PENDAHULUAN
Dalam siwa siddhanta sebagaimana juga disebutkan upakara yadnya merupakan pelayanan
dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci.
Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku,
Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa,
mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada
semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.
Misalnya Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana
untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam
Pañca Yajña.
7. Segehan
- Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada
Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran,
perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah
diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
- Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh
emosional.
- Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam
berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
- Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
- Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah
sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh
kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah
agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi
hilang/mati.
Ada pun cara pembuatan Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di
dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya,
lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi
telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan
lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
2. PERAS : memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+
benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih,
raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang
terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam,
bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN : memakai tamas dari janur/slepan yang di
dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah
clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya
diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4. TIPAT KELAN : memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi
ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi
rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati
perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya
dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi
yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu,
seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base
tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding
bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong
janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang
disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar
(beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh
miik, jagan lupa diisi benang putih.
Mengenai rerasmen:
“Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian“.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang
berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.
Artinya : Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik
untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin
ringkahuripan“.
Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang
tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol,
nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana
nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan“.
Artinya: Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang
kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol adalah lambang
pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah
lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang
ditirukan.
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang
mitra, kasih kumasih“.
Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan,
berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam
keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan
pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu
dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu
yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto” di
masa yang akan datang.
Tambahan :
*) DAKSINA
Ada yang namanya daksina linggih merupakan daksina sebagai simbol “pelinggihan Ida
Bhatara” tidak memakai tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih.
Kemudian wakul serembengnya dibungkus kain putih kuning.
Dengan demikian maka daksina (baik daksina alit, pekala-kalaan dan krepa) adalah simbol
Sanghyang Widhi, stana Sanghyang Widhi, sarana inti yadnya, persembahan terima kasih,
dan pesaksi.
**)SESANTUN
Adalah sesayut pengambian terdiri dari:
Menyalakan dupa:
Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba
kepadaMu.
Menghaturkan dupa:
Om Ang dupa dipastra ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu
dalam menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
Membersihkan bunga dengan asap dupa:
Om puspa danta ya namah svaha
Ya Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
Upatti
Upatti ini dilaksanakan untuk membersihkan diri kita, agar dalam melaksanakan pemujaan
nanti kita bisa memberikan energi yang bagus terhadap tempat dimana kita akan memuja
sehingga bisa memberikan vibrasi yang bagus adapun tahap-tahap yang mesti dilaksanakan
dalam melakukan Upatti antara lain :
Asana
Sikap tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Prasada Sthiti Sarira Siva Suci Nirmala ya namah svaha
Karasodana
Om Sodha mam svaha
Om Ati Soddha mam svaha
Pranayama
Tarik nafas : Om Ang namah
Tahan nafas : Om Ung namah
Buang nafas : Om Mang namah
Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali dengan maksud kita memuja Hyang Widhi
dengan tulus sehingga kita bisa mendapatkan keheningan pikiran.
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha
Mensucikan Air I
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk memohon
kepada Devi Gangga agar membersihkan air ini dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Gangga Tirtha Amerta ya namah svaha
Mensucikan Air II
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Siva membersihkan air ini dari
segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Siva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Sadasiva membersihkan air ini
dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Sadasiva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Paramasiva membersihkan air
ini dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Paramasiva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air.
Mempersembahkan Upakara :
Astra Mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya namah svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha
Bunga di buang ke depan
Memepersembahkan dupa
Dupa dipegang dengan kedua tangan di depan hulu hati
Om Ang Brahma Sandhya Namah, Om Ung Visnu Sandhya Namah
Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha
Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat
Penyeneng dipengan dengan kedua tangan didepan hulu hati
Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng
Kajenengan denira Sanghyang Brahma Visnu Iswara Mahadeva
Surya Chandra Lintang Teranggana
Om shri ya namah svaha.
Isi penyeneng ditaburkan ke depan (arah Banten)
Mantra Peras
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Panca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Siva jnana
Omkara muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha
Pemercikan Tirtha ke semua upakara
Om Pertama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.
Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami
Mantra Segehan
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Om Atma Tattvatma suddha mam svaha
Om svasti-svasti sarva bhuta suka pradhana ya namah svaha
Om shantih shantih shantih Om.
Bunga di buang ke depan (arah segehan) lalu diperciki tirtha
Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi
hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
3. Porosan
Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang
melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu ("pikiran"), Sabda ("perkataan"), dan Idep
("perbuatan"). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas.
Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma
(gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati
(poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
4. Jajan, tebu, dan pisang
Jajan, tebu, dan pisang menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan
kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
5. Sampian Uras
Sampian uras atau juga disebut Duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata
berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang
melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya ("delapan karakteristik')
yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
6. Bunga
Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai
lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada yang harum dan ada yang
tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah.
Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.
8. Lepa
Lepa atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik.
Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak wangi
Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau
uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Canang memiliki peranan
yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut
Kanista atau "inti dari upakara". Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi
lengkap kalau tidak diisi dengan canang. Canang sari digunakan sebagai persembahan harian
kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah
diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana.
Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan
tenaga untuk mempersiapkan persembahan.
Kewangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum.
Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kewangen
artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa.
Kewangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara /
bebantenan. Kewangen paling bangak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu
juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.
1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis
sesayut.
2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk
diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan,
dan pelengkap banten.
5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll
”Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam
persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ”
sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya
membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehingga
memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah
”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana
senang, suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang. Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang
mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya
keindahan (estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara
lain:
1. Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip,
bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan.
Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga
bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen
melambangkan “Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku
Tunggal.
2. Pelawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa
dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun
sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran.
Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat
mendukung estetika “kewangen”.
3. Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan,
ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih
simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur
ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4. Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur
ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian
kewangen dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur
keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum sertapenataan yang
mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan
menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5. Bunga
yaitu bunga hidup yang masih segar dan berbau harum / wangi melambangkan
kesegaran dan kesucian pikiran dalam beryadnya.
6. Pis bolong.
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka dalam upacara
keagamaan umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung
estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu
penyatuan Siwa Budha.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan