Anda di halaman 1dari 16

Peta Konsep

Kata Kunci : Nilai, Pengertian Yajna, Bentuk Yajna, Ramayana


A. PENGERTIAN YAJÑA

Dalam Bhagawadgita Bab III, sloka 10 disebutkan :


saha-yajnah prajàh strswà purowàca prajàpatih; anena prasawiûyadham eûa wo ‘stw
iûþa-kàma-dhuk
terjemahannya :
Dahulu kala Prajapati ( Hyang Widhi ) menciptakan manusia dengan yajnya dan
bersabda; dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk
keinginanmu.

Dalam masyarakat, Yajña (yadnya) sering sekali disamakan dengan ritual, hal tersebut
tentu tidak bisa kita salahkan. Tapi, Yajña tidak hanya tentang ritual atau upacara keagamaan,
lebih dari itu segala aktivitas manusia dalam rangka sujud bhakti kepada Hyang Widhi adalah
Yajña.
Yajña, berasal dari bahasa Sansekerta dengan akar kata “yaj” yang artinya memuja,
mempersembahkan atau korban suci. Yajña dapat diartikan sebagai sebuah tindakan memuja
Tuhan dengan segala manifestasinya dengan melakukan persembahan atau pengorbanan suci
yang dilandasi tulus dan ikhlas. Sehingga, Yajña tidak semata-mata hanya berupa upacara atau
ritual. Hal ini sesuai dengan kutipan sloka di atas. karena alam dan manusia diciptakan oleh
Hyang Widhi melalui Yajña. Pada masa srsti yaitu penciptaan alam Hyang Hidhi dalam kondisi
Nirguna Brahma (Tuhan dalam wujud tanpa sifat) melakukan Tapa menjadikan diri beliau
Saguna Brahma (Tuhan dalam wujud sifat Purusa dan Pradana). Dari proses awal ini jelas bahwa
awal penciptaan awal dilakukan Yajña yaitu pengorbanan diri Hyang Widhi dari Nirguna
Brahma menjadi Saguna Brahma. Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi melalui
Yajña.
Dalam Rgveda VIII, 40. 4. Yajña artinya pengorbanan atau persembahan. Yajña
merupakan suatu perbuatan dan kegiatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan untuk
melakukan persembahan kepada Dewata/Tuhan Yang Maha Esa yang pada pelaksanaan di
dalamnya mengandung unsur Karya (perbuatan), Sreya (tulus ikhlas), Budhi (kesadaran), dan
Bhakti (persembahan).
Arti Yajña yang sebenarnya adalah pengorbanan atau persembahan secara tulus. Yajamana
artinya orang yang melakukan atau melaksanakan Yajña, sedangkan Yajus berarti Segala yang
dikorbankan atau merupakan bentuk syukur dipersembahkan kepada Dewata/Tuhan dengan dan
Yajña kepada Tuhan Yang Maha Esa penuh kesadaran, baik itu berupa pikiran, kata-kata dan
perilaku yang tulus demi kesejahtraan alam semesta disebut dengan Yajña.
Latar belakang manusia untuk melakukan Yajña adalah adanya rna (hutang).Dalam
melaksanakan Yajña ada tiga kewajiban utama yang harus dilunasi manusia atas keberadaannya
di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga hutang hidup). Tri Rna ini dibayar dengan pelaksanaan
Panca Yajña. Hal ini sesuai dengan dalam Kitab Manawa Dharmasastra VI.35, sebagai
berikut:
Rinani trinyapakritya manomok-Se niwecayet
Anapakritya moksam tu sewama-No wrajatyadhah

Artinya: Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, kepada
Leluhur dan kepada Orangtua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk memcapai
kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga
macam hutangnya akan tenggelam ke bawah.

Tri Rna atau 3 macam hutang tersebut terdiri dari :


a. Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah menciptakan alam
semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita bayar dengan Dewa Yanya dan
Bhuta Yajña.
b. Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan kehidupannya sehingga dapat
memberikan pencerahan kepada manusia melalui ajaran-ajarannya sehingga manusia
dapat menjalani hidup dengan lebih baik. Rsi Rna dilunasi dengan melaksanakan Rsi
Yajña.
c. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang tua sangat
memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Membayar hutang kepada orang tua
dan leluhur dilakukan dengan Pitra Yajña dan Manusa Yajña.

TUJUAN YAJNA
Adapun tujuan melaksanakan Yajna diantaranya adalah sebagai berikut:
a) untuk mengamalkan ajaran veda
b) untuk meningkatkan kwalitas diri
c) untuk penyucian
d) sarana berhubungan dengan tuhan
e) mencetuskan rasa terima kasih

B. PEMBAGIAN YAJÑA
Gambar1. Bhuta yajna
http://ssgsingaraja.blogspot.co.id

Dalam śāstra-śāstra Agama Hindu berbagai macam rumusan tentang pelaksanaan Pañca
Yajña, namun makna dan hakikatnya adalah sama. Maka perlu untuk mengetahui rumusan-
rumusan yang benar tentang pedoman dalam pelaksanaan Pañca Yajña yang benar menurut kitab
suci Veda dan śāstra-śāstra Agama yang ada. Kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Kitab Sataphata Brāhmana.
Merumuskan tentang Pañca Yajña sebagai berikut:
a. Bhūta Yajña yang dipersembahkan sehari-hari yang ditujukan kepada para bhūta.
b. Manuṣa Yajña persembahan berupa makanan yang ditujukan kepada orang lain atau
sesama manusia.
c. Pitra Yajña adalah Yajña atau persembahan yang ditujukan kepada pada leluhur yang
disebut swada.
d. Deva Yajña persembahan kehadapan para dewa yang disebut Swaha.
e. Brahma Yajña adalah persembahan yang dilaksanakan dengan mempelajari pengucapan
ayat-ayat suci Veda.

2. Kitab Bhagavadgītā,
merumuskan Pañca Yajña sebagai berikut:
1. Drvya Yajña adalah persembahan yang dilakukan dengan berdana punia harta benda.
2. Tapa Yajña adalah persembahan berupa pantangan untuk mengendalikan Indriya.
3. Yoga Yajña adalah Yajña persembahan dengan melakukan aṣṭāṅga yoga untuk mencapai
hubungan dengan Tuhan.
4. Swādhyāya Yajña yaitu suatu persembahan berupa pengendalian diri dengan belajar
sendiri langsung kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
5. Jñāna Yajña adalah Yajña dengan melaksanakan persembahan berupa ilmu
pengetahuan.

3. Kitab Mānawa Dharma Śāstra


Rumusan Pañca Yajña adalah sebagai berikut:
1. Brahma Yajña adalah persembahan yang dilaksanakan dengan belajar dan mengajar
dengan penuh keikhlasan.
2. Pitra Yajña adalah persembahan yang dilakukan dengan menghaturkan tarpaṇa dan air
kepada leluhur.
3. Dewa Yajña adalah persembahan yang dilaksanakan dengan menghaturkan minyak
dan susu ke hadapan para dewa.
4. Bhūta Yajña adalah persembahan yang dilaksanakan dengan upacara bali kepada para
bhūta.
5. Nāra Yajña adalah Yajña yang berupa penerimaan tamu dengan ramah tamah.
4. Kitab Gautama Dharma Śāstra.
Dalam kitab Gautama Dharma Śāstra dijelaskan ada tiga pembagian Yajña sebagai berikut:
1. Dewa Yajña adalah persembahan kepada Hyang Agni dan dewa Amodaya.
2. Bhūta Yajña adalah persembahan kepada Lokapala (Dewa pelindung) dan kepada dewa
penjaga pintu pekarangan, pintu rumah sampai pintu tengah rumah.
3. Brahma Yajña adalah persembahan dengan pembacaan ayat-ayat suci Veda.

5. Lontar Korawāśramā
Dalam Lontar Koravāś Rāmā:
1. Dewa Yajña persembahan dengan sesajen dengan mengucapkan Śruti dan Stawa pada
waktu bulan purnama.
2. Ṛṣi Yajña adalah persembahan punia, buah-buahan, makanan dan barang-barang yang
tidak mudah rusak kepada para Mahā Ṛṣi.
3. Manuṣa Yajña adalah memberikan makanan kepada masyarakat.
4. Pitra Yajña adalah mempersembahkan puja dan Bali atau banten kepada pada leluhur.
5. Bhūta Yajña adalah mempersembahkan puja dan caru kepada para Bhūta.

6. Lontar Singhalanghyala
Rumusan Pañca Yajña yang ada dalam lontar Singhalanghlaya adalah sebagai berikut:
1. Bojana Patra Yajña adalah persembahan dengan menghindangkan makanan.
2. Kanaka Ratna Yajña adalah Yajña persembahan berupa mas dan permata.
3. Kanya Yajña adalah Yajña dengan mempersembahkan seorang gadis suci.
4. Brata Tanpa Samādhi adalah Yajña dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan
samādhi.
5. Samya jñāna adalah Yajña persembahan dengan keseimbangan dan keserasian.

7. Lontar Agastya Parwa


Rumusan Pañca Yajña yang terdapat dalam lontar Agastya Parwa, paling sesuai penerapannya
di Indonesia. Dibandingkan dengan rumusan-rumusan yang ada pada śāstra-śāstra di atas.
Adapun rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dewa Yajña persembahan dengan minyak, biji-bijian kepada dewa Śiwa dan dewa Agni
di tempat pemujaan dewa.
2. Ṛṣi Yajña adalah persembahan dengan menghormati pendeta dan dengan membaca kitab
suci.
3. Pitra Yajña yaitu merupakan upacara kematian agar roh yang meninggal mencapai alam
Śiwa.
4. Bhūta Yajña yaitu persembahan dengan menyejahterakan tumbuh-tumbuhan dan dengan
menyelenggarakan upacara tawur serta upacara Pañcawali Krama.
5. Manusia Yajña adalah upacara/persembahan dengan memberi makanan kepada
masyarakat.

C. BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN YAJNA DALAM KEHIDUPAN


Kitab Bhagawad Gita dalam berbagai sloka menjelaskan bahwa bentuk-bentuk Yajna terdiri
dari :
1. Yajna dalam bentuk persembahan/Upakara
2. Yajna dalam bentuk pengendalian diri/tapa
3. Yajna dalam bentuk aktivitas/karma
4. Yajna dalam bentuk harta benda / kekayaan/punia
5. Yajna dalam bentuk ilmu pengetahuan/jnana
Sampai saat ini di Indonesia khususnya di Bali hampir sebagian besar umat Hindu masih
mengartikan dan mengutamakan bahwa Yajna adalah upacara/ritual. Padahal upakara/ritual itu
adalah salah satu bagian dari bentuk-bentuk Yajna. Sangat sedikit Umat Hindu di Indonesia yang
memberikan proporsional untuk melaksanakan bentuk-bentuk Yajna yang lainnya. Hindu
memberikan keluasan kepada pemeluknya dalam beryajna sesuai dengan kondisi dan
kemampuan yang ada dengan peluang kesempatan hasil yang sama. Dengan demikian apapun
bentuk Yajna yang kita lakukan sepanjang sesuai dengan konsep Dharma maka akan
memperoleh hasil yang maksimal.

Jenis-jenis Yajna
Secara garis besar Yajna dapat kelompokkan sebagai berikut :
a. Dari segi waktu pelaksanaan Yajna dapat dibedakan :
1. Nitya Yajna
Nitya yajna adalah Yajna yang dilaksanakan setiap hari. Contoh pelaksanaan Yajna yang
dilakukan sehari-hari adalah Tri Sandhya, Yajna sesa dan Jnana Yajna.
a. Tri Sandhya, merupakan bentuk Yajna yang dilaksnakan setiap hari dengan kurun waktu
pagi hari, siang hari dan sore hari.
b. Yajna Sesa, juga disebut dengan masaiban atau ngejot. Merupakan Yajna yang dilakukan
kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan segala manifestasinya setelah
memasak atau sebelum menikmati makanan.
c. Jnana Yajna, merupakan Yajna dalam bentuk pengetahuan. Pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan proses belajar dan mengajar yang baik, baik formal maupun informal.

2. Naimittika Yajna
Naimittika yajna merupakan yajna yang dilakukan secara berkala dan pada waktu-waktu
tertentu yang sudah terjadwal. Pelaksanaan Naimittika yajna menggunakan suatu
perhitungan tertentu dengan dasar perhitungannya adalah sebagai beriktu:
a. Berdasarkan perhitungan wara. Perhitungan wara adalah perhitungan yang menggunakan
perpaduan antara Tri wara dengan panca wara. Contohnya: Kajeng kliwon. Menggunakan
perpaduan antara Sapta wara dengan panca wara, Contohnya: Buda wage, Buda kliwon,
anggara kasih dan sebagainya.
b. Berdasarkan perhitungan Wuku, adalah pelaksanaan yajna yang dilakukan dengan
memperhitungan pawukon. Contohnya : Galungan, Pagerwesi, Saraswati, Kuningan.
c. Berdasarkan perhitungan Sasih. Contohnya: Puranama, tilem, Nyepi, Siwaratri.

3. Insidental Yajna Insidental


Adalah Yajna yang dilaksanakan didasarkan atas adanya peristiwa atau kejadian-kejadian
tertentu tidak terjadwal, namun dipandang perlu untuk dilaksanakan dan dibuatkan upacara
persembahan. Melaksanakan Yajna insidental adalah dilakukan sesuai dengan kemampuan,
keadaan dan situasi. Dengan menyesuaikan tersebut maka Yajna dapat dilakukan sesuai dengan
kwantitasnya yaitu Kanista, Madya, dan Mautama.
b. Berdasarkan nilai materi / jenis bebantenan suatu Yajna digolongkan menjadi :
1). Nista, artinya Yajna tingkatan kecil yang dapat di bagi lagi menjadi :
1. Nistaning nista, adalah terkecil dari yang kecil
2. Madyaning nista, adalah tingkatan sedang dari yang kecil.
3. Utamaning Nista, adalah tingkatan terbesar dari yang kecil
2). Madya, yaitu yandnya tingkatan sedang yang dapat dibagi lagi menjadi :
1. Nistaning madya, adalah tingkatan terkecil dari yang sedang.
2. Madyaning madya, adalah tingkatan sedang dari yang sedang.
3. Utamaning madya, adalah tingkatan terbesar dari yang sedang.
3). Utama, yaitu Yajna tingkatan besar yang dapat dibagi menjadi :
1. Nistaning utama, adalah tingkatan terkecil dari yang besar
2. Madyaning utama, adalah tingkatan sedang dari yang besar.
3. Utamaning utama, adalah tingkatan terbesar dari yang besar.

c. Sedangkan apabila ditinjau dari tujuan pelaksanaan atau kepada siapa Yajna tersebut
dilaksanakan, dapat digolongkan menjadi Panca Yajna.
Panca Yajna adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di
dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yajna atau Panca Maha Yajna
tersebut terdiri dari:
1. Dewa Yajna.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh
manifestasi- Nya. Dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya
ataupun peringatan hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari
Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.

2. Pitra Yajna.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur
(pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan melaksanakan upacara Jenazah
(Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yajna ini adalah demi pengabdian dan bhakti yang
tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga.
Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bhakti, memberikan
sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk
pelaksanaan Yajna. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia
telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
1. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
2. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
3. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

3. Manusa Yajna.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yajna ataupun selamatan, di antaranya
ialah:
1. Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru
lahir.
2. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan
(105 hari).
3. Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari).
4. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra
Wiwaha/ Widhi-Wedhana.

4. Rsi Yajna.
Adalah suatu Upacara Yajna berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para
Maha Rsi, orang- orang suci, Rsi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat
diwujudkan dalam bentuk:
1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti
luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

5. Bhuta Yajna.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk
rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang),
tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang
Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yajna ini dapat berupa: Upacara Yajna
(korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut
dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan,
kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos
dengan mikrokosmos.

d. Dari segi kualitas Yajna dapat dibedakan atas:


1. Satwika Yajna yaitu Yajna yang dilaksanakan dasar utama sradha bhakti, lascarya, dan
semata melaksanakan sebagai kewajiban. Apapun bentuk Yajna yang dilakukan seperti;
persembahan, pengendalian diri, punia, maupun jnana jika dilandasi bhakti dan tanpa
pamrih maka tergolong Satwika Yajna.
2. Rajasika Yajna yaitu Yajna dilakukan dengan motif pamrih serta pamer kemewahan,
pamer harga diri, bagi yang melakukan punia berharap agar dirinya dianggap dermawan.
3. Tamasika Yajna yaitu Yajna yang dilaksanakan tanpa sastra, tanpa punia, tanpa mantra
dan tanpa keyakinan. Ini adalah kelompok orang yang melakukan yajna tanpa arah tujuan
yang jelas, hanya ikut-ikutan.

Jenis-jenis Yajna di atas diuraikan dalam Kitab Bhagawad Gita dalam beberapa sloka.
Untuk Yajna yang berbentuk persembahan/upakara akan tergolong kualitas Satwika bila Yajna
dilaksanakan berdasarkan :
1. Sradha, artinya Yajna dilaksanakan dengan penuh keyakinan
2. Lascarya, yaitu Yajna dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih sedikitpun.
3. Sastra, bahwa pelaksanaan Yajna sesuai dengan sumber-sumber sastra yang benar.
4. Daksina, yaitu Yajna dilaksanakan dengan sarana upacara serta punia kepada pemuput
Yajna/manggala Yajna.
5. Mantra dan gita, yaitu dengan melantunkan doa-doa serta kidung suci sebagai pemujaan.
6. Annasewa, artinya memberikan jamuan kepada tamu yang menghadiri upacara. Jamuan
ini penting karena setiap tamu yang datang ikut berdoa agar pelaksanaan Yajna berhasil.
Dengan jamuan ini, maka karma dari doa para tamu undangan menjadi milik sang
yajamana.
7. Nasmita, bahwa Yajna yang dilaks anakan bukan untuk memamerkan kekayaan dan
kemewahan

Apapun jenis Yajna yang kita lakukan seharusnya yang menjadi tolok ukur adalah
kualitas Yajna. Kualitas Yajna yang harus dicapai setiap pelaksanaan Yajna adalah Satwika
Yajna. Tidak ada gunanya Yajna yang besar tetapi bersifat rajas atau tamas.

D. CERITA RAMAYANA
Gambar 2. Rama, Sinta, Laksamana dan Hanoman
http://mahayuge.blogspot.co.id/2014/11/ringkasan-cerita-ramayana.html

Ramayana karya Maharsi Walmiki terdiri dari 7 Kanda dengan 24.000 sloka. Ramayana
berarti kisah perjalanan Sri Rama. Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau Sapta kanda.
Urutan kitab menunjukkan kronologi peristiwa yang terjadi dalam Wiracarita Ramayana.

Nama kitab Keterangan


Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda
menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya,
Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu: Rama,
Balakanda
Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga menceritakan kisah
Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara dan memperistri Sita,
puteri Prabu Janaka.
Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama Dewi
Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu, Prabu
Ayodhyakanda Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan menjadi Raja,
kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali ke kerajaan.
Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di
tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering
Aranyakanda membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab
Aranyakakanda juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan pertarungan
antara Jatayu dengan Rawana.
Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan Raja
kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya dari
Kiskindhakanda Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa menjadi
Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu untuk
menggempur Kerajaan Alengka.
Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang membangun
jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan Alengka. Hanuman
Sundarakanda yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan menghadap Dewi Sita.
Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri dan membakar ibukota
Alengka.
Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera Sang
Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan usaha
pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan mencapai
Yuddhakanda Alengka. Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena terlalu banyak
memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di tangan Rama oleh
senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat ke Ayodhya bersama
Dewi Sita.
Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang
Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian Dewi
Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan melahirkan
Uttarakanda
Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama pada saat
upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan Ramayana yang
digubah oleh Rsi Walmiki.

Gambar 3. Ilustrasi Rahwana menculik Dewi Sinta


http://sastradududewo.blogspot.co.id
E. NILAI-NILAI YAJÑA DALAM CERITA RAMAYANA
Kutipan dari Kakawin Ramayana
Kutipan Terjemahan
Hana sira Ratu dibya rēngőn, Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di
praçāsta ring rāt, musuhnira praṇata, dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir
jaya paṇdhita, ringaji kabèh, akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri
Sang Daçaratha, nāma tā moli Baginda, tiada bandingannya
Sira ta Triwikrama pita, Dia ayah Sang Triwikrama, maksudnya ayah Bhatara
pinaka bapa, Bhaṭāra Wiṣḥnu Wisnu yang sedang menjelma akan menyelamatkan
mangjanma inakaning bhuwana kabèh, dunia seluruhnya. Demikian tujuan Sang Hyang
yatra dōnira nimittaning janma Wisnu menjelma menjadi manusia.
Hana rājya tulya kèndran, Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh
kakwèhan sang mahārddhika suçila, orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di Ayodhya-
ringayodhyā subbhagêng rāt, lah yang cukup terkenal di dunia, itulah istana Sri
yeka kadhatwannirang nṛpati Baginda Prabu Dasarata
Sudah lama Sri Baginda menikah, saling mencintai
Malawas sirār papangguh, masneha
dengan para permaisurinya, kenikmatan rasa
lawan mahādewī, suraseng sanggama
pertemuan itu telah dapat dirasakan, bercumbu rayu
rinasan, alinggana cumabanā dinya
dan sejenisnya
Mahyun ta sira maputra, mānaka
Timbullah niat Sri Baginda agar berputra, agar
wetnyar waṛēg rikang wiçaya, malawas
berputra karena sudah puas bercinta, namun lama nian
tan pānakatah, mahyun ta sirā gawe
dia tidak berputra, lalu dia berniat mengadakan ritual
yajña
Sakalī kāraṇa ginawe, āwāhana len Semua perlengkapan upacara sudah dikerjakan, alat
pratiṣṭa ānnidhya, Parameçwara upacara pengundang serta tempat para Dewa sudah
hinangēnangēn, umungu ring kuṇḍa tersedia, Bhatara Çiwa yang dipuja-Pūja, agar berstana
bahni maya pd api suci itu
Sisa sesaji yang dihaturkan oleh Sang Maha Pendeta,
Çeṣa mahārsī mamūjā, pūrnāhuti dibya
sesajen yang sempurna, santapan yang nikmat rasa
pathya gandharasa, yata pinangan
serta baunya, itulah yang disantap oleh dia, permaisuri
kinabehan, denira Dewi maharaja
Sri Baginda Raja
Demikianlah tidak diceritakan lagi selang waktu itu,
Ndata tīta kāla lunghā, mānak tā Sang
para permaisuri kesayangan Prabu Dasarata
Daçarathā sih, Sang Rāma nak matuha, i
melahirkan putera, Sang Rama putera yang sulung,
sira mahādewī Kauçalya
dari permaisuri Dewi Kosalya
Sang Kekayi makānak, Sang Bharatya Adapun putera Dewi Kekayi, Sang Bharata yang
kyāti çakti dibya guṇa, Dewi sirang terkenal sakti mandraguna, sedangkan Dewi Sumitra,
Sumitrā, Laksmaṇa Çatrughna putranira berputra Sang Lakshmana dan Sang Satrugna
Sang Rāma sira winarahan, ringastra de Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah
Sang Wasiṣṭa tar malawas, kalawan oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama,
nantēnira tiga, prajñeng widya kabeh beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar cekatan
wihikan tentang ilmu memanah

Dari beberapa kutipan sloka tersebut dapat dipetik nilai Pañca Yajña yang terkandung dalam
cerita Rāmāyana
1. Dewa Yajña
Dewa Yajña adalah Yajña yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atau Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasinya. Dalam cerita Rāmāyana banyak
terurai hakikat Dewa Yajña dalam perjalanan kisahnya. Seperti pelaksanaan Homa Yajña yang
dilaksanakan oleh Prabu Daśaratha. Homa Yajña atau Agni Hotra sesuai dengan asal katanya
Agni berarti api dan Hotra berarti penyucian.
Upacara ini dimaknai sebagai upaya penyucian melalui perantara Dewa Agni. Jika
Istadevatanya bukan Dewa Agni, sesuai dengan tujuan yajamana, maka upacara ini dinamai
Homa Yajña. Istilah lainnya adalah Havana dan Huta. Mengingat para Deva diyakini sebagai
penghuni svahloka, maka sudah selayaknya Yajña yang dilakukan umat manusia melibatkan
sirkulasi langit dan bumi.
Untuk itu, kehadiran api sangat diperlukan karena hanya api yang mampu membakar
bahan persembahan dan menghantarnya menuju langit. Selain itu, persembahan ke dalam api
suci mendapat penguat religius mengingat api sebagai lidah Tuhan dalam proses persembahan.
Pada bagian yang lain dari cerita Rāmāyana juga disebutkan bagaimana Śrī Rāmā dan Lakṣmaṇa
ditugaskan oleh Raja Daśaratha untuk mengamankan pelaksanaan Homa yang dilakukan oleh
para pertapa dibawah pimpinan MahaṚsī Visvamitra. Dari kisah tersebut, tampak jelas
keampuhan upacara Homa Yajña.
Dari uraian singkat cerita Rāmāyana tersebut tampak jelas bahwa sujud bhakti ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu keharusan bagi makhluk hidup terlebih
lagi umat manusia. Keagungan Yajña dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan
megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting adalah kesucian dan ketulusikhlasan dari
orang-orang yang terlibat melakukan Yajña.
2. Pitra Yajña
Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Kata pitra bersīnonim
dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Sebagai
umat manusia yang beradab, hendaknya selalu berbakti kepada orang tua, karena menurut agama
Hindu hal ini adalah salah satu bentuk Yajña yang utama. Betapa durhakanya seseorang apabila
berani dan tidak bisa menunjukkan rasa bhaktinya kepada orang tua sebagai pitra.
Seperti apa yang diuraikan dalam kisah kepahlawanan Rāmāyana, dimana Śrī Rāmā
sebagai tokoh utama dengan segenap kebijaksanaan, kepintaran dan kegagahannya tetap
menunjukkan rasa bakti yang tinggi terhadap orang tuanya. Seperti yang tertuang pada Kekawin
Rāmāyana Trĕyas Sargah bait 9 sebagai berikut:
Sawét nikana satya sang prabhu kinon ng anak minggata, Kadi pwa ya hilang ng asih
nira hiḍĕp nikang mwang kabéh, Gĕlāna mangarang n galah salahasātimohā ngĕsah,
Mahöm ta sahana nya kapwa umasö ri Sang Rāghawa.
Terjemahan:
Karena setianya sang prabhu (akan janji) disuruh putranya supaya pergi. Seperti
lenyaplah kasih sayangnya, demikian pikir orang banyak. Gundah gulana, sedih. Kecewa
amat bingung dan berkeluh kesah. Maka berundinglah semuanya menghadap kepada
Sang Rāmā.
Dari kutipan lontar tersebut tampak jelas nilai Pitra Yajña yang termuat dalam epos
Rāmāyana. Demi memenuhi janji orang tuanya (Raja Daśaratha), Śrī Rāmā, Lakṣmaṇa dan Dewi
Sītā mau menerima perintah dari sang Raja Daśaratha untuk pergi hidup di hutan meninggalkan
kekuasaanya sebagai raja di Ayodhyā. Walaupun itu bukan merupakan keinginan Raja Daśaratha
dan hanya sebagai bentuk janji seorang raja terhadap istrinya Dewi Kaikeyī. Śrī Rāmā secara
tulus ikhlas menjalankan perintah orang tuanya tersebut. Bersama istri dan adiknya hidup
mengembara di hutan selama bertahun-tahun.
Dari kisah ini tentu dapat dipetik suatu hakikat nilai yang sangat istimewa bagaimana
bhakti seorang anak terhadap orang tuanya. Betapapun kuat, pintar dan gagahnya seorang anak
hendaknya selalu mampu menunjukkan sujud baktinya kepada orang tua atas jasanya telah
memelihara dan menghidupi anak tersebut.

3. Manusa Yajña
Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu lainnya, Manusa Yajña atau Nara
Yajña itu adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring Kraman) dan melayani
tamu dalam upacara (athiti puja). Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña
tergolong Sarira Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa
Yajña di Bali dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan sampai upacara pawiwahan/
perkawinan.
Pada cerita Rāmāyana, nilai Manusa Yajña di dalam uraian kisahnya, dapat dilihat pada
kisah yang menceritakan Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā. Hal ini juga tertuang dalam
Kekawin Rāmāyana Dwitīyas Sarggah bait 63, yang isinya sebagai berikut:
Rānak naréndra gunamānta suśīla śakti, Sang Rāmadéwa tamatan papaḍé rikéng rāt,
Sītā ya bhaktya ryanak naranātha tan lén, Nāhan prayojana naréndra pinét marāngké.
Terjemahan:
Putra tuanku gunawan, susila dan bakti. Sang Ramadewa tiada tandingnya di dunia ini,
Sita akan bakti kepada putra tuanku, tidak lain. Itulah tujuan kami tuanku dimohon
kemari.
Dari kutipan sloka ini terkandung nilai Manusa Yajña yang tertuang di dalam epos
Rāmāyana tersebut. Upacara Śrī Rāmā mempersunting Dewi Sītā merupakan suatu nilai Yajña
yang terkandung di dalamnya. Selayaknya suatu pernikahan suci, upacara ini dilaksanakan
dengan Yajña yang lengkap dipimpin oleh seorang purohita raja dan disaksikan oleh para Dewa,
dan kerabat kerajaan beserta para Mahaṛsī.

4. Ṛsī Yajña
Ṛsī Yajña itu adalah menghormati dan memuja Ṛsī atau pendeta. Dalam lontar Agastya
Parwa disebutkan, “Ṛsī Yajña ngaranya kapujan ring pandeta sang wruh ring kalingganing dadi
wang” artinya Ṛsī Yajña adalah berbakti pada pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri
menjadi manusia. Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari maupun saat-saat beliau
memimpin upacara tergolong Ṛsī Yajña. Pada kisah Rāmāyana, nilai-nilai Ṛsī Yajña dapat
dijumpai pada beberapa bagian dimana para tokoh dalam alur ceritanya sangat menghormati para
Ṛsī sebagai pemimpin keagamaan, penasehat kerajaan, dan guru kerohanian. Misalnya pada
Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah bait 30, sebagai berikut:
Sāmpun pwa sira pinūjā, bhinojanan sang mahārṣi paripūrṇna, kalawan sang wiku sākṣī,
winūrṣita dinakṣiṇān ta sira
Terjemahan:
Sesudah beliau dipuja, disuguhkan suguhan sang mahaṚsī, bersama sang wiku yang
menjadi saksi, dihormati dipersembahkan hadiah untuk beliau.
Mahaṛsī sebagai seorang rohaniwan senantiasa memberikan wejangan suci dan ilmu
pengetahuan keagamaan untuk menuntun umatnya tentang ajaran ketuhanan. Keberadaan beliau
tentu sangat penting dalam kehidupan umat beragama. Sudah sepatutnya sebagai umat beragama
senantiasa sujud bakti kepada para Mahaṛsī atau pendeta sabagai salah satu bentuk Yajña yang
utama dalam ajaran agama Hindu. Dalam epos Rāmāyana banyak sekali dapat ditemukan nilai-
nilai Ṛsī Yajña yang termuat dalam kisahnya. Oleh karena itu banyak sekali hakikat Yajña yang
dapat dipetik untuk dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.

5. Bhuta Yajña
Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia butha kala atau berbagai kekuatan
negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Butha Yajña pada hakikatnya
bertujuan untuk mewujudkan butha kala menjadi butha hita. Butha hita artinya menyejahterakan
dan melestarikan alam lingkungan (Sarwaprani). Upacara Butha Yajña yang lebih cenderung
untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak
mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan membantu umat manusia.
Pengertian Bhuta Yajña dalam bentuk upacara amat banyak macamnya. Kesemuanya itu
lebih cenderung sebagai upacara nyomia atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif
manjadi positif. Sedang arti sebenarnya Bhuta Yajña adalah memelihara kesejahteraan dan
keseimbangan alam. Pelaksanaan upacara dewa Yajña selalu di barengi dengan Bhuta Yajña, hal
ini bertujuan untuk menyeimbangkan alam semesta beserta isinya.
Nilai-nilai Bhuta Yajña juga nampak jelas pada uraian kisah epos Rāmāyana, hal ini
dapat dilihat pada pelaksanaan Homa Yajña sebagai Yajña yang utama juga diiringi dengan ritual
Bhuta Yajña untuk menetralisir kekuatan negatif sehingga alam lingkungan menjadi sejahtera.
Hal ini dikuatkan dengan apa yang tertuang pada Kekawin Rāmāyana Prathamas Sarggah sloka
25 yang isinya sebagai berikut:
Luměkas ta sira mahoma, prétādi piśāca rākṣasa minantran bhūta kabéh inilagakěn,
asing mamighnā rikang Yajña
Terjemahan:
Mulailah beliau melaksanakan upacara korban api. Roh jahat dan sebagainya, pisaca
raksasa dimanterai. Bhuta Kala semua diusir, segala yang akan mengganggu upacara
korban itu.

Pada setiap pelaksanaan upacara Yajña, kekuatan suci harus datang dari segala arah. Oleh
sebab itu, segala macam bentuk unsur negatif harus dinetralisir untuk dapat menjaga
keseimbangan alam semesta. Bhuta Yajña sebagai bagian dari Yajña merupakan hal yang sangat
penting untuk mencapai tujuan ini, sehingga tidak salah pada setiap pelaksanaan upacara dewa
Yajña akan selalu dibarengi dengan upacara Bhuta Yajña.

Anda mungkin juga menyukai