan kata lain, kita merubah komponen tama ke sattva.

Ketika kita menghasilkan lebih banyak komponen sattva di dalam diri


kita (secara proporsional terhadap dua komponen non-fisik lainnya),
COKDE COLLECTION- 104

maka hal itu akan mempengaruhi tingkat spiritual dan kepribadian kita
secara positif.

Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan proporsi yang berbeda dari
ketiga komponen dasar non-fisikdalam diri kita ketika kita
meningkatkan tingkat spiritual kita melalui praktik spiritual.

Footnotes:
COKDE COLLECTION- 105

1. Setelah tingkat spiritual 50%, proporsi ketiga komponen-


komponen tetap statis. Alasan untuk ini adalah seseorang tidak dapat
memiliki kurang dari 20% kompenen tama. Jika itu terjadi orang
tersebut akan mulai kehilangan wujud fisiknya/ imaterial. Jadi selama
seseorang mempunyai tubuh fisik, komponen tama tidak dapat kurang
dari 20%. Namun efek dari komponen-komponen terhadap
orang tersebut menjadi ‘larut’ seiring dengan kenaikan lebih lanjut
dalam tingkat spiritual, begitu besar pengaruh dari tingkatan spiritual
sehingga pada tingkat spiritual 80%, efek dari ketiga
komponen menjadi terabaikan pada orang tersebut. Pada sub-bagian
selanjutnya kami akan menjelaskan konsep ‘larut’ ini dengan rinci.
2. Selama seorang Suci (Saint) dengan tingkat spiritual 100%
masih berada di dalam tubuh/ raga Nya, Ia akan terdiri dari ke-3
komponen dasar non-fisik juga. Begitu Ia meninggal dan keluar dari
raga Nya, maka semua tiga komponen dasar non-fisik menjadi nol dan
Orang Suci/ Saint tersebut menyatu sepenuhnya dengan Tuhan.

6.3 Berkurangnya pengaruh dari ketiga komponen dasar non-fisik


seiring dengan kenaikan pada tingkat spiritualitas

Ketika kita tumbuh secara spiritual, yang terjadi pada hakekatnya


adalah kegelapan dari kelima indera, pikiran dan intelek mulai
berkurang dan oleh sebab itu Jiwa (yaitu Tuhan) di dalam diri kita
mulai menerangi. Mengacu pada diagram di bawah ini, hal ini juga
dikenal sebagai disolusi/ penyatuan dari kelima indera, pikiran dan
intelek. Kita menyebut ke lima indera, pikiran dan intelek sebagai
kegelapan atau ketidaktahuan karena itu membuat kita jauh dari
mengidentifikasikan diri kita dengan keaadaan kita sebenarnya yaitu
Tuhan di dalam diri kita atau Jiwa.
COKDE COLLECTION- 106

Jiwa, yang merupakan Tuhan di dalam diri kita, melampaui ke 3


komponen-komponen dasar non-fisik dan oleh karena itu tidak
terbentuk dari komponen tersebut. Dengan demikian, semakin terang
Jiwa menyala di dalam diri kita melalui praktik spiritual, semakin
sedikit pengaruh dari ketiga komponen dalam mendikte kepribadian,
pilihan dan tindakan kita. Pada tahap akhir dari pertumbuhan spiritual
kita, ketika cahaya dari Jiwa hampir menerangi kita secara menyeluruh,
kita menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan ketiga
komponen menjadi 'larut' dan tidak lagi memberikan pengaruh pada
kepribadian kita.
COKDE COLLECTION- 107
COKDE COLLECTION- 108

6.4 Hubungannya dengan kepribadian

Dalam tabel di bawah ini, kita telah menyediakan beberapa petunjuk


yang akan membantu dalam membedakan jenis kepribadian yang
ditampilkan seseorang sesuai dengan komponen non-fisiknya yang
lebih dominan.
Ini hanya petunjuk-petunjuk untuk memberikan pemahaman dasar.
Sebuah analisis yang tepat dari komponen dasar non-fisik dalam diri
seseorang hanya dapat dipastikan melalui indera keenam.

Seorang Sāttvik Seorang Rājasik Seorang Tāmasik

Gangguan- Pengendalian Marah, cemburu,Malas, tidak aktif,


gangguan penuh atas emosi,bangga, egois,depresi, sangat
kepribadian pemikiran dansuka egois, tidak
tindakan memerintah, memikirkan orang
mencari lain atau bahkan
perhatian, rakus,merugikan mereka
melewati batasketika memenuhi
untuk memenuhitujuan egoisnya,
ambisi dancepat marah
hasrat duniawi,
khawatir,
bekhayal/
melamun

Sifat baik Semua sifat baik,Rajin tapiTidak ada


jujur dan sesuaiberusaha tanpa
COKDE COLLECTION- 109

hukum, toleransi,arah dalam hal


tenang, intelek yangpertumbuhan
stabil, tidak egois.spiritual.
Akhirnya, akan
melampaui sifat baik
dan gangguan, tidak
takut akan kematian
juga.

Cara utama Memperoleh Mendapatkan Makan, minum,


untuk pengetahuan, kekuasaan, hartahubungan badan
memperoleh keterampilan, benda duniawi. dll.
kebahagiaan membantu orang
lain, meditasi,
meningkatkan
tingkat spiritual.
Akhirnya melampaui
kebahagiaan-
ketidakbahagiaan
menuju kebahagiaan
Abadi (Bliss).

Dalam Hidup untukEgosentris atauMerugikan orang


hubungan melayani membantu oranglain.
dengan masyarakat danlain denganPalingtāmasik –
orang lain membantu orangbanyak egomerugikan
-orang tumbuhtentang bantuanmasyarakat luas
secara spiritual. Diyang diberikan. atas nama agama
sini tumbuh secara atau ideologi
spiritual diartikan tertentu.
dalam arti yang lebih
universal sesuai
COKDE COLLECTION- 110

dengan 6 prinsip
dasar praktik
spiritual

Tidur 4-6 Jam 7-9 Jam 12-15 Jam

Kekuatan Tinggi Sedikit Sangat rendah 1


spiritual

Catatan:

1. Pengecualian dari ini adalah penyihir halus/ non-fisik yang


mungkin memiliki banyak kekuatan spiritual karena melakukan praktik
spiritual untuk alasan-alasan jahat namun lebih dominan tamasik nya.

Atribut-atribut ini tidak mengikat. Misalnya, seorang sattvik tertentu


mungkin perlu 9 jam tidur atau seorang yang tamasik mungkin
memiliki sifat baik seperti toleransi. Tetapi sifat seseorang ditentukan
oleh jumlah total keseluruhan dari kebajikan-kebajikan dan gangguan-
gangguan kepribadiannya nya. Maka seseorang tidak seharusnya
menentukan dirinya sendiri atau orang lain berdasarkan satu atau dua
karakteristik saja tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah gambaran
secara keseluruhan.

Selain itu, sangat jarang menemukan seseorang yang keseluruhannya


adalah sattvik, rājasik/ rajasik atautamasik. Pada
umunya, seseorang adalah sattva-raja atau raja-sattva atau raja-tama
COKDE COLLECTION- 111

dominan. Seseorang yang 'sattva-raja' akan memiliki karakteristik dari


kedua sattva dan raja dalam proporsi yang hampir sama
dengan sattva yang lebih mendominasi. Dalam kasus seseorang
yang 'raja-sattva', hal itu akan menjadi kebalikannya.

Tergantung pada komponen non-fisik yang paling dominan dalam diri


seseorang, ia akan menunjukkan kepribadian yang sesuai dengan
komponen tersebut. Namun sebanyak mungkin seorang mungkin
berpakaian atau menutupi dirinya di balik pakaian-pakaian mahal dan
aksesoris serta obrolan ringan yang rumit, frekuensi-frekuensi dasar
yang dipancarkan orang tersebut akan didasari pada komponen yang
paling dominan dalam dirinya. Seseorang dengan indera keenam yang
mendalam dapat melihat melampaui lapisan luar yang diproyeksikan
orang tersebut kepada dunia dan menangkap frekuensi-frekuensi
halus/ non-fisik yang ia pancarkan. Sebagai hasilnya, mereka dapat
dengan mudah mengetahuit sifat dasar seseorang yaitu apakah orang
tersebut sattvik, rajasik atau tamasik serta karakteristik-karakterisitik
yang cenderung ia tampilkan.

Sebuah tes lakmus sesungguhnya dari komponen dominan seseorang


adalah ketika orang tersebut berada dalam keadaan seorang diri.
Sesuai dengan perilaku seseorang dalam situasi di mana ia tidak
dipantau, pada umumnya ia cenderung menunjukkan warna
sesungguhnya. Contoh berikut akan membantu dalam menegaskan hal
ini.

Mari mengambil contoh dari sebuah kelas yang berisikan siswa 4


SD. Mereka adalah sekelompok yang berisik dan gaduh, dengan
seorang guru yang mencoba dengan keras untuk mendisiplinkan
mereka. Jika suara dari guru tersebut sangat tegas dia memiliki
kesempatan baik untuk menjaga kelas agar tetap tenang. Sebagai
COKDE COLLECTION- 112

hasilnya, kelas tetap tenang hanya di hadapannya. Namun begitu ia


meninggalkan kelas tersebut mereka kembali kepada kenakalan-
kenakalan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh anak-
anak tersebut yang pada dasarnya bersifat rajasik dan tamasik. Di
sisi lain, jika ada seorang anak yangsattvik di dalam kelas
tersebut dan murid-murid lainnya mencoba untuk meminta
partisipasinya dalam beberapa tindakan yang tidak benar seperti
menganggu, memainkan lelucon buruk atau terlibat dalam
kecurangan, anak yang sattvik tersebut akan benar-benar tidak
dapat menuruti petmintaan teman-temannya karena sifat
dasar sattvik nya. Ia kemungkinan besar akan merasakan simpul di
perutnya, daripada menikmati apa yang disarankan teman-teman
sekelasnya. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika
melakukan sesuatu tindakan yang salah.

Maka daripada secara dangkal mencoba untuk merubah anak-anak


melalui ceramah-ceramah nilai moral, suatu perubahan permanen
dapat ditemukan jika mereka didorong untuk melakukan praktik
spiritual dan dibesarkan di dalam lingkungan kondusif secara
spiritual yang akan meningkatkan komponen sattva mereka.

7. Ketiga komponen dasar non-fisik dan gaya hidup

Segala sesuatu di sekitar kita dapat dikategorikan


sebagai sattvik, rajasik atau tamasik tergantung pada komponen non-
fisik dominan yang membentuk mereka. Komponen non-fisik dominan
dalam segala hal hanya bisa diukur melalui indera keenam.

Kita telah memberikan beberapa contoh umum tentang berbagai aspek


dari dunia tempat kita tinggal dan komponen non-fisik yang
COKDE COLLECTION- 113

mendominasinya. Tergantung pada apakah kita merupakan individu


yang sattvik,rajasik atau tamasik, maka kita juga akan tertarik ke arah
hal-hal yang sattvik, rajasik atau tamasik. Mengaitkan diri kita
dengan komponen-komponen tertentu melalui gaya hidup
pilihan kita, juga akan meningkatkan komponen-komponen non-fisik
tersebut di dalam diri kita.
COKDE COLLECTION- 114
COKDE COLLECTION- 115

8. Ketiga komponen dasar non-fisik dan hantu-hantu (setan, iblis,


energi negative, dll)

hantu-hantu (setan, iblis, energi negative, dll) pada dasarnya


adalah raja dan tama dominan. Hantu-hantu yang hirarkinya lebih
rendah yaitu di bawah kekuatan spiritual 50% seperti hantu-hantu
umum/ biasa adalahraja-tama dominan. Hantu-hantu yang hirarkinya
lebih tinggi yaitu di atas kekuatan spiritual 50% seperti penyihir dari
Neraka tingkat ke 6 dan ke 7 adalah tama-raja dominan.

Sebagaimana hantu-hantu/ iblis lebih dominan raja-tama nya, mereka


sering mengunjungi lingkungan-lingkungan raja-tama di Bumi karena
mereka paling mungkin menemukan orang-orang yang dominan raja-
tama nya di sana. Orang-orang dengan pikiran yang sejalan dengan
mereka ini adalah target yang ideal untuk dirasuki dan menjalankan
rencana hantu-hantu tersebut di Bumi. Dengan kata lain, seorang yang
dominan tamasik nya dan yang memiliki keinginan untuk merugikan
orang lain beresiko tinggi dikendalikan oleh hantu untuk merugikan
masyarakat.

Prinsip dibalik melindungi diri sendiri atas serangan oleh hantu/


iblis adalah dengan meningkatkan sattviktaseseorang. Karena hantu-
hantu adalah tama dominan mereka tidak dapat mentolerir orang-
orang atau lingkungan yang tinggi sattvik nya. Untuk alasan ini mereka
tidak dapat merasuki seorang Saint (Orang Suci) dengan tingkat
spiritual lebih tinggi atau seorang Guru.
COKDE COLLECTION- 116

Lihat artikel tentang ‘Mengapa orang yang kerasukan termanifestasi


ketika berhubungan dengan pengaruh sattvik yang lebih tinggi?’

9. Dalam ringkasan

Poin-poin penting untuk diambil dari artikel ini adalah:

 Kita semua memancarkan frekuensi-


frekuensi sattva, raja atau tama tergantung pada komponen non-fisik
mana yang lebih dominan. Semakin banyak sattva komponen di dalam
diri kita semakin baik kepribadian kita, semakin tinggi keberhasilan
yang berkesinambungan dan kepuasan dalam karir, hubungan serta
kehidupan kita.
 Komponen sattva dapat ditingkatkan melalui praktik spiritual
bersamaan dengan memisahkan diri kita dari pengaruh-
pengaruh raja dan tama sebanyak mungkin.
 Perkumpulan/ petemanan yang kita jaga adalah pengaruh kuat
yang membantu kita dalam praktik spiritual.
 Hantu-hantu mengambil keuntungan dari lingkungan dan orang
yang dominan tama nya untuk menjalankan aktivitas-aktivitas mereka
dalam merugikan masyarakat dan mengurangi Kebajikan di dunia.
COKDE COLLECTION- 117

Anda mungkin juga menyukai