Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten yang dalam ajaran
Siddhanta disebutkan upakara termasuk Yajna atau persembahan suci.
Dan sebagai perbuatan yang sangat mulia untuk dapat belajar membuat upakara hendaknya
juga terlebih dahulu dapat menyucikan laksana agar tingkat kesucian upakara yang dibuat
tersebut dapat dipertahankan.Karena Upakara adalah sarana perantara untuk persembahan
dan bhakti umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasinya yang mana disebutkan
kata "upakara" berasal dari kata upa+kara;
 ”upa”, yang artinya perantara (jalaran),
 ”kara”, artinya sembah.
Sehingga untuk di Bali, ucapan upakara sebagai sarana perantara yang lebih mentradisi
dengan sebutan ”yadnya (banten)” dengan tetandingan banten yang memiliki nilai religius
tinggi.Upakara yang sebagaimana juga disebutkan dalam acara agama umat Hindu ;
Di Jawa upakara bisa disebut sesaji yang artinya sesuatu yang disajikan atau dihidangkan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Namun demikian dengan adanya keterbatasan kemampuan umat Hindu yang bermacam-
macam seperti halnya :
 ada yang hanya hanya mampu melakukan pekerjaan dimana akan mengambil jalan
Karma Yoga,
 ada yang mampu dengan melaksanakan persembahyangan,
 ada yang memiliki kekuatan jnana yoga yang tinggi,
 juga ada yang lebih dari itu mampu menjalani marga sampai tingkat Raja Yoga.
 dll
Sehingga dari uraian singkat diatas menunjukkan bahwa sebetulnya dengan adanya
upakara sebagai perantara atau sesuatu yang disajikan kepada Hyang Widhi akan mendidik
umat agar selalu ingat kepada-Nya.Maka dari itu suatu wujud bebanten (tetandingan banten)
dalam upakara disebutkan terdiri dari tiga kelompok, yaitu;
1. Kelompok Banten Pangresikan, Pabresihan atau penyucian
2. Banten ayaban atau persembahan
3. Kelompok banten sebagai pengharapan
Karena selain diri kita sendiri, alam semesta ini juga berada dalam pengaruh vibrasi
energi kosmik yang bersifat tri guna, sehingga manusia patut melaksanakan upacara Panca
Yadnya.Oleh karena itu sarana kelengkapan upakara dalam aspek relegi pertamanan
tradisional di Bali, sarana upakara terdiri dari air, daun, bunga, buah dan api. Selain unsur api
dan air yang selebihnya merupakan unsur tanaman.

Dalam siwa siddhanta sebagaimana juga disebutkan upakara yadnya merupakan pelayanan
dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci.
Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku,
Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa,
mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada
semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Misalnya Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana
untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam
Pañca Yajña.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan bahan-bahan apa saja yang diperlukan dalam
pembuatan pejati, canang dan kwangen.
2. Untuk mengetahui cara penandingan pejati, canang dan kwangen yang benar.
1.4 Manfaat
1. Sebagai sumber pengetahuan untuk para mahasiswa tentang pembuatan pejati, canang
dan kwangen.
2. Sebagai acuan para mahasiswa untuk mendalami pengetahuan tentang pembuatan
pejati, canang dan kwangen.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pejati


Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda
pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa
kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu
upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten
pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk
dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku
atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara,
banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama,
maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja,
dan untuk keperluan apa saja. Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:

1. Daksina Unsur-unsur yang membentuk daksina:


- Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan
sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang
dapat dilihat dengan jelas.
Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina ;terbuat dari janur/slepan yang dibuta
melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang
Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum
Abadi tuhan )
- Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah.
Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos.
- Beras; lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
- Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi
satu, porosan adalah lambang pemujaan
- Benang Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka
dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan
juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya
Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus
mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan
kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
- Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk
menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
- Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar
kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga
lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma
Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira.
- Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari
ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya.
- Gegantusan; yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad
rasa dan lambang kemakmuran.
- Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang
Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian
lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva.
Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
- Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki. Buah kluwek/Pangi; lambang
pradhana / kebendaan / perempuan.
- Kelapa; simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri
dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan
ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang
Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras
lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala.
Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur
loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka,
Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering
lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan
hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi
tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa
adalah lambang pe ngikat indria.
- Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
- Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona;
Utpeti, Sthiti dan Pralina.
- Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut,
sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan
dari indria-indria

2. Banten Peras Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:


- Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras,
benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue
secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan
peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar
semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
- Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan
lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang
benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang
benar.
- Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua
tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan
Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan
baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan
unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
- Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang
murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
- Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan
harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
- Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya,
merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari
Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma
.
3. Banten Ajuman/Soda Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
- Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah,
rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang
sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud
kepada Hyang Widhi)
- Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan
sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan
Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar
manusia tetap eksis.
- Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya
sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang
Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan
jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.

4. Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:


- Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam
buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari.
- Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai
oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan
terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat Yang membentuk Penyeneng:


- Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi
aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk
nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam upacara
yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang
seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
- Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta
ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala)
- Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam
semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk
melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
- Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras,
melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa
mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan
kembali ke jalan Dharma.
- Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan,
Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).

6. Pesucian Pesucian terdiri dari :


- Sebuah ceper /taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih
berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh
(kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang dibakar hingga
gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan
yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur.
- Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara
dalam suatu upacara keagamaan
- Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa
menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi
itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia
Beliau.

7. Segehan
- Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada
Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran,
perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah
diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
- Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh
emosional.
- Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam
berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
- Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
- Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah
sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh
kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah
agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi
hilang/mati.

8. Sarana yang Lain


- Daun/Plawa; lambang kesejukan.
- Bunga; lambang cetusan perasaan
- Bija; lambang benih-benih kesucian.
- Air; lambang pawitra, amertha
- Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu :
1. Peras kepada Sanghyang Isvara
2. Daksina kepada Sanghyang Brahma
3. Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
4. Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Ada pun cara pembuatan Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :

1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di
dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya,
lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi
telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan
lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
2. PERAS : memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+
benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih,
raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang
terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam,
bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN : memakai tamas dari janur/slepan yang di
dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah
clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya
diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
4. TIPAT KELAN : memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi
ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi
rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati
perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya
dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi
yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu,
seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base
tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding
bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.

Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong
janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang
disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar
(beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh
miik, jagan lupa diisi benang putih.

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten :

 Mengenai rerasmen:

“Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian“.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang
berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.
Artinya : Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik
untuk didengarkan.

 Mengenai buah-buahan:

“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin
ringkahuripan“.
Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang
tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan.

 Mengenai Kue/Jajan:

“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol,
nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana
nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan“.
Artinya: Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang
kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol adalah lambang
pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah
lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang
ditirukan.

 Mengenai bahan porosan:

“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang
mitra, kasih kumasih“.
Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan,
berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam
keluarga, bertetangga dan berkawan.

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan
pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu
dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu
yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto” di
masa yang akan datang.

Tambahan :
*) DAKSINA
Ada yang namanya daksina linggih merupakan daksina sebagai simbol “pelinggihan Ida
Bhatara” tidak memakai tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih.
Kemudian wakul serembengnya dibungkus kain putih kuning.
Dengan demikian maka daksina (baik daksina alit, pekala-kalaan dan krepa) adalah simbol
Sanghyang Widhi, stana Sanghyang Widhi, sarana inti yadnya, persembahan terima kasih,
dan pesaksi.

**)SESANTUN
Adalah sesayut pengambian terdiri dari:

1. pengambian, simbol permohonan kehadiran Ista Dewata.


2. dapetan, simbol anugrah Sanghyang Widhi.
3. peras, lihat di atas.
4. sodaan, simbol persembahan/bhakti

Tata cara ngaturang pejati beserta mantram :

 Menyalakan dupa:
Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba
kepadaMu.

 Menghaturkan dupa:
Om Ang dupa dipastra ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu
dalam menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
Membersihkan bunga dengan asap dupa:
Om puspa danta ya namah svaha
Ya Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.

 Upatti
Upatti ini dilaksanakan untuk membersihkan diri kita, agar dalam melaksanakan pemujaan
nanti kita bisa memberikan energi yang bagus terhadap tempat dimana kita akan memuja
sehingga bisa memberikan vibrasi yang bagus adapun tahap-tahap yang mesti dilaksanakan
dalam melakukan Upatti antara lain :

 Asana
Sikap tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Prasada Sthiti Sarira Siva Suci Nirmala ya namah svaha
Karasodana
Om Sodha mam svaha
Om Ati Soddha mam svaha

 Pranayama
Tarik nafas : Om Ang namah
Tahan nafas : Om Ung namah
Buang nafas : Om Mang namah
Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali dengan maksud kita memuja Hyang Widhi
dengan tulus sehingga kita bisa mendapatkan keheningan pikiran.
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Aditya ya namah svaha

 Mensucikan bunga dan dupa


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk membersihkan
sarana dan prasarana yang kita pergunakan dalam memuja Hyang Widhi.
Dupa :
Om Ang Dhupa Dipastra ya namah svaha
Bunga :
Om Puspa Danta ya namah svaha

 Mensucikan Air I
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk memohon
kepada Devi Gangga agar membersihkan air ini dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Gangga Tirtha Amerta ya namah svaha

 Mensucikan Air II
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Siva membersihkan air ini dari
segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Siva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Sadasiva membersihkan air ini
dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Sadasiva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Paramasiva membersihkan air
ini dari segala kekotoran.
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Paramasiva Amertha ya namah svaha
Lalu bunga dimasukkan ke dalam air.

 Mempersembahkan Upakara :
Astra Mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Hung Hrah Phat Astra ya namah
Om Atma Tattvatma Suddha mam svaha
Om Ksama Sampurna ya namah svaha
Om Shri Pasupataye Hung Phat
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Purnam Bhavantu ya namah svaha
Bunga di buang ke depan

 Memepersembahkan dupa
Dupa dipegang dengan kedua tangan di depan hulu hati
Om Ang Brahma Sandhya Namah, Om Ung Visnu Sandhya Namah
Om Mang Isvara Tri Purusa Ya namah svaha

 Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan )


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Om namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Om Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Om Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Om Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha

 Mantra Canang Sari


Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
Bunga di buang ke depan (arah Banten)
 Mantra ngayabang upakara
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Deva Bhatyam Maha Sukham
Bojanam Parama Saamerthan
Deva Baksya Mahatustam
Boktra Laksana Karanam
Om Bhuktyantu Sarva Ta Deva
Bhuktyantu Triloka Natha
Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah
Om Deva Boktra Laksana ya namah
Deva Tripti Laksana ya namah
Treptya Paramesvara ya namah svaha
Bunga di buang ke depan (arah Banten)

 Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat
Penyeneng dipengan dengan kedua tangan didepan hulu hati
Om Kaki panyeneng Nini Panyeneng
Kajenengan denira Sanghyang Brahma Visnu Iswara Mahadeva
Surya Chandra Lintang Teranggana
Om shri ya namah svaha.
Isi penyeneng ditaburkan ke depan (arah Banten)

 Mantra Peras
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om Panca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Siva jnana
Omkara muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.
Bunga di buang ke depan (arah Banten) lalu diperciki tirtha
Pemercikan Tirtha ke semua upakara
Om Pertama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.
Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami
 Mantra Segehan
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Om Atma Tattvatma suddha mam svaha
Om svasti-svasti sarva bhuta suka pradhana ya namah svaha
Om shantih shantih shantih Om.
Bunga di buang ke depan (arah segehan) lalu diperciki tirtha

Mantra Metabuh Arak Berem


Sambil mengucapkan mantra sambil menuangkan petabuhan
Om ebek segara, ebek danu
Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.

2.2 Pengertian Canang Sari


Canang sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk
persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura), tempat
sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah
persembahan yang lebih besar lagi.
Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau "persembahan". Dari segi
penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam,
antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang
Meraka. "canang sari" diperoleh dari kata sari ("inti, esensi") dan canang (wadah anyaman
daun kelapa). Menurut kamus bahasa Bali, canang merupakan sebuah kata benda dengan
tingkatan bahasa halus yang memiliki arti "sirih". Buku "Sembahyang menurut Hindu"
menyebutkan bahwa pada zaman dulu sirih bernilai sangat bernilai tinggi dan menjadi
lambang penghormatan. Sirih disuguhkan kepada tamu yang sangat dihormati.
Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang pedanda Bali, kata "canang"
terdiri atas dua suku kata bahasa Kawi, "ca" ("indah") dan "nang" ("tujuan"). Dengan
demikian, pengertian canang dapat djabarkan menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk
memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun Simbolisme dari bagian-bagian penyusun canang adalah sebagai berikut:
1. Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan
melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk
angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan
Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra,
sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
2. Beras

Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi
hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
3. Porosan

Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang
melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu ("pikiran"), Sabda ("perkataan"), dan Idep
("perbuatan"). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas.
Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma
(gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati
(poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
4. Jajan, tebu, dan pisang

Jajan, tebu, dan pisang menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan
kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
5. Sampian Uras

Sampian uras atau juga disebut Duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata
berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang
melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya ("delapan karakteristik')
yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
6. Bunga

Bunga yang diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan


ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:
Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang
Brahma.
Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang
Mahadewa.
Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang
Hyang Wisnu.
Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca
Dewata.
7. Kembang Rampai

Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai
lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada yang harum dan ada yang
tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah.
Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.
8. Lepa

Lepa atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik.
Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak wangi

Minyak wangi atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau


pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya
menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.

Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau
uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Canang memiliki peranan
yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut
Kanista atau "inti dari upakara". Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi
lengkap kalau tidak diisi dengan canang. Canang sari digunakan sebagai persembahan harian
kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah
diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana.
Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan
tenaga untuk mempersiapkan persembahan.

2.3 Pengertian Kwangen

Kewangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum.
Mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kewangen
artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa.

Kewangen digunakan sebagai sarana dalam upacara yaitu sebagai pelengkap upakara /
bebantenan. Kewangen paling bangak digunakan dalam upacara persembahyangan. Selain itu
juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya.

1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis
sesayut.
2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk
diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan,
dan pelengkap banten.
5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll

Sebagai simbol “Omkara” dalam bentuk upakara, “kewangen” memiliki


ukuran bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip dan bagian atas mekar seperti
bunga sedang kembang. Kewangen biasanya terdiri dari: kojong dari daun pisang,
pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga harum
yang ditusuk dengan biting. Semua bahan tersebut dipadukan atau disatukan. Porosan
sisih asih dan pelawa dimasukan ke dalam kojong. Selanjutnya sampian kewangen,
bunga-bunga harum, dan terakhir adalah pis bolong yang lobangnya diisi lidi yang
dilipat sehingga mudah ditancapkan. ”Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia
yang mengandung nilai estetika.

”Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk
keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam
persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ”
sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya
membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehingga
memudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah
”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana
senang, suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang. Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang
mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya
keindahan (estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara
lain:

1. Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip,
bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan.
Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga
bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen
melambangkan “Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku
Tunggal.
2. Pelawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bisa
dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun
sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran.
Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat
mendukung estetika “kewangen”.
3. Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan,
ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih
simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur
ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4. Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan
bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur
ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian
kewangen dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur
keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum sertapenataan yang
mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan
menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5. Bunga
yaitu bunga hidup yang masih segar dan berbau harum / wangi melambangkan
kesegaran dan kesucian pikiran dalam beryadnya.
6. Pis bolong.
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka dalam upacara
keagamaan umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng
juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta
pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung
estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu
penyatuan Siwa Budha.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai